Pages

Tampilkan postingan dengan label perempuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perempuan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Januari 2022

Suara “Kartini” Digital

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sebuah era yang dinamakan sebagai era ”new media”.

Dalam catatan McQuail (2010:141), perubahan penting dalam perkembangan itu nampak dari digitalisasi dan konvergensi semua aspek dari media, meningkatnya interaktivitas dan konektivitas jejaring, mobilitas dan delokasi pengiriman dan penerimaan pesan, adaptasi publikasi dan peran-peran khalayak, hingga munculnya beragam bentuk baru dari media gateway dan kaburnya institusi media.

Tak lagi hanya menjadi pustaka raksasa, internet memberi kemudahan bagi setiap orang untuk  saling berinteraksi, berbagi ide dan menyuarakan pendapatnya dengan cepat, mudah, serta massif. Mulai dari hal-hal keseharian hingga urusan negara.

Internetpun bertransformasi menjadi ruang publik ideal untuk bebas bersuara. Bukan lagi seperti Kartini yang di jamannya begitu sulit berekspresi. Dia hanya bisa menyuarakan gagasannya melalui surat kepada sahabatnya. Juga tidak melulu menggunakan cara-cara konvensional dengan menggelar aksi demo menuntut kesetaraan gender, penyelesaian kasus kekerasan perempuan atau menyewa kebaya agar bisa seperti “Kartini” untuk ikut dalam perlombaan di kantor.

Perubahan jaman di era digital menyulap gagasan dan semangat Raden Ajeng Kartini untuk mengajak perempuan mengubah cara bersuara dalam ruang publik (public sphere) seperti yang dikemukakan Jurgen Habermas itu menjadi sarana gerakan sosial (sosial movement) yang mengglobal.

Perempuan pun semakin berani menunjukkan diri dan unjuk gigi membentuk opini publik untuk  mengkampanyekan dan mewujudkan berbagai isu sosial, kemanusiaan, buruh, HIV/AIDS, lingkungan, politik dan Hak Asasi Manusia pada sebuah perubahan dan tindakan nyata.  Digitalisasi berhasil mengubah peran perempuan dan internet sebagai agen perubahan (agents of change) pada level of change tingkat global.

Siapa Saja

Sebut saja Melanie Subono, aktris Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini menjadi pegiat isu kemanusiaan dan lingkungan. Dia terbilang rajin membuat petisi melalui change.org, sebuah platform petisi daring terbesar di dunia yang sudah diakses 96 juta lebih warga dunia di 196 negara  ini memang dinilai efektif dan banyak dimanfaatkan untuk memberdayakan orang di mana pun untuk bersuara dan mengajak penghuni dunia peduli terhadap setiap isu yang digulirkan baik  secara lokal, nasional dan global. Petisi untuk menggerakkan dukungan public yang bisa dimulai hanya dari satu orang.

Seperti petisi berjudul #Demi Rembang dalam laman change.org untuk membantu perjuangan warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen. Selain terjun langsung memberikan bantuan, petisi daring juga dibuat untuk menggalang upaya penyelamatan nasib satwa di Kebun Binatang Surabaya (KBS), mengkampanyekan Save Turtle, hingga memperjuangkan nasib buruh migran Indonesia yang di eksekusi mati.

Melani juga membuat petisi dengan mengumpulkan dukungan sebanyak mungkin untuk menuntut Komisi III menggagalkan pencalonan Daming Sanusi sebagai hakim agung karena tidak sensitif gender dan melalui pernyataannya yang seolah membela “pemerkosa”. Melanie memanfaatkan akun twitter pribadinya untuk mengajak followers-nya menandatangani petisi yang dibuatnya.

Riyanni Djangkaru bersuara untuk penyelamatan satwa langka berbagai jenis hiu dengan kampanye Save Sharks Indonesia (savesharksindonesia.org), melalui jejaring sosial. Serta membuat petisi daring untuk menuntut dan mengajak maskapai penerbangan di Indonesia agar menolak mengangkut sirip hiu ke luar negeri.

Efeknya nyata dari sebuah gagasan juga dibuktikan Valencia Mieke Randa dan Ina Madjidhan. Dengan menggunakan media sosial twitter @Blood4lifeID dan komunitas Three Little Angel , keduanya berjibaku tiap malam mendapatkan donor darah, penggalangan donasi dan pendampingan untuk menjembatani anak-anak berpenyakit kronis.

Suciwati, istri pejuang HAM Munir Said Thalib menuntu penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia dengan membuat petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Sosok Mia Sutanto patut diapresiasi karena berhasil menginisiasi para ibu di Indonesia melalui Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia dengan menciptakan relasi di dunia maya.  Irawati Harsono berani membuat petisi yang ditujukan kepada Kapolri Jendral Sutarman untuk menghapus tes kesehatan vagina/keperawanan pada rekrutmen Polwan.

Angela Sutandar mendapat 85 ribu lebih dukungan melalui petisi yang ditujukan kepada Gubernur/Sultan Yogyakarta agar membantu menghentikan kekejaman perdagangan anjing untuk konsumsi. Juga Prita Mulyasari yang pernah tersandung perseteruan dengan Rumah Sakit Omni Internasional yang membuat petisi untuk meminta Menkoinfo mengubah UU ITE dan kebebasan berekspresi.

Perempuan berani bersuara untuk melawan koruptor melalui Gerakan Perempuan Anti Korupsi dan Diskriminasi (GPAKD) yang dimulai dengan memasang foto profile di media sosial. Hingga Gerakan “Perempuan Indonesia Mendengar”, gerakan dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan yang bersifat user generated pada siapapun untuk mendengarkan dan memberikan inspirasi serta konsultasi.

