Pages

Kamis, 24 Desember 2009

Ayo ke Q-Tha...

Bagaimana jika sekolah tak mempunyai aturan yang mengikat siswa ? di sekolah alternatif Qariyah Tayyibah semua proses belajar ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan. Seperti apa pola pembelajaran sekolah yang punya segudang prestasi ini? kontributor KBR68H Noni Arni mengunjungi sekolah yang terletak di pinggiran Salatiga.

next instruction, pertama dicek sudahkah jumlahnya 7 masing-masing..tar lagi ngitung..aku sudah 6..ada siswa yang nyebutin mata pelajaran,..ga kumpul kelas..ini di dibawa pulang..kumpul aja nanti kalau ada yag sulit bisa tanya..saya anjurkankan ini dikerjakan di luar jam sibuk kalian...kalau sibuk terus gimana..aku ijin pulang..hari kamis di bawa.

Ahmad, pembimbing sekolah alternatif Qariyah Tayyibah membagikan soal Ujian Akhir Semester UAS untuk tujuh siswa kelas satu SMP.
Mereka duduk melingkar beralas tikar di ruangan yang disulap menjadi tempat belajar. Tidak nampak raut muka tegang, mereka justru asyik berdiskusi mengerjakan soal dari Dinas Pendidikan itu.

Para siswa juga bebas memainkan telepon genggam dan ngobrol dengan teman. Pemandangan ini tentu saja tidak akan ditemui pada sekolah formal.

”Mengerjakan soalnya bagaimana?..pasti beda beda. Mereka mau buka buku atau tanya temen atau tanya tetangga, bahkan ngawur saja juga silahkan. kesepakatan gimana? Semua boleh, terserah..kamu mo ngerjain gimana? liat buku,tanya.. Aku ga berusaha dulu kalau ga bisa baru tanya..yang paling antik adi, dia langsung komat kamit...hahaaa.”

Seperti Isma, mengerjakan soal UAS di rumah

”Kerjakan di rumah aja. kalau lagi pengen sama temen. Sudah buka soal..belum. dikasih buku ? cari di situ kalau di sini ga dikasi. Cari taunya? Bisa di internet , buku-buku situ. Penting ga tes ... ga penting.biasanya ga ada tes.. enggak pengaruh.”

Ahmad Darojat, pembimbing di sekolah alternatif Qariyah Tayyibah mengatakan, tidak mewajibkan siswanya ikut UAS maupun ujian nasional UN.

”Tadi saya bilang pada mereka pada prinsipnya ga punya tes macam ginani. Ini yang di minta dinas pendidikan biar kita bisa komunikasi terus dengan mereka kita jalankan ini. nilainya nya jelek atau baik ga ada pengaruhnya. Tinggal mereka kepentingannya dalam tes ini apa, kepentingan untuk berlatih ya dia akan berlatih. Kepentingannya hanya mengerjakan. matematika PPKN diajarkan? Ga diajarkan Yang penting bagaimana mereka mencarinya bukan mendapatkannya. ”

Kepala sekolah yang juga sebagai penggagas sekolah alternatif Qariyah Tayyibah, Achmad Bahrudin punya alasan kenapa membebaskan siswanya mengikuti ujian, baik UAS maupun UN.

”UU Sisdiknas menempatkan UN bukan syarat kelulusan sebenarnya. karena yang punya kewenangan meluluskan masing-masing sekolah. Selama ini ujian nasional menyimpang dari undang-undang Karena disebut bukan satu-satunya syarat, berarti boleh tidak ikut UN. Kita coba praktekkan itu. Kita tidak berani melanggar undang-undang. Ketika anak suka di dunia teater, drama ternyata tidak di apresied. hanya ikut-ikutan karena ”ngemong” orang tua. Apa yang mereka minati betul itu tidak mau di ganggu oleh UN. Sehingga UN dianggap biasa-biasa saja.”

Kata Bahrudin, ujian tidak bisa mengukur dan menfasilitasi perkembangan anak yang punya minat di bidang lain. Contohnya, Alex Arida siswa Madrasah Aliyah Negeri di Kabupaten Semarang yang tak lulus UN. Padahal, ia finalis olimpiade fisika.

Bahkan siswa Qariyah Tayyibah Fina Af'idatussofa dan 2 temannya mengkritik pelaksanaan UN dalam buku yang sudah di terbitkan berjudul ”Lebih Asyik Tanpa UAN”. Dalam bukunya mereka menulis bahwa UN hanya membatasi kemampuan dan perkembangan siswa.

Bahrudin mengakui metode belajar yang di terapkan di sekolah ini sangat berbeda.

"Ketika di desanya ada persoalan tentang alat produksi anak-anak akhirnya belajar tentang land reform. Tidak ada di SMP SMA se Indonesia bahkan se-dunia yang anak sekecil itu bisa membuat kajian land reform. Masalah itu ternyata bisa menjadi resource pembelajaran. apalagi potensi natural resources yang ada di desa ini, ada kebun, ada sawah dan serangkaian permasalahannya. Jadi model pembelajaran yang orang nyebut ”sak karepe dewe” terus dengan sarana yang sangat terbatas, gedung ga ada, kita gunakan cara berpikir mandiri, kita manfaatkan apa yang ada ternyata tonggak awal membangun kretivitas anak, anak di beri kepercayaan untuk menentukan sesuai dengan dirinya,sehingga daya kreasi,inovasi, imajinasi justru berkembang.”

Membebaskan dan memberi kepercayaan kepada siswa menjadi kunci keberhasilan.

”Semakin total membebaskan pada anak, mau apapun yang penting bukan tindak kriminal. Kita selalu dukung.tiba-tiba si anak ingin bikin film. Keinginan apapun. Lebih kayak kegemaran seperti film, musik ada juga yang suka di matematika.”

Ali Muntoha, salah seorang pembimbing sekolah menambahkan tidak ada istilah guru di sekolah ini, tapi teman belajar.

”harus belajar dengan anak-anak kita cari tahu bareng-bareng. jadi kita kayak tim, malah melengkapi. Mereka butuh kita untuk nemeni ketika mereka belajar ya kita upayakan untuk siap. Mereka ya cari buku-buku sendiri dari temennya yang sekolah di luar, kadang belajar sendiri. Butuh kita temeni.. ya kita temeni belajar bareng. Misalnya kita ke sawah belajar kodok, kita teliti kenapa kok kulit kodok selalu basah ya dah kita cari bareng-bareng. Timbul kritis mereka untuk lebih tahu.”

Pada awalnya, Qariyah Tayibah berdiri sebagai bentuk keprihatinan Bahrudin terhadap mahalnya biaya pendidikan. Sekolah alternatif ini menampung anak desa Kalibening Salatiga yang tidak mampu melanjutkan SMP. Sekolah yang mengajarkan kesederhanaan ini memanfaatkan rumah milik Bahrudin sebagai ruang belajar, lingkungan sekitar dan koneksi internet 24 jam sebagai sarana belajar dan pusat informasi. Komputer yang mereka gunakan untuk mengakses internet didapat dari hasil menabung siswa. Biaya operasionalnya ditopang dari sumbangan sukarela dari orang tua siswa.

Pendamping tidak pernah memaksa keinginan siswa. Seperti kata Isma
Dah belajar apa aja?.. Ganti-ganti kalau males. Ga ada yang di wajibkan. Kalau sekarang pengen belajar IPA.
Tergantung moodnya. Belajarnya terkadang di rumah, belajar bersama, di masjid. Kalau ga ngerti tanya orang lain. Kalau bahasa inggris wajib, ada pendampingnya. Kumpul kelas ngobrol-ngobrol. Kalau ga masuk kelas? pernah maen-maen di kali kalau ketemu ijin ga kumpul kelas kalau di tanya terus di denda 5 ribu kesepakatan kelas.”

Penilik Pendidikan Non Formal pada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Salatiga, Niken Widagdarini menjelaskan, Qariyah Tayyibah memilih tetap mengikuti ketentuan dari Diknas.

”Tetep ada tes semester, ada UN. Terserah anaknya mau ikut UN atau tidak. Kami menyarankan cuman kita harus mengingat akan kepentingan anak. Saat ini anak belum membutuhkan ijasah misalnya tetapi suatu saat ketika terjun ke masyarakat kan legal formal untuk ijasah kan tetap di perlukan. kita hanya ”jagani” anak-anak itu ketika suatu saat terjun di masyarakat butuh satu pekerjaan yang membutuhkan persyaratan tertentu itu dia punya.”

Sejak 5 tahun terakhir, Qariyah Tayyibah keluar dari sistem SMP Terbuka dan beralih menjadi komunitas belajar, di bawah pengawasan Direktorat Jendral Pendidikan non formal. Berubah status karena dianggap lebih fleksibel.Salah satunya tak mewajibkan siswanya mengikuti ujian.

Catatan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah menyebutkan, tiap tahun puluhan ribu siswa tak lulus UN. Tahun 2008 saja, dari total 400 ribuan siswa yang mengikuti UN, 56 ribu lebih siswa tidak lulus. Padahal mereka berasal dari sekolah formal dengan aturan ketat dan kurikulum padat.

Bagi Maia Rosyida, sekolah alternatif Qariyah Tayyibah dianggap tempat menyenangkan untuk belajar dibandingkan sekolah formal. Ia bebas mengembangkan bakat dan kemampuannya. Meski tak memiliki ijasah resmi, ia tetap memiliki prestasi.

”Dulu aku dah mo naik kelas 2 SMA cuman dah ga tahan kalau di konvensional aku ga bisa matematika aku di bilang goblok padahal aku kan bisa nulis novel contohnya. Di bilang goblok aku down terus akhirnya aku putuskan untuk gabung di sini. Waktu itu belum ada SMA nya, ya udah aku turun aja 2 tahun, ga papa. Ga masalah itu nya toh sampai sekarang aku juga masih belajar terus. Kalau di tanya kok ga lulus biarin aja kan belajar terus. Orang tuaku sama sepemikiran. Kayak Einstain belajar dari pamannya, Edison belajar dari ibunya. Sekolah itu ga terbatas bisa siapapun.”

Pengakuan Maia Rosyida, alumni sekolah alternatif Qariyah Tayyibah yang kini menjadi penulis novel.

Sebagian besar Novel karya Maia bercerita tentang dunia pendidikan diantaranya ”Sekolahku Bukan Sekolah”, ” Ekspresi” dan Tarian Cinta”. Ia bertemu tokoh idolanya bekas Presiden Abdurrahman Wahid lewat bukunya berjudul ” Gus Dur Asyik Gitu Loh”.

Maia telah menulis 20 novel, menjadi sutradara film pendek dan berkeliling Indonesia. Kini ia bersama teman se-angkatannya mendirikan Virtual University yang di beri nama Universitas Kehidupan. Tempat belajar dan diskusi lewat dunia maya.

”Mereka masih melihat bahwa kita nongkrong. Padahal dari Nongkrong kita dapat ide. Sekarang bikin universitas. Kebetulan kami angkatan ke tujuh pisah, ada yang di Bandung, di Jobang Pesantren,Solo, Semarang. Pisah, kita bukan sekolahan konvensioanal. Lulus pisah sama temen tidak ada gerakan. Ini kan semacam gerakan revolusi. Akhirnya kita usul namanya UK, Universitas Kehidupan (bacanya UK biar kayak United Kingdom). Biar bersatu kita sepakati dengan online. Persentasi lewat internet. Kita persentasi tentang satu hal.”

Tidak hanya Maia, siswa sekolah ini mempunyai segudang prestasi. Dari juara karya tulis online se-kota Salatiga, lomba karya ilmiah tingkat Jawa Tengah, hingga Winda yang menjadi atlet kejuaraan nasional wushu junior.
Puluhan keping video lagu, film pendek, dan buku cerpen hasil karya mereka juga terpajang di rak sekolah mereka.

Tapi Kepala sekolah alternatif Qariyah Tayyibah Bahrudin punya cara sendiri menilai prestasi siswanya.

”Tidak punya ukuran jelas tentang prestasi. Bagi kami ketika anak menemukan dirinya itu ya prestasi puncak, meski menemukan dirinya dengan kekurangannya. Tidak harus dalam wujud karya. Tidak perlu di tuntut untuk dalam tanda kutip berprestasi, apalagi prestasi itu mendapatkan nilai bagus atas evaluasi yang dilakukan orang lain. Itu sudah bertolak belakang. Kalau tadi menemukan itu sebenarnya diri kemampuan mengevaluasi diri.”

Anak-anak berniat sekolah di Qariyah Tayyibah karena ingin melepaskan diri dari aturan mengikat yang dapat membelenggu kreativitasnya.

Binar Al-Kautsar siswa dari Bangka Belitung, meninggalkan Sekolah Internasional di kampung halamannya. Begitu juga Isma

„ Kalau di sana bangun jam 7 pagi terpaksa kalau disini mau ga… .kadang bagun jam 9, jam 11. Jarang.. Paling ikutnya forum, kelas Senin saja. tergantung kelasnya mau kumpul atau tidak. Di sini free.”

”Pengen suasana yang beda. Kalau lagi males belajar ga usah belajar ga papa. Kalau di formal kan di suruh-suruh gitu kayak wajib. Awalnya sudah daftar di MTS, kayaknya asyik sini. Sebelumnya dah datang kesini. Temenmu komentar apa? Asyik ya sekolah di situ.”

