Pages

Minggu, 13 Februari 2011

Warok Suromenggolo-Suminten Edan

Deutsche Welle
15.12.10

Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Lewat kethoprak

Pagelaran kethoprak yang digagasi Aliansi We Can ini mengusung judul “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Sebuah metode kampanye yang digagas pegiat isu perempuan. Tujuannya, untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku setiap individu secara berantai untuk menghasilkan sebuah gerakan sosial yang mampu menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pelaksana Program Kampanye We Can, Ninik Jumoenita  mengatakan, kentalnya budaya di masyarakat juga menjadi penyebab masih banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dimasyarakat. Data Komnas Perempuan tahun 2009 menyebut, terjadi kenaikan angka kasus kekerasan terhadap perempuan hingga 260 persen lebih, dari 54 ribu menjadi 140 ribu kasus. Karena itu, diperlukan kampanye aktif dalam bentuk apa pun, termasuk kampanye melalui jalur budaya.

”Kita tidak akan memerangi pelaku dalam konteks secara frontal, tapi kita lebih melakukan dengan pendekatan positif. Kami melihat bahwa budaya itu mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Budaya itu juga berkontribusi untk melanggengkan budaya patriarki. Ketika misalnya kepercayaan yang mereka anut perempuan itu adalah makluk sub ordinat berdampak pada terjadinya kekerasan. Kalau saja budaya ini yang digemari masyarakat bisa mempengaruhi perspektif  cara berpikir masyarakat harapannya bisa berefek domino. Melalui pagelaran-pagelaran seperti ini kampanye We Can  atau nilai-nilai untuk hentikan  kekerasan terhadap perempuan ini akan tertular lebih banyak dalam tingkat pembangunan awarness.”

Sanggar  ketoprak Widya Budaya tampil bersama pegiat isu perempuan dalam ketophrak “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Ketophrak ini antara lain bercerita tentang nasib dua perempuan. Cempluk Warsiyah, yang mengalami kekerasan fisik dari Surogentho karena menolak diperistri dan Suminten yang mengalami kekerasan secara psikis. Dia menderita hingga hilang ingatan karena rencana pernikahannya dengan anak adipati Trenggalek, Raden Mas Subrata dibatalkan secara sepihak. Calon suami yang dijodohkan kedua orangtuanya itu lebih memilih Cempluk, sepupunya. Anak dari warok Suromenggolo.

Lakon ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan” diadaptasi dari babad atau cerita tutur masyarakat yang sering dimainkan dalam kesenian tradisional yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Isinya kritik atas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dimasa lalu, baik kekerasan fisik maupun psikis.

Lakon ini mengisahkan masih kentalnya budaya patriarki kala itu, yang digambarkan dari sikap para warok atau tokoh masyarakat yang disegani, yakni suromengolo dan surobangsat.  Mereka sering bersikap sewenang-wenang, termasuk merenggut hak atas diri anak perempuan mereka Suminten dan Cempluk untuk menentukan hidupnya.

Kisah ini sebenarnya ingin menuturkan masih banyak kekerasan fisik dan psikis terhadap perempuan. Sehingga dengan menunjukkan pesan moral tersebut, penonton menyadari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Setidaknya itu pesan yang ingin disampaikan Rakun, sutradara ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan”.

Ada kaitan dengan ”We Can Indonesia” seperti ketika adipati Trenggalek mencoba pemaksaan anaknya untuk dinikahkan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, Suminten yang sudah diberitahu akan dinikahkan ternyata tidak jadi, kita anggap satu tindakan kekerasan psikis. Adegan Surogentho yang sekarang ini juga sering terjadi bahwa kekerasan dilakukan oleh orang terdekat. Cempluk Warsiyah dan Gentho.  Dari teman sepermainan itu mencoba melakukan pemerkosaan. Jadi gambaran itulah diharapkan tidak harus terjadi dan perlu dicegah. Kita munculkan solusi. Jadi ketika ada adegan kekerasan ada yang menjelaskan Itu adalah pelanggaran. Disitulah pesan kepada masyarakat. ”

Pagelaran ketoprak selama dua setengah jam, memukau penonton. Salah satunya Dyah Ayu, mahasiswi Universitas Diponegoro Semarang.