Ketika bersuara dengan menggerakkan dukungan dari internet lewat media sosial seperti Facebook, Blackberry Messanger, Google, Blog Twitter, dan change.org, perempuan dari mana saja dan apapun profesinya mempunyai kesempatan sama untuk memulai sebuah kampanye dan menggalang ribuan orang secara lokal atau di seluruh dunia untuk membuat perbedaan, perubahan dan menginspirasi semua orang

Kini, suara nyaring perempuan dalam cyber movement terus bermunculan untuk mengajak pada perubahan yang lebih baik. Tapi, di sisi lain, kita juga tidak bisa memalingkan muka pada suara “sumbang” di dunia maya yang berevolusi menjadi nyata seperti kisah Tata Chubby.* (Noni Arnee)

Rabu, 05 Januari 2022

Perempuan itu (Bukan) Liyan

22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Hari yang menurut Wikipedia sebagai  peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Beragam cara diekspresikan untuk “menjunjung” ibu hingga uforia membebastugaskankan kewajiban ibu dari tugas domestiknya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Jujur saja, saya tergelitik melihat perbedaan perempuan dan laki-laki dengan mempertanyakan, “Apakah gender tumbuh sebagai ekses dari jenis kelamin dan menjadi suatu pemaksaan kebudayaan yang arbitrer terhadap suatu penentu jenis kelamin?.”

Kewajiban domestik yang disematkan ibu. Siapa yang menganggap itu sebagai kewajiban? Apa peran itu hanya untuk perempuan? Mungkin saja sebagain besar akan menjawab “iya”. Lantas, dimanakah posisi laki-laki dalam ranah domestik?

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada Kabinet Kerja, Yuddy Chrisnandi seolah semakin memeruncing pertanyaan saya dengan mengamini kekhawatiran Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap masa depan generasi bangsa dengan memangkas dua jam kerja Pekerja Negeri Sipil (PNS) perempuan yang memiliki balita hingga anak usia SD.

Betapa mulianya menteri bergelar  Doktor memikirkan nasib perempuan agar tidak melupakan anak dengan menjembatani antara kewajiban sebagai pelayan publik dan kewajiban sebagai seorang ibu yang harus memberikan belaian kasih sayang kepada anaknya sehingga meminta seluruh kantor/ instansi penyelenggaraan pemerintahan di pusat hingga daerah dapat menerapkan aturan ini.

Perbedaan fungsi laki-laki dan perempuan seolah semakin menjadi penegas ranah domestik. Seperti halnya ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya di konferensi perempuan di Istanbul yang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak bisa ditempatkan pada pijakan yang sama karena  bertentangan dengan alam. Tidak semua pekerjaan yang dilakukan laki-laki, boleh dilakukan perempuan karena bertentangan dengan 'sifat halus' perempuan.

“Ibu” merupakan hasil konstruksi sosial dari seorang perempuan yang umumnya sudah berkeluarga. Motherhood biologis dilembagakan di bawah patriarki lebih merupakan konstruksi budaya untuk opresi karena meruncing kendali laki-laki pada perempuan karena tidak membedakan antara motherhood biologis sebagai hubungan privat reproduksi perempuan dan sebagai “institusi”. Padahal istilah mothering mengacu pada hubungan di dalam individu saat merawat dan menyayangi yang lain. Dan seseorang semestinya tidak perlu menjadi ibu biologis untuk menjadi ibu sosial.

Di dalam patriarki, seks juga lebih bersifat politis. Dalam buku “Sexual politics”(1970),  Kate Millett menyatakan, ideologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Laki-laki maskulin dan dominan sedangkan perempuan subordinat/feminin. Dan kondisi ini di”legalkan” melalui institusi.

Opresi terhadap perempuan menjadi semakin mendarah daging dalam sistem seks/gender. Suatu rangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk transformasi seksualitas biologis menjadi produk  kegiatan manusia yang dijadikan dasar membangun identitas dan perilaku “maskulin” dan “feminin” dalam masyarakat patriarkal. Normalitas seseorang bergantung pada kemampuannya menunjukkan identitas dan perilaku gender yang secara kultural dihubungkan kepada jenis kelamin seseorang.

Menurut Simone De Beauvoir, perempuan berbeda, terpisah dari laki-laki dan inferior terhadap laki-laki karena anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai manusia dan warga negara kelas dua (The Second Sex ). Perempuan dianggap sebagai “Liyan” / “the other”.(Rosemarie Putnam Tong,2010)

Negara yang sudah merasa memberikan perlindungan kepada perempuan, ternyata  justru semakin mengopresi perempuan dengan segala aturan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap perempuan melalui intervensi regulasi dan konstruksi dominan di masyarakat. Padahal setiap perempuan membentuk eksistensinya sendiri yang mungkin berbeda dengan perempuan lain.

Manusia sudah semestinya membebaskan perempuan sebagai produk konstruksi kebudayaan atau hasil dari pengaturan ilmiah. Sebenarnya tidak ada satupun pembatas yang “memenjarakan” perempuan karena perempuan ditentukan nasibnya sendiri dan pada saat yang sama bebas dari patriarki. Perempuan harus menggariskan nasibnya sendiri dengan melepaskan beban yang menghambat kemajuan mereka menuju Diri/Selfhood yang autentik. Sehingga tidak ada seorangpun atau sesuatu yang dapat menghambat perempuan untuk maju di ranah sastra, agama, politik, kerja, pendidikan, motherhood, dan seksualitas.

Bisa jadi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti dengan mempercepat jam kerja PNS masuk lebih awal sehingga dapat pulang lebih cepat adalah  alasan yang lebih rasional bagi perempuan dan laki-laki yang dianggapnya sebagai ibu dan ayah bagi anak, masyarakat dan negara.

Menteri Susi lebih melihat eksistensi perempuan ketimbang psikologis atau gender dengan menentang mitos dan citra perempuan. Dimana  menuju proses trandensi, perempuan dapat bekerja. Perempuan dapat menjadi anggota intelektual. Perempuan bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Dan untuk mentrandensi batasan-batasan, perempuan dapat menolak internalisasi ke-Liyanannya dan ke-Dirian laki-laki.  