Een siswa asal Bengkulu juga merasakan hal serupa

“Pengen bebas dari peraturan kelas-kelas aja. Disini bebas jadi kita bakan enak gitu lho. kalau keluarga besar juga langsung dukung aja soalnya pamanku sudah pernah kesini pernah lihat kondisinya jadi setuju aja. Jadi disini bebas kalau kita butuh ya kita cari kalau ga butuh ya ga usah. Itu yang bikin aku seneng di sini.“

Orang tua pun yakin dan menyerahkan sepenuhnya pola pembelajaran anaknya pada Qariyah Tayibah, seperti Ridwan

“Saya mantap bahwa pola pembelajaran di Qariyah Tayibah, sangat cocok untuk mengembangkan potensi anak. Dia mau tahu apa saja proses itu dia lakukan apa saja. Memberikan ruang pada anak untuk berkarya,

Pemerhati pendidikan Naswil Idris mengakui konsep pembelajaran di Qariyah Tayyibah sebagai embrio model sekolah yang berhasil. Sekolah alternatif patut mendapat apresiasi

”Melihat nilai mata pelajaran yang diujikan Diknas hasilnya sangat baik, rahasianya mereka bisa mengunakan fasilitas di internet dengan baik. Mereka bisa mengeksplorasi bahan-bahan itudi internet. Murid dihargai sistem sekolah ini dan guru juga di beri kebebasani untuk mencari bahan-bahan di internet.”

Model sekolah ini kata Naswil, sebenarnya bisa di terapkan di sekolah lain.

Lingkungan dan proses belajar dengan suasana menyenangkan menjadi hal yang paling di inginkan semua anak. Dengan begitu, mereka tetap dapat berprestasi.Dimanapun mereka sekolah.

9 Desember

Berbagai elemen masyarakat hari ini turun ke jalan memperingati hari antikorupsi Internasional yang diperingati setiap 9 Desember. Selain di Jakarta, aksi ini dilakukan di seluruh Indonesia, tidak hanya di kota besar tapi juga di daerah-daerah.

Unjuk rasa memperingati hari anti korupsi di berbagai kota di seluruh Indonesia, umunya berlangsung lancar. Di Jakarta 14 tempat menjadi konsentrasi aksi damai, diantaranya di Bundaran HI, di depan Istana Presiden, di depan Gedung DPR, dan di Gedung KPK. Di depan Istana Merdeka, sejumlah masasa membakar foto Menteri Keuangan Sri Mulyani dan wakil Presiden Budiono yang mereka tuding terlibat dalam skandal Bank Century.

Di bawah penjagaan ketat aparat, massa memulai aksinya dengan berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia, lalu melangsungkan aksi jalan kaki di silang Monumen Nasional. Massa umumnya berasal dari sekitar 45 elemen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Bersatu (GIB) dan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak). Sejumlah tokoh terkemuka tampak hadir pula. Antara lain Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, pengamat komunikasi Effendi Gazali, penyanyi Iwan Fals, Eddy Kondoligit, sejumlah pesohor ibukota, serta sejumlah politikus.

Sebagaimana direncanakan, demonstrasi massa ini berlangsung tanpa orasi. Acara hanya diisi dengan pembacaan puisi, menyanyikan lagu kebangsaan, pembacaan doa lintas agama dan deklarasi indonesia bersih.

Unjuk rasa yang perencanaannya memunculkan kehebohan dan kontroversi ini dihadiri ribuan orang, kendati jauh di bawah jumlah 100 ribu orang sebagaimana ditargetkan sebelumnya oleh Kompak, pengagasa aksi ini. Namun Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Kompak Fadjroel Rachman menyatakan, sasaran mereka tidak meleset jauh.

„Kalau dikaitkan di seluruh indonesia artinya di 33 propinsi jumlahnya mendekati dari yang kami ramalkan. Aksi hari ini sebenarnya sudah luar biasa. Ini berarti kami sudah merayakan hari anti korupsi sedunia di 33 propinsi dan 400 kabupaten kota bersama di seluruh dunia.“

Beberapa hari sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku mendapat informasi lengkap bahwa tzanggal 9 Desember ini akan berlangsung sebuah gerakan sosial. Ia menambahkan, banyak tokoh dan politikus lama akan turut ambil bagian dalam gerakan yang menunggangi unjuk rasa anti korupsi itu.

Fajroel Rachman dari Kompak menyatakan, tudingan itu tidak terbukti.
"Sangat luar biasa, ini adalah penghargaan terbesar kepada rakyat indonesia bahwa kita, mereka berhasil menunjukkan bahwa kita bangsa yang beradab, masyarakat sipil yang beradab. Jadi tuduhan dari Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tidak terbukti bahwa aksi ini akan menuju makar, sama sekali tidak terbukti."

Faroel menambahkan, aksi hari ini akan dijadikan momen untuk mencermati penanganan beberapa kasus besar yang menyedot perhatian banyak pihak seperti kasus bank century dan pembuatan undang-undang terbalik untuk memberantas korupsi.

Selain massa Gerakan Indonesia Bersih, ratusan masa pendukung SBY pun turun ke jalan di sekitar Monas, namun mengambil jarak dari masa Gerakan Indonesia Bersih yang cenderung kritis pada SBY. Masa pendukung SBY itu antara lain berasal dari kelompok Aliansi Rakyat Untuk SBY (Arus), Lumbung Informasi Rakyat LIRA, Gerakan Anti Korupsi (Gebrak) dan Aliansi Kepedulian Rakyat untuk Kemapanan Bangsa (Akrab).

Berbagai aksi serupa berlangsung juga di Medan, Palembang, Bandung, Yogyakarta, Makassar bahkan Jayapura .

Sementara itu, Berbeda dengan tahun sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi KPK menggelar renungan dan refleksi dalam rangka Hari Antikorupsi Sedunia dengan sederhana dan bersifat internal bagi pegawai KPK.

Deutsche Welle / Indonesian Programme

Aksi Damai hari Anti Korupsi

Bertepatan dengan peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember, sejumlah tokoh dan pegiat anti korupsi berencana menggelar aksi damai besar-besaran. Aksi dipusatkan di ibukota Jakarta dengan menggalang massa ribuan orang. Aksi juga akan digelar serentak di 400 kota, di 33 provinsi di Indonesia.

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Kompak Fadjroel Rachman memaparkan meski secara langsung aksi hari ini dilatarbelakangi beberapa kasus kriminalisasi KPK dan kasus Bank Century, aksi tersebut bertujuan mengampanyekan pencegahan korupsi di Indonesia

”Kalau yang langsung konteksnya adalah rekayasa kemudian kasus Bank Century. Itu konteksnya. Tetapi secara umum kami ingin bersama-sama memperingati atau menumbuhkan kesadaran baru pada masyarakat bahwa korupsi itu adalah musuh bersama bukan hanya di indonesia tapi secara global. Gerakan 9 Desember adalah suatu festival masyarakat sipil yang menyebut dirinya mencegah korupsi.”

Aksi damai 9 desember yang diawali aksi jalan kaki dari Monas hingga Bundaran Hotel Indonesia, akan dilakukan tanpa tanpa orasi dan hanya dengan menggelar doa bersama dari enam tokoh agama.

Menurut Fajroel, Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember merupakaan saat yang tepat bagi rakyat untuk menunjukkan komitmen memberantas bahaya laten korupsi. Harapannya, Indonesia dan akan terbentuk kesadaran masyarakat Indonesia bersih dari praktik-praktik korupsi.

”Goal umumnya ingin membentuk kesadaran melepaskan Indonesia dari korupsi. Sekarang ini menurut Transparansi Indonesia kita kan nomor 111. Goal terakhirnya jelas kami ingin nomor satu seperti Selandia Baru. Pertama mungkin arus mengalahkan Malaysia dulu, Malaysia kan nomor 59, kemudian mengalahkan Thailand, mengalahkan Brunai baru mengalahkan Singapura.”

Menurutnya, skandal korupsi ini dapat membawa risiko tinggi yang sistematis dan organis dalam kehidupan bangsa. Jika tidak dituntaskan akan membawa bangsa kepada kehancuran. Terlebih lagi sebagian besar kasus korupsi yang ada di Indonesia didominasi kalangan elit kekuasaan.

Polda Metro Jaya sendiri menyiagakan 13 ribu personil dalam menghadapi aksi unjuk rasa 9 Desember. Pengamanan sebagai bentuk antisipasi terhadap kemungkinan adanya kerusuhan mengingat jumlah massa yang akan datang dalam aksi tersebut.

Sebelumnya dalam pidato di depan peserta rapat pimpinan nasional Partai Demokrat hari Minggu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuduh rencana peringatan Hari Anti Korupsi Dunia tanggal 9 Desember memiliki motif politik. SBY mengatakan memiliki fakta dan bukti tentang gerakan politik dibalik rencana peringatan itu.

Noni Aernee
Deutsche Welle/ Indonesian Programme

Mekanisme REDD akan kuasai hutan Indonesia

Jelang KTT Perubahan Iklim ke -15 Copenhagen

Sejumlah organisasi gerakan lingkungan hidup mengecam kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan negara maju terhadap projek skema pengurangan emisi dari pencegahan penggundulan dan perusakan hutan atau REDD di Indonesia. Salah satunya rencana pemerintah Indonesia dengan Australia dalam mekanisme jual beli karbon melalui program Kalimantan Forest and Climate Parthnership (KFCP). Dalam program tersebut pemerintah Australia menyiapkan anggaran 30 juta dolar Australia, untuk menyewa 100 ribu hektar hutan penyerap karbon selama 4 tahun.

Kecaman terhadap proyek kerjasama pemerintah Indonesia dan negara maju dalam bidang skema pengurangan emisi dari pencegahan penggundulan dan perusakan hutan atau REDD ini dihembuskan, menyusul adanya laporan tentang project REDD yang disinyalir hanya untuk memenuhi tujuan jual beli karbon dengan harga murah, tanpa perlu mengurangi aktivitas industri Australia yang mencemari bumi.

Kepala Departemen Kampanye Walhi Teguh Surya menilai Skema REDD akan memicu konflik agraria dan pelanggaran HAM.

”Kalau melihat kebijakan tentang REDD kecil sekali pengakuan kawasan adat itu memiliki akses dan kontrol sumber daya alam dan memiliki hak untuk memutuskan itu. bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Jadi ini berimplikasi pada konflik. Hal lainnya Kalau berbicara status legal kepemilikan lahan sampai hari ini yang memiliki adalah perusahaan-perusahaan besar , maka dapat di yakini hanya perusahaan besar yang bisa mengambil keuntungan dari proses ini. Terlepas ada REDD atau tidak akui secara tegas dalam kebijakan nasional secara legal formal hak kepemilikan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal atas sumber daya alam. kedua selesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi selama ini. Dan kemudian di hitung ulang potensi sumber daya alam indonesia, itu yag harus dilakukan. Jika tidak ga akan merubah apa-apa.”

Selain itu, menurutnya penerapan mekanisme offset untuk mengurangi emisi karbon hanya akan menempatkan Indonesia sebagai “toilet karbon” penampung limbah emisi industri negara maju.

Penolakan skema REDD juga dilakukan Serikat Petani Indonesia. Mereka meminta pemerintah lebih mengedepankan konsep pertanian berkelanjutan yang mengutamakan kepentingan pangan lokal dan nasional di bandingkan kepentingan eksport import lebih di prioritaskan, karena konsep ini mampu mengurangi emisi hinga 50 persen gas rumah kaca. Menurut Staf Kajian Strategis Serikat Petani Indonesia Elisha Kartini, mekanisme jual beli karbon justru berpotensi meningkatkan perampasan lahan milik warga.

"Land lock suatu kawasan di tutup karena hanya sebagai areal penyerapan karbon saja. Dan hasilnya di hitung sebagai pengurangan emisi yang dilakukan negara yang memiliki konsesi terhadap kawasan itu. Jadi Australia, Inggris mengatakan kami sudah melakuakn pengurangan sekian juta ton melalui skema REDD ini. Dan kami melihat juga sebagai bentuk perampasan teritori bagaimana kawasan hutan di Indonesia sudah di kapling-kapling dan di serahkan di kelola untuk penyerapan karbon bagi negara-negara maju sementara di dalam negaranya mereka sendiri mereka tidak mau sama sekali melakukan penurunan emisi baik dari industri , gaya hidup mereka yang konsumtif dan boros energi.”

Hingga saat ini ada tujuh negara yang memberikan sokongan dana untuk REDD di Indonesia yaitu Australia, Norwegia, Jerman, Inggris, dan Korea Selatan sedangkan dua negara yang memberikan pinjaman lunak yaitu Jepang dan Perancis.

Di Indonesia terdapat 21 proyek REDD baik dalam bentuk sukarela maupun proyek utama yang mencakup kawasan seluas 26,6 juta hektar dengan melibatkan dana hingga 6,3 miliar dollar amerika serikat.

Noni Aernee
Deutsche Welle/ Indonesia preoggrame

Bikin film kampung...kenapa tidak???

Komunitas kampung film Ungaran Semarang, sebuah kampung yang warganya aktif membuat film pendek. Dengan semboyan “jadilah pemain, jangan hanya jadi penonton”, Komunitas ini muncul sebagai sarana hiburan alternatif dan edukasi warga agar kreatif. Seperti apa aktivitas mereka, Kontributor KBR 68H Noni Arni ikut menyaksikan pembuatan film pendek yang sering disebut sebagai film kampung ini.

*****

Pak Budi tengah asyik memunguti ikan di sungai yang telah di racun sebelumnya, meski Feri dan anak-anak lainnya yang tengah memancing protes dengan ulahnya.Pak budi tetap tak perduli.