”Sumintennya itu, dia aktingnya total banget, semua bagus. Kayak kethoprak, wayang orang, sebetulnya aku dari kecil suka. Banyak pelajaran, pesen tapi tidak terkesannya menggurui, daripada baca teks buku, apalagi dengerin orang pidato kayak gitu males. Kayak gini kayaknya lebih mengena. Oh yaa..yaa.. jadi mikir. Jadi kalau pesen-pesen yang diselipin kayak kekerasan terhadap perempuan, kadang kita tidak menyadari perempuan jadi kayak benda, tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Jadi semua tergantung dari orang tua, dari orang-orang disekitarnya.  Tidak bisa independen.”

Direktur lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH APIK Semarang, Soka Hardinah Katjasungkana menilai, pesan yang disampaikan melalui seni pertunjukan lebih mudah diserap sehingga cukup efektif sebagai alat  kampanye. Termasuk dalam kampanye yang mengangkat isu perempuan.

”Media kesenian tradisional ini sangat efektif untuk bisa menyasar kepada masyarakat. Karena selama ini kesenian tradisional ternyata masih dipilih sebagai hiburan mereka. Jadi kalo  materi pesannya dimasukkan kesenian yang masih dimnati oleh masyarakat, kami anggap ini nanti  akan bermanfaat untuk penyebaran nilai-nilai anti kekerasan terhadap perempuan.”

Sabtu, 12 Februari 2011

Milas: Mimpi Lama Sekali

Politik dan Masyarakat
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
12.02.2011

Milas: Alternatif Pengentasan Pengangguran

Jumlah anak jalanan dan remaja putus sekolah terus meningkat di kota-kota besar Indonesia. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional kerjasama BPS dan pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Pusdatin Kesos tahun 2002 menyebut, jumlah anak jalanan hampir 95 ribu anak. Meningkat 100 % lebih dibandingkan angka tahun 1998.

Tidak mudah mengentaskan mereka lepas dari kemiskinan dan hidup dijalan. Tapi inilah yang dilakukan Milas Yogyakarta, sebuah inisiasi sekumpulan orang yang menyediakan ruang bagi mereka untuk mendapat kehidupan lebih baik. Salah satu caranya dengan pemberdayaan melalui pelatihan ketrampilan di sanggar kerajinan Milas.

Dalam Politik dan Masyarakat kali ini, saya, Noni Arni, berkunjung ke Prawirotaman Yogjakarta untuk melihat seperti apa aktivitas Milas, yang lebih dikenal masyarakat sebagai tempat makan yang menyajikan menu khusus vegetarian.

”Lulus SMP nggak punya biaya, dulu sempet kerja di rumah tangga, ikut sales. Pengen cari uang, udah capek nggak dapet duit.Sehari cuman dikasih 3 ribu. Terus ada yang nyari anak-anak putus sekolah, mau nggak kalau kursus kerajinan. Terus aku ikut di lembaga itu. Programnya udah selesai, terus ditawari gimana kalau masuk ke milas aja ikut belajar lagi. Ingin mendalami kerajinan,.”

Ana mengingat pertemuannya dengan sanggar kerajinan Milas 6 tahun lalu, ketika ia putus asa dengan kehidupan yang dilakoninya. Tawaran belajar ketrampilanpun diterima.