Sudah semestinya setiap individu bertanggungjawab atas keputusannya. Seperti keputusan menjadi manusia yang melahirkan manusia lain (disebut ibu). Atau keputusan manusia yang membuat manusia lain itu lahir (disebut ayah). Jadi, sudah saatnya berhenti dari pemikiran dikotomis dan tak ada lagi alasan bolos kerja karena mengurus anak, lembur karena sudah ada yang menjaga anak di rumah, atau memangkas jam kerja pekerja perempuan, bukan?* (Noni Arnee)

Jumat, 27 Desember 2019

Penantian Para Penyintas Jugun Ianfu


Usianya sudah menginjak 87 tahun. Tapi gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya yang tirus. Malah senyum selalu mengembang di bibirnya kala menceritakan kesehariannya di sebuah rumah sederhana berlantai tanah.

Di ruang tengah rumahnya, hanya ada tikar lusuh. Dan Paini –begitu dia dipanggil, bertukar cerita dengan saya sembari memutar kembali ingatannya ke masa pendudukan Jepang.

Kata dia, di kurun waktu 1942-1945, serdadu Jepang datang ke kampungnya di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah. Mereka kemudian merekrut para perempuan dan lelaki muda untuk kerja paksa atau romusha. Dan Paini, adalah satu di antaranya yang baru berusia 13 tahun.
“Waktunya istirahat nggak boleh istrahat, harus kerja. Dikasih pekerjaan apapun saya harus mau, kalau nggak mau pasti saya dipukuli. Bukan hanya kerja angkatin batu, tapi juga angkatin tanah," kata Paini lirih.

"Sudah selesai di dapur, saya di disuruh minta makan di kampung lain. Disuruh ngemis-ngemis minta makanan. Saya jalanin itu supaya selamat, jangan sampai dipukuli. Makan pun kalau saya nggak cari sendiri saya nggak bisa makan.”

Di tangsi militer Kamp Garuda –milik Jepang itu, Paini kecil dipaksa bekerja tanpa imbalan uang dan makanan.

Dia sendiri bahkan tak berdaya ketika dilarang pulang ke rumahnya hanya untuk menengok keluarga atau suami yang baru setahun dinikahi. Dan yang kian membuatnya murka, tatkala dirinya dipaksa melayani hasrat seksual seorang pria berbaju kimono.
“Saya tidak tahu kalau ada orang di belakang saya. Saya lalu disikep (peluk dari belakang-red). Dibekap mulutnya. Dipaksa, saya dipaksa suruh melayani (tentara Jepang). Saya duduk sendirian sambil menangis.”

Paini, adalah saksi hidup sekaligus korban perbudakan seks tentara Jepang pada Perang Dunia ke-2. Korban kejahatan tentara Negeri Matahari Terbit itu membentang dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Timor Leste, hingga Indonesia. Dan diperkirakan korbannya lebih dari 200 ribu perempuan.
Penderitaan Paini, berlangsung kira-kira satu setengah bulan. Hingga kemudian, dua serdadu Jepang bernama Haruka San dan Handika Motto, menyelamatkannya.
“Saya menjerit, lalu ada yang mendengar dan menolong saya. Saya ingat nama yang menolong yaitu Haruka San dan Handika Motto.”

Tapi kepulangannya dari Kamp Garuda, tak disambut gembira keluarganya. Paini justru disangka selingkuh dengan tentara Jepang hingga akhirnya diceraikan sang suami.

Paini lantas menikah untuk kali kedua, tapi usia perkawinan itu tak bertahan lama.
“Waktu ada pelecehan itu, saya terus diceraikan oleh suami. Baru lima bulan orangtua saya menerima lamaran lagi. Baru tujuh bulan, saya diceraikan lagi sama suami yang kedua."

***

Kegetiran Paini, juga dialami Sri Sukanti. Tatkala umurnya sembilan tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Rakyat –kini Sekolah Dasar, ia dibawa paksa tentara Jepang untuk melayani hasrat seksual Ogawa –seorang komandan regu.

Di kediaman sekaligus kantor Ogawa, Sri Sukanti dikurung. Di dalam Gedung Papak, Grobogan –yang merupakan bekas bangunan Belanda itulah, Sri kecil tak berdaya melawan tubuh besar lelaki bermata sipit tersebut.
“Ayah saya semaput (pingsan-red) lihat saya dibawa. Dikira mau dibunuh. Waktu diambil Jepang saya diajak tidur, bokong dielus-elus,” ucap Sri Sukanti dengan bibir bergetar.

Atas perintah Ogawa pula, penjagaan ketat dilakukan. Sehingga tak ada yang bisa menolongnya.
“Yang jaga dua, di depan pintu. Saya dikunci di kamar, dijaga kalau ada yang nengok-nengok dibentak sama yang jaga. Jepang itu memang kejam.”

Enam bulan, Sri kecil menjadi budak seks tentara Jepang Ogawa. Ia pun masih ingat dirinya disuntikkan obat anti-hamil berkali-kali di pinggul kiri sebelum akhirnya dipulangkan ke orangtuanya.
“Iya biar nggak punya anak. Suntikannya nih..nih.. Waktu disuntik satu minggu nggak bisa bangun.”
Suntikan itu rupanya berdampak panjang. Ia tak bisa memiliki anak meski telah menikah dua kali. Pertama dengan pria asal Semarang, namun berpisah. Dan kini, dengan Sidik Tonys yang setia mendampinginya.

Catatan Komnas HAM menyebut, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu.
Dan hingga kini, belum ada permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Negeri itu belakangan hanya bersedia meminta maaf pada ianfu yang berasal dari Korea Selatan, Tiongkok.