Adegan syuting film berjudul ”memancing di air keruh, Balada iwak kali” bukan syuting kejar tayang artis ibukota. Pemain adalah Budi dan anak-anak kampung Bulusari Ungaran Semarang. Aksi mereka pun tak kalah dengan para aktris film komersil di layar kaca.
Film yang bercerita tentang pentingnya memelihara lingkungan ini adalah salah satu dari puluhan film pendek garapan komunitas kampung film yang Lahir 5 tahun lalu.

Pembuatan film dilakukan dengan suasana santai penuh canda tawa, hanya berbekal kamera dan kaset mini DV jadilah film cerita berdurasi 10 menit, dengan waktu pengambilan gambar tidak lebih dari satu hari.
Kru tetap yang membesut setiap produksi film ini adalah Yusro, anaknya dan warga kampung. Meski nol pengalaman tak membuat kru mengalami kesulitan, seperti kata Heri, salah satu kru komunitas kampung film

”Mereka improve sendiri kita kasih inti-intinya saja. Trus pemainnya suruh mengembangkan sendiri, nanti dialog seperti apa. Baru pertama biasanya agak susah. Belum menemukan Ekspresi, masih agak grogi. Lebih gampang ke anak-anaknya karena mereka lebih terbiasa.”

Anak-anak dan warga lain seperti Asri dan Feri merasa senang menjadi jadi pemain film, meski kata mereka itu adalah film kampung.

”Malu seneng ya campur aduk.(susah ga?) susahnya ekspresinya itu, trus kalo gampangnya kayak udah kehidupan sehari-hari ceritanya. bagus soale bisa ngelatih anak-anak ngasah ketrampilan. Terus Positif lah buat anak-anak , bisa ngisi waktu luang dari pada buat main-main kan mending kayak gini bisa ngasah ketrampilan trus bisa belajar dunia akting kayak di tv-tv itu. bisa ngerasain artis desa.”

”Pertamanya sedikit grogi tidak pede tapi lama-lama bisa ngikuti. Ya latihan sama produsernya. Asyiknya bisa menjadi sorotan masyarakat sekitar sini. Seneng inikan bisa memotivasi anak-anak.”

Keprihatinan maraknya tontonan tidak bermutu di layar kaca, membuat Yusro Edy Nugroho, seorang pengajar universitas negeri di kota Semarang menggagas ide kampung film. Ia tergelitik untuk menumbuhkan kreatifitas di lingkungan sekitarnya

Tujuan yang paling pokok adalah mendidik.mengajarkan kepada anak-anak disini untuk bisa menjadi Orang yang berproduksi, menjadi pembuat, pelaku. Bukan menjadi penonton. saya prihatin melihat anak-anak bermain nintento di depan televisi berjam-jam. apa yang harus kita selamatkan untuk generasi muda sekarang kalau mereka menjadi penonton. Daripada kita nonton tontonan orang, lebih baik bikin sendiri.

Yusro menambahkan, pada awalnya film garapannya hanya melibatkan anak-anak. Kini hampir 80 persen warga ikut terlibat. Sebagai pemain utama, figuran maupun kru. Lokasi syuting pun hanya di rumah warga, halaman, atau di lingkungan sekitar. Dengan Ide cerita tentang keseharian yang membawa pesan moral.

”Cerita kehidupan mereka. Keseharian, persoalan yang ada di keluarga yang kita angkat sebagai cerita. Bahkan kita tidak mempersulit diri dengan bahasa. pake bahasa mereka sehari-hari. (misalnya apa pak?)..
ada sebuah film yang judulnya ”Balada iwak kali” ceritanya sederhana ketika ada cerita dari warga anaknya pak X itu dia kalo makan tidak mau kalau tidak pake ikan. Akhirnya kita bikin film. Bapaknya orang miskin tapi anaknya minta makan selalu pake ikan, akhirnya bapaknya cari ikan di kali dengan apotas. ternyata dampaknya merusak lingkungan. Cerita soal penyadaran masyarakat bagaimana kita harus memelihara lingkungan.

Hingga kini sudah 30-an film cerita diproduksi Komunitas Kampung Film menjadi tontonan wajib saat kegiatan kampung. Warga Bulusari Bandarjo pun mendukung aktivitas komunitas kampung film, seperti halnya Sumpono dan Tafiq

”Baik ya karena memberikan aktifitas pada anak-anak , lalu juga memberi pembelajaran bagi masyarakat, yang jelas itu memberikan perkembangan yang positif bagi anak-anak, pengalaman bagaimana cara membuat film. Lalu orang-orang film itu bagaimana. Mereka yang diajak maen film itu kan nol semua. Harapan saya tidak sekedar buat pengertian tetapi bisa menghidupi. ”

” untuk menumbuhkan bakat, ya saya mendukung karena terus terang dengan adanya seperti ini kan hal-hal negatif bisa tersingkir. Seperti ini untuk mendidik anak.”

Kini warga kampung Bulusari Bandarjo tidak hanya jadi penonton, namun kini benar-benar menjadi pemain film.

Kontributor KBR68H di Semarang, Noni Arni.

Rabu, 04 November 2009

Belenggu Tradisi Pernikahan Dini

Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan anak di bawah umur. UU Perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU Perkawinan, seorang anak perempuan baru boleh menikah di atas usia 16 tahun, seorang anak lelaki di atas usia 18 tahun. Tapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama, KUA, masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun.

Salam jumpa pendengar, saya Noni Arni.

Perspektif perempuan kali ini akan menyajikan tema mengenai perkawinan usia dini yang hingga kini masih marak terjadi, akibat kuatnya budaya yang mengakar pada suatu wilayah. Seperti yang terjadi di Rembang Jawa Tengah.

Sutik perempuan asal Tegaldowo Rembang Jawa Tengah ini, pertamakali di jodohkan orang tuanya pada usia 11 tahun. Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti sebuah pernikahan.

”Dijodohin sama ibu..? iya.. Setelah tahu dijodohkan? Saya masih kecil jadi biasa saja, belum ada pikiran saya suka dengan pasangan saya. Saya belum mengerti, karena waktu itu masih kelas 4 SD saya mulai di jodohkan. 2 kali dijodohkan gagal dan perjodohan ketiga baru saya dinikahkan. Waktu menikah saya belum lulus SD. ”

Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di wilayah Tegaldowo Rembang yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan disini melakukan pernikahan dini.

”Tradisi di sini jika umur belasan tidak segera dijodohkan nanti terlanjur tua dan tidak ada yang bersedia meminang ”

Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencacat nikah di Tegaldowo Rembang Jawa Tengah

”Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku. Percaya hal seperti itu masyarakat di sini. Entah nantinya jodoh atau tidak tetep di terima. Habis saya terima nikahnya..terus besoknya sudah pulang itu banyak.Bisa diartikan dipaksa. Angka perceraianpun tinggi masalahnya kayak gitu.”

Di daerah ini anak umur belasan sudah menikah, bahkan banyak yang sudah menyandang status janda karena orang tua tidak mempedulikan apakah anak bersedia dinikahkan atau tidak. Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah menikahkan terlebih dulu, meski kemudian di ceraikan.

Berbagai cara biasa dilakukan agar pernikahan terlaksana, dari memaksa perangkat desa untuk mempermudah urusan administasi, memberi uang pelicin hingga harus memanipulasi usia anak mereka. Seperti yang terjadi pada Sutik. Dalam surat nikahnya tercatat berumur 16 tahun, meski sebenarnya Sutik menikah di usia 13 tahun.

Salah satu warga Tegaldowo , Suharti menjelaskan
”Akte kelahiran banyak yang di ubah. Ketika akan menikah cari akte lagi, biar bisa menikah umur di aktenya di tuakan. Orang tuanya datang ke sektretaris desa atau modin minta surat kenal lahir. Dibuatkan terus nanti minta dari catatan sipil membuat akte baru. Banyak yang membuat akte baru untuk bisa menikahkan anaknya.”

Setelah semua urusan admistrasi beres, pesta pernikahanpun di gelar dengan meriah, tamu undangan berdatangan, aneka makanan disajikan, kedua pengantin di arak seperti raja. Pesta seperti ini menjadi ajang hiburan warga.

Fenomena pernikahan diusia anak-anak menjadi kultur masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2. Para orang tua ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua.

Mengubah budaya dalam struktur masyarakat turun temurun seperti tradisi pernikahan dini bukan hal yang mudah.

Namun secara perlahan, tradisi pernikahan dini di Tegaldowo Rembang pun mulai terkikis, setelah sebuah lembaga kemanusiaan internasional yang menitikberatkan pada anak, Plan, mulai aktif. Lembaga itu memberikan penyadaran akan dampak negatif perkawinan dini bagi anak anak di bawah umur

Staf Plan Indonesia, Novika Nurdiyanti mengatakan, banyak hal dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup anak perempuan di wilayah ini, seperti edukasi, advokasi, pemberdayaan anak melalui forum anak, konseling hingga gerakan akte masal

”Kita juga melakukan akte masal dengan harapan mereka yang belum punya akte punya akte sehingga usia pernikahan itu bisa lebih panjang. Kita juga melakukan konseling atau perkumpulan bagi remaja yang ingin konsultasi dan tahu lebih banyak tentang program kesehatan reproduksi. Bisa tahu lebih banyak apa dampaknya dari sisi kesehatan reproduksi jika menikah di usia dini, harapanya itu bisa terkikis.”

Menurut laporan badan perencanaan pembangunan Bappenas tahun 2008, dari 2 juta lebih pasangan yang melakukan pernikahan, angka pernikahan dini dibawah 16 tahun mencapai hampir 35 persen. Di Departemen Agama persentase angka ini diketahui karena adanya surat dispensasi bagi perempuan yang belum cukup umur.

Menurut Suwandi, tingginya angka kasus perkawinan dini, karena UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak konsisten dalam memberikan batasan terhadap batas minimal usia perkawinan.
Dalam pasal 7 disebutkan, jika belum memenuhi syarat perkawinan yakni anak perempuan usia 16 tahun, maka diberikan dispensasi.

”Kepala desa dan perangkat sudah menyarankan supaya nikahnya sampai umurnya pas. Lha sementara kalau sini mengajukan katanya orang PA (Pengadilan Agama) ada undang-undangnya. kalau memang PA tidak mengeluarkan dispensasi mungkin sudah tidak ada lagi pernihakan dini. Setiap kali ada pertemuan dari tingkat desa , kecamatan, kabupaten yang di bicarakan pasti pernikahan dini, saya malu karena setiap ada dispensasi, perceraian, pernikahan dini pasti wilayah Tegaldowo terus. Biasanya yang melakukan pernikahan kisaran 14-15 tahun.”

Suwandi menambahkan, Dalam konteks kekinian, anak-anak sebenarnya belum siap secara psikis dan sosial untuk membentuk keluarga. Karena itu, Undang-Undang harusnya tegas karena banyak hak-hak perempuan dan anak yang dikorbankan.

Koordinator Plan Rembang, Endang Suprapti menilai, perubahan mulai terlihat beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran warga akan pentingnya pendidikan

”Perubahan yang siknifikan yang terlihat adalah perubahan pola pikir masyarakat. Di awal mereka lebih mementingkan dirinya sendiri, sekarang ini mereka sudah mulai berpikir bahwa anak-anak itu penting, anak-anak perlu di prioritaskan. Misalnya sebagai contoh ternyata mereka melihat bahwa pernikahan dini itu adalah sesuatu yang melanggar hak anak. Sehingga mereka mau terbuka. Lalu mereka juga mencoba mencari jalan keluarnya. Itu yang terjadi di masyarakat.”

Kini, di wilayah ini Semua orang terutama orang tua mulai menyadari dan belajar dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernikahan di usia dini.

Demikian perspektif perempuan kali ini, saya Noni Arni mohon pamit, Salam.

Nov '09

Negeri Bedebah di Ladang Perminus...

Kampanye anti korupsi lewat teater
publish on KBR 68 H Jakarta
by. Noni Aernee

Melawan korupsi tidak hanya dengan menggelar aksi demo dan bentangan spanduk di jalan-jalan.

Para pegiat anti korupsi punya cara lain. Lewat pementasan teater yang realis berjudul ”Ladang Perminus”, mereka mencoba menyadarkan masyarakat akan bahaya laten korupsi. Seperti apa kampanye pencegahan korupsi ini, kontributor KBR 68 H Noni Arni mengajak anda menyaksikan pentas teater yang berlangsung di Taman Budaya Raden Saleh Semarang, Jumat pekan lalu

Hidayat merasa dibohongi dan terhina sang atasan, Kahar . Hidayat di fitnah melakukan korupsi di Perminus, sebuah perusahaan minyak negara tempatnya mengabdi. Bekas pejuang angkatan 45 ini, bahkan dipaksa melepas jabatan sebagai menejer karena tuduhan itu.

Inilah sebagian adegan pementasan teater berjudul ”Ladang Perminus” yang dimainkan sanggar Mainteater Bandung. Pentas itu merupakan bagian dari kampanye anti korupsi yang di gagas puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM seperti ICW, LBH dan Walhi.

Lakon Ladang Perminus diadaptasi dari novel karya Ramadhan KH berjudul sama, isinya kritik atas merebaknya budaya korupsi di Indonesia di tahun 70an, khususnya di sektor industri perminyakan. Lakon teater itu mengisahkan tokoh utama Hidayat seorang menejer perusahaan minyak nusantara atau perminus yang idealis, di fitnah melakukan korupsi oleh atasannya. Skandal korupsi yang sebenarnya melibatkan sang pemfitnah. Skandal itu akhirnya terbongkar.

Tapi meskipun terbukti bersalah, toh Kahar yang akhirnya meninggal itu tetap dimakamkan di Taman makam pahlawan.

