Pages

Rabu, 14 Desember 2016

Bencana Itu Di Depan Mata

Dusun Tambaksari nampak dari kejauhan, terisolasi karena abrasi / nonie arnee
Ketika menyusuri Dusun Senik, Sayung, Demak bersama Nurohman, saya teringat ketika kali pertama menjejakkan kaki di dusun ini. Tepatnya, delapan tahun silam. Dusun ini sudah lama diterjang abrasi. Separuh rumah di dusun ini sudah ditinggal penghuninya karena rusak, tinggal puing-puing dan terendam termakan abrasi.

Meski begitu sebagian warga masih nampak beraktivitas senormal mungkin. Mereka masih mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan ekonomi masih hidup. Dan jalan utama dusun  masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Bahkan  saya masih bisa menyusuri jalan setapak menuju ujung dusun.

Tapi kini, di atas sampan, saya dan warga Dusun Senik itu  hanya bisa berbagai kenangan tentang dusunnya. Semua yang pernah saya lihat di Dusun Senik  delapan tahun silam tak lagi berbekas. Yang nampak hanya sisa-sisa bangunan dan rimbunan pohon mangrove yang menjadi habitat burung kuntul.

Ya, ternyata kemampuan beradaptasi warga tak sebanding dengan masifnya bencana di depan mata mereka sehingga membuat kehidupan ratusan kepala keluarga di Dusun Rejosari Senik tenggelam. Bencana abrasi tidak hanya membuat rumah-rumah hancur, tapi  juga terpuruknya perekonomian warga, hilangnya  mata pencaharian dan ikatan hubungan sosial.

Pemerintah menganggap relokasi menjadi pilihan terakhir dari ancaman abrasi hingga kemudian warga Senik dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung.
Tapi benarkah itu solusi terbaik? Saya kembali teringat pada Sumadi. Warga Tanggultlare, Jepara yang saya temui di bibir pesisir pantai utara Jepara. Ia berkisah beratnya beradaptasi di tempat baru karena di relokasi setelah desanya habis dilalap abrasi. Tak cukup sekali relokasi, keganasan abrasi membuat warga relokasi hingga tiga kali. Tapi itu delapan tahun silam. Entah sekarang.
Abrasi yang terjadi di kawasan Sayung, Desa Bedono selama 20 tahun terakhir diperkirakan yang terbesar di kawasan pantai utara Jawa bahkan di Indonesia. Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2 ribu hektar lebih yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5 kilometer dari garis pantai di tahun 1994 lalu.
Berbagai upaya dilakukan. Mulai dari penanaman dan pemeliharaan mangrove, pembuatan green belt, talut pemecah ombak dari beton, revitalisasi tambak untuk kegiatan budidaya ramah lingkungan. Hingga peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kawasan pesisir dengan membagi tiga zona utama yaitu area mangrove, area rehabilitasi dan area larang tangkap.

Pemerintah  juga tak mau dianggap hanya berdiam diri. Sembari menunggu hasil revitalisasi ekosistem mangrove yang dianggap menjadi solusi terbaik. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memprioritaskan penanganan pesisir di pantura Jawa khususnya Demak dengan merealisasikan pilot project restorasi pesisir melalui Program Membangun Bersama Alam, melalui pembangunan struktur pelindung pantai konstruksi pemerangkap sedimen berstruktur hybrid yang terbuat dari kumpulan ranting dan kayu.
Teknologi ramah lingkungan pemasangan alat pemecah ombak berbasis alam yang disebut  hybrid engineering hasil adopsi dari Belanda ini diyakini mampu mengurangi laju abrasi dan menstabilkan garis pantai dengan membalikkan proses hilangnya sedimen.

Tapi, jika ditilik ke belakang, faktor alam hanya menyumbang kecil munculnya abrasi. Naiknya permukaan air laut yang masif itu justru lebih lebih besar disebabkan oleh ulah manusia. Tidak hanya  karena masifnya penyedotan air tanah yang menyebabkan land subsidence hingga 13 sentimeter per tahun tapi juga karena pembangunan yang tak ramah lingkungan. Bangunan yang menjorok ke pantai dan proyek reklamasi jelas nyata memberi andil terbesar bencana abrasi.
Abrasi sudah terjadi puluhan tahun. Bencana itu sebenarnya ada di depan mata kita dan sudah seharusnya hal itu tidak dianggap sebagai hal biasa.
Selama pembangunan tidak berpihak dengan alam, maka ada dampak yang akan selalu muncul. Dan selama pemerintah selaku pemegang otoritas tidak tegas memberi regulasi dengan mengedepankan pembangunan berperspektif lingkungan, maka pada akhirnya itu justru menjadi bumerang.
Alam akan selalu mencari keseimbangan. Dan seperti kata pepatah bijak “Ketika alam sudah mulai tidak bersahabat, maka manusia harus siap menerima derita.” Tapi apakah adil jika yang akan menui derita justru orang-orang yang selama ini hidup harmonis berdampingan dengan alam?

Senin, 03 Oktober 2016

Kisah Mbah Gotho, pria yang diduga manusia tertua di dunia

Tangan Sodimedjo meraba-raba bangku yang ada di sisi kanannya dengan gerakan lambat. Penglihatannya sudah kabur. Pada usia yang menurut pengakuannya telah menginjak hampir 146 tahun , jarak pandangnya tak sampai satu meter. Tapi ia bisa merasakan keberadaan orang-orang di sekitarnya.
“Aku mau minum dingin,” katanya berulang kali dengan logat bahasa Jawa kental.
Dalam hitungan menit, Suwarni, istri salah seorang cucunya, datang membawa sebotol minuman soda dingin. “Ini dingin, Mbah. Enak, coba minum,” kata Suwarni sambil menyorongkan botol minuman tersebut ke mulut Sodimedjo.

Berdasarkan pengakuan Sodimedjo alias Mbah Gotho yang lantas dimasukkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), dirinya lahir di Klaten, Jawa Tengah, 31 Desember 1870 lampau. Artinya, jika pengakuan Mbah Gotho benar, dia hampir berusia 146 tahun, melampaui rekor manusia tertua dari Jepang yaitu 112 tahun.

Namun, umur tak membatasi Mbah Gotho untuk hal-hal tertentu. Pria itu masih bisa menikmati es krim, es teh, dan rokok filter yang diisapnya setiap hari. Ingatannya bahkan masih cukup kuat ketika bercerita tentang peristiwa lalu, antara lain keberadaan Pabrik Gula Gondang Winangoen di kota kelahirannya, Klaten, Jawa Tengah, yang semula bernama Suikerfabriek Gondang Winangoen semasa penjajahan Belanda.
“Kalau musim giling itu suara mesinnya keras terdengar sampai ke kampung. Dulu saya suka main di pabrik. Jaman dulu itu jalan besar tidak ada kendaraan, motor, bus. Tidak seperti sekarang," ungkap Mbah Gotho saat diwawancarai wartawan Nonie Arnee.