***
Kembali ke Paini. Perih akibat perlakuan tentara Jepang, takkan mungkin dilupakan.
“Saya dilecehkan dengan penjajah itu. Malu saya.. memalukan. Biarpun saya dilecehkan, biarpun saya tidak berguna, jiwa saya itu nggak suci lagi saya terima. Tapi saya itu kalau ingat, menyesal sekali, sakit hati. Kalau malam nggak bisa tidur, ingat jiwa saya itu sudah tidak suci lagi, sudah tidak berguna..”

Dan kini, janda empat anak ini tinggal bersama anak perempuan sulungnya di rumah sederhana berlantai tanah itu.

Permintaan Maaf dan Kompensasi
Di rumahnya sederhana –berlantai tanah di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah, Paini tinggal bersama anak perempuan sulungnya.
Suaminya, meninggal 20 tahun lalu. Maka dia harus menghidupi dirinya sendiri dan sang anak, dengan menjadi buruh lepas; mengisi pot sayuran. Dari situ, dia bisa mengantongi 50 ribu dari lima ribu pot.

Tapi jika tak ada pesanan, Paini hanya mengandalkan pemberian anak-anaknya yang juga serba pas-pasan.
“Satu pot kalau sama ngeranjangi itu cuma seribu, satu pot. Kan masih untung, buat beli beras sekilo, sayurnya cari sendiri di tempat keponakan. Masih terimakasih nenek masih sehat,” imbuh Paini.
Di usianya yang sudah 87 tahun, dia juga masih bisa menyusuri jalan kampung mencari kayu bakar dan rumput.

Perempuan sepuh lain, Sri Sukanti –yang hidup sebatang kara, kini bergantung pada uluran tangan orang sekitarnya. Sementara suaminya yang dulu bekerja sebagai kuli bangunan, tak bisa lagi diandalkan.
“Aku nggak malu, aku minta-minta pada orang kampung buat beli nasi. (Sejak kapan terima raskin?) Sudah lama, kalau nggak begini nggak makan,” kata Sri Sukanti.

Di Salatiga, Sri Sukanti bersama suami, tinggal di rumah yang sangat sederhana. Dinding kusam rumah itu dipenuhi foto dia dan keluarganya. Isi perabotan seolah dibiarkan berantakan tak terurus.
Hanya ada satu kamar tidur yang bersebelahan dengan dapur. Di situ, rak kayu yang sudah lapuk, dipenuhi piring dan panci. Di lantai, sebuah tungku teronggok.
Sementara di ruang depan, penuh sesak. Di sisi kanan rak papan televisi berukuran 14 inchi, perabot rumahtangga bertumpuk. Dan bau pesing, begitu menyengat.

***
Catatan Komnas HAM, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu. Dua di antaranya adalah Paini dan Sri Sukanti.
Karena itulah, sejumlah pihak; Komnas HAM, LBH Yogyakarta, dan lembaga lain yang mengatasnamakan Ianfu Indonesia gencar memperjuangkan hak penyintas. Salah satunya, mengajukan gugatan kompensasi atas kerugian materil dan imateril yang dialami para penyintas.

Hingga pada 1997, Asian Women’s Fund (AWF) –sebuah organisasi swasta Jepang mengucurkan dana santunan bagi para penyintas melalui Departemen Sosial RI. Nilainya sebesar 380 juta yen atau setara Rp1,1 Triliun. Tapi uang itu, tak pernah sampai ke tangan Paini pun Sri Sukanti.

“Katanya ada imbalan segini..segini.. Sampai sekarang kok nggak datang. Imbalannya itu saya masih ingat kalau nggak salah 100 juta. Sampai sekarang imbalan dari Jepang itu belum pernah seperserpun saya terima. Saya ikhlas,” jelas Paini.

Uang triliunan itu rupanya dialokasikan Departemen Sosial untuk membangun Panti Wreda khusus penyintas Jugun Ianfu di sejumlah kota di Indonesia.

Karena dana itu digunakan dengan tak semestinya, para penyintas melayangkan surat gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat.
“Dibawa kemana-mana. Ke Yogya kalau nggak salah, sembilan kali diwawancarai. Yang paling banyak di Solo. Terakhirnya saya dibawa ke Jakarta. Saya pun sampai diangkat di podium untuk bicara. Tapi sampai sekarang nol nggak ada apa-apanya,” sambung Paini.

Heruwaty Wahyu, Kepala Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran, Jawa Tengah membenarkan, pernah ada proyek dari pemerintah pusat untuk membangun wisma untuk penyintas Jugun Ianfu di areal pantinya.
“Jugun Ianfu suatu proyek sendiri, bantuan dari Jepang kalaupun saya pimpro saya nggak dipegangin. Bantuan yang jugun ianfu itu hanya fisiknya pandu itu saja. Jadi kita hanya menyediakan lahan. Khusus untuk ianfu sekarang difungsikan untuk yang lain, untuk lansia yang terlantar-terlantar tapi bukan jugun ianfu,” jelas Heruwaty Wahyu.

Wisma yang diberi nama Pandu Dewanata dibangun pada 1997 dengan fasilitas lima kamar tidur dan televisi. Di tahun yang sama juga, pemerintah membangun empat panti yang tersebar di sejumlah kota.

Namun, Paini menolak tinggal di panti dengan berbagai alasan.
“Nggak mau saya. Saya mau di rumah saja, kerja, kumpul sama cucu anak. Terus terang daripada saya dibawa ke panti jompo, dikasih uang 10 ribu dibuat jajan saya ikhlas. Tapi kalau dibawa ke panti jompo, saya nggak mau. Biarpun kayak gini kotor tempatnya. Nggak apa-apa. Kalau saya dibawa ke panti jompo nanti anak saya cucu saya yang repot.”

Para penyintas seperti Paini dan Sri Sukanti, hidupnya sengsara. Hak yang seharusnya mereka peroleh, justru tak diberi. Pemerintah Indonesia sendiri malah menganggap kejahatan yang dilakukan tentara Jepang, sudah selesai. Tapi, tidak bagi Paini.