Lakon teater Ladang Perminus itu tidak menuturkan mengenai kasus tertentu, tapi lebih menunjukkan pesan moral kepada penonton agar tetap tidak menyerah dalam memberantas korupsi. Setidaknya itu pesan yang ingin disampaikan sutradara ”Ladang Perminus”, Wawan Sofyan

”persoalan ini telah mengakar lama sekali di bangsa indonesia, apakah kita tetap mau berdiam seperti sekarang menerima kenyataan bahwa korupsi itu budaya atau kita akan bergerak ke suatu kondisi yang lebih baik. teater itu adalah bagaimana merespon situasi sosial masyarakat sekelilingnya, dan saya rasa persoalan korupsi adalah persoalan yang besar sekali. menyangkut hajat hidup orang banyak. Kami memutuskan tetap di tahun 70 supaya ada kesan di penonton bahwa masalah ini muncul tahun 70an dan sampai sekarang masih terjadi. Tetep tahun 70an tentang korupsi dibicarakan saat ini orang akan berpikir ternyata sudah terjadi berberapa puluh tahun yang lalu dan sampai sekarang tidak ada perubahan apa-apa tentang itu.”

Pentas Ladang Perminus itu mendapat dukungan penuh dari Koalisi LSM anti korupsi di Jawa Tengah yang bernaung di bawah bendera Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme KP2KKN.

Sekretari KP2KKN Jawa Tengah Eko Haryanto mengatakan, korupsi merupakan jenis kejahatan yang luar biasa. Karena itu diperlukan kampanye aktif dalam bentuk apapun, termasuk melalui jalur seni dan budaya.

”Bercerita soal korupsi di tubuh pertamina, soal lingkungan hidup, hak azasi manusia, setingannya tahun 74 itu hampir sama dengan kontek kekinian. korupsi itu tidak pernah berubah bentuknya, juga di kota semarang yang begitu parahnya kasus korupsinya. bagi kami itu sangat relevan dan masih layak untuk kita tampilkan. ”

Pertunjukan teater “Ladang Perminus” itu memikat ratusan penonton. Banyak orang yang menganggap pertunjukan itu berhasil mengupas habis kasus korupsi dalam tubuh Perminus atau perusahaan pertamina jaman dulu.Pujian antara lain datang dari Zahrotul Mufidah, mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang

”Bagus baget aktore mainnya pembawanya tenang banget, aku seneng. Mereka membawakan pesan-pesan ceritanya itu dengan bagus. negeri kita sudah terbius oleh para korupsi.orang-orang kayak gitu cara berpikirnya ga positif gitu loh.”

Sejak masa orde baru dulu, teater kerap digunakan untuk menggugat praktek korupsi. Kini teaterpun tetap dianggap sebagai media yang efektif untuk menyuarakan kampanye anti korupsi.

Pemerhati seni pertunjukan Rudi Gunawan menilai seni teater mulai dijadikan sebagai media alternatif yang cukup efektif untuk kampanye, termasuk kampanye anti korupsi.

”Teater bisa menjadi medium yang pas asal dikemas dengan populer. Ini kan sebuah upaya baru dengan konsep yang jelas, target audien yang jelas. efektif atau tidaknya saya kira kekuatan pendekatan kultural atau kebudayaan itu adalah persuasif. jadi dalam pertunjukan ini ”ladang perminus” hampir semua penonton ketika pulang paling tidak akan membenci koruptor."

"Hanya di negeri ini, hanya dinegeri ini...seorang koruptor bisa menjadi pahlawan.."

30 Okt '09

Jumat, 02 Oktober 2009

Jangan Lupakan Limbahnya...(Batik..)





SAGA KBR 68H Jakarta
by. Noni Arnee

Batik kini menjadi tren, dipakai oleh anak muda dan orangtua, tak dianggap kuno atau tak menarik. Salah satu kota penghasil batik adalah Pekalongan, Jawa Tengah. Tapi di Pekalongan, pencemaran akibat limbah batik menjadikan kota ini sebagai kota paling tercemar se-Jawa Tengah. Air sumur tak lagi bisa dipakai lantaran tercemar. Separah apakah limbah batik ini di Pekalongan? Simak ceritanya,

“Airnya dari sungai, yang dibuat buang limbah batik. Kampung-kampung deket sungai Kampung yang bikin batik. Lewatnya selokan terus masuk sungai terus ke sawah.Ini dah lama sejak ada batik kecil-kecil”keluh Tarjuni

Sawah Tarjuni letaknya dekat Desa Pabelan, salah satu sentra pengrajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah. Sawah ini sekarang lebih sering gagal panen, ketimbang berhasil. Penyebabnya adalah aliran sungai yang tak lagi jernih, tapi berwarna dan berbuih; tercemar limbah pewarnaan batik.

Di belakang setiap rumah terdapat selokan selebar 1,5 meter. Air yang melintas pekat, warnanya merah kehitaman. Isinya limbah batik, sampah rumah tangga, sampai kotoran manusia. Rumini, pengrajin batik Pabelan mengatakan, air inilah yang digunakan untuk mencuci kain batik sebelum dibilas dengan air sumur.

“proses batik itu harus dikali (sungai kecil red-)..kalau gak di kali gak bisa. Kalau di sumur semua tempatnya gak ada. Nanti di bilas di bak. Pokoknya liatnya bagus.Disini prosesya begini.pokoknya dikemasnya bagus.semua bikinnya juga begini.nyuci sekali tu biar praktis, ngejar waktu.”

Kata Rumini, ujung selokan ini adalah sungai. Kepercayaan setempat menyebut, mencuci batik harus di kali atau sungai.

”Nggak ada yang melarang. Sudah bebas disini. Kalinya kan tidak besar.pokoknya ya buat nyuci disini. Kualitasnya ga terpengaruh... Nyuci tidak terpengaruh malah laris batiknya kalau dijual. Tidak ada yang tahu kalau nyucinya ditempat selokan yang airnya sangat kotor seperti ini.Kalau dah dikemas bagus.”pengrajin lain menambahkan.

"2 atau 3 hari batik sudah jadi.(berapa kali nyuci tanya saya..3 kali..direndem satu jam ..nah.ini dah jadi..(airnya bisa buat berapa kali nyuci pak?).. 3 kali..( trus buang airnya ke mana ?)…ya ke saluran, trus kesungai.." demikian obrolan saya dengan pengrajin batik di Pabelan.

Setelah batik diwarnai, batik dicuci dalam sebuah bak. Sisa cucian batik lantas dibuang lewat selokan khusus, menuju ke sungai. Memang tak semua pengrajin batik membuang limbahnya ke sungai, tapi sebagian besar begitu. Jangan lupa, ini adalah kegiatan turun temurun, yang dilakukan oleh sebagian besar industri batik skala rumahan. Mereka yakin limbah batik tak berbahaya.

Obrolan saya terus berlanjut,
(Sehari buang ganti yang baru lagi. Ke sungai…itu da langsung di kolah-kolah (kolam red-)kecil..gorong-gorong langsung lalu ke timur..naik ke sungai kecil di pinggir jalan itu.. dah biasa.Kalau batik gak bau gak.tapi hanya berwarna kayak gitu.gak-gak bahaya.)" jelasnya.

Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Kota Pekalongan pada tahun 2008 mencatat, ada 12 ribu industri kecil dan 23 industri menengah besar yang membuang limbahnya ke sungai. Semua limbah, apa pun bentuknya, berpotensi mencemari lingkungan. Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Pekalongan, Masrur mengatakan, salah satu sumber limbah adalah industri batik rumahan.

“Tidak usah dipantau itu otomatis ya tahu lah kalau limbah itu masuknya ke sungai.habis itu ke laut. 4 sungai.”
“Limbah batik mengandung B3, termasuk warna, BOD, COD itu memang tinggi sekali dibanding limbah rumah sakit. Limbah batik BOD, COD tinggi. Untuk merendahkan sesuai baku mutu itu memang sulit prosesnya mahal. Ada konsultan dari Jakarta yang menawarkan tak mampu untuk menuunkan BOD 1500 yang sesuai standar 50 itu ga bisa”

Sialnya, ada sekitar seribuan industri batik rumahan yang membuang limbah ke sungai. Meskipun limbah itu sangat berbahaya, tak banyak yang bisa dilakukan Pemerintah Kota Pekalongan.

“Jadi ini kalau satu dua banyak yang taat. Sedikit mungkin gampang diatasi. Yang jadi masalah ini kan pelanggaran kolektif. Pelanggaran berjamaah.apa suruh nutup semua.”
“Tidak ada complain. karena dia buruh batik ditempat majikannya tetangganya sendiri. Itu bisa langsung lapor saja. Masak mo melaporkan majikannya sendiri. Suruh menutup usahanya..la terus mau kerja apa.melaporkan dia..ya memang sedikit banyak tercemari. Masak mo melaporkan tetangganya sendiri. Memang dilema”

*****

Apakah sungai di Pekalongan akan dibiarkan tercemar, demi menopang pesatnya pertumbuhan bisnis batik?

Pencemaran limbah batik berasal dari penggunaan zat kimia sebagai pewarna. Kepala Badan Pengelolaan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Tengah Djoko Sutrisno mengatakan, ini dimulai sejak batik mengalami masa kejayaan pada 1970an. Order meningkat, penggunaan zat pewarna kimiawi otomatis melimpah.

“Sebelum ini langsung membuang limbahnya di alur-alur sungai disitu sendiri. Memang ini industry kecil, dulu pada saat nenek moyang mereka memulai usahanya yang pertama itu pewarna batik belum banyak menggunakan warna-warna kimia. Realitanya di kanan kiri sungai, sumur penduduk sudah berubah warna . bahkan ada yang tidak bisa digunakan lagi”

Wahnuri, warga Desa Sepacar, Kecamatan Tirtokalongan, berdiri di tepi Sungai Pencongan, Pekalongan. Ia menunjukkan pada saya sumber pencemar sungai, yang membuat air sungai berwarna merah kehitaman.

“Ini sungai warnanya merah, itu juga..air batik dari pabrik.ngalirnya sebelah sana. Ada pintu itu. Mo liat sana? padahal Dulunya bersih..(Wahnuri menawari saya untuk melihat lebih dekat aliran limbah yang berasal dari gorong-gorong pabrik)
"Dah ijin sama pemerintah. Ada uangnya.TST (tahu sama tahu )gitu... bisa disuap kan ga papa. Banyak warga yang kerja di pabrik”jelas Wahnuri.

Jarak dari pabrik batik ke sungai hanya 300 meter. Meski limbah sudah teramat jelas di depan mata, tak ada warga yang protes. Termasuk mereka yang tinggal di bantaran sungai.

“Mau minta berapa kamu saya beli..kan udah.lewat batik..dijual.kan aman. Obatnya kan nglerit berkali-kali ada yang merah, hitam, ijo gitu. Tapi semua diam aja. Lha bagaimana orang kampung juga diam apalagi saya. pasrah saja. Sebetulnya ini ga boleh. biar aman. Orang kampung sudah diam karena sudah dibeli.”ungkap Wahnuri.

****

Fajar dan istrinya tinggal di bantaran Sungai Banger, yang juga tercemar limbah batik. Air sumur Fajar sama sekali tak bisa dipakai.
Fajar mengingat masa perjuanganya bersama 87 kepala keluarga yang tinggal di sepanjang sungai banger. Mereka menuntut 3 perusahaan tekstil yang nyata mencemari sungai. Tahun 1988 kasus Kali Banger mencuat.

”Sumur saya itu rasanya asin, pahit, getir, dan warnanya itu kuning. Diatas nglirap minyak tanah. Buat nyuci misalnya, 1 timba air, soklin satu bungkus kecil nggak berbusa. Kalau dipake kurang enak. setenga gatal-gatal gitu..tapi kepekso. sampe alat-alat rumah tangga gelas, piring warnanya kuning semua. sampe kuku-kuku kuning seperti orang biasa ke sawah. ikan-ikan mati, ke sawah sudah ga bisa.10 tahun sumur saya kena limbah. sungai itu warnanya hitam dan baunya menyengat sekali.. bener menyesakkan. Susah. rusak parah.ke DPR pekalongan, semarang, pusat jakarta sampe ke mahkamah agung itu terus maju tak ada henti-hentinya ...itu sistem gerilya”

Kebanyakan limbah batik itu mengucur langsung ke sungai yang mengalir di Pekalongan. Ini berbahaya. Limbah bisa meresap masuk ke sumur warga, yang jaraknya hanya sekitar 5 meter dari sungai. Danali, warga Jenggot, misalnya, tak lagi bisa menggunakan air sungainya.

”Limbah-limbah masuknya ke kali semua. Dari jenggot, simbang wetan, krajenan.masuknya ke kali. Ada UPL tapi jalannya paling masuknya jam 8-9. Yang lainnya masuk kali. Jadi cemar kalinya.pokoknya sini tu untuk pembuangan semua. Limbah-limbah masuknya ke kali semua.”Masuk ke kali kesumur. Dah lama tahun 89 sampe sekarang. Air agak hitam. sumur rusak tidak bisa dipake.”

Padahal di Jenggot ada satu Unit Pengelolaan Limbah batik organik. Jumlahnya memang tak sepadan dengan buangan limbah yang mencapai 900 meter kubik limbah cair sehari dari 23 pengrajin resmi. Operator Unit Pengelolaan Limbah di Jenggot, Bambang mengatakan, unitnya berfungsi dengan baik. Hanya kapasitasnya saja yang kurang, hanya 400 ribu meter kubik. Limbah yang ditampung hanya sepertiga dari keseluruhan produksi limbah tiap hari.

