Pages

Senin, 20 Juli 2009

Bertemu Dinosaurus Terakhir



Pesawat yang saya tumpangi bersama tim dari WWF harus berputar-putar di udara hingga beberapa waktu. Cuaca buruk sempat menghadang sebelum akhirnya mendarat di Bandara Udara Domine Edward Osok, Sorong.

Kesempatan menginjakkan kaki ke tanah Papua di pertengahan tahun 2009  memang membuat tubuh rasanya ingin  melompat ke udara karena tawaran yang datang tak terduga. Ya, ini bukan perjalanan sembarangan. Selain ini kali pertama menghirup usara Papua, saya berkesempatan pergi bersama tim konservasi penyu WWF di Abun, Papua untuk memantau siklus peneluran dan mengamati proses pelestarian Penyu Belimbing. Satu dari spesies endemik yang kini terancam punah.
Penyu Belimbing
Trip panjang dan melelahkan harus kami lalui. Tantangan tidak hanya menyiapkan kondisi fisik, tapi juga cuaca lautan Pasifik yang sulit diprediksi. Belum tentu juga bertemu dengan ’’dinosaurus terakhir’’ dari Papua ini. Ya, penyu merupakan salah satu spesies satwa warisan zaman purbakala yang sudah ada sekitar 220 juta tahun yang lalu di zaman Triassic, sebelum zaman Jurassic.

Kami datang ke Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun Papua Barat bertepatan dengan musim peneluran. Tepatnya, di Pantai Jamursbamedi dan Pantai Warmon. Dua kawasan yang menjadi pantai peneluran terbesar di Pasifik Barat.
***
Pukul 07.00 WIT, tiga speedboad yang kami tumpangi menuju Abun sudah siap di Pelabuhan Perikanan Sorong. Cuaca cerah. Ini pertanda baik mengingat perjalanan yang kami lalui sangat jauh dan penuh resiko. Perjalanan pagi menjadi pilihan. Kami harus berpacu mengarungi besarnya ombak lautan Pasifik dari Sorong hingga Abun sejauh 200 kilometer lebih. 
Sebelum berangkat menuju Abun
Ya, perjalanan menuju lokasi pusat peneluran Penyu Belimbing kami lalui dengan jalur laut dengan menyusuri bentang laut Kepala Burung Papua. Puluhan lumba-lumba yang mengikuti dan hamparan biru lautan menjadi hiburan selama perjalanan. 10 jam berada di laut bukan waktu yang sebentar untuk dilewati dengan cuaca panas dan bau solar yang menyengat.
Perjalanan menuju Abun
 Ombak besar bahkan sempat membuat satu dari tiga speadboad yang kami tumpangi terbalik. Tapi kami akhirnya berhasil merapat di Kampung Wau. Lokasi terdekat dengan pantai Warmon dan Jamursba Medi.

Tapi perjalanan harus dihentikan. Tak mungkin melanjutkan perjalanan karena hari menjelang senja. Kami beristirahat dan bermalam di rumah Mama Thabita,  salah satu tetua kampung dan pemilik tanah adat Pantai Jamursbamedi.  Perjalanan bersama Tim pengamatan konservasi penyu yang terdiri dari anggota LSM Lingkungan WWF, Universitas Papua dan Universitas Udayana Bali berlanjut esoknya. 
***
Misi ke Pantai Warmon yang berjarak lebih kurang 30 kilometer dari sisi timur Pantai Jamursbamedi terpaksa dibatalkan karena beresiko. Ombak terlalu besar. Sayang sekali, tapi kami harus berkompromi dengan alam dan melanjutkan rute perjalanan menuju Pantai Jamurbamedi dengan jarak tempuh sekitar dua jam. 
Tenda di Pantai Jamursba
Ya, Pantai Jamursbamedi masih alami, berpasir putih dan suhu  panas. Sangat cocok untuk tempat peneluran penyu hingga menetas dan menjadi tukik. Masyarakat Kampung Wau mengaku bahwa penyu-penyu itu sudah singgah dan bertelur di sini sejak ratusan tahun yang lalu.

Kami bergegas mendirikan tenda untuk bermalam. Ya, harus bersabar menunggu malam untuk mencari keberadaan dan mengamati penyu yang naik ke darat dan bertelur. Meski  musim peneluran berlangsung antara bulan April hingga September, penyu-penyu ini sekarang tak mudah ditemukan.