Sebagai catatan, Pabrik Gula Gondang Winangoen didirikan pada 1860 oleh NV Klatensche Cultuur Maatschappijpabrik dan Pabrik Gula Mojo Sragen pada 1860. Pabrik tersebut masih beroperasi pada era 1930-an hingga 1942. Tak bisa dipastikan pada periode mana Mbah Gotho mengingat masa-masa pabrik gula itu, yang bisa menunjukkan kebenaran pengakuan usianya. Masalahnya, tak ada sumber lain yang bisa mengukuhkan pengakuannya.

Selain pabrik gula, hal lain yang diingatnya ketika dia dan warga kampung mencegat dan membakar tank tentara Belanda saat melintas di jembatan kampung. "Ambil kayu di hutan, disiram bensin terus dinyalakan. Tank Belanda datang, dicegat terus, duuaar," serunya, menirukan suara ledakan.
Cara bertuturnya masih runut, meski sesekali berbicara tak tentu arah, kerap berganti -ganti topik pembicaraan.

Ketika ditanya tentang pendamping hidup, Gotho tak mampu mengingatnya dengan pasti. "Istriku banyak, ada anak Wedana Gondang, ada anaknya Demang di kampung sini. Dulu belum cerai saja saya sudah punya istri lagi. Tapi istriku sudah meninggal semua, anakku empat, yang masih hidup hanya saya,” ujar Mbah Gotho.

Nama asli Mbah Gotho adalah Sodimedjo. Namun, nama itu baru disandangnya setelah menikah.
“Aku lahir Bulan Sapar, makanya orangtuaku memberi nama Suparman.”

Dirawat cucu
Tak banyak informasi yang bisa digali tentang kehidupan Mbah Gotho yang lahir dari pasangan Setrodikromo dan Saliyem. Sepeninggal anaknya pada 1993, cucu dari istrinya yang keempat yang merawatnya. Nama sang cucu adalah Suryanto.
Suryanto sendiri baru mengenal sosok Mbah Gotho karena tak pernah berinteraksi sebelumnya. “Dulu Mbah ikut ibu saya yang bernama Sukinem, karena tidak ada sanak saudara akhirnya saya ambil. Saya sebelumnya tidak mengenal, “ujar Suryanto.

Kini, Mbah Gotho tinggal bersama pasangan Suryanto dan Suwarni di Dusun Segeran, Desa Cemeng, Sragen Jawa Tengah. Menurut Suryanto, Mbah Gotho dikenal sebagai sosok yang rajin bekerja dan penyabar. “Dari dulu sehat, tidak bisa diam di rumah. Mencangkul, mencari rumput. Ia punya kebiasaan bangun pagi dan tidak pernah menggunakan alas kaki. Keluhannya hanya meriang dan dikerokin saja pasti sembuh.”

Suryanto juga mengaku jika Mbah Gotho tidak pantang terhadap jenis makanan apapun. “Tidak pernah mengeluh. Jadi ngurusin nggak susah.”
Kondisi fisik Mbah Gotho memang menurun sejak enam bulan terakhir, sehingga aktivitasnya kini terbatas. Pria itu hanya duduk di teras dan ketika merasa lelah akan kembali ke tempat tidur.
“Jalan harus dibantu, makan disuapi dan dimandikan sehari dua kali. Tapi itu wajar karena usianya.”

Kebenaran usia Mbah Gotho
Namun, benarkah usia Sodimedjo setua itu?Keabsahan identitas yang merujuk pada waktu  kelahirannya memang bisa dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang menginduk pada Suryanto, sebagaimana diterangkan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sragen, Wahyu Lwyanto.
Namun, Mbah Gotho tidak memiliki akta kelahiran sehingga tahun dia dilahirkan hanya berdasarkan pengakuannya. “Identitas seseorang harus ditunjukkan dengan akta kelahiran, tapi dia tidak punya karena waktu itu memang belum ada. Data berdasarkan informasi dan pengakuan yang bersangkutan ketika masih lancar berkomunikasi, sehingga kemudian diterbitkan identitas resmi.,” kata Wahyu.
KTP Sodimedjo masih KTP reguler karena pada saat perekaman e-KTP tahun 2012 lalu, ia tidak ikut dengan alasan identitas yang dimiliki berlaku seumur hidup.
Pembuatan e-KTP bagi Mbah Gotho, menurut Wahyu memiliki kendala. “Sistem yang ada hanya bisa membaca tahun kelahiran yang dimulai tahun 1990 dan sulit deteksi iris mata karena tidak jelas. Nanti diusahakan dengan sidik jari.”

Siapkan pemakaman
Walau berpotensi memecahkan rekor sebagai manusia tertua di dunia, nyatanya Mbah Gotho tak suka  dengan umur panjangnya. Dia pun sudah menyiapkan pemakamannya sejak jauh hari.Bahkan, nisan bertuliskan namanya telah bercokol di samping rumah. “Kematian itu hal yang saya inginkan. Nisan itu untuk jaga-jaga, beli sendiri. Sudah komplet, rumah kuburan dan cungkup sudah siap, tinggal menunggu dipanggil. Kalau saya meninggal harus cepat dimandikan, didandani, pakai baju, celana, kaos tangan komplet, dasi, dan kacamata. Terus dibawa ke makam dan ditidurkan dengan petinya. Dicor biar tidak longsor,” ujarnya sambil menunjuk nisannya.

Keinginan Mbah Gotho itu sempat membuat was-was Suryanto. “Persiapan Mbah Gotho terlalu lama, sejak tahun 1993 sampai sekarang. Awalnya takut dan khawatir itu firasat, tapi lama-lama jadi biasa saja.”

di muat di BBC Indonesia
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/09/160902_indonesia_mbah_gotho_manusia_tertua

Kiai Budi dan Romo Budi: 'Perbedaan justru memperkaya kita'

Bertemu 12 tahun lalu, Kiai Budi dan Romo Budi di Semarang cepat akrab dan menjadi sahabat. Perbedaan, kata mereka, tak menjadi penghalang tetapi sebuah resep agar hidup 'semakin kaya.'
Hari raya Idul Fitri menjadi hari spesial bagi Aloysius Budi Purnomo, yang biasa dikenal dengan nama Romo Budi.
Walau beragama Katolik, dia selalu menyempatkan diri berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Ishlah, Semarang, untuk bertemu sahabatnya, Amin Maulana Budi Harjono atau akrab disapa Kiai Budi.
Sejak bertemu 12 tahun lalu, Romo Budi dan Kiai Budi hingga kini terus bersahabat.
Gereja Ismail di Alor dibangun atas inisiatif warga Muslim
Ketika perempuan berkerudung Muslim dan Kristiani menyerukan persahabatan dan toleransi
Mayoritas siswa SMA negeri 'toleran tapi ada potensi radikal'
"Saya memandang orang lain bukan selubung labelnya, tapi hatinya karena Tuhan bersemayam di hati manusia. Gereja dan masjid itu sarana, karena itu memanusiakan manusia itu bagian dari misi agama yang hakiki,” kata Kiai Budi.