”Belajar tapi dikasih transport. Banyak sekali, macem-macem pelajarannya. Bisa cari uang sendiri. Kalau dulu cuman maen, sekarang disini kalau udah satu tahun udah produksi. Temen-temen masih belajar pertama dikasih transport 10 ribu, nanti beberapa bulan tambah lagi. Bikin buku, atau map. Kamu harus belajar caranya mengukur yang bener, nge-lem yang bener. Nanti kalau kualiti kontrol udah bagus bisa tingkat tinggi lagi. Sudah bisa produksi nanti transportnya ditambah 20 ribu, itu yang digaleri udah bisa bikin. Jadi kalau belajar harus telaten. ”

Kini Ana tidak hanya mahir membuat barang kerajinan tangan, tapi juga mendampingi mereka yang belajar di sanggar Milas. Bahkan Kegiatannya ini menghasilkan rupiah untuk menghidupi suami dan anaknya yang berusia 3,5 tahun.

Selain Ana, ada Febri. Siang itu, ia sedang asyik membuat mainan anak sambil ditemani suara gesekan amplasnya yang beradu dengan merdu Katon Bagaskara dari sebuah radio kecil. Remaja berusia 17 tahun ini tak mampu melanjutkan sekolah.
”Udah nggak sekolah. Ya tertarik dari pada dirumah nggak ada hiburan, cuman main-main di rumah.“

Meski baru 3 bulan, ia merasa betah bergabung di sanggar kerajinan yang terletak di bagian belakang restoran vegetarian Milas. “Suasananya enak. Ada temen-temen nanti kalau nggak bisa bisa dibantu, nanya. Hasilnya ini dimasukan ke galeri. Diajarin bikin tempelan kulkas, gantungan kunci.”

Salah satu pengelola Milas, Kartika Wijayanti mengatakan, mereka dibimbing agar produktif dan menghasilkan berbagai kerajinan berkualitas. Hasilnya dijual di galeri milik Milas yang berada di satu lokasi dengan sanggar dan restoran.

”Ada temen-temen yang kasih materi. Bikin kertas daur ulang, kerajinan kalung, tas jahit dan itu dijual ke galeri. Sejak dulu galeri berfungsi untuk menjual barang-barang kerajinan hasil temen-temen yang disanggar itu. Akhirnya berubah bentuk. Bukan rumah singgah tapi sanggar. Sanggar produksi, sanggar bikin kerajinan tapi dari temen-temen yang dulu di jalan. Temen-temen yang putus sekolahpun diajakin kesini bisa.”

Sebenarnya tidak hanya Ana dan Febri. Di sanggar kerajinan Milas ini juga terdapat puluhan orang yang belajar ketrampilan membuat barang kerajinan tangan. Belajar 4 hari dalam seminggu, mulai pukul 9 hingga 4 sore.

Mereka ini adalah penghuni sanggar Milas. Sebuah tempat yang menampung anak jalanan dan remaja putus sekolah yang tertarik untuk belajar berbagai ketrampilan. Diantaranya membuat aneka mainan anak, figura, aksesoris, tas, dompet dan kerajinan daur ulang.

Sanggar kerajinan Milas terbentuk melalui proses yang panjang. Kartika Wijayanti menjelaskan, gagasan awal pendirian Milas bermula dari kepedulian sekumpulan orang terhadap nasib anak-anak jalanan dan remaja putus sekolah di Yogjakarta.

”Dulu Sebenarnya rumah singgah, pendirinya aktif di pendampingan anak jalanan. Rumahnya dibuka, anak-anak jalanan silahkan dateng. Memang disediain sarana mandi, cuci, kasus, untuk membersihkan diri.“

Selain mendapatkan pelatihan ketrampilan disanggar Milas, seperti menjahit dan membuat kerajinan tangan, mereka juga mendapat pendampingan berupa pengetahuan tentang kesehatan, ketrampilan hidup, dan konseling informasi.