***
Sekitar pukul 22.00 WIT, kami berkumpul dan membuat kelompok atau tim. Pencarian pun dimulai dengan panduan para patroler. Kami menyusuri pasir putih yang halus di bibir pantai sepanjang 18 kilometer. Tanpa alas kaki dan hanya membawa lampu senter untuk penerangan. Cahaya bintang dan debur ombak berirama mengiringi percakapan.

Untuk memudahkan pencarian, tim menyebar di beberapa lokasi peneluran penyu di sepanjang lima kilometer pertama. Menelusuri jejak penyu ketika naik ke darat maupun kembali ke laut adalah cara yang efektif untuk menemukan keberadaan penyu.

Sekitar dua jam kami menyusuri pantai, tiba-tiba terdengar suara salah seorang patroler dari walki talkie. ”Bisa di copy..tim menemukan Penyu Lekang sedang naik.”
Kami pun langsung merapat menuju partoler yang berhasil mengidentifikasi jejak Penyu Lekang.

Penyu Lekang (dengan ’e’ di ’kentut’), jenis penyu terkecil yang terancam punah karena perburuan telurnya. Warnanya hijau tentara dan  memiliki enam pasang lempang pada tiap cangkangnya. Dibeberapa wilayah di Indonesia penyu ini masih bisa ditemui, meski populasinya kecil.

Kami pun mulai mengamati pergerakan Penyu Lekang seberat 70 kilogram yang akan bertelur. Penyu berjalan dengan sirip depan menjauhi bibir pantai untuk menentukan lokasi sarang. Kemudian dengan sirip belakang penyu mulai menggali lubang sarang sedalam 60 hingga 80 sentimeter.

Kami tak boleh berisik ketika mengamati proses peneluran sekitar 40 menit karena spesies ini sangat sensitif dengan cahaya dan suara. Makanya, selama mengamati proses peneluran, kami hanya menggunakan pencahayaan minim dan tak bersuara. Ya, saya jadi tahu kebiasaan penyu ketika membuat lubang sarang yang berbentuk bulat dan mengeluarkan telur  sebesar bola tenis meja ini. Jumlahnya berkisar antara 80 hingga 110 butir.

Penyu kemudian menutup sarang dengan pasir dengan sirip belakangnya, lalu menimbun badan dengan keempat siripnya. Tak lama kemudian,  mulai membuat sarang kamuflase atau sarang tipuan untuk mengelabuhi para predator. Manusia, biawak, anjing dan babi hutan adalah musuh mereka. Sarang penyamaran ini sebenarnya hanya berupa bekas gerakan memutar sirip depannya yang berjarak sekitar dua meter dari sarang asli.

Nah, setiap sarang ini akan ditandai tenaga patroli untuk mengetahui berapa jumlah penyu yang datang dan bertelur. Sarang ini juga dijaga dari predator alias pemangsa. Kalau perlu, sarang akan dipindahkan agar telur aman. Yang pasti, semua harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

“Kalau galian lubang sarang tidak terlalu dalam akan direlokasi karena rentan predator. Apalagi Penyu Lekang yang baru pertama kali bertelur. Ukuran sarang tidak standar dan jumlah telur sedikit,”jelas William Iwanggin, salah satu tim konservasi penyu dari Universitas Negeri Papua.
menghitung telur penyu Lekang
Tak lama kemudian, penyu’’diamankan’’ sebelum kembali ke laut. Bukan bermaksud jahat. Tim memberi penanda dengan metal tag dengan menempelkan lempengan logam berkode berukuran dua sentimeter pada bagian sirip depan. Mengambil contoh  kulit untuk dijadikan sampel genetika. Ini salah satu upaya konservasi untuk  mengetahui pergerakan dan persebaran penyu.

Pencarian berakhir dengan membawa Penyu Lekang betina ke pos pemantauan untuk pemasangan alat pemancar. Namanya Transmiter atau satelit tag. Beratnya 500 gram. Bentuknya persegi mirip dengan tikus yang dilengkapi dengan saklar otomatis yang direkatkan pada punggung penyu. Fungsinya, untuk memantau habitat penyu di daerah peneluran maupun pakannya.

