Pages

Rabu, 14 Desember 2016

Bencana Itu Di Depan Mata

Dusun Tambaksari nampak dari kejauhan, terisolasi karena abrasi / nonie arnee
Ketika menyusuri Dusun Senik, Sayung, Demak bersama Nurohman, saya teringat ketika kali pertama menjejakkan kaki di dusun ini. Tepatnya, delapan tahun silam. Dusun ini sudah lama diterjang abrasi. Separuh rumah di dusun ini sudah ditinggal penghuninya karena rusak, tinggal puing-puing dan terendam termakan abrasi.

Meski begitu sebagian warga masih nampak beraktivitas senormal mungkin. Mereka masih mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan ekonomi masih hidup. Dan jalan utama dusun  masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Bahkan  saya masih bisa menyusuri jalan setapak menuju ujung dusun.

Tapi kini, di atas sampan, saya dan warga Dusun Senik itu  hanya bisa berbagai kenangan tentang dusunnya. Semua yang pernah saya lihat di Dusun Senik  delapan tahun silam tak lagi berbekas. Yang nampak hanya sisa-sisa bangunan dan rimbunan pohon mangrove yang menjadi habitat burung kuntul.

Ya, ternyata kemampuan beradaptasi warga tak sebanding dengan masifnya bencana di depan mata mereka sehingga membuat kehidupan ratusan kepala keluarga di Dusun Rejosari Senik tenggelam. Bencana abrasi tidak hanya membuat rumah-rumah hancur, tapi  juga terpuruknya perekonomian warga, hilangnya  mata pencaharian dan ikatan hubungan sosial.

Pemerintah menganggap relokasi menjadi pilihan terakhir dari ancaman abrasi hingga kemudian warga Senik dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung.
Tapi benarkah itu solusi terbaik? Saya kembali teringat pada Sumadi. Warga Tanggultlare, Jepara yang saya temui di bibir pesisir pantai utara Jepara. Ia berkisah beratnya beradaptasi di tempat baru karena di relokasi setelah desanya habis dilalap abrasi. Tak cukup sekali relokasi, keganasan abrasi membuat warga relokasi hingga tiga kali. Tapi itu delapan tahun silam. Entah sekarang.
Abrasi yang terjadi di kawasan Sayung, Desa Bedono selama 20 tahun terakhir diperkirakan yang terbesar di kawasan pantai utara Jawa bahkan di Indonesia. Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2 ribu hektar lebih yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5 kilometer dari garis pantai di tahun 1994 lalu.
Berbagai upaya dilakukan. Mulai dari penanaman dan pemeliharaan mangrove, pembuatan green belt, talut pemecah ombak dari beton, revitalisasi tambak untuk kegiatan budidaya ramah lingkungan. Hingga peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kawasan pesisir dengan membagi tiga zona utama yaitu area mangrove, area rehabilitasi dan area larang tangkap.

Pemerintah  juga tak mau dianggap hanya berdiam diri. Sembari menunggu hasil revitalisasi ekosistem mangrove yang dianggap menjadi solusi terbaik. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memprioritaskan penanganan pesisir di pantura Jawa khususnya Demak dengan merealisasikan pilot project restorasi pesisir melalui Program Membangun Bersama Alam, melalui pembangunan struktur pelindung pantai konstruksi pemerangkap sedimen berstruktur hybrid yang terbuat dari kumpulan ranting dan kayu.
Teknologi ramah lingkungan pemasangan alat pemecah ombak berbasis alam yang disebut  hybrid engineering hasil adopsi dari Belanda ini diyakini mampu mengurangi laju abrasi dan menstabilkan garis pantai dengan membalikkan proses hilangnya sedimen.

Tapi, jika ditilik ke belakang, faktor alam hanya menyumbang kecil munculnya abrasi. Naiknya permukaan air laut yang masif itu justru lebih lebih besar disebabkan oleh ulah manusia. Tidak hanya  karena masifnya penyedotan air tanah yang menyebabkan land subsidence hingga 13 sentimeter per tahun tapi juga karena pembangunan yang tak ramah lingkungan. Bangunan yang menjorok ke pantai dan proyek reklamasi jelas nyata memberi andil terbesar bencana abrasi.
Abrasi sudah terjadi puluhan tahun. Bencana itu sebenarnya ada di depan mata kita dan sudah seharusnya hal itu tidak dianggap sebagai hal biasa.
Selama pembangunan tidak berpihak dengan alam, maka ada dampak yang akan selalu muncul. Dan selama pemerintah selaku pemegang otoritas tidak tegas memberi regulasi dengan mengedepankan pembangunan berperspektif lingkungan, maka pada akhirnya itu justru menjadi bumerang.
Alam akan selalu mencari keseimbangan. Dan seperti kata pepatah bijak “Ketika alam sudah mulai tidak bersahabat, maka manusia harus siap menerima derita.” Tapi apakah adil jika yang akan menui derita justru orang-orang yang selama ini hidup harmonis berdampingan dengan alam?

