Pages

Rabu, 26 September 2012

Memutar Mesin Waktu Peradaban Jawa

Sepatu treking, tas punggung, jaket, dan buku panduan menuju masa lalu yang belum sempat terbaca menemani perjalanan saya. Sudah lama saya mengimpikan perjalanan yang mirip-mirip memasuki "mesin waktu", ke masa lalu.


Jadi, gerimis pagi pun bukan halangan buat saya mengikuti rombongan fieldtrip geo heritage “Jogja Riwayatmu Dulu“ untuk mengulik sejarah pulau Jawa yang digagas Fakultas Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta dengan panitia Biennale XII.
Pukul 08.00, saya dan 20 orang dari berbagai kota meninggalkan pusat kota Yogyakarta dengan shuttle bus menuju Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto Berbah, Sleman. Tepatnya, di bibir sungai Opak inilah pintu gerbang kami memulai petualangan ke masa 60 juta tahun lalu.


Prasetyadi, ketua rombongan, mengajak kami menyusuri Sungai Opak yang alirannya cukup deras karena hujan semalam. “Kita sudah berada di waktu sekitar 53-40 juta tahun yang lalu,” ucapnya.

Hah, secepat itu dan kami tak menyadari mesin waktu telah berputar. Sebelum kami terperangah ucapannya, doktor geologi dari UPN Veteran Yogyakarta itu meminta kami memperhatikan lokasi tempat kami berdiri. Bongkahan batu besar berwarna hitam mengilat di bibir sungai yang strukturnya menyerupai ban tal. Batu yang menjadi tumpuan kaki sejak tadi inilah yang membawa kami ke masa itu.

Ya, menurutnya, batuan yang kami injak itu sebenarnya merupakan lava cair bersuhu tinggi hasil erupsi gunung api yang membeku cepat karena air hingga membentuk gumpalan menyerupai bantal.

Lava bantal (pillow lava) yang tersingkap oleh gerusan aliran Sungai Opak tentu saja menjadi fenomena alam sangat menarik dan penting karena bukti ini menunjukkan proses awal pembentukan gunung api purba pertama di Jawa. Batuan seperti ini hanya bisa ditemui di beberapa tempat dibagian selatan Jawa, seperti Bayat (Klaten), Pacitan (Jatim), dan Jampang (Jabar). “Gunung api purba berada di bawah laut. Jadi yang kita injak ini dulunya dasar laut dan lava bantal berfungsi sebagai penopangnya,“ imbuhnya.

Lava Bantal

 Ia juga menunjukkan fenomena alam lain di depan kami. Bebatuan berlapis-lapis berwarna putih keabuabuan terang yang berada di sisi seberang sungai hasil endapan debu vulkanis dari erupsi gunung api strato (kerucut). Lapisan debu vulkanis yang sangat tebal ini menandai periode masa kejayaan gunung api purba 36 juta tahun lalu.


Hanya dengan berdiri selama 30 menit, kami menyaksikan dua fase pembentukan gunung api. Yakni fase keluar lava dan letusan debu vulkanik. Tapi jangan salah, meskipun batuan itu berdekatan, jeda peristiwanya mencapai ribuan tahun.


***
RASA penasaran kami untuk melihat kehebatan letusan gunung api purba pada saat itu ditunjukkan ketika Prasetyadi membawa kami ke daerah pertambangan di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan. Lokasinya tak jauh dari kompleks Candi Ijo.


Di tempat ini kami menyaksikan hamparan bukit bebatuan putih berlapis kehitaman karena cuaca. Ketinggiannya sekitar 60 meter. Puncak perbukitan ini mencapai 300 meter dengan ketebalan 250 meter. Di beberapa sisi nampak penambang tradisional melakukan aktivitas penambangan. Mereka ini masyarakat sekitar. Hamparan perbukitan ini adalah bekas tumbukan debu vulkanis erupsi super Semilir gunung api purba yang mahadahsyat sekitar 36-30 juta tahun lalu. Material, hamparan, dan ketebalan erupsi mencapai puluhan kilometer.


Meski nampak kokoh, batuan ini tidak seberat yang dibayangkan. Ringan sekali seperti batu apung dan mudah retak. Struktur batuan di bukit ini makin ke atas semakin halus dan berwarna kuning kecokelatan.
Tentu saja bukan sembarang bukit. Ini bukti episode katastropik atau merusak diri dari gunung api strato yang tadi diceritakan di lava bantal. Seperti karakteristik gunung api pada umumnya, gunung api strato Semilir tak kuat menahan tekanan magma yang semakin besar maka akan menghancurkan diri dengan cara erupsi.




Untuk membuktikan ketebalan endapan debu vulkanik hasil erupsi super Semilir ini, mesin waktu kami berpindah ke daerah Jurang Jero di perbatasan Klaten-Gunung Kidul untuk melihat fenomena yang sama seperti di perbukitan Sambirejo.

Batuan sisa-sisa Semilir super vulkano ini bisa dilihat sampai ke Jawa Timur. Jarak puluhan kilometer yang memisahkan dua tempat ini menajadi bukti kedahsyatan erupsi Semilir waktu itu tak kalah dengan Danau Toba 74 juta tahun lalu.


Bebatuan yang kami saksikan ini tentu saja hanya sedikit dari bekas kaldera Semilir. Menurut Prasetyadi, bentuknya mirip dengan Gunung Bromo yang memiliki batuan serupa dengan bentuk ring yang masih jelas. Namun, di mana posisi tepatnya gunung api purba waktu itu para geologis masih melacaknya karena yang bisa kita ketahui hanya hasil aktivitasnya berupa tumpukan debu vulkanis yang sangat tebal.