”Selain mereka datang untuk mandi, membersihkan diri, mencuci baju, ikut workshop aids, ikut tes hiv aid juga, mereka juga diajari workshop kerajinan. Terus ada workshop kerajinan yang akhirnya berkembang menjadi bengkel kerajinan. Supaya mereka tahu ada cara hidup lain yang tidak hanya dijalan. ”

Mereka belajar ketrampilan tanpa dipungut biaya, dengan jangka waktu maksimal 2 tahun.

”Kalau kelamaan disini juga ke-enakan, terlalu nyaman disini karena bisa langsung dijual disini, kalau diluar mereka harus berjuang kan. Barangnya bisa masuk ke tempat jualannya, misalnya jualan ke galeri mana ke tempat turis mana kan harus dilihat dulu.”

Yang sudah selesai belajarpun dibebaskan untuk berkembang dan membuka usaha sendiri. Sejak Milas berdiri tahun 1997, sudah tak terhitung lagi mereka yang berhasil mengembangkan diri.

” Dalam tanda kutip lulusan sanggar sudah ada yang menikah, punya usaha sendiri. Ikut sanggar dari dia masih muda sampai sekarang, dia sudah bisa jahit. Mereka memasarkan, diajari supaya setelah dari milas mereka bisa jualan sendiri, cari celah sendiri.”

Milas singkatan dari ”Mimpi Lama Sekali”. Mimpi para pendirinya, untuk mewujudkan seluruh ide membangun "Dunia yang Lebih baik" yang fokus pada pendidikan, kesehatan dan lingkungan.

Selain sanggar dan galeri kerajinan, ide Milas dikembangkan melalui usaha restoran vegetarian dan sekolah hijau untuk anak-anak pra-sekolah.

”Visi misinya Milas, lingkungan, pendidikan, kesehatan. Untuk lingkungan adalah dengan adanya dunia yang serba cepat dunia fast food atau apapun namanya juga harus diimbangi dengan model yang lebih pelan. Yang Milas bisa ya seperti ini, makananya juga dimasak lama sekali. Kalau di restonya pengejawantahannya dari sisi kesehatan adalah dengan memperkenalkan menu vegetarian itu nggak hanya makan sayur dan sayur dan tidak menarik. Dari sisi kesehatan, dari sekolah adalah memperkenalkan bahwa makanan-makanan yang dikonsumsi anak-anak sekarang itu nggak bagus, dari sisi lingkungan disini bisa anda temui misalnya kalau makan disini tidak ada pipet, tidak ada plastik, diganti dengan tas. Itu juga nanti mengerucut di bengkel produksi itu, penghasilannya dari itu, misalnya salah satu permainan harganya bisa seratusan lebih karena handmade.”

Berbeda dengan sebuah lembaga, pengelolaan Milas dilakukan secara swadaya dan donasi dari orang-orang yang peduli dengan aktivitas Milas.

”Dana swadaya dari para pendiri, jadi modelnya saling mendonasi, apalagi setelah ada resto keuntungan restonya itu juga dibagi, disisihkan untuk mensuplai. Dari teman, uangnya dari temen ke temen, jadi lewat programnya, misalnya orang selalu datang kesini boleh nggak kalau saya donasikan ke Milas karena saya suka dengan kegiatannya Milas. Seperti itu sebenarnya.”

Karena itu, Milas menjalankan prinsip nirlaba. Keuntungan dari restoran dan penjualan kerajinan termasuk donasi digunakan untuk mendukung program peningkatan kesadaran lingkungan, kesehatan dan pendidikan.

Tujuannya, tak lain untuk membangun kesadaran dan menawarkan pilihan yang lebih baik pada lingkungan sekitar.

Sanggar Milas memang bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengajak anak jalanan dan remaja putus sekolah menjadi produktif sehingga meningkatkan taraf hidupnya. Upaya semacam ini sudah selayaknya diikuti siapa saja yang peduli dengan generasi muda yang kurang beruntung.

Pendengar, demikian kunjungan ke sanggar Milas di Prawirotaman Yogyakarta, saya Noni Arni, salam.