'Memperkaya'
Tak cuma saat Lebaran dua Budi ini bertemu. Ketika Kiai Budi mengunduh mantu salah satu santrinya, kedatangan Romo Budi tak sekadar tamu, tapi didapuk memberi doa dan petuah pernikahan bagi kedua mempelai yang sungkem.
"Saya dianggap orang tua dan saya satu-satunya Katolik di situ dan seorang Romo. Jadwalnya nggak cocok pun dicocok-cocokkan supaya bisa ketemu. Apalagi pada saat kangen ngobrol atau sekadar bermain gitar di pondok," ujar Romo Budi.
Juga ketika salah satunya berulang tahun, atau ketika Kiai Budi dan para santrinya diundang ke gereja.
"(Dia) langsung bersedia ketika diminta mempersembahkan tarian mengiringi kepergian Uskup Agung Semarang yang meninggal tahun lalu. Apa yang dilakukan itu lebih dalam dari toleransi. Saya sangat dimuliakan dengan tindakan kasih dan tidak berpikir bahwa imamat saya direndahkan."
Bagi keduanya, ini adalah tindakan sederhana diyakini bisa membawa pesan damai dan kerukunan.
"Kendati berbeda, talenta (Kiai Budi) untuk membangun persaudaraan dengan perspektif positif sangat luar biasa. Perbedaan itu justru memperkaya kita," ujar Romo yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama Keuskupan Agung Semarang (KAS).

Ketika tarian sufi dibawa ke gereja
Tapi kegiatan antar agama yang mereka lakukan kadang mendatangkan kontroversi, misalnya ketika Kiai Budi membawa tarian sufi ke gereja.
“Sufi diasumsikan Islam dan ketika dibawa ke gereja jangan dikira tanpa masalah. Tarian dihentikan dengan alasan aneh dan menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan sunah Rasul. Konflik itu muncul karena kurang memahami,” jelas Kiai Budi.
Tarian Sufi digunakan oleh Kiai Budi dalam beberapa tahun terakhir di berbagai kesempatan sebagai pesan persaudaraan dan ungkapan iman sekaligus cinta pada kepada Tuhan.
Romo Budi mengakui bahwa pro-kontra semacam ini pasti terjadi, tetapi itu tidak menyurutkan langkah mereka mempromosikan perdamaian melalui dialog dan perjumpaan antar umat.
“Saya semakin menjadi Katolik dalam perjumpaan dengan beliau sebagai seorang Kiai," katanya.
"Kami bisa menerima tanpa curiga ketika Bu Sinta Wahid datang ingin berbuka puasa di gereja. Tidak perlu curiga saya di-Islam-kan, dan (takut) jika tausiyahnya akan membuat umat lain kepincut."
Dan sebagai imam, Romo Budi menganggap bahwa tugasnya tidak hanya pelayanan sakramental di altar tapi juga bergerak di 'semak belukar', di seluruh segmen kehidupan untuk mewujudkan persaudaraan dan perdamaian.
“Kami ingin menjadi kaum berjubah yang berjiwa inklusif dan pluralis, maksudnya kaum berjubah yang merangkul siapa saja dalam semangat keberagaman," kata Romo.
“Makanya saya sering menyebut bahwa kamu adalah aku. Dan aku adalah kamu yang lain,” tandas Kiai Budi. 

Dimuat di BBC Indonesia di rubrik trensosial

http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160708_trensosial_budi

Minggu, 07 Agustus 2016

Kisah di Tahun 1965 : "Mereka Ditembak di Dalam Lubang"

“Kekerasan dan kerja paksa yang tidak mengenal lelah. Itu hujan, itu panas. Kalau perlu ada hukuman kerja malam. Semua pukulan dengan kayu pete yang besar. Bengkak-bengkak semuanya. Ini ada bekas tusukan militer yang sampai sekarang walaupun setengah abad ya, itu ada bekas bayonet kena begini di belakang ada,” tutur Supardi dengan nanar kala mengisahkan apa yang dialaminya setengah abad silam di tanah pembuangan, Pulau Buru.

Sesekali, ia mendongak ke langit-langit rumahnya, mencoba menahan amarah. Pasalnya, ingatan pria berusia 76 tahun tersebut akan siksaan dan kerja paksa, masih mencengkeram kuat.

“Pantat hilang dagingnya, tinggal tulang. Makan juga terbatas. Betul-betul rekoso (susah payah-red). Segala sesuatu terbatas, tidak bisa bergerak dan dicurigai. Omong bahasa Jawa saja dipukul. Barisan salah dipukul. Kerja salah dipukul. Kalau lihat orang tapol dikata itu bukan manusia.”

Supardi adalah bekas tahanan politik peristiwa 1965. Ia ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan karena disangka menjadi anggota Pemuda Rakyat –organisasi kepemudaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bahkan saat ditahan di Polres Pati dan Baperki, Pardi –begitu ia disapa, dipaksa terlibat aksi G30S.

Ia sempat menolak tuduhan tersebut, tapi yang ia terima justru siksaan hingga akhirnya ditahan. Selama 14 tahun, Pardi pindah dari satu penjara ke penjara lain. Dari lapas di Pati sampai ke Nusakambangan. Dan pada September 1971, lelaki berkacamata itu diboyong ke Pulau Buru.

“Saya nggak tahu Pemuda Rakyat, saya ditanya pimpinan tidak tahu menahu, tidak kenal. Saya ditangkap, saya wajib lapor ke kepolisian atas nama calon sukarelawan. Setelah itu hanya kira-kira 10 hari absennya dihentikan dan saya dibawa ke Polres Pati. Di Polres baru semalam, sehari pindah ke Baperki. Pindah lagi langsung ke penjara Nusakambangan. Bulan September dibawa ke Pulau Buru,” ucapnya lirih.