Jejak masa kejayaan gunung api purba juga kami temui di situs gunung api Nglanggran di kawasan Piyungan Yogyakarta. Tempat ini memang sudah dikenal sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan. Di lokasi ini terdapat batu dengan ukuran superbesar dan bukit menjulang tinggi berwarna kehitaman. Dalam istilah geologi, batu dan bukit yang disebut bomb atau aglomerat ini adalah lontaran lava hasil erupsi gunung api purba sekitar 36 juta tahun lalu. Situs Nglanggaran ini mempunyai peristiwa yang sama dengan letusan Gunung Rakata yang muncul dari kaldera Gunung Krakatau. 


***
SIKLUS alam yang berganti ternyata juga memengaruhi peradaban gunung api purba dan berganti dengan zaman baru tanpa gunung api. Untuk membuktikan teori itu, mesin waktu kami berputar lebih cepat ke masa 16 juta tahun lalu menuju kawasan Sambipitu Wonosari. 


Platform atau paparan berbentuk bentang alam lanskap di Wonosari dengan ketinggian hampir 300 di atas permukaan laut (dpl) ini merupakan bukti zaman keemasan kehidupan laut yang bersih seperti koral, terumbu karang, berbagai jenis fauna kecil, binatang laut, dan kerang-kerang kecil pada era itu. Bahkan jika dianalogikan, dahulu wilayah ini sama dengan Great Barrier Reef di lautan timur Australia. 


Kami menemukan singkapan geologis berupa batu gamping yang mengandung fosil terumbu dan berbagai jenis fauna kecil. Ini menunjukkan keberadaan daerah selatan Yogyakarta belasan juta tahun lalu merupakan dasar laut yang bersih. Terumbu hidup dengan baik di masa ini tanpa debu vulkanik yang menandai habisnya periode gunung api di era ini. Gunung api yang kami temui sebelumnya sudah tidak aktif lagi. Dan jika sekarang ini menjadi daratan Gunung Kidul karena karst formasi Wonosari terangkat ke atas oleh desakan lempeng Australia. 


Umur pulau Jawa yang masih terekam peneliti memiliki batuan tertua berusia 96 jtua tahun lalu. Dan kami diajak menguak lembaran-lembaran sejarah yang dulu merupakan gabungan dari dua lempeng benua yaitu mikrokontinen Jawa Timur dan paparan Sunda. 


Lantas, jika hasil erupsi super Semilir ini menjadi tulang punggung pulau Jawa, lalu di manakah pondasi Pulau Jawa? Meskipun tidak terkait dengan gunung api, bukti temuan ini juga sangat penting untuk menyatukan keping cerita pembentukan Pulau Jawa. 


Singkapan Geologis
Pertanyaan itu yang membuat mesin waktu kami kembali ke belakang lagi dan bergeser ke wilayah perbukitan terisolasi di perbukitan Jiwo. Tepatnya, dusun Gunung Gajah, Desa Watu Prau Jiwo Barat dan Dusun Sekar Bolo Jiwo Timur, Bayat, Klaten untuk melihat singkapan geologis melalui susunan batuan yang terbentuk sekitar 66 juta tahun lalu. 


Di kawasan tersebut ditemukan beberapa situs bebatuan yang mewakili suatu kejadian geologi ketika Pulau Jawa masih berupa daratan tanpa gunung api dengan sungai-sungai di tepi laut dangkal.
Itu misalnya ditemukan pada batuan sedimen konglomerat yang usianya lebih tua dari peristiwa gunung api purba dan batuan metamor yang menjadi penanda masa awal pembentukan Pulau Jawa yang berbentuk lembaran tipis seperti filet. Warnanya hitam dan mudah hancur. Letaknya persis di samping rumah salah seorang warga berupa gundukan tanah setinggi tiga meter baru terkepras. 




Salah seorang dari rombongan menguji dengan meneteskan asam klorida (HCL) di batuan hingga muncul buih untuk membuktikan bahwa itu batuan karbonet. ”Tempat ini adalah tempat wajib mahasiswa geologi dari berbagai universitas di Jawa karena tempat ini istimewa,” kata Prasetyadi. 


Ya, di kawasan ini, periode sejarah geologi Pulau Jawa bisa ditemukan jejaknya untuk dipelajari.
Tempat ini berdekatan sekali dengan tiga periode yang sudah disebutkan. Di sisi utara yang menjadi masa awal pembentukan Pulau Jawa yang ditandai dengan bebatuan tertua berumur 60 juta tahun lalu. Kemudian masa sebelum kejayaan gunung api purba dan perbukitan Pendul sisi selatan yang masuk kelompok Semilir menandai masa kejayaan gunung api purba. 


Sebuah cerita warisan geologi yang luar biasa komplet tentang perkembangan sejarah Jawa yang terjadi 60 juta tahun yang bisa dinikmati hanya dalam sehari tanpa mengalami jetleg ini tentu saja bisa mengajarkan kita untuk bijaksana dalam menyikapi ancaman geologi yang sedang terjadi. 


Dan siapa tahu geoheritage ini bisa dikemas menjadi wisata alternatif minat khusus yang potensial, sekaligus mengedukasi masyarakat bahwa proses alam yang utuh termasuk bencana kebumian di masa lampau tentu saja merupakan satu mata rantai yang tak terputus dari peristiwa geologi sekarang seperti terjadinya gampa dan letusan gunung berapi. Di luar itu, geoheritage sebenarnya adalah upaya mitigasi bencana.

(Non)

Menapak di batu tertua di Jawa