Senin, 03 Oktober 2016

Kisah Mbah Gotho, pria yang diduga manusia tertua di dunia

Tangan Sodimedjo meraba-raba bangku yang ada di sisi kanannya dengan gerakan lambat. Penglihatannya sudah kabur. Pada usia yang menurut pengakuannya telah menginjak hampir 146 tahun , jarak pandangnya tak sampai satu meter. Tapi ia bisa merasakan keberadaan orang-orang di sekitarnya.
“Aku mau minum dingin,” katanya berulang kali dengan logat bahasa Jawa kental.
Dalam hitungan menit, Suwarni, istri salah seorang cucunya, datang membawa sebotol minuman soda dingin. “Ini dingin, Mbah. Enak, coba minum,” kata Suwarni sambil menyorongkan botol minuman tersebut ke mulut Sodimedjo.

Berdasarkan pengakuan Sodimedjo alias Mbah Gotho yang lantas dimasukkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), dirinya lahir di Klaten, Jawa Tengah, 31 Desember 1870 lampau. Artinya, jika pengakuan Mbah Gotho benar, dia hampir berusia 146 tahun, melampaui rekor manusia tertua dari Jepang yaitu 112 tahun.

Namun, umur tak membatasi Mbah Gotho untuk hal-hal tertentu. Pria itu masih bisa menikmati es krim, es teh, dan rokok filter yang diisapnya setiap hari. Ingatannya bahkan masih cukup kuat ketika bercerita tentang peristiwa lalu, antara lain keberadaan Pabrik Gula Gondang Winangoen di kota kelahirannya, Klaten, Jawa Tengah, yang semula bernama Suikerfabriek Gondang Winangoen semasa penjajahan Belanda.
“Kalau musim giling itu suara mesinnya keras terdengar sampai ke kampung. Dulu saya suka main di pabrik. Jaman dulu itu jalan besar tidak ada kendaraan, motor, bus. Tidak seperti sekarang," ungkap Mbah Gotho saat diwawancarai wartawan Nonie Arnee.

Sebagai catatan, Pabrik Gula Gondang Winangoen didirikan pada 1860 oleh NV Klatensche Cultuur Maatschappijpabrik dan Pabrik Gula Mojo Sragen pada 1860. Pabrik tersebut masih beroperasi pada era 1930-an hingga 1942. Tak bisa dipastikan pada periode mana Mbah Gotho mengingat masa-masa pabrik gula itu, yang bisa menunjukkan kebenaran pengakuan usianya. Masalahnya, tak ada sumber lain yang bisa mengukuhkan pengakuannya.

Selain pabrik gula, hal lain yang diingatnya ketika dia dan warga kampung mencegat dan membakar tank tentara Belanda saat melintas di jembatan kampung. "Ambil kayu di hutan, disiram bensin terus dinyalakan. Tank Belanda datang, dicegat terus, duuaar," serunya, menirukan suara ledakan.
Cara bertuturnya masih runut, meski sesekali berbicara tak tentu arah, kerap berganti -ganti topik pembicaraan.

Ketika ditanya tentang pendamping hidup, Gotho tak mampu mengingatnya dengan pasti. "Istriku banyak, ada anak Wedana Gondang, ada anaknya Demang di kampung sini. Dulu belum cerai saja saya sudah punya istri lagi. Tapi istriku sudah meninggal semua, anakku empat, yang masih hidup hanya saya,” ujar Mbah Gotho.

Nama asli Mbah Gotho adalah Sodimedjo. Namun, nama itu baru disandangnya setelah menikah.
“Aku lahir Bulan Sapar, makanya orangtuaku memberi nama Suparman.”

Dirawat cucu
Tak banyak informasi yang bisa digali tentang kehidupan Mbah Gotho yang lahir dari pasangan Setrodikromo dan Saliyem. Sepeninggal anaknya pada 1993, cucu dari istrinya yang keempat yang merawatnya. Nama sang cucu adalah Suryanto.
Suryanto sendiri baru mengenal sosok Mbah Gotho karena tak pernah berinteraksi sebelumnya. “Dulu Mbah ikut ibu saya yang bernama Sukinem, karena tidak ada sanak saudara akhirnya saya ambil. Saya sebelumnya tidak mengenal, “ujar Suryanto.