Tak hanya Pardi yang bernasib sial. Dua bulan pasca ditahan Polres Pati, ayah dan sejumlah kerabatnya ditodong dengan sangkaan serupa. Mereka, kata Pardi, ditahan setahun.
Supardi dan para korban 65 di Pati / noni arnee
Supardi berasal dari Desa Bulu Mulya, Kecamatan Batangan, Pati, Jawa Tengah. Dahulu, wilayah di pantura timur ini terkenal “merah” atau menjadi salah satu basis Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kasus yang menimpa Supardi, berawal tatkala bekas seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi underbow PKI tersebut hendak menjadi calon sukarelawan “Ganyang Malaysia”. Waktu 1964, Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia. Usianya 25 tahun.

Akan tetapi ia malah ditahan gara-gara sang komandan relawan “Ganyang Malaysia” merupakan anggota PKI asal Situbondo, Jawa Timur.

“Pada 1964 Soekarno menyiarkan pada rakyat yang peduli jadi surelawan Ganyang Malaysia. Saya termasuk calon sukarelawan Ganyang Malaysia. Kebetulan komandan sukarelawan saya itu orang PKI dari Situbondo Jawa Timur. Setelah 1965, saya dilibatkan.”

Dalam laporan hasil penyeldikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas peristiwa 1965/1966, telah terjadi pelanggaran HAM berat di Pulau Buru.

Di mana mereka dipaksa bekerja untuk proyek-proyek pemerintah atau tentara dengan tak diberi makan yang memadai atau bekerja di rumah-rumah pejabat militer.

Hingga pada Juni 1979, Supardi dan belasan ribu tahanan politik dilepaskan dengan cap ET alias eks tapol. Sial karena detik ini belum ada rehabilitasi nama dari pemerintah.

http://kbr.id/saga/06-2016/_saga__radimin__mereka_ditembak_di_dalam_lubang/82493.html

Kisah di Tahun 1965 : Kuburan Massal di Hutan Jeglog

Suara gerisik daun Jati kering di Hutan Jeglog, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mengiringi perjalanan saya dan Supardi, pengurus Yayasan Korban Pembunuhan 1965/1966 Cabang Pati. Juga Radimin –warga Desa Sidoluhur.

Di lahan milik Perhutani tersebut, ada jejak pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tempat yang kami tuju itu berada di sisi timur pinggiran Kota Pati. Di sana, Radimin menunjuk gundukan tanah di antara semak belukar dan ilalang –yang diyakini sebagai kuburan massal.

“Kalau yang 15 lubang yang timur. Mereka (korban-red) lari-lari dari mobil, tahu-tahu masuk ke lubang, tembak di dalam lubang,” ungkap Radimin.

Radimin, masih ingat betul peristiwa yang terjadi di bulan Desember 1965. Setengah abad silam, lelaki berusia 81 tahun itu dipaksa menjadi saksi mata aksi keji para pemuda dan tentara pada para tawanannya.

“Saat itu saya pulang lalu disuruh lihat langsung. Dipaksa, tidak bisa menolak.”

Di hadapan saya, Radimin memeragakan posisi para korban. Kata dia, ketika hendak dieksekusi, orang-orang itu berjongkok dengan kedua tangan diletakkan di belakang leher dalam keadaan terikat.

Sedang yang lain, dipaksa berlari dari mobil menuju sebuah lubang yang disiapkan untuk proses eksekusi; ditembak. “Saya tahu persislah. Itu dibondo (diikat-red), diangkat ke belakang. Di pinggir makam, ditembak di tengkuk dan ditendang masuk ke lubang."

Radimin bahkan sempat mengenali salah satu korban yang ketika itu adalah calon relawan “Ganyang Malaysia” –dimana Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia pada 1964.

“Satu yang ditembak namanya Jaiz dari Kecamatan Batangan, Desa Tanggulangin. Yang nembak itu ya seragamnya kalau namanya dulu ya Pemuda Garuda Pancasila. Sandangane (seragamnya-red) kuning-kuning.” Warga Desa Sidoluhur ini juga mengatakan, mereka yang “dihabisi”, dituduh sebagai pemberontak atau penjahat yang kala itu ditujukan pada orang-orang PKI.

Di Hutan Jeglog, ada 25 orang terkubur dalam tiga lubang yang terpisah. Menurut Radimin, sebetulnya ada 10 lubang yang digali. Tapi tiga lainnya dibiarkan menganga hingga sekarang. Sedangkan empat lubang lagi ditanami pohon pisang oleh warga.

“Ini kan lubang ada 10, di sana empat, di sini tiga. Sebenarnya ada masih ada lubang lagi tiga. Ini bukti bahwa ini kubur dan ini ada saksinya,” imbuh Supardi, pengurus Yayasan Korban Pembunuhan 1965/1966 Cabang Pati.
Radimin menunjuk lokasi kuburan masal korban 65 / noni arnee

Supardi dan Radimin menunjuk lokasi kuburan masal korban 65 / noni arnee

Supadi adalah bekas seniman di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –organisasi underbow PKI. Ia bercerita, ketika awal tahun 2000-an, ia dan sejumlah korban 65 asal Pati, tergerak melacak lokasi pembantaian itu.

Hingga kemudian, mereka mendirikan organisasi YPKP 1965/1966. Hasilnya, di wilayah tersebut, setidaknya ada delapan kuburan massal. “Setelah lepas dari Pulau Buru, saya mencari kuburan masal. Ketemu tiga lubang untuk mengubur jumlah 25 orang. Lubang pertama 15, lubang kedua lima, lubang ketiga lima. Ini ada harapan dipasang prasasti atau tanda. Beluma da uang.”

Temuan Supardi diperkuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang pada 2008 datang ke Hutan Jeglog. Di sana, Komnas HAM menyelidiki peristiwa kekerasan pasca 1965.

Jejak pembantaian orang-orang yang dituduh PKI tak hanya ada di Hutan Jeglog, YPKP juga menemukan tujuh titik lain yang diduga bekas kuburan massal. Yakni di Hutan Regaloh, Kecamatan Tlogowungu; dua titik di Hutan Brati, Kecamatan Kayen; dan di Kecamatan Dukuhseti di antaranya Grogolan, Sumber Lamen, Puncel dan Kalitelo.

Semua itu adalah bukti bahwa tragedy 1965/1966 tak sekecil seperti yang diklaim bekas komandan pasukan TNI AD –yang membasmi gerakan PKI, Sintong Pandjaitan.

Dalam simposium nasional, Sintong berkilah jika yang mati di Jawa Tengah tak sampai 19 orang.