“Dibawah batu ga langsung tanah ada lapisan semacam karpet itu namanya geo membran. Fungsinya air limbah tidak meresap ke tanah.karena kalau meresap ke tanah otomatis sumur masyarakat itu kan tercemar.Penyaringan ke batu-batu. Ada yang masih terbuang sekitar 300 lebih. Makanya kalau ada yang bilang kurang berfungsi itu ga benar.. cuman kurang muat.Daya tampungnya kurang.”

Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk menangkal dampak buruk pencemaran limbah batik. Cara yang paling bisa dilakukan setiap pengrajin batik adalah beralih ke pewarna alami. Pemerhati batik asal Pekalongan Dudung Alisyahbana berani jamin, bahannya murah dan mudah didapat.

“Dari tingi, tegeran,jambal, secang,dll. Beberapa daun dan akar mengkudu.beberapa tempat tumbuh liar di pinggir jalan.itu banyak sekali jalan dari Pekalonga ke pemalang kemudian di tegal Ringroot arteri dikendal . it juga banyak sekali tumbuh liar.“

Akademisi teknik lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, Junaedi mengingatkan, pewarna kimiawi sama sekali tak bisa terurai dan bisa menyebabkan kanker.

“Proses pewarnaan itu, karena tradisional dan hanya di celupkan. Tingkat peresapan warnanya rendah. Sebagian besar limbah 75 persen terbuang semua. Jadi yang meresap ke kain, ke benang hanya 25 persen. Semakin rendah tingkat industrinya, pencemaran makin besar karena dari sisi warna tadi.
Seremnya kan di warna. Fluktuatif warnanya bukan harian tapi jam-an.kalau lagi hijau itu hijaunya lebih hijau dari baju kita. Merah tapi air limbahnya lebih merah dari yang mbak pake. Mengerikan
Warna itu bisa mengalami bioakumulasi senyawanya karesnogenik bisa timbul tumor.tubuh kita efeknya tahunan jadi susah. “

Tapi Pemerintah Kota Pekalongan mengaku kewalahan kalau harus mengingatkan satu per satu industri batik rumahan.

“Saya tidak mungkn jaga 24 jam disana ya memang pegusaha kan maunya efisiensi, diantaranya karena pembuangan yang tanpa diketahui. Ni jelas memungkinkan, buang tengah malam masak saya suruh jadi herder juga. Kan ga mungkin lah, pembungan seperti itu kan mungkin juga yang namanya pengusaha kan cari celah."ungkap Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Pekalongan, Masrur.

Mengingat Pekalongan memiliki tingkat pencemaran paling tinggi se-Jawa Tengah, langkah jitu mesti segera dilakukan demi menyelamatkan sungai. Kepala Badan Pengelolaan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Tengah Djoko Sutrisno Salah satunya dengan remediasi lahan

“Kita bisa memafaatkan mikroorganisme maupun dengan sejumlah tanaman yang kita tanam pada lahan yang sudah tercemar itu. Tanaman-tanaman yang kita pilih yang rakus akan unsur logam pakai rami, nilam yang menyerap unsur logam. Bisa dengan kubis.ditanam di areal itu tidak boeh dikonsumsi. Ini harus dimusnahkan”

Upaya lain adalah mengajukan industri batik yang bandel dan tak mau mematuhi aturan lingkungan ke pengadilan. Seperti yang dilakukan Fajar dan 87 keluarga lain yang tinggal di sepanjang Sungai Banger. Pada 1988, mereka menuntut tiga perusahan tekstil yang terbukti nyata mencemari sungai.

”Saat pelebaran, sungai itu untuk pembuangan sudetan di Pekalongan. tapi ternyata yang mengalir itu limbah sungai. ini kan disedot untuk mengaliri sawah ke utara. rusak total 20 hektar. mati total. itu berarti imbah kan sudah parah. dari masyarakat terus mengajukan gugatan minta diperbaiki. limbah dibikinkan ipal dari pemerintah maupun pabrik. lha timbul demo-demo itu tapi tetep saja dari pihak aparat polisi dan tentara selalu menghalang-halangi”

LBH YAPHI mendampingi warga membuktikan pencemaran yang dilakukan tiga industri batik itu.

”Yang paling alot adalah pada pembuktianhya begitu lama, karena kami harus membutikan satu persatu. misalnya pembuktian mengenai pencemarannya itu sendiri, kami harus mencarikan saksi ahli yang bisa membuktikan dan harus bisa membaca hasil analisa. Tidak setiap ahli mau dijadikan saksi ahli dalam kasus kemasyarakatan seperti ini. pembuktian bagi masyarakat itu sendiri. karena misalnya salah satu penggugat mengatakan dia rugi karena sawahnya tercemar itu juga harus dibuktikan,"ungkap Koordinator LBH YAPHI, Lusila Anjela Bodroani.

Hasilnya? Tak sia-sia. Pada 2003 Pengadilan Negeri Semarang sampai tingkat kasasi menyatakan perusahaan tekstil bersalah. Ketiga perusahaan itu terbukti membuang limbah ke sungai dan mengakibatkan kerugian: ternak mati, sawah puso dan hajat hidup warga sekitar Sungai Banger terganggu. Warga mendapat ganti rugi, meski tak layak.

”Jelas tidak bisa menyelesaikan semuanya. harapan dengan adanya satu putusan menjadi evalusai bagi semua penentu kebijakan di pekalongan. pemkot melakukan kebijakan yang mendukung pada penegakan hukum aparat .dari perusahaannya sendiri sudah sadar. cuman mekanisme ini tidak jalan . yang seharusnya itu sudah diawali baik oleh masyarakat ya akhirnya tidak ditindak lanjuti.akhirnya masyarakat lagi yang jadi korban”

Identitas Pekalongan sebagai kota batik harus terus dipelihara demi menjaga kelestarian batik. Tapi jangan sampai ini mengorbankan sungai dan lingkungan.

Jun '08

Sabtu, 26 September 2009

Mudik..Mudik....








Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme
by. Nonie Arnee

Tradisi mudik adalah tradisi tahunan yang berlangsung setiap menjelang hari raya Idul Fitri. Mudik adalah juga kegiatan perantau atau pekerja migran di kota-kota besar untuk kembali ke kampung halamannya. Makin banyak penduduk desa yang bekerja di Jakarta, makin banyak juga arus mudik menjelang lebaran dari Jakarta kembali ke desa asal.

"di Jakarta membantu di rumah makan. Mau ke Wonogiri naik motor. Mudik sama anak istri . Tiap tahun pasti mudik. Kalau pulang kampung yang utama ya sungkem sama bapak dan simbok. Sudah selesai sungkem pulang lagi ke Jakarta. Kita ninggali uang 10 ribu..50 ribu. (kenapa milih ke Jakarta..)Di jakarta karena ada teman yang bawa saya. Gajian 1,2 juta sebulan. di kampung paling kerjaannya petani itu kalo punya tanah, lha saya ga punya apa-apa. di kampung mau jadi apa."

Yitno adalah salah satu dari jutaan masyarakat pedesaan yang mengadu nasib ke kota besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Pengamat sosial Universitas Diponegoro Semarang Hedi Pujo Santoso mengatakan, mudik bagi perantau adalah sarana mempererat hubungan kekeluargaan. Namun 10 tahun terakhir ini mudik juga jadi lambang keberhasilan

"Berjejal-jejal berkeinginan untuk bertemu dengan keluarga bersilaturahmi, sekarang fenomena itu juga mulai berubah ketika mereka tidak sekedar ingin bertemu untuk berslaturahmi tetapi juga ingin bertemu untuk bercerita tentang ”succes story” , bercerita tentang pekerjaan, kesuksesan yang di raih di perkotaan. Fenomena ini ada plus minusnya, bisa memicu teman-teman mereka yang ”jobless” di daerah asal. Tetapi pada sisi lain ada perilaku dari tempat asal yang secara kultural tidak sesuai lagi. Sehingga menimbulkan perilaku yang konotasinya negatif Misalnya konsumtivisme yang saya kira tidak baik untuk orang-orang daerah asal."

Untuk mengantisipasi membludaknya jumlah pemudik dan untuk membantu kelancaran, pemerintah setempat harus menyediakan transportasi dan sarana pendukung. Di Jawa Tengah, jumlah pemudik yang melintas bisa mencapai 5 juta lebih.

"Kaitannya dengan perlengkapan jalan, marka rambu dan sebagainya sudah kita lakukan, penambahan jalan alternatif, posko-posko di jalur transportasi. Jumlah pemudiknya yang naik bis itu kira-kita sekitar 4,7 juta. Kalau di hitung secara total itu yang menggunakan jalur darat, kalau moda angkutan semua, lebih dari itu. Kenaikan cukup signifikan sampai 15 persen. Dan yang fenomenal arus mudik yang menggunakan roda 2."Jelas Kepala Dinas Perhubungan Jawa Tengah, Kris Nugroho

Hedi Pujo Santoso menjelaskan, Peningkatan arus pemudik ini disebabkan semakin meningkatnya kaum urban perkotaan. Karena di desa makin sedikit lapangan pekerjaan yang menjanjikan untuk masa depan. Jadi makin banyak orang yang mencari pekerjaan di kota.

"Migrasi orang-orang dari daerah ke pusat itu karena, memang bidang pekerjaan memusat di perkotaan, sehingga tidak memungkinkan mereka berkarya di daerah asal."

Meningkatnya jumlah kaum urban yang selalu mudik tiap tahunnya sebenarnya bisa di tekan, jika pemerintah lebih serius melakukan pemerataan pembangunan

"Kalau di daerah hal itu sudah tercukupi saya kira tidak ada alasan untuk ”pindah ladang” katakanlah begitu. Jangan membuat pusat-pusat ekonomi itu hanya di perkotaan supaya ada keseimbangan. Dengan otonomi daerah itu sangat memungkinkan."

Banyak pemudik yang harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Mereka melakukannya untuk bisa berkumpul lagi dengan dengan keluarga dan kerabat. Pengalaman kembali ke kampung halaman adalah pengalaman mengesankan, apalagi kalau mereka bisa bercerita tentang keberhasilannya.

Semarang, Sept '09

Kamis, 24 September 2009

Melongok Pesantren Preman



KBR68H Jakarta

Pondok pesantren seringkali dijadikan tempat untuk mempertebal ilmu agama. Begitu juga di Pondok Pesantren Istigfar milik Gus Tanto, di Kampung Perbalan, Semarang, Jawa Tengah. Yang unik, santri yang berguru ilmu di sana adalah preman. saya datang melongok situasi di sana.

"suasana shalat berjamaah"
Malam di ujung sebuah gang kecil di Kampung Perbalan. Kampung ini sejak zaman penjajahan Jepang, dikenal sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan. Sebuah perkampungan kumuh di Semarang yang banyak di huni penggangguran, pemabuk, penjudi, perampok dan pelaku kriminal lainnya. Tak heran jika kawasan ini disebut kampung preman. Dan kesan itupun masih melekat hingga kini.

"Ridho Allah itu dari ibunya,yg penting dari ibu..doa orang tua itu sepanjang masa, nek doa –ne pelacur sekejap mata..ni..tak critani ya, ada kejadian..di acara pengajian di tempat pelacuran. Santri saya Dah pake picis..masih di tanya ga ngamar mas..langsung saya tanya apa tipemu itu tipe pecinta wanita..padahal dah pake busana muslim mash di tawari..tapi justru indahnya dunia ya seperti itu..jadi ga nampilin putihnya saja ato hitamnya saja.. yang penting kita berusaha" suara obrolan Gus tanto diselingi ledekan dan tawa para santri

Beginilah cara Gus Tanto mendekatkan diri dengan santri yang disebutnya jemaah. Obrolan ini adalah metode tombo ati, bentuk pencerahan rohani yang biasa dilakukan Gus Tanto. Metodenya adalah ngaji tombo ati, yakni membuka hati para jemaahnya untuk berbuat baik.

Suasana ini dapat kita jumpai tiap malam usai pengajian dan shalat berjamaah di Pondok Pesantren Istigfar. nama istigfar karena tempat ini menjadi sarana untuk bertobat. Di pesantren yang sekaligus tempat tinggal Gus Tanto ini, sekitar 250 preman belajar mendekatkan diri kepada Tuhan. Semuanya adalah santri kalong. Santri yang datang ke pondok jika ada acara atau membutuhkan konsultasi.
Diantaranya Sugiharto, seorang teknisi asal Semarang, yang pernah merasakan hidup dalam dunia hitam selama 25 tahun.

”Kehidupan sebelum dapat pekerjaan ya di jalanan. Identik dengan kekerasan. Dulu kalo pulang mabuk. Pulang mesti ada masalah abis berkelahi, pakainan banyak darah. Kelamaan kehidupan seperti itu mempengaruhi apalagi saya sudah punya istri dan anak. Dengan tuntutan hati saya akhirnya kesini ketemu Gus Tanto, Kyai tombo ati. Saya dapat pencerahan sampai sekarang ini. Berpuasa melatih kesabaran.”

Lahir dan besar di Perbalan, Gus Tanto tak tahan menyaksikan kekerasan di sekitarnya. Gus Tanto sapaan akrab Muhammad Kuswanto, pengasuh Pondok Pesantren Istighfar pun kemudian bertekat merubah imej kampung tempat tinggalnya dengan membangun pondok pesantren.