Kini, Mbah Gotho tinggal bersama pasangan Suryanto dan Suwarni di Dusun Segeran, Desa Cemeng, Sragen Jawa Tengah. Menurut Suryanto, Mbah Gotho dikenal sebagai sosok yang rajin bekerja dan penyabar. “Dari dulu sehat, tidak bisa diam di rumah. Mencangkul, mencari rumput. Ia punya kebiasaan bangun pagi dan tidak pernah menggunakan alas kaki. Keluhannya hanya meriang dan dikerokin saja pasti sembuh.”

Suryanto juga mengaku jika Mbah Gotho tidak pantang terhadap jenis makanan apapun. “Tidak pernah mengeluh. Jadi ngurusin nggak susah.”
Kondisi fisik Mbah Gotho memang menurun sejak enam bulan terakhir, sehingga aktivitasnya kini terbatas. Pria itu hanya duduk di teras dan ketika merasa lelah akan kembali ke tempat tidur.
“Jalan harus dibantu, makan disuapi dan dimandikan sehari dua kali. Tapi itu wajar karena usianya.”

Kebenaran usia Mbah Gotho
Namun, benarkah usia Sodimedjo setua itu?Keabsahan identitas yang merujuk pada waktu  kelahirannya memang bisa dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang menginduk pada Suryanto, sebagaimana diterangkan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sragen, Wahyu Lwyanto.
Namun, Mbah Gotho tidak memiliki akta kelahiran sehingga tahun dia dilahirkan hanya berdasarkan pengakuannya. “Identitas seseorang harus ditunjukkan dengan akta kelahiran, tapi dia tidak punya karena waktu itu memang belum ada. Data berdasarkan informasi dan pengakuan yang bersangkutan ketika masih lancar berkomunikasi, sehingga kemudian diterbitkan identitas resmi.,” kata Wahyu.
KTP Sodimedjo masih KTP reguler karena pada saat perekaman e-KTP tahun 2012 lalu, ia tidak ikut dengan alasan identitas yang dimiliki berlaku seumur hidup.
Pembuatan e-KTP bagi Mbah Gotho, menurut Wahyu memiliki kendala. “Sistem yang ada hanya bisa membaca tahun kelahiran yang dimulai tahun 1990 dan sulit deteksi iris mata karena tidak jelas. Nanti diusahakan dengan sidik jari.”

Siapkan pemakaman
Walau berpotensi memecahkan rekor sebagai manusia tertua di dunia, nyatanya Mbah Gotho tak suka  dengan umur panjangnya. Dia pun sudah menyiapkan pemakamannya sejak jauh hari.Bahkan, nisan bertuliskan namanya telah bercokol di samping rumah. “Kematian itu hal yang saya inginkan. Nisan itu untuk jaga-jaga, beli sendiri. Sudah komplet, rumah kuburan dan cungkup sudah siap, tinggal menunggu dipanggil. Kalau saya meninggal harus cepat dimandikan, didandani, pakai baju, celana, kaos tangan komplet, dasi, dan kacamata. Terus dibawa ke makam dan ditidurkan dengan petinya. Dicor biar tidak longsor,” ujarnya sambil menunjuk nisannya.

Keinginan Mbah Gotho itu sempat membuat was-was Suryanto. “Persiapan Mbah Gotho terlalu lama, sejak tahun 1993 sampai sekarang. Awalnya takut dan khawatir itu firasat, tapi lama-lama jadi biasa saja.”

di muat di BBC Indonesia
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160902_indonesia_mbah_gotho_manusia_tertua

Kiai Budi dan Romo Budi: 'Perbedaan justru memperkaya kita'

Bertemu 12 tahun lalu, Kiai Budi dan Romo Budi di Semarang cepat akrab dan menjadi sahabat. Perbedaan, kata mereka, tak menjadi penghalang tetapi sebuah resep agar hidup 'semakin kaya.'
Hari raya Idul Fitri menjadi hari spesial bagi Aloysius Budi Purnomo, yang biasa dikenal dengan nama Romo Budi.
Walau beragama Katolik, dia selalu menyempatkan diri berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Ishlah, Semarang, untuk bertemu sahabatnya, Amin Maulana Budi Harjono atau akrab disapa Kiai Budi.
Sejak bertemu 12 tahun lalu, Romo Budi dan Kiai Budi hingga kini terus bersahabat.
Gereja Ismail di Alor dibangun atas inisiatif warga Muslim
Ketika perempuan berkerudung Muslim dan Kristiani menyerukan persahabatan dan toleransi
Mayoritas siswa SMA negeri 'toleran tapi ada potensi radikal'
"Saya memandang orang lain bukan selubung labelnya, tapi hatinya karena Tuhan bersemayam di hati manusia. Gereja dan masjid itu sarana, karena itu memanusiakan manusia itu bagian dari misi agama yang hakiki,” kata Kiai Budi.