“Kita menuntut kebenaran. Benarkah orang yang dibunuh itu orang jahat? Benarkah orang yang dibunuh itu orang salah? Harap ada penyelesaian yang benar terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila ada ketentuan bahwa kita tidak bersalah harap itu  dibongkar dan tulang-tulang dikembalikan ke masyarakat," kata Supardi penuh harap.

http://kbr.id/saga/06-2016/_saga__radimin__mereka_ditembak_di_dalam_lubang/82493.html

Pesantren itu Ada di Kampung Darat : Jejak Sumir Guru Para Ulama Tanah Jawa (2)

Nama dua ulama ini memang tak setenar Sunan Kudus. Tapi ia tercatat punya pengaruh yang cukup besar dalam syiar Islam. Siapa kedua ulama itu?

Dua nama ulama ini memang tak setenar Sunan Kudus. Namanya The Ling Sing atau akrab disebut Kiai Telingsing dan Kiai Sholeh Darat. Keduanya hidup terpisah. Kiai Telingsing ada di Kudus dan Kiai Sholeh di Semarang. Namun, meski tak setenar Sunan Kudus jejak syiarnya masih bisa kita jumpai di kedua kota itu.

Seperti apa kiprah mereka dalam penyebaran agama Islam di Jawa? Tak banyak yang tahu. Karena itu, tak mudah untuk menelusuri jejak-jejak mereka. Dari yang tak banyak itu, jejak mereka bisa dijumpai pada makam dan masjid Kiai Telingsing di Kudus, dan makam Kiai Sholeh Darat di Semarang, termasuk keluarga keturunannya.

Kami pun mencoba menelusuri jejak kedua ulama itu.

***
Berjarak beberapa abad dengan kehidupan Kiai Telingsing, di Semarang ada nama ulama ternama dalam penyiaran agama Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Nama asli lelaki itu KH Muhammad Sholeh Darat bin Umar As-Samarani dan lebih dikenal sebagai Kiai Sholeh Darat. Ia lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar 1820. Sang ayah bernama KH Umar, ulama terkenal yang pernah bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.

Keinginan untuk meneruskan jejak dakwah sang ayah membuat Sholeh muda berkelana hingga ke Makkah. Di sana ia berguru pada beberapa ulama besar seperti Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Di kota suci itu pula, Sholeh Darat bertemu dengan santri -santri yang berasal dari Indonesia antara lain KH Nawawi Al Bantani dan KH Muhammad Kholil Al Maduri.

Sekembalinya menimba ilmu di Makkah, Sholeh Darat mengajar di Pondok Pesantren Darat milik sang mertua, KH Murtadlo di Kampung Darat yang kini bernama Dadap Sari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Nama Darat yang disandangnya merupakan sebutan masyarakat yang merujuk pada tempat tinggalnya.

Pondok pesantren berkembang pesat. Santri berdatangan dari berbagai pelosok daerah untuk belajar agama. Sejumlah nama yang kemudian menjadi ulama besar pernah nyantri di situ. Sebut saja pendiri NU KH Hasyim Asy'ari (Ponpes Tebu Ireng), pendiri Muhamadiyah KH Ahmad Dahlan, KH Munawir (Ponpes Krapyak Jogja), KH Mahfudz (Termas Pacitan), Kiai R Dahlan Tremas (seorang Ahli Falak), Kiai Amir Pekalongan yang selanjutnya menjadi menantu Kiai Sholeh Darat, Kiai Idris Solo, dan Kiai Sya'ban bin Hasan Semarang.

Sebagai penyebar Islam di tanah Jawa, nama Sholeh Darat terkenal sebagai guru para ulama di Jawa dan tokoh besar Islam seangkatan dengan Syaikh Muhammad Nawani Al Jawi Al Bantani dan Kiai Kholil bin Abdul Latief atau Mbah Kholil Bangkalan.

Kitab Kiai yang Tersebar
Kebesaran Sholeh Darat lainnya, dia menjadi penulis banyak kitab yang dipakai di banyak pondok pesantren. Dari banyak karya sang kiai, hanya tiga kitab yang masih tersimpan di kotak khusus di rumah takmir masjid KH Sholeh Darat di Kampung Darat. Sayang sekali, ketika saya meminta untuk melihat ketiga kitab itu, Chomsin Basri tidak mengabulkannya. Tentu saja, Ketua Takmir Masjid KH Sholeh Darat punya alasan rasional. Usia kitab yang tua dan ditulis di atas kertas dengan warna tinta tidak begitu cerah itu rentan hancur.

Ya, hanya ketiga kitab yaitu Al Hikam, Pesholatan, dan Tajwit yang disimpan pihak keluarga. "Dulu tersimpan di masjid, tapi karena khawatir diambil orang, lalu disimpan," ujar lelaki yang dipasrahi menyimpan kitab-kitab itu.

Lukman Hakim Saktiawan, cicit Kiai Sholeh Darat menyebutkan kesulitan mengumpulkan kitab-kitab peninggalan kakek buyutnya itu. Apalagi tak sedikit dari kitab-kitab karya Kiai Sholeh Darat tersebar selain di Jawa, juga di Singapura dan Mesir. Bahkan pihak keluarga yakin, banyak manuskrip karya Sholeh Darat juga tersimpan di Leiden Belanda. "Santri-santrinya yang mencari karena kitab tersebar. Tidak hanya di Jawa tapi juga ditulis ulang di Mesir dan Singapura," jelas lelaki yang akrab disapa Gus Lukman.

Salah satu faktor mengapa kitab-kitab itu tersebar adalah kegemaran Kiai Sholeh Darat memberikan kitab karyanya kepada santrinya. "Hampir semua muridnya diberi kitab, jadi tersebar di mana-mana, termasuk yang ada di tangan RA Kartini," ujar Gus Lukman.

Di antara puluhan karya Kiai Sholeh Darat, beberapa sangat populer yaitu Majmu'at al-Syariat al-Syari'at al-Kafiat Li al-Awwan yang merupakan kitab bertuliskan huruf Arab pegon dan berbahasa Jawa. Ada pula yang telah diterbitkan oleh NV Haji Amin Singapura (tahun 1898), termasuk terbitan berangka tahun 1890-1935 oleh penerbit Singapura dan Bombay (sekarang Mumbai). Penerbit lokal yang menerbitkan beberapa karya sang kiai adalah Toha Putra.

Berkaitan dengan penulisan kitab, salah satu perjuangan Kiai Sholeh yang terus dikenang adalah menafsirkan Alquran dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab pegon. Ini terbilang istimewa karena hampir semua kitab yang ditulis bertujuan agar mudah dimengerti khalayak.