“Saya ditanyakan apakah sanggup ngasih maaf sama orang Jepang? Kalau saya berhadapan sendirian ya saya mau bisa ngasih maaf. Tapi kalau saya nggak bisa berhadapan sendiri apa bisa saya ngasih maaf? Kan nggak bisa. Yang penting saya dikasih kesehatan, dilindungi, dikasih kekuatan sama Allah saya sudah terimakasih. Saya ikhlas.”

Noted :
Perjalanan menemui Sri Sukanti dan Paini dilakukan pada tahun 2016
Elizabeth Sri Sukanti atau Mbah Sri, penyintas jugun ianfu paling muda meninggal dunia di Kota Salatiga pada 20 Desember 2017 di usia ke-84.

Minggu, 13 Februari 2011

Warok Suromenggolo-Suminten Edan

Deutsche Welle
15.12.10

Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Lewat kethoprak

Pagelaran kethoprak yang digagasi Aliansi We Can ini mengusung judul “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Sebuah metode kampanye yang digagas pegiat isu perempuan. Tujuannya, untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku setiap individu secara berantai untuk menghasilkan sebuah gerakan sosial yang mampu menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pelaksana Program Kampanye We Can, Ninik Jumoenita  mengatakan, kentalnya budaya di masyarakat juga menjadi penyebab masih banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dimasyarakat. Data Komnas Perempuan tahun 2009 menyebut, terjadi kenaikan angka kasus kekerasan terhadap perempuan hingga 260 persen lebih, dari 54 ribu menjadi 140 ribu kasus. Karena itu, diperlukan kampanye aktif dalam bentuk apa pun, termasuk kampanye melalui jalur budaya.

”Kita tidak akan memerangi pelaku dalam konteks secara frontal, tapi kita lebih melakukan dengan pendekatan positif. Kami melihat bahwa budaya itu mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Budaya itu juga berkontribusi untk melanggengkan budaya patriarki. Ketika misalnya kepercayaan yang mereka anut perempuan itu adalah makluk sub ordinat berdampak pada terjadinya kekerasan. Kalau saja budaya ini yang digemari masyarakat bisa mempengaruhi perspektif  cara berpikir masyarakat harapannya bisa berefek domino. Melalui pagelaran-pagelaran seperti ini kampanye We Can  atau nilai-nilai untuk hentikan  kekerasan terhadap perempuan ini akan tertular lebih banyak dalam tingkat pembangunan awarness.”

Sanggar  ketoprak Widya Budaya tampil bersama pegiat isu perempuan dalam ketophrak “Warok Suromenggolo-Suminten Edan”. Ketophrak ini antara lain bercerita tentang nasib dua perempuan. Cempluk Warsiyah, yang mengalami kekerasan fisik dari Surogentho karena menolak diperistri dan Suminten yang mengalami kekerasan secara psikis. Dia menderita hingga hilang ingatan karena rencana pernikahannya dengan anak adipati Trenggalek, Raden Mas Subrata dibatalkan secara sepihak. Calon suami yang dijodohkan kedua orangtuanya itu lebih memilih Cempluk, sepupunya. Anak dari warok Suromenggolo.

Lakon ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan” diadaptasi dari babad atau cerita tutur masyarakat yang sering dimainkan dalam kesenian tradisional yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Isinya kritik atas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dimasa lalu, baik kekerasan fisik maupun psikis.

Lakon ini mengisahkan masih kentalnya budaya patriarki kala itu, yang digambarkan dari sikap para warok atau tokoh masyarakat yang disegani, yakni suromengolo dan surobangsat.  Mereka sering bersikap sewenang-wenang, termasuk merenggut hak atas diri anak perempuan mereka Suminten dan Cempluk untuk menentukan hidupnya.

Kisah ini sebenarnya ingin menuturkan masih banyak kekerasan fisik dan psikis terhadap perempuan. Sehingga dengan menunjukkan pesan moral tersebut, penonton menyadari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Setidaknya itu pesan yang ingin disampaikan Rakun, sutradara ”Warok Suromenggolo-Suminten Edan”.

Ada kaitan dengan ”We Can Indonesia” seperti ketika adipati Trenggalek mencoba pemaksaan anaknya untuk dinikahkan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, Suminten yang sudah diberitahu akan dinikahkan ternyata tidak jadi, kita anggap satu tindakan kekerasan psikis. Adegan Surogentho yang sekarang ini juga sering terjadi bahwa kekerasan dilakukan oleh orang terdekat. Cempluk Warsiyah dan Gentho.  Dari teman sepermainan itu mencoba melakukan pemerkosaan. Jadi gambaran itulah diharapkan tidak harus terjadi dan perlu dicegah. Kita munculkan solusi. Jadi ketika ada adegan kekerasan ada yang menjelaskan Itu adalah pelanggaran. Disitulah pesan kepada masyarakat. ”

Pagelaran ketoprak selama dua setengah jam, memukau penonton. Salah satunya Dyah Ayu, mahasiswi Universitas Diponegoro Semarang.

”Sumintennya itu, dia aktingnya total banget, semua bagus. Kayak kethoprak, wayang orang, sebetulnya aku dari kecil suka. Banyak pelajaran, pesen tapi tidak terkesannya menggurui, daripada baca teks buku, apalagi dengerin orang pidato kayak gitu males. Kayak gini kayaknya lebih mengena. Oh yaa..yaa.. jadi mikir. Jadi kalau pesen-pesen yang diselipin kayak kekerasan terhadap perempuan, kadang kita tidak menyadari perempuan jadi kayak benda, tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Jadi semua tergantung dari orang tua, dari orang-orang disekitarnya.  Tidak bisa independen.”