”Orang main ke perbalan itu berpikir seribukali. Dikarenakan tidak aman apalagi nyaman.”Broklynnya” Semarang itu ya Perbalan ini. Krisis moralitas.Dengan di himpit lingkungan seperti itu,saya kok punya naluri Bagaimana saya bisa untuk menerapkan yang namanya kebenaran itu bagaimana. Dan saya buktikan lepas dari SMA.”

Karena terkendala dana, secara fisik ponpes baru berdiri tahun 2005. Namun, aktivitas jamaah pesantren ini sudah berlangsung sejak 20 tahun lalu, bersamaan dengan kiprah Gus Tanto di dunia jalanan dan preman. Meski hanya mandor di terminal, para preman disapa dan dibina melalui pengajian dan konsultasi rohani, hingga kembali menemukan jalan Tuhan.

”Saya harus masuk. Terjun dunianya. perjuangannya sampe mana-mana. Saya terjun di terminal langsung. Basecamp nya mereka-mereka. bener-bener mengetahui semuanya.saya jangan sampe menggurui orang atau mengatur orang. Saya ngalir aja. Saya kumpulin itu dia pengen minum , saya belikan. saya harus mendalami bagaimana psikologisnya. dari bandit kelas bawah sampai kelas atas hingga tetek bengek sudah ada.dan mereka menyadari semua perbuatan itu adalah perbuatan negatif”

Perlahan, satu persatu para preman tersentuh. Selain Sugiharto, juga Feri, bekas pemabuk yang biasa di sapa mbah iblis. Mereka merasa lebih nyaman belajar di ponpes istigfar. Karena lebih menekankan pembentukan akhlakul karimah. Tanpa mendikte dan menggurui.

”Di sini terus keluar, masih kayak gitu. Balik lagi ksini. Pokoknya kalo dari sini tidak melarang sepenuhnya.cuman kalo bisa di kurangi..dikurangi..Terapinya memang kayak gitu sih. Ok kamu make ga papa. Akhirnya sadar sendiri.”
”Adaptasi cuman sebentar. Kamunitas temen-temen di sini semua enak. Bisa ngertiin.Lagian mayoritas jalan cerita hidupnya seperti saya semua. Yang di sini yang lebih parah dari saya juga banyak dulunya seperti ada yang pembunuhan, ada yang rampok.”tambah Sugiharto.

Memang, sepintas bangunan pesantren ini lebih mirip sebuah klenteng dengan hiasan ornamen relief naga. Keunikan lain, lampu disko di dalam mushola dan tulisan "Wartel Akherat 0.42443" yang tertera pada dinding mushola. Sederetan angka jumlah rakaat salat, yang melambangkan cara berkomunikasi dengan Allah.

Semua keunikan pada ponpes tersebut, kata Gus Tanto melambangkan perjalanan para preman yang ingin kembali ke jalan yang benar.

Warga Perbalan seperti hal nya Sri Rahayu menyambut baik Keberadaan ponpes istigfar, karena ponpes mampu menjaga lingkungan yang sebelumnya mendapat stigma sebagai kampung preman

”Yang orang mabuk-mabuk itu sekarang ga ada. Bersih dan aman. pada waktu tahun dulu-dulu agak ga tenang khan banyak preman., sekarang dah sadar. Pokoknya sini dah aman. Sekarang ga ada orang mabuk..ga ada. Bisa mengamankan. Sudah beberapa tahun sudah tidak ada siskampling tetap Aman.”

Seiring dengan waktu, jemaah Kyai tombo ati ini merebak. tidak lagi dipenuhi preman. tapi, lapisan masyarakat dari berbagai strata sosial, seperti pejabat, artis, pegawai, polisi, dan lain-lain

Tiap malam suara tadarusan terus terdengar di ujung gang"

Kalau dulu identik dengan suara pemabuk yang mengganggu tidur, Kini ayat-ayat Alquran selalu terdengar setiap malam di kampung preman.

Semarang, Sept 09

Noni Arnie

Pesona di Bawah Garis Katulistiwa



Suara Merdeka / Wisata
31 Agustus 2009 | 21:08 wib

Panas dan asap menyambut saya dan rekan-rekan saat pertama menjejakkan kaki di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Terik di sana sudah kami perkirakan sebelumnya mengingat kota tersebut dilintasi garis khatulistiwa.

Namun, asap yang diakibatkan hutan terbakar adalah hal lain. Apalagi asap itu bertahan hingga malam, sehingga hampir semua orang yang keluar harus mengenakan masker penutup hidung.

Tapi, persoalan di kota yang konon semula berupa kerajaan (kesultanan) itu tak berhenti di situ. Sesampai di hotel tempat kami menginap, permasalahan yang mendera bertambah dengan sering matinya aliran listrik. Hampir setiap tiga jam sekali, aliran listrik terputus selama beberapa menit.

Meski sedikit terganggu dengan kondisi itu, saya tetap berusaha menikmati Pontianak. Salah satu yang menarik di kota tersebut adalah budidaya tanaman lidah buaya (Aloe Vera). Di sana berdiri Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional atau yang sering disebut sebagai Aloe Vera Center Pontianak.

Letaknya di Siantan Hulu, Pontianak Utara. Dari pusat kota, perjalanan ke tempat tersebut menempuh waktu sekitar 30 menit.

Setiba di sana, pandangan mata saya dan rombongan langsung tertuju pada tanaman lidah buaya yang ditanam di halaman muka hingga belakang. Di depan, ada belasan pot yang ditanami tanaman yang disebut berasal dari Kepulauan Canary (barat Afrika) itu dengan ukuran cukup besar. Tapi, masih ada lidah buaya yang lebih besar ditanam di bagian belakang. Jumlahnya juga puluhan bahkan mungkin lebih dari ratusan.

Petugas yang menyambut kami mengatakan, tanaman lidah buaya baru masuk di Pontianak sekitar tahun 1980, tepatnya di Siantan Hulu. Saat itu, sebagian tanaman masih ditanam dalam pot sebagai tanaman hias dan sebagian lagi ditanam di kebun bercampur dengan tanaman pepaya dan sayuran. Pada tahun itu, lidah buaya juga belum dibudidayakan secara khusus.

Satu dekade kemudian, barulah tanaman yang oleh etnis Tionghoa disebut tanaman ajaib (suci) itu sedikit demi sedikit mulai dibudidayakan. Aloe Vera mulai ditanam di lahan khusus, tidak lagi bercampur dengan pepaya atau sayuran.

”Pada tahun 1992, Aloe Vera mulai dikenalkan pada masyarakat luas di sini. Saat itulah masyarakat mulai mencarinya,” ujar petugas tersebut dengan ramah.

Di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional, selain lahan budidaya, kita juga bisa melihat langsung produk-produk yang dihasilkan tanaman tersebut. Di sebelah kanan pintu masuk, tersedia tempat untuk menjual produk-produk itu, seperti minuman, selai, teh, dan juga dodol dan kerupuk. Tapi ternyata itu semua bukan produk Aloe Vera Center.

”Kami tidak memproduksi barang-barang seperti itu. Produk tersebut adalah hasil kelompok masyarakat binaan yang kemudian kamu tampung di sini.”

Sebenarnya, berbagai produk itu juga tersedia di beberapa toko oleh-oleh di Pontianak. Jadi, jika Anda kehabisan barang di sana, tak usahlah khawatir. Meski tentu saja, Anda mungkin harus merogoh kocek lebih banyak.

Di sebelah showroom tersebut, terdapat ruang pamer pengolahan lidah buaya. Di situ, pengunjung bisa melihat contoh proses pembuatan lidah buaya mulai dari tanamannya hingga hasil olahan yang bisa berupa minuman maupun obat.

***

BERKUNJUNG ke Kota Pontianak kurang lengkap rasanya jika belum menyusuri Sungai Kapuas. Paket wisata menyusuri Sungai Kapuas banyak ditawarkan biro perjalanan kepada wisatawan. Yakni, berupa perjalanan dengan perahu besar berkapasitas 50 orang atau perahu bermotor. Tapi kami coba memilih menggunakan perahu dayung, ketimbang paket yang ditawarkan biro perjalanan. Kami menganggap bahwa menyusuri sungai dengan perahu dayung lebih seru.

Selama menyusuri sungai, kami menyaksikan pemandangan khas rumah-rumah lanting yang berayun-ayun terkena gelombang. Ini adalah perkampungan air. Menarik melihat aktivitas penghuninya. Ada yang mandi, mencuci tanpa memedulikan kecokelatan air sungai. Panorama lainnya yang ”eksotis” selain hilir mudik perahu dayung, juga jejeran gubuk terapung untuk buang hajat. Dari atas perahu, kami juga melewati kawasan perdagangan Kapuas Besar yang merupakan pusat perekonomian tertua di Pontianak dan tepian Alun Kapuas sebagai pusat perdagangan modern.
Perlu diketahui, Sungai Kapuas dengan dua anak sungainya yaitu Sungai Kapuas Kecil dan Landak merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Panjangnya 1.143 Km dan lebarnya 400-700 Meter. ”Alirannya dapat dilayari sepanjang 800 Km atau hingga ke Kabupaten Kapuas Hulu,” kata pemandu kami.

Sungai yang membelah Kota Pontianak menjadi 3 bagian, yakni Pontianak Barat dan Selatan, Pontianak Timur, dan Pontianak Utara itu sangat penting bagi kota tersebut sebagai pusat jalur perdagangan dan transportasi kota bahkan provinsi. Ya, boleh dibilang sungai tersebut jantung perekonomian bagi Pontianak.

Puas menyusuri sungai, akhirnya perahu kami bersandar. Kira-kira 100 meter dari tempat kami bersandar, berdiri bangunan bersejarah yang menjadi bagian dari wajah lama kota ini. Atap dari sirap warna kuning dan krem, bertuliskan ”Istana Kadriah” dalam bahasa Arab.
Keraton Kadriah atau juga dikenal Istanah Kadriah di bangun tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie pada masa kekuasaan Van Der Varra (1761-1775), Gubernur Jenderal VOC ke-29. Lokasinya berada di kawasan Kampung Dalam Bugis (kini Tanjung Pura), Kecamatan Pontianak Timur.

Gapura melengkung ala benteng Eropa dengan atap limas berbahan sirap dan dua meriam kuno berusia ratusan tahun menjadi pintu masuk keraton. Adapun di halaman keraton terdapat sebuah tiang bendera dari ulin yang dilengkapi pengerek. Konon dulu, di dekat tiang, bertengger Perahu Lancang Kuning, perahu asli khas Kalimantan Barat. Perahu ini konon digunakan sultan berlayar. Tapi sayang, kami tak bisa melihatnya karena sekarang sudah tidak ada lagi.

Bangunan Keraton seluas 9.800 meter persegi, ber arsitektur unik dari kayu belian atau ulin itu terdiri atas pendapa, balai, dan 8 ruang utama. Meski sudah uzur, bangunan masih tampak kokoh dan terpelihara. Benda bersejarah peninggalan kesultanan seperti pakaian kesultanan, takhta, tongkat penobatan, meriam, dan ranjang tidur antik masih tersimpan rapi. Yang paling menarik tentunya singgasana sultan yang berwana kuning keemasan dan cermin seribu wajah berukuran besar. Semua pengunjung termasuk kami diperbolehkan melihat dari dekat singgasana sang sultan. Perpaduan arsitektur Melayu, Arab dan Eropa yang megah.

Tak jauh dari keraton terdapat Masjid Keraton. Masyarakat setempat menyebutnya Masjid Jami Pontianak. Masjid yang berdiri di pinggir Sungai Kapuas Kecil itu sangat unik karena seluruh bangunannya terbuat dari kayu dengan dikelilingi pagar besi bercat kuning dan hijau.
Pemandu kami mengatakan, masjid tersebut menjadi objek wisata bersejarah yang saling berkaitan dengan Keraton Kadriah. ”Dua peninggalan kesultanan yang pernah berkuasa di Pontianak ini menjadi cikal bakal berdirinya Kota Pontianak.” tambahnya.

Sebenarnya banyak hal menarik yang bisa kami singgahi, di jantung kota Pontianak.Tapi terbatasnya waktu membuat kami harus segera bergegas meninggalkan kota penuh pesona yang dilalui garis khatulistiwa ini. Dan tugu khatulistiwa pun terlupa. Sayang sekali.... (73)

Siapkan Tas untuk Oleh-oleh

TENTU saja, setiap perjalanan lebih berkesan bila disertai buah tangan, setidaknya sebagai penegas kenangan. Di Pontianak, kita tak perlu risau jika menginginkan oleh-oleh khas dengan berbagai pilihan. Mungkin, kita malah perlu menyediakan satu tas khusus untuk diisi oleh-oleh itu.

Pertokoan di salah satu sudut kota, tepatnya di Jalan Pattimura, akan memanjakan wisatawan yang ingin berbelanja. Deretan toko dengan lebar masing-masing yang sebetulnya tak luas itu menyediakan berbagai macam barang yang cocok untuk oleh-oleh. Mulai dari kaus dengan desain khas Pontianak hingga mandau (senjata kaum Dayak) dalam berbagai ukuran tersedia di sana.

Bahkan, ada pedagang yang menyediakan mandau yang dia katakan benar-benar telah mencabut nyawa seseorang. Konon, cirinya adalah dari lingkaran di tepi bagian yang tajam. Pedagang yang sempat saya tanyai mengatakan, biasanya setiap membunuh orang, sebuah mandau akan dilubangi untuk kemudian ditutup kembali dengan bahan yang sama. Meski demikian, bekas lubang itu masih tetap membekas menyisakan tanda.
”Jadi, mau beli tidak?” tanya pedagang itu.