"Pada zaman itu banyak yang tidak sekolah. Kiai Sholeh Darat ingin agar kaum awam belajar agama sehingga kitab tafsirannya berbahasa Jawa," tandas penulis buku Keajaiban Shalat Menurut Ilmu Kesehatan Cina dan pelatih Shaolin Kung Fu yang berprofesi therapis ini.

Ajarannya pun luas, tak melulu soal syariat, tapi juga karya tasawuf. Bahkan persoalan tentang kesetaraan gender pun sudah didedah sang kiai lewat kitab karyanya. Terkait kesetaraan gender, dia menganjurkan perempuan dan laki-laki sama-sama berkewajiban menuntut ilmu, meskipun perlu pembatasan bagi kaum perempuan. Sang kiai punya alasan mengapa ada pembatasan itu.

Di masanya, menurut Kiai Sholeh Darat, kalau perempuan pandai, dia bisa saja membahayakan dirinya sendiri karena akan dimanfaatkan Belanda. Itu juga alasan mengapa RA Kartini pernah nyantri di pondok pesantren Kiai Sholeh. Perempuan yang dikenal sebagai pejuang kesetaraan gender itu bahkan mendapat hadiah kitab dari sang guru.

Menjaga Ajaran Sang Kiai
Dalam perkembangannya, ajaran Kiai Sholeh Darat sempat mengalami "gangguan". Maksudnya, ada beberapa aspek ajaran yang tak lagi diikuti atau bahkan dihilangkan. Dan itu terjadi di lingkungan internal, atau keluarga keturunan sang kiai.

Perlu diketahui, dzuriyyah atau keturunan Kiai Sholeh Darat memang secara moral adalah kalangan yang menjaga ajaran-ajaran yang dikembangkan sang kiai. Seseorang di antara para dzuriyyah itu didaulat sebagai pemimpin. Hanya saja menurut Chomsin Basri, ketika KH Ali Cholil (cucu Kiai Sholeh dari istri keempat) memimpin, beberapa ajaran sang kiai tak lagi diikuti.

Begitu pula, keturunan sang kiai yang tersebar di banyak tempat pun sempat mengalami "gangguan" saling bersilaturahmi, termasuk kemunculan paham atau aliran lain yang sempat membuat perpecahan. Banyak tradisi keagamaan ajaran Kiai Sholeh yang "hilang". Walhasil, nama dan kiprah sang kiai seolah-olah redup dan tidak populer.

Pada 2012, sepeninggal KH Ali Cholil, pihak keluarga kemudian membulatkan tekad untuk "kembali" ke ajaran Kiai Sholeh Darat. Hal itu ditegaskan oleh Gus Lukman, cicit sang kiai, yang tak lain adalah putra KH Ali Cholil.

"Saya tidak akan mengikuti ajaran bapak tapi saya akan mengikuti ajarannya Mbah Sholeh," ujar Chomsin Basri menirukan penuturan Gus Lukman.

Upaya kembali ke ajaran sang kiai adalah dengan menata kepengurusan masjid. Chomsin Basri, santri yang pernah menimba ilmu di pesantren Kiai Kholil bin Abdul Latief atau Mbah Kholil Bangkalan didapuk menjadi Ketua Takmir Masjid Sholeh Darat yang berlokasi di Jalan Kakap Darat Tirto 212, Kota Semarang.

Pemilihan Chomsin sangat terkait dengan nama Mbah Kholil Bangkalan yang merupakan rekan seperjuangan Kiai Saleh. Ulama lain yang memiliki keterkaitan adalah Syekh Muhammad Nawani Al Jawi Al Bantani dari Banten.

Bahkan, pada masanya ketiganya bak Three Musketeers yang merencanakan dan mengatur cara dakwah melalui strategi penggunaan bahasa lokal dalam tulisan berhuruf Arab pegon. "Orang Belanda tahunya yang digunakan adalah bahasa Arab. Siasatnya begitu," jelas Chomsin yang asal Madura ini.

Spirit dan garis perjuangan agama Kiai Sholeh Darat sedikit demi sedikit mulai dihidupkan kembali, antara lain aktivitas pengajian rutin dan kajian kitab seperti kajian kitab majemuk syariah dan amalan Burdah yang dilaksanakan tiap Sabtu.

Bahkan Jamaah Pengajian Ahad Pagi yang didirikan Kiai Soleh Darat yang membedah kitab-kitabnya pun diaktifkan lagi. Begitu pula haul atau peringatan wafat sang kiai pada 10 Syawal (tepatnya 18 Desember 1903) kembali diselenggarakan.

Chomsin Basri mengatakan, masjid peninggalan Kiai Sholeh yang selama beberapa waktu itu sepi dan nyaris tidak ada aktivitas tersebut kembali "hidup". Nama dan ajaran sang kiai kembali terdengar dan bahkan memotivasi sejumlah akademikus di Semarang dan para santri untuk membentuk Komunitas Pencinta KH Sholeh Darat (Kopi Soda). Itu komunitas yang berfokus mengkaji dan melacak kitab-kitab peninggalan Sholeh Darat.

Ya, meski baru seumur jagung, komunitas tersebut memiliki komitmen membantu menghidupkan ruh Kiai Sholeh Darat dengan menduplikasi kitab-kitabnya agar semakin banyak yang mempelajarinya. Kitab-kitab pun dicetak dalam berbagai versi, termasuk membuat cetakan Kitab karangan Kiai Sholeh Darat yang pernah dihadiahkan kepada RA Kartini, yakni Tafsir Faidhur Rohman setebal 576 halaman dan Kitab Terjemah Al-Hikam setebal 254 halaman dalam keping DVD dan CD.

"Kitab digital itu hasil pemotretan naskah asli tulisan tangan Kiai Sholeh Darat. Selain tebal dan tidak lagi ada cetakannya, juga lebih mudah disebarkan pada para santri," jelas Mohammad Ichwan, sekretaris Komunitas Pencinta Kiai Sholeh Darat (Kopi Soda).
Ada juga yang ditulis ulang dalam teks bahasa Indonesia diberi syarah atau tambahan dari sudut pandang metafisika oleh Gus Lukman, misalnya kitab Lathoifut Thoharoh. "Tujuannya jelas agar generasi sekarang mudah membaca dan mengamalkan ajarannya," kata Ichwan.

Makam dan Foto Palsu
Selain ajaran dan kitab-kitab, sebagai sosok historis dan ulama besar, jejak Kiai Sholeh Darat bisa juga dijumpai lewat makamnya. Hanya saja, soal makam ini sering pula memicu kontroversi seputar makam mana yang benar karena muncul cerita mengenai beberapa makam yang diyakini sebagai tempat bersemayam jasad sang kiai.