***
Esoknya, anggota tim Konservasi penyu Universitas Udayana, I Made Jaya Ratha memasang transmitter di punggung Penyu Lekang untuk mengetahui jalur migrasi penyu di pantai Jamursbamedi dan Warmon.
Metode penempelan dilakukan dengan menggunakan alat perekat fiberglass atau resin. Sebelum dipasang, karapas diamplas terlebih dahulu agar bebas dari algae atau lumut. Setelah itu atasnya baru ditutup dengan resin dan fiberglass sebelum dipasang transmiter dengan menggunakan Q-cell. Pemasangan satelit ini tidak akan bertahan selamanya di punggung penyu. Biasanya hanya mampu bertahan hingga 1,5 tahun. Tapi dari situ, tim bisa mendapat banyak data sebagai pedoman. 
Setelah memasang transmitter
Menurut Jaya Ratha, penyu naik ke permukaan di spot-spot tertentu akan mengirimkan sinyal. Lokasi itu lah yang kemudian saling dihubungkan untuk dijadikan satu track atau jalur migrasi penyu hingga bisa memberikan gambaran habitat penyu.
Memang unik karena  penyu memiliki habitat pakan yang jaraknya ribuan kilometer dari pantai peneluran. ”Misalnya penyu dari Papua ini, dia cari makannya dimana, terus dia lewat jalur mana, apakah itu juga merupakan jalur penangkapan ikan. Nah, pemasangan satelit ini juga menjadi salah satu cara untuk mengidentifikasi bahaya yang ditemui penyu di perairan yang tidak bisa dipantau kasat mata,” jelas Spesialis pemasang transmitter dari Tim Konservasi Penyu Universitas Udayana ini.
Tim Konservasi Penyu Universitas Udayana menyebut,  sejak 2003 sebanyak 13 Penyu Lekang terpasang alat pemancar satelit dan mengirimkan sinyal setiap kali muncul ke permukaan.
Dari hasil pemantauan itu pun diketahui identifikasi pakan Penyu Lekang yang habitat penelurannya di Pantai Jamursbamedi dan Warmon bermigrasi atau mencari pakan di sekitar Laut Arafura, dan perairan Sulawesi.

Usaha konservasi penyu ini mulai aktif dilakukan LSM Lingkungan WWF bersama masyarakat lokal yang mendiami kawasan yang didatangi penyu-penyu untuk bertelur sejak tahun 1993.
Mama Rebeca dengan transmitter di punggung
Selama musim peneluran, 40 patroler (petugas patroli) melakukan pengamatan penyu. Mereka warga kampung Wau dan Saubeba, dua kampung terdekat dengan pantai peneluran yang dilatih untuk menjaga dan mengawasi penyu dengan imbalan insentif  sebesar Rp 1,5 juta perbulan.

Salah satunya David, warga kampung Saubeba yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Pantai Jamursbamedi. Tugasnya menyusuri bibir pantai sepanjang musim peneluran untuk mengambil data. Setiap pagi dan malam dengan berjalan kaki.  “Kami menghitung jejak penyu yang naik dan  bertelur. Juga menghitung sarang penyu yang berhasil bertelur, dirusak predator atau hanya jejaknya saja.” 
Partoler dan penyu Lekang
***
Tak hanya itu, kami juga mengamati Penyu Belimbing. Jenis spesies endemik penyu terbesar dengan panjang mencapai 1,8 meter yang masuk dalam daftar merah IUCN. Artinya statusnya amat langka. Populasinya turun drastis dalam 50 tahun terakhir ini dengan jumlah penyu betina yang bertelur diperkirakan hanya tersisa  ribuan  ekor saja. Hanya sedikit tempat di dunia yang dipilihnya untuk bertelur. Pengamatan pun kami lakukan di sepanjang pantai Jamursba medi.

Pencarian berlanjut. Seperti malam sebelumnya, kali ini kami menyusuri sisi timur Pantai Jamursbamedi dan berharap bertemu Penyu Belimbing. Penyu yang biasa dijuluki ’dinosaurus terakhir’. Ya, tak seperti penyu lainnya, penyu belimbing satu-satunya penyu terbesar yang tak memiliki cangkang. Kulit punggung tanpa cangkang bergaris-garis, menonjol, menyerupai buah belimbing. Tak heran jika penyu ini dinamai dengan nama buah. Hanya saja warnanya hitam bercak putih.

Kami menuju ke arah timur Jamursbamedi, tepatnya di kawasan Warmamedi. Jalur yang kami lalui lebih sulit karena melintasi bibir hutan. Setelah menempuh jarak sekitar lima kilometer dari pos pengamatan,  kami melihat Penyu Belimbing berukuran besar sedang naik ke pantai.