Direktur lembaga bantuan hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH APIK Semarang, Soka Hardinah Katjasungkana menilai, pesan yang disampaikan melalui seni pertunjukan lebih mudah diserap sehingga cukup efektif sebagai alat  kampanye. Termasuk dalam kampanye yang mengangkat isu perempuan.

”Media kesenian tradisional ini sangat efektif untuk bisa menyasar kepada masyarakat. Karena selama ini kesenian tradisional ternyata masih dipilih sebagai hiburan mereka. Jadi kalo  materi pesannya dimasukkan kesenian yang masih dimnati oleh masyarakat, kami anggap ini nanti  akan bermanfaat untuk penyebaran nilai-nilai anti kekerasan terhadap perempuan.”

Rabu, 04 November 2009

Belenggu Tradisi Pernikahan Dini

Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan anak di bawah umur. UU Perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU Perkawinan, seorang anak perempuan baru boleh menikah di atas usia 16 tahun, seorang anak lelaki di atas usia 18 tahun. Tapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama, KUA, masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun.

Salam jumpa pendengar, saya Noni Arni.

Perspektif perempuan kali ini akan menyajikan tema mengenai perkawinan usia dini yang hingga kini masih marak terjadi, akibat kuatnya budaya yang mengakar pada suatu wilayah. Seperti yang terjadi di Rembang Jawa Tengah.

Sutik perempuan asal Tegaldowo Rembang Jawa Tengah ini, pertamakali di jodohkan orang tuanya pada usia 11 tahun. Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti sebuah pernikahan.

”Dijodohin sama ibu..? iya.. Setelah tahu dijodohkan? Saya masih kecil jadi biasa saja, belum ada pikiran saya suka dengan pasangan saya. Saya belum mengerti, karena waktu itu masih kelas 4 SD saya mulai di jodohkan. 2 kali dijodohkan gagal dan perjodohan ketiga baru saya dinikahkan. Waktu menikah saya belum lulus SD. ”

Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di wilayah Tegaldowo Rembang yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan disini melakukan pernikahan dini.

”Tradisi di sini jika umur belasan tidak segera dijodohkan nanti terlanjur tua dan tidak ada yang bersedia meminang ”

Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencacat nikah di Tegaldowo Rembang Jawa Tengah

”Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku. Percaya hal seperti itu masyarakat di sini. Entah nantinya jodoh atau tidak tetep di terima. Habis saya terima nikahnya..terus besoknya sudah pulang itu banyak.Bisa diartikan dipaksa. Angka perceraianpun tinggi masalahnya kayak gitu.”

Di daerah ini anak umur belasan sudah menikah, bahkan banyak yang sudah menyandang status janda karena orang tua tidak mempedulikan apakah anak bersedia dinikahkan atau tidak. Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah menikahkan terlebih dulu, meski kemudian di ceraikan.

Berbagai cara biasa dilakukan agar pernikahan terlaksana, dari memaksa perangkat desa untuk mempermudah urusan administasi, memberi uang pelicin hingga harus memanipulasi usia anak mereka. Seperti yang terjadi pada Sutik. Dalam surat nikahnya tercatat berumur 16 tahun, meski sebenarnya Sutik menikah di usia 13 tahun.

Salah satu warga Tegaldowo , Suharti menjelaskan
”Akte kelahiran banyak yang di ubah. Ketika akan menikah cari akte lagi, biar bisa menikah umur di aktenya di tuakan. Orang tuanya datang ke sektretaris desa atau modin minta surat kenal lahir. Dibuatkan terus nanti minta dari catatan sipil membuat akte baru. Banyak yang membuat akte baru untuk bisa menikahkan anaknya.”

Setelah semua urusan admistrasi beres, pesta pernikahanpun di gelar dengan meriah, tamu undangan berdatangan, aneka makanan disajikan, kedua pengantin di arak seperti raja. Pesta seperti ini menjadi ajang hiburan warga.

Fenomena pernikahan diusia anak-anak menjadi kultur masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2. Para orang tua ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua.

Mengubah budaya dalam struktur masyarakat turun temurun seperti tradisi pernikahan dini bukan hal yang mudah.

Namun secara perlahan, tradisi pernikahan dini di Tegaldowo Rembang pun mulai terkikis, setelah sebuah lembaga kemanusiaan internasional yang menitikberatkan pada anak, Plan, mulai aktif. Lembaga itu memberikan penyadaran akan dampak negatif perkawinan dini bagi anak anak di bawah umur

Staf Plan Indonesia, Novika Nurdiyanti mengatakan, banyak hal dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup anak perempuan di wilayah ini, seperti edukasi, advokasi, pemberdayaan anak melalui forum anak, konseling hingga gerakan akte masal

”Kita juga melakukan akte masal dengan harapan mereka yang belum punya akte punya akte sehingga usia pernikahan itu bisa lebih panjang. Kita juga melakukan konseling atau perkumpulan bagi remaja yang ingin konsultasi dan tahu lebih banyak tentang program kesehatan reproduksi. Bisa tahu lebih banyak apa dampaknya dari sisi kesehatan reproduksi jika menikah di usia dini, harapanya itu bisa terkikis.”

Menurut laporan badan perencanaan pembangunan Bappenas tahun 2008, dari 2 juta lebih pasangan yang melakukan pernikahan, angka pernikahan dini dibawah 16 tahun mencapai hampir 35 persen. Di Departemen Agama persentase angka ini diketahui karena adanya surat dispensasi bagi perempuan yang belum cukup umur.

Menurut Suwandi, tingginya angka kasus perkawinan dini, karena UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak konsisten dalam memberikan batasan terhadap batas minimal usia perkawinan.
Dalam pasal 7 disebutkan, jika belum memenuhi syarat perkawinan yakni anak perempuan usia 16 tahun, maka diberikan dispensasi.