Saya menggeleng, ”Tidak.” Saya tidak suka kekerasan. Pun benda-benda yang mengingatkan padanya. Untuk mengurangi kekecewaan pedagang yang telah bercerita panjang lebar soal sejarah mandau itu, saya alihkan pandangan ke kain-kain.

Ya, Pontianak juga memiliki kain tenun dengan corak khas Dayak. Suku Dayak, Melayu, serta Tionghoa memang menjadi penghuni terbesar kota tersebut. Maka, tak heran jika motif benda-benda yang menjadi oleh-oleh khas sana berbau suku tersebut. Akhirnya, jadilah saya beli sebuah sarung tenun.

Seperti yang berlaku di pusat oleh-oleh di mana saja, kita harus pandai menaksir harga. Bahkan, menawar harga yang dibuka oleh pedagang menjadi keharusan agar uang kita bisa berguna untuk beli yang lain. Apalagi, begitu banyak barang di sana yang harus kita masukkan dalam tas khusus oleh-oleh tadi.

Ya, ada batu mulia untuk mata cincin, hiasan dinding beraneka bentuk, dan juga pernak-pernik yang sayang untuk dilewatkan. Maka pastikan agenda ke sentra oleh-oleh itu tak dibatasi waktu.

Tak terlalu jauh dari pertokoan tersebut, ada supermarket yang cukup terkenal. Di sana, bisa didapat aneka makanan ringan yang disebut berasal dari Malaysia. Harganya pun relatif terjangkau sehingga tepat kiranya jika ikut dimasukkan dalam tas khusus oleh-oleh.

Terakhir, jika kita ke Pontianak tepat di musim durian tumbuh, maka pastikan pula mencicipinya. Berhubung banyak hotel tak membolehkan membawa durian ke kamar dan tak mungkin pula untuk memasukkannya dalam tas oleh-oleh tadi, maka Anda hanya bisa menikmatinya di jalanan.

Di malam hari, banyak penjaja durian di dekat Jalan Pattimura itu. Bahkan, istilah dugem yang semula singkatan dari dunia gemerlap alias berfoya-foya di klub malam, di Pontianak dipelesetkan menjadi durian gemerlap. Bagaimana tidak, dengan harga yang tak lebih dari Rp 10 ribu, kita sudah bisa mendapatkan satu durian dengan rasa yang tak terlupakan. Hmm, tentu saja, jangan lupakan kadar kolesterol yang ada. (73)
(Noni Arnee/)

Sabtu, 29 Agustus 2009

Kerjasama Indonesia..Malaysia



Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle/ Indonesian Programme
by. Noni Arnee

Konflik soal warisan budaya antara Indonesia dan Malaysia selama beberapa tahun terakhir tidak mempengaruhi institusi pendidikan, di kedua negara untuk tetap menjalin kerjasama.

Salah satunya Universitas Diponegoro, Undip, Semarang Jawa Tengah. Perguruan Tinggi Negeri yang masuk daftar 100 Universitas terbaik di Asia ini sejak tahun 1980-an sudah melakukan kerjasama dengan di Malaysia. Saat ini Undip menjalin kerjasama dengan 12 universitas Malaysia. Kerjasama ini dilakukan untuk meningkatkan kapasitas sekaligus memperkuat reputasinya sebagai universitas dengan jaringan internasional.

Rektor Universitas Diponegoro Semarang Profesor Susilo Wibowo menjelaskan,pentingnya proyek kerjasama di bidang pendidikan bagi dua negara ini.

”Jadi kerjasama itu suatu keharusan bagi universitas karena dengan kerjasama kita bisa melihat lebih jauh, lebih jelas. Yang di hitung adalah win-win solution. Undip di untunngkan. Negara di untungkan, mereka juga untung. Yang kita kerjakan join reseach. Kita harus mengakui, banyak dosen kita yang melakukan penelitian-penelitian di Malaysia karena kita tidak punya alatnya. Jadi kita untung, Malaysia juga di untungkan karena ilmunya orang Indonesia lebih pintar dari mereka. Dua-duanya di untungkan. Tidak ada masalah jadi tetep kami kerjakan. Finansial, fasilitas jauh lebih bagus dari kita.”

Menurutnya, Langkah-langkah ini juga sejalan dengan program pengembangan pendidikan tinggi dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi DIKTI. Dimana institusi pendidikan dituntut menjaga kualitas tinggi yang terakreditasi secara internasional.

Program kerjasama yang dijalankan, antara lain riset dalam bidang sains, teknologi, beasiswa, pertukaran pelajar, hingga publikasi saintifik secara profesional.
Rektor Susilo Wibowo menambahkan, dari sekian banyak fakultas yang ada di Undip maupun universitas lainnya, fakultas kedokteran yang selalu menjadi incaran para mahasiswa asal Malaysia.

”Kebetulan Malaysia cuman mengincar fakultas kedokteran untuk Indonesia itu. Mereka pikir betul pendidikan dokter di Indonesia itu lebih unggul dari sana. Menurut perhitungan mereka. Yang lain-lain mereka merasa alatnya lebih canggih dan sebagainya, mereka tetep di negara mereka sendiri. Angka untuk mendidik mahasiswa Malaysia disana jadi dokter tu sekitar 1,2 miliar rupiah untuk satu dokter. Lha di Indonesia anda bisa hitung, 140 juta. Jadi mereka ngejar kemari.”

Berbeda dengan Indonesia, pendidikan di Malaysia menjadi prioritas, sehingga pemerintahnya mengalokasikan dana cukup besar. Hampir semua universitas mempunyai sarana dan prasarana penunjang yang sangat lengkap. Meski dengan aturan yang lebih ketat. Setidaknya itu yang di rasakan Dhani Irvandy mahasiswa Fakultas teknik Elektro Undip yang pernah mengenyam kuliah di Johor, Malaysia

”Sana teori dan praktek seimbang. Dosen-dosen di sana juga lebih fokus. Saya lihat itu sangat positif di sana misalnya ada praktikum kalau di sana Meskipun yang datang cuman 20 orang. Profesornya, dosennya dan asisten dosennya datang langsung, ngajarin langsung jadi lebih aktif. Kalau khususnya di elektro itu, diserahin sama mahasiswa. Praktikum cuman mahasiswa, dosennya malah gak tahu sama sekali. Pemerintah malaysia konsern di bidang pendidikan, jadi sarana-sarananya pun di tunjang sekali. Jadi peralatan yang di butuhkan di sana banyak.”

Lalu bagaimana pengalaman Dhani sebagai orang Indonesia di Malaysia? Sebagai mahasiswa ia mengakui dilayani dengan baik.

”Cuman ada semacam perbedaaan perlakuan antara student dan TKI. Pegawai di bandara sedikit kasar dengan TKI. Kalau tahu student maka sangat baik sekali pelayanannya. Disana banyak turunan jawa, mereka bisa bahasa jawa alus. Kalau mahasiswa justru seneng karena banyak film, - indonesia yang di puter di sana,dan juga grup band indonesia yang laris disana. Seneng dengan bahasa Indonesia apalagi dialek Jakarta. Mereka seneng dengan orang jawa. Pemerintah Malaysia bener-bener cinta budaya dari leluhur. Sana begitu sangat menjaga kebudayaan bahkan sampai ngadain perlombaan semacam kuda lumping tingkat universitas se- Malaysia. Di sini di anggap remeh lah disana justru sangat di perhatin.”

Menurut Dhani, pemerintah dan masyarakat Malaysia memang kelihatan benar-benar menjaga budayanya. Ada lomba pagelaran budaya sampai tingkat universitas.

Hubungan antar komunitas intelektual Indonesia-Malaysia sebenarnya terjalin baik, meski saat ini muncul silang sengketa soal warisan budaya. Malaysia sedang menggalakkan promosi wisata dan sering menggunakan ikon-ikon budaya Indonesia dalam iklan-iklan wisatanya. Yang pernah diprotes Indonesia adalah antara lain penggunaan lagu Rasa Sayange, tari Barong, Batik, alat musik Angklung dan kasus yang terakhir adalah tari Pendet khas Bali.

August 28'09

Senin, 24 Agustus 2009

Melongok Tradisi Dugderan



Publish on KBR 68H Jakarta
By. Noni Arnee

Ramadhan disambut penuh suka cita di Kota Semarang, Jawa Tengah. Ada tradisi ’dugderan’ yang digelar tiap tahun, meski kini sudah mengalami perubahan. Kata ’dugderan’ diambil dari bunyi bedug dan tembakan meriam: dug dan der. Kontributor KBR68H di Semarang Noni Arni mengajak Anda melongok tradisi dugderan yang berlangsung akhir pekan lalu.

Ratusan warga tampak memadati halaman Masjid Agung Kauman Semarang. Mereka menanti pengumuman pembacaan hasil halaqah, yaitu hasil musyawarah para ulama Semarang untuk menentukan 1 Ramadhan sebagai awal puasa.

Pembacaan qalaqah di sertai bunyi bedug dan meriam ini adalah prosesi terpenting dalam tradisi dugderan khas Semarang. Catatan sejarah menunjukkan, tradisi ini dimulai sejak dua abad silam. Lewat prosesi pembacaan halaqah dan kemeriahan dugderan, seluruh masyarakat Semarang punya waktu yang sama untuk memulai puasa. Tidak ada yang lebih dulu, atau lebih lambat. Sama.

Saat dugderan berlangsung, digelar pula Pasar Megengan. Di sana masyarakat menjual aneka makanan dan mainan anak-anak tempo dulu. Salah satunya Muji yang sudah 16 tahun menjual gerabah di arena dugderan.

Ya dari dulu pertama babat alas.. jualan. (Yang di jual)..Gerabah dan mainan anak-anak.Rame dulu dari pada sekarang. Hari-hari bagus kemarin kalo sekarang dugdere tok yang bagus. Dulu bagus rame terus. Dulu saya tok yang jual , sekarang banyak yang jual

Tradisi dugderan selalu dijaga dengan terus dijadikan agenda tahunan Semarang. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Semarang, Agung Priyo Utomo melihat ada potensi wisata di balik tradisi dugderan.

“Nilai-nilai budaya yang ada di kegiatan ini sangat agung dan luhur. Jadi ruhnya dugderan tidak boleh mati. Kami melihat suatu peluang bahwa even budaya ini bisa di kemas untuk menjadi daya tarik wisata. Jadi desatinasi wisata yang di jual tidak hanya obyek. Kegiatan ini bisa di kemas untuk menarik wisatawan domestik maupun asing untuk datang, melihat.”

Dugderan, bagi budayawan asal Semarang, Djawahir Muhammad, punya nilai lebih besar ketimbang sekadar kemeriahan, ajang interaksi warga atau wisata. Ini adalah upaya menjaga kearifan lokal warga Semarang, kata dia.

”Semarang ini sebagaimana masyarakat pantai yang religius islaminya lebih mayoritas di bandingkan mayarakat lain, Selalu mempunyai otoritas Untuk menjaga eksistensinya termasuk eksistensi budaya, tradisi dan kearifan lokal. Jadi kalau mayarakat Semarang memelihara tradisi dugderan itu urgensinya adalah dalam rangka menjaga tradisi yang secara kebetulan dianut kelompok mayoritas supaya tradisi ini berlanjut.”

Meski selalu diadakan tiap tahun, warga mulai merasakan ada perubahan dari tradisi dugderan kali ini. Kata Aliyah dan sejumlah ibu lainnya, dugderan sekarang terasa kurang ramai.

”Nonton lha ini menyambut puasa. Tradisi Semarang kuno. Kalau dulu..ya lebih ramai, dulu ada di sini dulu di alun –alun ada (nyebutin jenis permainan macem-macem tradisional jaman dulu ) sekarang tidak ada. Kurang meriah ya. Dulu mainannya macem-macem. Dolanan gerabah, warag ngendok, sekarang yang banyak jajanan. Nunggu mercon.. dulu kan pakai bom udara sekarang mercon sampai menggetar..wah..seneng. Yang di tunggu kan dugderannya arak-arakannya ini. Tiap arak-arakan sini pasti rame.”

Kalau dulu dugderan identik dengan tradisi religius, sekarang rupanya bergeser menjadi acara seremonial belaka , kata budayawan Semarang, Djawarih Muhammad. Ada semangat yang hilang dari dugderan.

”Pada tahun 1976 ketika dugderan di ambil alih pemkot Semarang dari masjid agung ke balaikota. Kelihatan sekali kegiatan dugder yang tadinya bersifat religius lokal itu sudah menjadi bagian kegiatan ceremonial sebagai salah satu upaya menjaga kewibawaan pemerintah. Dilengkapi dengan adanya karnaval dan upacara-upacara kenegaraan dan masjid sudah tidak berfungsi lagi. Masjid hanya menjadi pendengar atau penonton. Itu sungguh-sungguh terkuptasi dengan spirit birokrasi. Kemandirian dugder sudah tidak utuh lagi.”

Kalaupun makna kearifan lokal tak lagi nampak, dugderan tetap dinanti warga Semarang. Paling tidak ini jadi penanda, kemeriahan bulan suci Ramadhan sudah tiba.

duug..duug..duug..deeerrrr...

Kontributor KBR68H , Noni Arni.

August 2009

Ayooo..Tanam Mangrove...



Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme
By. Noni Arnee

Mangrove sebagai benteng alami penahan laju abrasi di wilayah pesisir Jawa kini dalam kondisi memprihatinkan akibat konversi lahan. Dampaknya, ratusan hektar tambak dan pemukiman pun tenggelam karena tingginya laju abrasi atau pengikisan daratan oleh laut.