Kami menemukan satu Penyu Belimbing yang akan bertelur. Proses peneluran tidak jauh beda dengan Penyu Lekang. Sungguh pengalaman yang luar biasa dan tak terlupakan bisa menyaksikan penyu belimbing yang beratnya diperkirakan hampir setengah ton dengan telur seukuran bola biliar.
Menimbang dan mengukur tubuh Penyu Belimbing
Namun kami hanya menyaksikan proses peneluran saja karena pemasangan satelit pemancar butuh peralatan yang lebih khusus. Juga sabuk khusus yang melingkari tubuh ’’raksasanya’’. Sejak 2003, tercatat sebanyak 22 Penyu Belimbing telah dipasang transmitter.
Jenis penyu ini mempunyai kemampuan jelajah terjauh ke segala arah dalam kurun waktu setahun. Mereka bermigrasi menempuh jarak hingga enam ribu mil dari habitat asalnya di Papua.  Menyusuri Papua hingga Kepulauan Solomon, ke selatan hingga Kepulauan Kei di Maluku Tenggara, ke utara melampaui Filipina hingga ke Jepang, dan menyeberang Samudera Pasifik hingga pantai barat California.
***
Menjaga Ekosistem
Konservasi dan monitoring penyu di Papua ini tentu saja sangat penting dilakukan karena kawasan ini menjadi tempat peneluran untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dua pantai yang terletak di utara Papua ini merupakan satu-satunya tempat dengan jumlah populasi tertinggi dengan pantai peneluran yang cukup panjang. Beda dengan pantai peneluran penyu di Amerika dan India yang populasinya relatif kecil.
Sebenarnya upaya konservasi penyu di Papua ini bermula dari survei udara di Pantai Jamursbamedi di tahun 1980-an yang menemukan 250 ekor lebih penyu Belimbing dan Lekang betina datang bertelur setiap malam pada puncak musim peneluran di sepanjang 20 kilometer garis pantai. Ini menjadi titik awal betapa pentingnya pantai tersebut bagi habitat penyu.

Ya, selama 20 tahun terakhir, jumlah populasi penyu di kawasan Pasifik yang merupakan jalur padat reptil ini diperkirakan mencapai 30 ribu ekor penyu. Tapi terus menyusut hanya 13 ribu saja yang ditemukan di tahun 1984. Populasinya menurun drastis.
Dari catatan WWF Indonesia, sepanjang 2008 memperkirakan di kawasan ini hanya sekitar tiga ribuan penyu diantaranya penyu belimbing betina dewasa yang bertelur. 
Pantai peneluran
Yang jelas banyak faktor yang mengancam keberlanjutan populasi Penyu Belimbing dan Penyu Lekang di pantai utara Papua. Penyebab utamanya perburuan liar dan penggunaan jaring penangkap ikan di kawasan laut lepas. Selain itu juga predator alami penyu seperti biawak, anjing dan babi hutan. Abrasi alias pengikisan pantai, juga berperan terhadap menurunnya jumlah spesies endemik ini.

Tapi yang bikin saya terkejut bahwa ancaman terbesar keberadaan penyu adalah manusia yang mengambil telur, memakan dagingnya serta merusak wilayah pantai tempat penyu bertelur sehingga telur penyu gagal menetas.

Kepala Kampung Saubeba yang berjarak sekitar 15 kilometer dari jamursba medi, Damianus Yesawen mengaku, selain penangkapan liar yang sering terjadi di kawasan laut lepas, telur  dan penyu dimanfaatkan  masyarakat setempat sebagai bahan makanan dan mata pencaharian. Warganya masih kerap mengkonsumsi telur penyu, atau ditukar dengan kain sarung, celana. Ini dilakukan karena belum paham pentingnya pelestarian penyu.
Chistopher warga Kampung Wau juga bercerita jika dirinya sering memakan telur penyu dan menjualnya. “Untuk makan dan beli kebutuhan, tapi tidak banyak paling hanya 1 atau 2 sarang. Ambil secukupnya saja.”
“Telurnya enak bisa buat campuran makanan. Semua orang juga suka makan telur karena di daerah lain tidak ada. Kalau dijual bisa dapat Rp 500 ribu kalau di jual ke Sorong atau Manokwari. Tapi kalau di sini tidak mahal, satu atau dua butir hanya seribu,”  timpal August Yesnat.
Juga Martina Yaum masyarakat di Kampung Wau yang berada sekitar 40 kilometer dari Jamursbamedi. “Di makan dan jual. Ada yang satu noken dapat Rp 30 ribu.  Untuk beli sabun atau gula.  Ada juga kapal perintis yang datang membawa dan menjual telur,” ujarnya dengan logat khasnya.