”Kepala desa dan perangkat sudah menyarankan supaya nikahnya sampai umurnya pas. Lha sementara kalau sini mengajukan katanya orang PA (Pengadilan Agama) ada undang-undangnya. kalau memang PA tidak mengeluarkan dispensasi mungkin sudah tidak ada lagi pernihakan dini. Setiap kali ada pertemuan dari tingkat desa , kecamatan, kabupaten yang di bicarakan pasti pernikahan dini, saya malu karena setiap ada dispensasi, perceraian, pernikahan dini pasti wilayah Tegaldowo terus. Biasanya yang melakukan pernikahan kisaran 14-15 tahun.”

Suwandi menambahkan, Dalam konteks kekinian, anak-anak sebenarnya belum siap secara psikis dan sosial untuk membentuk keluarga. Karena itu, Undang-Undang harusnya tegas karena banyak hak-hak perempuan dan anak yang dikorbankan.

Koordinator Plan Rembang, Endang Suprapti menilai, perubahan mulai terlihat beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran warga akan pentingnya pendidikan

”Perubahan yang siknifikan yang terlihat adalah perubahan pola pikir masyarakat. Di awal mereka lebih mementingkan dirinya sendiri, sekarang ini mereka sudah mulai berpikir bahwa anak-anak itu penting, anak-anak perlu di prioritaskan. Misalnya sebagai contoh ternyata mereka melihat bahwa pernikahan dini itu adalah sesuatu yang melanggar hak anak. Sehingga mereka mau terbuka. Lalu mereka juga mencoba mencari jalan keluarnya. Itu yang terjadi di masyarakat.”

Kini, di wilayah ini Semua orang terutama orang tua mulai menyadari dan belajar dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernikahan di usia dini.

Demikian perspektif perempuan kali ini, saya Noni Arni mohon pamit, Salam.

Nov '09

Senin, 15 Juni 2009

TKI.. oh..TKI..

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme

by. Noni Arni / 2008

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di luar negeri berharap pulang dengan membawa segepok uang. Mereka memiliki cita-cita tinggi untuk memperbaiki tingkat ekonominya.Bahkan mereka di klaim sebagai penghasil devisa negara, meski hingga kini keberadaan mereka di negeri orang kerap kali mendapat perlakuan tak manusiawi, seperti, gaji tak layak, penganiayaan dan kekerasan.

Tapi ini adalah cerita sukses di salah satu kantong TKI di Jawatengah yang berhasil merantau di negeri orang. Tepatnya di Kampung Pegandon Kendal Jawa Tengah. Para TKI di wilayah ini mampu menghasilkan devisa hingga 250 miliar rupiah pertahunnya.

Saya akan berbagi cerita kepada anda...

Tidak begitu ramai, hanya sesekali lalu lalang kendaraan bermotor melintas diruas jalan ber aspal. Diantara areal persawahan, disela-selanya nampak deretan bangunan rumah yang cukup besar, mewah dengan lantai keramik. Salah satunya milik Suyatmi.

Inilah wujud hasil jerih payah Suyatmi di negeri orang selama 11 tahun.
Tekatnya untuk merubah ekonomi keluarga membuahkan hasil cukup menggiurkan. Rumah, kendaran dan warung telekomunikasi sebagai tempat usahanya. Tapi kini Ia memilih menjadi trainer di PJTKI di Kampungnya.

“Untung-untungan ya kebetulan pas saya dapat agen yang lumayan. Alhamdulilah saya bisa sukses. Jaman sekarang kan PJTKI sangat banyak jadi harus hati-hati memilih, kadang-kadang ada yang illegal. Jadi Pastikan dulu PT nya resmi bonfit disana agennya juga baik nah baru kita masuk. jangan salah memilih” demikian ungkap Suyatmi.

Demikian juga dengan Umi Hanik yang sudah 4 tahun merasakan hidup dinegeri orang, ketagihan ingin mengulang suksesnya. Meski banyak cerita pahit , tekat telah mengalahkan ketakutan.

“nggak semua orang kan gitu, saya mantep saja. Niat baik insyaallah berhasil lah. ya memang banyak tetangga bilang. tetapi kalau saya niatnya baik ya mungkin Allah melindungi lah saya kan pasrah saja. Pasti takutlah Kalau denger sana sini sana sini pasti ragu”, cerita Umi Hanik.

Nuryahmat, staf PT. Ficotama Bina Trampil Pengusaha Jasa Penempatan TKI di Kendal memastikan,selama TKI berada dalam prosedur yang benar, mereka tidak akan bermasalah. Karena selama kontrak ,PJTKI akan menjamin mereka.

“Ada masalah apapun nanti agency atau PT yang memberangkatkan dari Indonesia. Gampang sekali nanti kalau sudah sampai disana anak-anak yang sudah kerja disuruh telepon keluarganya masing-masing. Keadaannya bagaimana.. kondisinya gimana jadi tahu keluarganya yang ada di Indonesia. Jadi, Disamping itu PJTKI juga selalu memantau anak ini sampai mendapat perlakuan yang tidak bagus, nanti kita urus sampai masalah gaji sampai tidak di bayar itu sudah ada yang mengurus semua dari PJTKI yang memberangkatkan”

Pengawasan terhadap penempatan TKI yang dilakukan PJTKI, kata dia, juga mudah. Menurutnya, setiap PJTKI tersebut mengurusi paspor calon TKI, maka selanjutnya mereka harus dituntut menunjukkan daftar TKI yang telah dikirim ke negara yang disebutkan dalam setiap paspor yang diajukan.

Kepala Badan Penempatan Pengawasan dan Perlidungan TKI Jateng, AB rahman mengungkapkan, Sebenarnya kesulitan memonitor para TKI ini karena kebijakan pemerintah yang tidak merata. TKI ke Timur Tengah kepegurusan dilakukan di Jakarta, berbeda dengan penempatan lain yang bisa dilakukan didaerah masing-masing.