'Memperkaya'
Tak cuma saat Lebaran dua Budi ini bertemu. Ketika Kiai Budi mengunduh mantu salah satu santrinya, kedatangan Romo Budi tak sekadar tamu, tapi didapuk memberi doa dan petuah pernikahan bagi kedua mempelai yang sungkem.
"Saya dianggap orang tua dan saya satu-satunya Katolik di situ dan seorang Romo. Jadwalnya nggak cocok pun dicocok-cocokkan supaya bisa ketemu. Apalagi pada saat kangen ngobrol atau sekadar bermain gitar di pondok," ujar Romo Budi.
Juga ketika salah satunya berulang tahun, atau ketika Kiai Budi dan para santrinya diundang ke gereja.
"(Dia) langsung bersedia ketika diminta mempersembahkan tarian mengiringi kepergian Uskup Agung Semarang yang meninggal tahun lalu. Apa yang dilakukan itu lebih dalam dari toleransi. Saya sangat dimuliakan dengan tindakan kasih dan tidak berpikir bahwa imamat saya direndahkan."
Bagi keduanya, ini adalah tindakan sederhana diyakini bisa membawa pesan damai dan kerukunan.
"Kendati berbeda, talenta (Kiai Budi) untuk membangun persaudaraan dengan perspektif positif sangat luar biasa. Perbedaan itu justru memperkaya kita," ujar Romo yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan Agung Semarang (KAS).

Ketika tarian sufi dibawa ke gereja
Tapi kegiatan antar agama yang mereka lakukan kadang mendatangkan kontroversi, misalnya ketika Kiai Budi membawa tarian sufi ke gereja.
“Sufi diasumsikan Islam dan ketika dibawa ke gereja jangan dikira tanpa masalah. Tarian dihentikan dengan alasan aneh dan menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan sunah Rasul. Konflik itu muncul karena kurang memahami,” jelas Kiai Budi.
Tarian Sufi digunakan oleh Kiai Budi dalam beberapa tahun terakhir di berbagai kesempatan sebagai pesan persaudaraan dan ungkapan iman sekaligus cinta pada kepada Tuhan.
Romo Budi mengakui bahwa pro-kontra semacam ini pasti terjadi, tetapi itu tidak menyurutkan langkah mereka mempromosikan perdamaian melalui dialog dan perjumpaan antar umat.
“Saya semakin menjadi Katolik dalam perjumpaan dengan beliau sebagai seorang Kiai," katanya.
"Kami bisa menerima tanpa curiga ketika Bu Sinta Wahid datang ingin berbuka puasa di gereja. Tidak perlu curiga saya di-Islam-kan, dan (takut) jika tausiyahnya akan membuat umat lain kepincut."
Dan sebagai imam, Romo Budi menganggap bahwa tugasnya tidak hanya pelayanan sakramental di altar tapi juga bergerak di 'semak belukar', di seluruh segmen kehidupan untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian.
“Kami ingin menjadi kaum berjubah yang berjiwa inklusif dan pluralis, maksudnya kaum berjubah yang merangkul siapa saja dalam semangat keberagaman," kata Romo.
“Makanya saya sering menyebut bahwa kamu adalah aku. Dan aku adalah kamu yang lain,” tandas Kiai Budi. 

Dimuat di BBC Indonesia di rubrik trensosial

http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160708_trensosial_budi

Minggu, 07 Agustus 2016

Kisah di Tahun 1965 : "Mereka Ditembak di Dalam Lubang"

“Kekerasan dan kerja paksa yang tidak mengenal lelah. Itu hujan, itu panas. Kalau perlu ada hukuman kerja malam. Semua pukulan dengan kayu pete yang besar. Bengkak-bengkak semuanya. Ini ada bekas tusukan militer yang sampai sekarang walaupun setengah abad ya, itu ada bekas bayonet kena begini di belakang ada,” tutur Supardi dengan nanar kala mengisahkan apa yang dialaminya setengah abad silam di tanah pembuangan, Pulau Buru.