Karena itulah Penyu Lekang dan Penyu Belimbing ditempatkan sebagai penyu laut yang paling terancam populasinya di dunia. Penyu Belimbing bahkan masuk daftar merah Serikat Internasional untuk Konservasi Sumber Daya Alam, IUCN. Masuk ke daftar ini berarti memiliki resiko punah paling tinggi. Banyaknya ancaman dalam kehidupan penyu menyebabkan tingkat keberhasilan penetasan telur penyu sangat rendah. Dari sekitar seribu telur penyu, hanya satu yang selamat hingga dewasa. Begitu juga dengan penyu Lekang yang saat ini statusnya terancam punah. 
Padahal, kawasan pantai di sepanjang kepala burung Papua merupakan salah satu tempat peneluran terakhir Penyu Lekang dan Belimbing. Di kawasan lainnya seperti Malaysia dan Meksiko tercatat makin sedikit penyu betina yang kembali ke kawasan pantai untuk bertelur.
***
Kawasan Khusus
Pelestarian Penyu Belimbing dan Penyu Lekang tidak hanya punya arti penting bagi ekosistem laut, tapi juga manusia dan industri nelayan. Sebagai pemangsa ubur-ubur, kedua  penyu ini dianggap mampu mengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di laut. Bayangkan, jika populasi ubur-ubur berlebih ini memangsa larva ikan. Dampaknya tentu saja akan mengancam populasi ikan.
Karena itu untuk menjaga habitat penyu agar tetap lestari, pemerintah setempat sepakat untuk menjadikan dua situs peneluran  yakni Jamursbamedi dan Warmon sebagai kawasan khusus yang penting bagi keberlanjutan penyu dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun yang secara admintratif terletak dalam wilayah Distrik Sausapor dan Distrik Abun, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Penetapan ini diperkuat dalam SK Bupati Sorong No.142/ 2005 yang menetapkan kawasan laut dan pesisir Distrik Abun sebagai KKLD dengan luas pantai mencapai 169 ribu hektar, dan lima kilometer dari garis pantai ke darat.

Di KKLD Abun
Kawasan yang sebelumnya masuk dalam ranah Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Papua I Sorong sebagai kawasan suaka margasatwa ini menjadi  salah satu KKLD di pulau Papua yang memiliki spesifikasi khusus,  yakni penetapan kawasan peneluran penyu Belimbing terbesar di Pasifik. Dengan begitu, perlindungan terhadap kawasan perairan sebagai rute migrasi dan perlindungan terhadap kawasan pantai dan hutan disekitarnya menjadi prioritas.
“Untuk memastikan perlindungan pantai peneluran agar populasi penyu di Pasifik tetap stabil atau meningkat,” jelas Kasi Konservasi dan Pesisir pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong, Linder Rouw.

Bahkan untuk mencuri perhatian dan mencari dukungan internasional terhadap pelestarian tempat hidup Penyu Lekang dan Penyu Belimbing, KKLD Abun, Papua Barat dideklarasikan saat Konferensi Kelautan Dunia World Ocean Conference (WOC) di Manado pertengahan Mei 2009 lalu.  Sehingga masyarakat internasional bisa melihat pentingnya Kawasan Konservasi Abun di Papua sebagai salah satu kawasan peneluran penyu terbesar di pasifik. Tujuannya agar semua ikut menjaga dan melestarikan jenis penyu dari kepunahan.

“Penyu di Jamursbamedi cukup banyak, tapi satu tahun bisa kehilangan ribuan tukik karena yang selamat hanya 10 atau 15 tukik.  Kalau tidak diperhatikan lama-lama bisa punah.  Jadi bagaimana bisa selamat, semua bisa ikut menyelamatkan tukik supaya berkembang disini,” ungkap Kepala Kampung Saubeba Daminaus Yesawen.

Ya, Pantai Jamursbamedi dan Warmon menjadi harapan untuk mempertahankan keberlanjutan penyu dari kepunahan. Semoga saja upaya ini terus berlangsung hingga berdampak pada perubahan perilaku dan kesadaran masyarakat untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut dunia.
Dan perlindungan tidak  hanya bagi Penyu Lekang dan Penyu Belimbing saja karena sebenarnya Indonesia juga menjadi rumah bagi enam dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia. 


Jadi, mari kita lindungi!!

Behind the scenes
greattraveling 
Its me, kecoak pengembara
Nggak melewatkan pemandangan
Bersama anak-anak Kampung Wau
Ini nih penyu Lekang
bayangin tuh segede apa telurnya
Nemu cangkang penyu
santapan malam, baby gurita
Menunggu daging rusa matang di Sausapur


mari makan baby gurita bakar, maknyuus

mengikuti Rebeca kembali ke laut
dengan Om Bethuel, bapak penyu
Post by Non
pics from personal n WWF team