Berbagai upaya penanganan seperti membangun fasilitas pelindung pantai dan gerakan penanaman kembali mangrove terus di gerakkan untuk menyelamatkan wilayah pesisir dari abrasi.
Seperti yang dilakukan ratusan relawan Indonesia dan asing dalam Jambore Mangrove Internasional di Semarang Jawa Tengah. Dalam Politik dan Masyarakat kali ini dari Semarang saya Noni Arni, mengajak Anda mengikuti jalannya Jambore Mangrove Internasional yang digelar awal Agustus lalu.

”kalau begini kan nanti numbuh daunnya. Ya di tancepin kurang lebih ga sampai roboh. Dah di ajarin gimana buka bijinya. Proses secara alami ini kan menjatuhkan dirinya sendiri. Yang lancip ini langsung nancep, secara otomatis dia numbuh sendiri. Ini sebenarnya ada bijinya tapi lama kelamaan ini mendorong supaya bijinya lepas. Kalau tidak dibantu manusia kan bisa lama numbuhnya. itu kita bantu lepasin biar cepet..”

Sambil menanam batang mangrove dalam lumpur dan kecipak air tambak, Lintang dan teman-temannya menjelaskan kepada saya proses tumbuhnya batang mangrove yang baru di tanamnya di bibir tambak warga.
Mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah ini adalah bagian dari 350 lebih relawan Indonesia dan asing yang mengikuti Jambore Mangrove Internasional.
Sebuah kegiatan solidaritas penyelamatan lingkungan, yang digagas Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir LEPAAS bersama Indonesia Internasional Work Camp.
Berlokasi di kawasan Tempat Pelelangan Ikan pesisir Mangunharjo Semarang Jawa Tengah, puluhan tenda menjadi tempat para relawan berkumpul dan tidur dengan semangat kebersamaan.

Selain Lintang, ada juga Sebastian dan Gerro relawan asing asal Jerman. Selama 2 hari mereka bahu membahu bersama relawan lain, menanam 60 ribu lebih bibit mangrove di tambak dan bibir pantai tak jauh dari tenda mereka.

Kegiatan untuk menunjukkan solidaritas global terhadap pentingnya pelestarian mangrove bagi ekosistem pantai ini, juga di ikuti masyarakat setempat dan relawan dari sejumlah negara lain seperti Belanda, Perancis, Spanyol, Jepang dan Korea.

Selain penanaman bibit mangrove, para relawan juga melakukan serangkaian kegiatan edukasi tentang mangrove seperti observasi, diskusi interaktif, lomba presentasi pengetahuan mangrove dan pentas seni.
Jambore Mangrove Internasional baru digelar pertama kalinya.

”Karena wilayah kami terkena dari dampak abrasi adanya pembangunan industri besar di sebelah barat yang menjorok ke tengah dari bibir pantai kurang lebih sejauh 1 kilometer sehingga mempengaruhi proses dari lajunya abrasi. Tahun 96 kita sudah mulai abrasi sampai sekarang. Yang terparah mulai tahun 2000. Tambak petani hilang menjadi lautan sampai sejauh 2 kilometer mendekati perkampungan. Dari luas tambak 226 hektar yang produktif masih 75 hektar dan sisanya tambak tenggelam. ”Kata Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir sekaligus penggagas Jambore Mangrove Internasional di Semarang, Abdul Azis

Azis menambahkan, kegiatan dengan tema Persaudaraan global dalam menghadapi dampak perubahan iklim melalui pelestarian mangrove, sengaja dikemas dalam bentuk jambore dengan melibatkan relawan asing, untuk menunjukkan semangat kebersamaan dan kepedulian menyelamatkan lingkungan. Dan permasalahan mangrove di pesisir mendapat perhatian masyarakat internasional.

Tambak dan bibir pantai di Mangunharjo Semarang yang mereka tanami mangrove ini, hanyalah sebagian kecil dari 96 persen hutan mangrove di wilayah pesisir pantai utara Jawa Tengah, yang saat ini kondisinya memprihatinkan.

”Kami yang melakukan penelitian itu hanya tinggal 3,05 persen dari seluruh areal mangrove yang ada di Jawatengah habis, padahal luas total potensinya 95.338,03 hektar. Ini pemanfaatan yang berlebihan terutama untuk konversi menjadi kawasan lain. untuk tambak rakyat mereka babat. membuat perkampungan nelayan itu dibangun dengan mengkonversi sekian banyak mangrove untuk pemukiman. Selain itu ya memang akibat perubahan iklim.”Direktur Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan, Indra Kertati menjelaskan.

Sebenarnya berbagai upaya nyata penanganan laju abrasi, baik fisik maupun alami telah dilakukan. Namun Kepala Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah Joko Sutrisno mengakui, sulit menangani kerusakan yang sudah terjadi sejak hampir 30 tahun yang lalu. Butuh dana besar dan waktu lama.

”kita bangun sabuk pantai pakai bis beton, sejak 2002 sampai masih eksis. Ada 3 lapis, batu, bis beton, tanah, baru mangrove. Biayanya mahal bis betonnya, belum tentu teknologi yang sederhana ini mampu. Kemudian vegetatifnya di mulai menanam mangrove. Yang paling baik mengatasi ini hanya mangrove, perakaran mampu melindungi pesisir dari abrasi. tapi ya itu syaratnya mangrovenya harus sudah rapat. Kalau rapat mampu membentengi pantai dari abrasi.”

Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah mencatat kerusakan hutan mangrove terjadi merata di sepanjang pesisir pantai. Dan menyebabkan abrasi hingga 115 kilometer di sepanjang bibir pantai dengan luas mencapai sekitar 5700 hektar.

Indra Kertati menambahkan, Sebenarnya, cara paling efektif mencegah laju abrasi adalah dengan penanaman mangrove. Tapi tidak adanya sinergi dan waktu lama yang dibutuhkan, menyebabkan penanganan tersebut tidak menjadi prioritas.

”Menurut saya sekarang ini pada upaya melakukan pencegahan. bagaimana membangun atau membuat mangrove tidak sekedar di tanam. Beberapa aktifitas yang dilakukan pemerintah menanam asal tanem aja, akibatnya seminggu sudah habis. mentreatment Tetapi belum tepat. Yang ke dua pelibatan masyarakat sangat rendah. Jadi Bagaimana sebetulnya masyarakat diajak untuk mengamankan itu jauh lebih penting. Karena menanam itu lambat sekali. Tetapi itu pada akhirnya yang harus kita ambil. Jadi Kalau suatu saat mangrove berusia 10-15 tahun dengan kerapatan 1 meter itu sudah luar biasa.”

Kegiatan penanaman mangrove dalam jambore ini sebenarnya merupakan rangkaian program penanaman yang sudah dilakukan sejak tahun 2002. Jika program penanaman mangrove ini berhasil, dalam dua sampai tiga tahun mendatang kawasan ini diharapkan menjadi ”mangrove center” yang berfungsi sebagai pusat observasi dan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove terbesar di Jawa Tengah. Karena menurut Abdul Azis, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, tanah di kawasan tersebut masih subur dan layak menjadi mangrove center.

Para relawanpun berharap jambore mangrove ini dapat menjadi gerakan masif bagi semua pihak. Seperti diungkapkan Tival Godoras relawan dari Semarang.

”Ini kan namanya re-planting, bukan sekedar nanam saja tapi ada pemeliharaan atau maintenence nya. Itu lebih penting jika di bandingkan hanya sekedar nanam saja. Jadi untuk berapa persennya mangrove itu berhasil tergantung pemeliharaannya. Yang lebih di harapkan lagi, masyarakat di sekitar sini sebagai subjek untuk bisa merawat mangrove yang telah kita tanam hari ini.”

Begitu juga harapan Gerro Peter, relawan asal Jerman

”Saya tertarik dengan proyek lingkungan, ini baru pertama kali saya ikut. Menurut saya proyek ini sangat bagus dan berharap proyek seperti ini bisa bertahan lama, sehingga petani tambak dan nelayan bisa mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Ini proyek bagus. jadi mereka harus menjaganya.”

Penyelenggaraan Jambore Mangrove Internasional hanya momentum untuk menunjukkan adanya perhatian masyarakat internasional terhadap permasalahan mangrove di wilayah pesisir.
Meski butuh waktu, pihak penyelenggara berharap kegiatan tersebut dapat di tindak lanjuti dengan dukungan nyata.

Demikian pendengar Politik dan Masyarakat kali ini tentang Jambore Mangrove Internasional di Semarang.
Noni Arni koresponden DW di Semarang.

August 2009

Rabu, 12 Agustus 2009

Dooorrr...Dusun itupun Terusik....



Kbr 68H Jakarta
By. Noni Arnee

Dusun Beji Jurang, Kedu Temanggung Jawa Tengah mendadak menjadi terkenal, setelah Dusun yang tenang, dan guyub rukun itu menjadi lokasi drama penggrebekan 17 jam yang menewaskan pria yang diduga Noordin M Top, otak dari serangkaian peledakan bom di Indonesia. Peristiwa itu hingga kini masih membekas.

”Kejadian itu pukul 4 tiba-tiba ada mobil 2 jalannya kencang sekali. saya lihat kok jalannya lurus , Yang satu parkir di rumah pak Djari yang satu di depan SD. melintang gini ditengah jalan. Orang nya keluar pake baju item. Trus pake tameng .trus Orangnya lari ke tembakau, sawah, bukit, trus arah sana. pokoknya semuanya. Trus seperempat jam ada dor..dor..tembak. Trus jalan di tutup. Ada apa itu terkejut semua..waktu itu belum ada orang. setengah jam langsung brol(keluar)...semua pada datang. rumahnya pak moch Djari kok begini..katanya ga ada apa-apa. Pengen lihat tapi ga boleh. Disini semua.ga boleh..karena ada dor-dor kenceng semua suruh masuk rumah. Dor..dor..dor..Dung..dung..”

Marimah mengingat peristiwa jumat sore itu. Toni siswa SD negeri 03 Kedu dan temannya bahkan menyangka ledakan yang didengarnya itu petasan yang berasal dari ujung desa.

”Disawah dikrain petasan...”Kaget. Disana lagi main kasti sama teman-teman. Lari ke mesjid sama teman-teman. Pistol..tembakan..bunyinya dor. Takut
Ga sekolah banyak polisi, gurunya juga takut. Ga boleh keluar gitu. Nanti kalo ledakannya sampe sini...bergetar waktu ada granat itu.

Suasana tenang di Dusun Beji tiba-tiba berubah mencekam saat puluhan petugas bersenjata mengepung rumah milik Moch Djari yang dikelilingi ladang padi, tembakau, dan kaki bukit Sikleben itu.
Rumah sederhana bercat putih diduga menjadi lokasi persembunyian teroris yang paling di cari Nurdin M Top.

Bahkan, sebagai Ketua Rt 1 Dusun Beji , Sukarjo mengaku tak menaruh curiga sebelumnya,
”Kegiatan pak Moh Djari biasa-biasa saja. Papaknya aktif. Kegiatan apa saja ikut. Tidak tertutup.
Itu malah saya dirumah sangat kaget, seandainya tidak ada orang yang lewat, di kulon kok ramae itu ada apa..itu saya ndak tahu. Pada bawa senjata..ada apa..warga sama sekali ga ada yang tahu. Tahu-tahu ketika sudah ada aparat, ternyata di sini ada begini dan liat berita ternyata...”

Akibat peristiwa itu, warga menjadi tertekan. Ditambah lagi dengan antusias masyarakat sekitar maupun luar kota yang ingin menyaksikan dari dekat rumah Moh Djari. Keingin tahuan ditunjukkan Zainudin warga Pekalongan dengan mengajak seluruh keluarganya

”Pengen lihat. jadi ingin menyaksikan secara langsung dari pada kemarin liat dari tv tok. Kurang mantep. Kayak apa sebenarnya. Luar biasa..saya hanya melihat dari tv. nurdin entah betul tidaknya. Kok dia pilih lokasi yang enak di grebek. ”

Begitu juga warga setempat Ariyati,”Penasaran.. kan liatnya di tivi, liat aja disini. Kalau liat marem.”

Rumah Moch Djari berubah menjadi lokasi wisata dadakan, wargapun mengabadikan peristiwa bersejarah dengan berbagai macam. Memotret hingga mengumpulkan selongsong peluru bekas baku tembak aparat. Seperti yang dilakukan Iskandar, warga Kedu Temanggung

”Slongsong..nyari slngsong. buat kenang-kenangan bekas nurdin..cari peluru ini lho..suasana)dapat berapa..dua..nanti kalo ada yang nawar..ya pasti tahu dibuat sejarah nanti di ukir di sini peristiwa 8 agustus.Nurdin Top.gara-gara ini Nurdin ga bisa lari ”

Kepala Dusun Beji, Hartoyo mengatakan, peristiwa yang terjadi di rumah Moch Djari , Kyai Dusun Beji pun berujung petaka. Kyai itupun dicurigai telah dimanfaatkan jaringan gembong terorisme Noordin M Top untuk bersembunyi. Sesuatu yang sebelumnya jauh dari benak mereka. Sikap toleran dan guyub yang selama ini tumbuh berubah seketika.

”Suara-suara dari bawah Masyarakat semuanya , pak Djari pulang nanti diusir aja jangan sampe bertempat tinggal di sini. Karena itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat. Mengotori dusun. Terserah masyarakat itu. alangkah baiknya. untuk kenyamanan dusun beji selanjutnya.”

suara celoteh anak –anak dan jangkrik di malam hari di alam pesedaan di dusun berhawa dingin terpaksa terusik..entah sampai kapan

Temanggung, Agustus 2009