Sesekali, ia mendongak ke langit-langit rumahnya, mencoba menahan amarah. Pasalnya, ingatan pria berusia 76 tahun tersebut akan siksaan dan kerja paksa, masih mencengkeram kuat.

“Pantat hilang dagingnya, tinggal tulang. Makan juga terbatas. Betul-betul rekoso (susah payah-red). Segala sesuatu terbatas, tidak bisa bergerak dan dicurigai. Omong bahasa Jawa saja dipukul. Barisan salah dipukul. Kerja salah dipukul. Kalau lihat orang tapol dikata itu bukan manusia.”

Supardi adalah bekas tahanan politik peristiwa 1965. Ia ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan karena disangka menjadi anggota Pemuda Rakyat –organisasi kepemudaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bahkan saat ditahan di Polres Pati dan Baperki, Pardi –begitu ia disapa, dipaksa terlibat aksi G30S.

Ia sempat menolak tuduhan tersebut, tapi yang ia terima justru siksaan hingga akhirnya ditahan. Selama 14 tahun, Pardi pindah dari satu penjara ke penjara lain. Dari lapas di Pati sampai ke Nusakambangan. Dan pada September 1971, lelaki berkacamata itu diboyong ke Pulau Buru.

“Saya nggak tahu Pemuda Rakyat, saya ditanya pimpinan tidak tahu menahu, tidak kenal. Saya ditangkap, saya wajib lapor ke kepolisian atas nama calon sukarelawan. Setelah itu hanya kira-kira 10 hari absennya dihentikan dan saya dibawa ke Polres Pati. Di Polres baru semalam, sehari pindah ke Baperki. Pindah lagi langsung ke penjara Nusakambangan. Bulan September dibawa ke Pulau Buru,” ucapnya lirih.

Tak hanya Pardi yang bernasib sial. Dua bulan pasca ditahan Polres Pati, ayah dan sejumlah kerabatnya ditodong dengan sangkaan serupa. Mereka, kata Pardi, ditahan setahun.
Supardi dan para korban 65 di Pati / noni arnee
Supardi berasal dari Desa Bulu Mulya, Kecamatan Batangan, Pati, Jawa Tengah. Dahulu, wilayah di pantura timur ini terkenal “merah” atau menjadi salah satu basis Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kasus yang menimpa Supardi, berawal tatkala bekas seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi underbow PKI tersebut hendak menjadi calon sukarelawan “Ganyang Malaysia”. Waktu 1964, Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia. Usianya 25 tahun.

Akan tetapi ia malah ditahan gara-gara sang komandan relawan “Ganyang Malaysia” merupakan anggota PKI asal Situbondo, Jawa Timur.

“Pada 1964 Soekarno menyiarkan pada rakyat yang peduli jadi surelawan Ganyang Malaysia. Saya termasuk calon sukarelawan Ganyang Malaysia. Kebetulan komandan sukarelawan saya itu orang PKI dari Situbondo Jawa Timur. Setelah 1965, saya dilibatkan.”

Dalam laporan hasil penyeldikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas peristiwa 1965/1966, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Pulau Buru.

Di mana mereka dipaksa bekerja untuk proyek-proyek pemerintah atau tentara dengan tak diberi makan yang memadai atau bekerja di rumah-rumah pejabat militer.

Hingga pada Juni 1979, Supardi dan belasan ribu tahanan politik dilepaskan dengan cap ET alias eks tapol. Sial karena detik ini belum ada rehabilitasi nama dari pemerintah.

http://kbr.id/saga/06-2016/_saga__radimin__mereka_ditembak_di_dalam_lubang/82493.html

Kisah di Tahun 1965 : Kuburan Massal di Hutan Jeglog

Suara gerisik daun Jati kering di Hutan Jeglog, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mengiringi perjalanan saya dan Supardi, pengurus Yayasan Korban Pembunuhan 1965/1966 Cabang Pati. Juga Radimin –warga Desa Sidoluhur.

Di lahan milik Perhutani tersebut, ada jejak pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tempat yang kami tuju itu berada di sisi timur pinggiran Kota Pati. Di sana, Radimin menunjuk gundukan tanah di antara semak belukar dan ilalang –yang diyakini sebagai kuburan massal.

“Kalau yang 15 lubang yang timur. Mereka (korban-red) lari-lari dari mobil, tahu-tahu masuk ke lubang, tembak di dalam lubang,” ungkap Radimin.