Di sekitar Masjid Sholeh Darat, tepatnya di sisi selatan, ada bangunan baru seperti gazebo berlantai keramik. Menurut Gus Lukman, itu adalah bekas makam Kiai Sholeh Darat. Kenapa bekas makam? Muncul cerita bahwa jasad sang kiai dipindah ke kompleks pemakaman Bergota yang terletak di Jl Kiai Saleh Kota Semarang pada tahun 1936 oleh pihak Belanda. Alasan pemindahan sangat politis pada waktu itu. Sepeninggal Kiai Sholeh Darat, masjid peninggalannya kerap dijadikan tempat berkumpul para pejuang.

"Belanda memindah makamnya di Bergota untuk memudahkan pengawasan para pejuang. Tapi saya tetap yakin, yang dipindah ke Bergota hanya kain kafannya saja," ujar Gus Lukman.

Di Bergota, makamnya kini berimpitan dengan ribuan makam lain. Meski begitu, banyak peziarah yang percaya bahwa makam Kiai Sholeh Darat tidak hanya di situ, tapi di beberapa tempat. "Makam Mbah Sholeh ada di Rembang dan Madura. Dalam tradisi NU itu biasa, seperti Sunan Ampel yang diyakini ada di sembilan tempat," imbuh Chomsin Basri.

Itu kemungkinan dikarenakan hidup Kiai Sholeh Darat yang harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran Belanda. "Bahkan, rumah asal keluarganya di Jepara juga diobrak-abrik Belanda. Orang tuanya juga DPO dan hingga kini makamnya tidak diketahui keberadaannya," ujar Gus Lukman.

Rasa penasaran ingin merekonstruksi masa lalu Kiai Sholeh Darat juga ditunjukkan Gus Lukman melalui sejumlah foto lawas. Foto masjid lama Kiai Sholeh Darat yang hingga kini masih disimpannya itu merupakan foto masjid sebelum dibongkar pada tahun 1990. Di dalam foto itu tampak bangunan tua terbuat dari kayu yang berada di area tanah yang sangat luas. Kini tanah peninggalan di kompleks masjid hanya tersisa 1200 meter.

"Dulunya ini langgar (musala) turun-temurun dari Kiai Murtadho. Bentuknya panggung terbuat dari kayu jati. Sekarang yang terselamatkan ya ini saja, termasuk kentongan yang masih tersimpan di masjid," ujarnya sambil menunjuk gambar kentongan yang ada di foto.

Jejak bangunan masjid aslinya telah hilang. Masjid memang dipugar karena dimakan usia. Banjir dan rob juga mengancam dan menggerus masjid yang hingga kini terus diuruk dan dinaikkan lantainya untuk menghindari luapan banjir.

Atapnya hanya tinggal setinggi dua meter. "Kami pernah juga terpaksa Salat Jumat di teras karena bagian dalam yang lebih rendah itu diterjang banjir. Tahun lalu lantai bagian dalam juga dinaikkan lagi untuk menghindari banjir," kata Gus Lukman.
Masjid Kiai Sholeh Darat / noni arnee

Bekas makam berada di sebelah masjid / noni arnee
Dari sejumlah foto yang ditunjukkan, tak ada foto Kiai Sholeh Darat. Lalu, seperti apa sebenarnya sosok Kiai Sholeh Darat? Gus Lukman menyebut, hanya santri-santrinya yang tahu persis sosok dan penampilan guru para ulama ini. "Bahkan ayah saya juga tidak tahu seperti apa fisik Mbah Kiai," katanya.

Namun sesaat kemudian, Gus Lukman tersenyum ketika ditunjukkan sebuah foto Kiai Sholeh Darat yang selama ini bisa dengan mudah diakses di dunia maya. Menurutnya, foto yang selama ini diidentifikasi sebagai sosok Kiai Sholeh Darat bukanlah sosok yang sebenarnya. "Kalau foto itu saya tahu persis proses pembuatan dan bagaimana bisa muncul di publik. Saya tahu siapa yang memotret waktu itu," katanya.

Menurut Gus Lukman, foto yang menggambarkan sosok Kiai Sholeh Darat selama ini tidak memiliki kemiripan sedikitpun dengan kakek buyutnya. Foto itu sengaja dibuat dan dipoles. "Nggak mirip, tapi sudah telanjur, ya wislah biarkan tetap begitu," jelas lelaki 44 tahun itu sambil tertawa dan menyebutkan siapa sosok sebenarnya yang ada di dalam foto itu.

Gus Lukman meyakini bahwa pemerintah Indonesia sebenarnya tidak memiliki foto asli Kiai Sholeh Darat. Keterangan itu diperkuat dari informasi yang didapat dari seorang koleganya yang bekerja di KBRI di Belanda. Koleganya itu sempat menunjukkan sosok Kiai Darat dari sebuah foto lama.

"Beda dan tidak mirip. Foto yang di Leiden itu juga foto dari samping seperti foto yang diambil dari jauh," ujar Gus Lukman.
Menurutnya, Kiai Sholeh Darat tidak mengenakan serban dan tidak berkacamata seperti yang tergambar dalam foto yang selama ini tersebar di publik. Bagi pihak keluarga, itu bukan masalah besar.

"Yang jelas, penampilannya menggunakan pakaian lokal, tidak bersorban. Keluarga dan santri-santrinya tidak mempermasalahkan. Yang terpenting kami tahu kebenarannya dan mengikuti semua ajarannya," ujar Gus Lukman.

Chomsin Basri juga mengungkap hal senada. "Sosoknya tinggi, senangnya pakai batik dan peci hitam. Jarang pakai warna putih.


link : https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/jejak-sumir-guru-para-ulama-tanah-jawa

The Ling Sing, Kiai Peranakan Tionghoa-Arab : Jejak Sumir Guru Para Ulama Tanah Jawa (1)

Nama dua ulama ini memang tak setenar Sunan Kudus. Tapi ia tercatat punya pengaruh yang cukup besar dalam syiar Islam. Siapa kedua ulama itu?

Dua nama ulama ini memang tak setenar Sunan Kudus. Namanya The Ling Sing atau akrab disebut Kiai Telingsing dan Kiai Sholeh Darat. Keduanya hidup terpisah. Kiai Telingsing ada di Kudus dan Kiai Sholeh di Semarang. Namun, meski tak setenar Sunan Kudus jejak syiarnya masih bisa kita jumpai di kedua kota itu.

Seperti apa kiprah mereka dalam penyebaran agama Islam di Jawa? Tak banyak yang tahu. Karena itu, tak mudah untuk menelusuri jejak-jejak mereka. Dari yang tak banyak itu, jejak mereka bisa dijumpai pada makam dan masjid Kiai Telingsing di Kudus, dan makam Kiai Sholeh Darat di Semarang, termasuk keluarga keturunannya.