“Tentunya persoalan-persoalan itu kan bisa di indoor.pengurusan administrasi untuk ke arab Saudi sampai KPKLN bisa diurus di daerah masing-masing. pembuatan paspor bisa di daerah masing-masing. Kemudian sampai kompetensi di daerah masing-masing, kemudian dia dikasih kartu kemudian dikasih bebas fiscal untuk daerah dan berangkat lewat Jakarta. tapi kepengurusan administrasinya tetap di sini mungkin itu bisa dimonitor dari awal .Tapi kita tidak tahu TKI diberangkatkan ke jakarta oleh perusahaan mana. Ini tidak hanya dialami jawatengah tapi hampir semua. Ga tahu kok dibikin begini memang kebijakannya dari dulu”

Padahal menurutnya, tiap tahun Jawatengah memberangkatkan TKI hingga 30 ribu lebih. bahkan mentargetkan pengiriman TKI meningkat hingga 10 persen per tahunnya.

Contoh kasus, Eli Anita. Satu dari ribuan TKI yang harus menelan pahit merantau di negeri orang karena terjebak di Irak. Dengan iming-iming akan mendapat perkerjaan di negara makmur, mereka diangkut ke Kurdistan, bagaikan budak belian.

“mereka mau ambil saya 85 persen mereka mau bikinkan saya visa.Tapi agen saya bilang kalau kamu tidak mau tidur sama aku, aku nggak akan lepasin kau. Jadinya saya sudah tidak ada pilihan . ada tiga pilihan. satu pulang ke Indonesia , kedua tidur dengan saya, ketiga ada Negara baru katanya Kurdistan Negara baru masih part of Itali. saya percaya aja . jadinya saya berangkat. saya sudah terlalu nekat” kenang Eli.

Setelah melalui perjuangan panjang,dan perlakuan yang tidak semestiya dari agency yang menaunginya, Eli bersama temannya Darmianti dan Siti Julaeha akhirnya dipulangkan ke Indonesia bantuan organisasi internasional, Organization for Migration (IOM). Sementara beberapa TKI saat ini tengah menunggu jadwal kepulangan.

“Kita dipanggil ke IOM terus tandatangan kalau kita mo pulang. Saya ditanyain keadaan kamu gimana saya critain semua saya pernah di cekik, sering tak dikasih makan, di siksa dengan pegawai-pegawai disitu. Dia minta beberapa identitas temen-temen saya disana kebetulan saya selalu catet temen-temen saya.saya baru bener-bener percaya kita di kirim pulang kita dikirim ke bandara Erbil International Airport. Ke luar dari kantor itupun saya sudah diancam kalau sampai di Dubai kamu macem-macem, Aku bisa tarik kembali kamu ke Erbil. Kita dapet probem juga sampai di Dubai kita harus cari-cari sendiri. jadi saya sempet kebingungan akhirnya tanggal 7 desember kita sampai di bandara sukarno hatta,” tambahnya.

Banyaknya kasus TKI berasalah ini terjadi karena pemerintah ternyata tidak melakukan apapun, khususnya untuk memulangkan buruh-buruh migran Indonesia yang saat ini terperangkap di wilayah konflik.

Namun Anis Hidayah Direktur Eksekutif organisasi MigrantCare atau Perhimpuan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat mengungkapkan, pemerintah hingga kini masih sangat tidak serius dalam melindungi para pekerja migran.

“Kita sih menilai pemerintah masih menggunakan kerangka advokasi yang lama. Jadi Merespon perkasus. ada kasus di respon, ditanggapi bahkan beberapa kasus mereka lebh reaktif . ini tidak akan memperbaki birokrasi yang ada.Seharusya yang harus dilakukan pemerintah segera mungkin membangun satu mekanisme yang sistematis habis juga energi pemerintah . Saya kita tidak akan selesai masalah TKI. Ini kelemahan paling besar.Dan ada BNP2TKI, saya kira birokrasi untuk menyelesaikan masalah semakin tak pasti.selama ini kasus-kasus yang kita ajukan untuk proses penyelesaian sangat lambat proses penyelesaiannya.”

Data Migran care menyebutkan, akhir tahun lalu TKW asal Indonesia yang berada di negara dilanda konflik itu sekitar 70 orang, tapi baru 29 orang yang teridentifikasi. Dari jumlah itu lima di antaranya sudah dipulangkan ke Indonesia.
Sementara, untuk memperkecil peluang TKW asal Indonesia jadi korban trafficking, tambah Nur, pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap PPJTKI yang akan memberangkatkan buruh migrant.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia Deplu Teguh Wardoyo mengakui , situasi dan kondisi di wilayah konflik tidak normal. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi untuk alasan keamanan mereka sendiri.

Menurut Teguh, pihaknya memang bertugas memberikan perlindungan kepada WNI di luar negeri. Meski demikian, pihaknya tetap bersikukuh instansinya tidak bertanggung jawab atas segala permasalahan WNI.

“Ya karena uang mereka mau cari duit. Mereka dalam kondisi kesulitan ya Kita nggak tahu. Cuman pemerintah menghimbau kalau cari uang ke tempat lebih baik . kalau mereka kemana-mana sapa yang bisa cegah gitu masalahnya . departemen luar negeri hanya menghimbau untuk melapor ini. tapi nyatanya mereka tidak melapor.jadi pemerintah bisa berbuat apa”

Penempatan TKI memang sepenuhnya merupakan tanggung jawab Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Ditengah banyaknya tragedi yang menimpa para TKI di negeri orang dan ketidak seriusan pemerintah dalah menangani kasus –kasus TKI bermasalah. Menjadi TKI tetap menjadi pekerjaan yang menggiurkan bagi mereka yang tak mengenyam pendidikan tinggi. Para pemasok devisa Negara tetap yakin akan mereguh keuntungan besar secara materi dengan bekerja di luar negeri sebagai buruh migran.

Dari Kendal, Jawa Tengah. Noni Arnee