Radimin, masih ingat betul peristiwa yang terjadi di bulan Desember 1965. Setengah abad silam, lelaki berusia 81 tahun itu dipaksa menjadi saksi mata aksi keji para pemuda dan tentara pada para tawanannya.

“Saat itu saya pulang lalu disuruh lihat langsung. Dipaksa, tidak bisa menolak.”

Di hadapan saya, Radimin memeragakan posisi para korban. Kata dia, ketika hendak dieksekusi, orang-orang itu berjongkok dengan kedua tangan diletakkan di belakang leher dalam keadaan terikat.

Sedang yang lain, dipaksa berlari dari mobil menuju sebuah lubang yang disiapkan untuk proses eksekusi; ditembak. “Saya tahu persislah. Itu dibondo (diikat-red), diangkat ke belakang. Di pinggir makam, ditembak di tengkuk dan ditendang masuk ke lubang."

Radimin bahkan sempat mengenali salah satu korban yang ketika itu adalah calon relawan “Ganyang Malaysia” –dimana Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia pada 1964.

“Satu yang ditembak namanya Jaiz dari Kecamatan Batangan, Desa Tanggulangin. Yang nembak itu ya seragamnya kalau namanya dulu ya Pemuda Garuda Pancasila. Sandangane (seragamnya-red) kuning-kuning.” Warga Desa Sidoluhur ini juga mengatakan, mereka yang “dihabisi”, dituduh sebagai pemberontak atau penjahat yang kala itu ditujukan pada orang-orang PKI.

Di Hutan Jeglog, ada 25 orang terkubur dalam tiga lubang yang terpisah. Menurut Radimin, sebetulnya ada 10 lubang yang digali. Tapi tiga lainnya dibiarkan menganga hingga sekarang. Sedangkan empat lubang lagi ditanami pohon pisang oleh warga.

“Ini kan lubang ada 10, di sana empat, di sini tiga. Sebenarnya ada masih ada lubang lagi tiga. Ini bukti bahwa ini kubur dan ini ada saksinya,” imbuh Supardi, pengurus Yayasan Korban Pembunuhan 1965/1966 Cabang Pati.
Radimin menunjuk lokasi kuburan masal korban 65 / noni arnee

Supardi dan Radimin menunjuk lokasi kuburan masal korban 65 / noni arnee

Supadi adalah bekas seniman di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi underbow PKI. Ia bercerita, ketika awal tahun 2000-an, ia dan sejumlah korban 65 asal Pati, tergerak melacak lokasi pembantaian itu.

Hingga kemudian, mereka mendirikan organisasi YPKP 1965/1966. Hasilnya, di wilayah tersebut, setidaknya ada delapan kuburan massal. “Setelah lepas dari Pulau Buru, saya mencari kuburan masal. Ketemu tiga lubang untuk mengubur jumlah 25 orang. Lubang pertama 15, lubang kedua lima, lubang ketiga lima. Ini ada harapan dipasang prasasti atau tanda. Beluma da uang.”

Temuan Supardi diperkuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang pada 2008 datang ke Hutan Jeglog. Di sana, Komnas HAM menyelidiki peristiwa kekerasan pasca 1965.

Jejak pembantaian orang-orang yang dituduh PKI tak hanya ada di Hutan Jeglog, YPKP juga menemukan tujuh titik lain yang diduga bekas kuburan massal. Yakni di Hutan Regaloh, Kecamatan Tlogowungu; dua titik di Hutan Brati, Kecamatan Kayen; dan di Kecamatan Dukuhseti di antaranya Grogolan, Sumber Lamen, Puncel dan Kalitelo.

Semua itu adalah bukti bahwa tragedy 1965/1966 tak sekecil seperti yang diklaim bekas komandan pasukan TNI AD –yang membasmi gerakan PKI, Sintong Pandjaitan.

Dalam simposium nasional, Sintong berkilah jika yang mati di Jawa Tengah tak sampai 19 orang.

“Kita menuntut kebenaran. Benarkah orang yang dibunuh itu orang jahat? Benarkah orang yang dibunuh itu orang salah? Harap ada penyelesaian yang benar terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila ada ketentuan bahwa kita tidak bersalah harap itu  dibongkar dan tulang-tulang dikembalikan ke masyarakat," kata Supardi penuh harap.

http://kbr.id/saga/06-2016/_saga__radimin__mereka_ditembak_di_dalam_lubang/82493.html