Kami pun mencoba menelusuri jejak kedua ulama itu.

***

Jalan utama yang membujur dari timur ke barat di sisi selatan Menara Kudus itu jadi petunjuk yang memudahkan saya mencari jejak The Ling Sing, ulama besar di Kudus pada abad ke-15 yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Telingsing. Tetengernya berupa makam di tengah perkampungan padat di Desa Sunggingan, Kecamatan Kota Kudus. Makam tersebut berada di sekitar 500 meter dari makam Sunan Kudus.

Kampung ini bisa dilalui dari Gang KH Noorhadi, sebuah gang sempit di Jalan Kiai Telingsing. Meski tak ada penanda, keberadaan makam ini familiar bagi warga Kudus. Termasuk Ayup, bocah berumur sembilan tahun yang dengan sukarela memandu saya.

"Arah sana, Bu," ujar bocah berbadan subur ini mengarahkan telunjuknya dan mengayuh pelan pedal sepeda di jalan sempit berkelok. Jalan itu hanya cukup untuk satu kendaraan beroda empat.

Lima menit berselang, Ayup menunjuk sebuah bangunan tembok modern bernuansa putih dengan papan hijau menggantung bertuliskan "Makam Kiai Telingsing Sunggingan Kudus".

Di dalam bangunan ada tiga makam. Dua di antaranya diyakini sebagai makam putera Kiai Telingsing. Makam Kiai Telingsing berada terpisah, tepatnya di dalam ruangan terkunci bersama makam yang dipercaya sebagai makam cantrik sang kiai. Pemakamannya dikelilingi penutup kain putih dan hanya dibuka ketika ada peziarah.

Persis di depan makam, terdapat lapangan bulu tangkis dan area pemakaman yang tidak lagi berfungsi. Pohon langka yang dikenal sebagai bendo (Artocarpus elasticus) kukuh berdiri tepat di belakang bangunan makam. Konon pohon itu sudah ada semasa hidup Kiai Telingsing. Meski tampak sepi, bangunan tampak bersih dan terawat.

Sebenarnya, bangunan asli makam Kiai Telingsing terbuat dari batu bata merah kuno berukuran besar dengan sistem gosok tanpa perekat. Itu mirip dengan material di Masjid Menara Kudus. Kondisinya juga tak terurus. Baru pada 1997 pemerintah Kabupaten Kudus merenovasi dan menyulapnya menjadi bangunan baru dengan menyisakan tembok lama di bagian atas pondasi.

Jejak lain sang kiai yang bisa dijumpai adalah masjid Kiai Telingsing yang berjarak sekitar 50 meter dari kompleks makam. Masjid yang diyakini sebagai tempat syiar agama untuk orang-orang yang nyantri pada Kiai Telingsing. Hanya saja, bangunan masjid itu tampak modern, jauh dari kesan kuno.
Makam Kiai Telingsing / noni arnee
Benarkah itu peninggalan Kiai Telingsing?
"Dulu bangunnaya dari kayu jati berbentuk panggung. Ada teras yang luas. Bentuknya beda dari ini," ujar H Munawir, juru kunci makam Kiai Telingsing sambil menunjuk bangunan masjid.

Di depan masjid, ada bangunan berbentuk Joglo Pencu, ciri arsitektural rumah di Kudus. Konon di situlah tempat tinggal Kiai Telingsing. "Yang masih saya ingat adalah ukiran penyangga tumpang sari yang terbuat dari kayu jati," ujar Munawir.

Wasilah Telingsing
Seperti makam Sunan Kudus, makam Kiai Telingsing juga menjadi tempat perziarahan. Hampir setiap hari ada yang datang berziarah, terutama pada malam Jumat.

Tak hanya warga sekitar, peziarah datang dari banyak tempat seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Pati, Weleri, dan Kendal. Masyarakat keturunan Tionghoa juga kerap datang, baik yang beragama Islam maupun nonmuslim. ''Mereka datang dari mana-mana. Ada yang Konghucu dan Budha, datang ke sini," kata Munawir.

Ya, makam Kiai Telingsing dijadikan sebagai perantara doa para peziarah. Tujuannya beragam seperti ingin lancar berusaha. Di kalangan peziarah, bahkan ada yang yakin mencari kesembuhan penyakit dengan datang dan berdoa di makam tersebut.

"Ada peziarah mengaku mendapat pesan lewat mimpi untuk mengunjungi makam Telingsing. Setiap keinginan peziarah disampaikan kepada juru kunci dahulu, lalu berdoa," ujar Munawir menceritakan kisah-kisah peziarah. Namun Munawir selalu mengingatkan Kiai Telingsing itu hanya wasilah, perantara, karena semua berasal dari Gusti Allah.

Peranakan Tionghoa-Arab
Meski banyak warga yang rumahnya berimpitan dengan kompleks makam dan masjid, hampir tak ada yang bisa memberikan informasi mengenai kiai peranakan Tionghoa-Arab tersebut. "Ya, dulu itu ulamanya Kudus," ujar salah seorang warga yang tinggal di sekitar makam.

Cerita tentang Telingsing mengalir lewat sang juru kunci, Munawir. Lelaki ceking berusia 80-an ini adalah juru kunci keempat yang diberi amanat menjadi juru kunci makam Kiai Telingsing. Ia menjadi juru kunci sejak tahun 2000-an, menggantikan kakaknya (juru kunci ketiga) yang meninggal. Amanat untuk menjadi juru kunci itu datang dari para kiai sepuh seperti Kiai Ma'ruf Asnawi, Habib Lutfi (Pekalongan), Habib Ahmad (Tayu, Pati) dan tokoh Tionghoa dari Weleri, Kendal.

"Siapa lagi kalau bukan kamu? Yang cocok hanya kamu. Tapi harus selalu diingat, menjaga orang besar itu cobaannya juga besar," cerita Munawir menirukan pesan Kiai Ma'ruf Asnawi yang memintanya sebagai juru kunci.

Menurut Munawir, Kiai Telingsing merupakan salah satu sosok yang sangat berjasa dalam dakwah Islam di Kudus. Berbeda dengan Sunan Kudus yang menjadi tokoh atau pemimpin pemerintahan, Kiai Telingsing tak pernah berkaitan dengan kekuasaan.

Ia adalah ulama besar yang dipercaya masyarakat lokal merupakan guru dan penasihat dari Sunan Kudus. "Sosoknya sederhana, tidak menyukai kekayaan dan kekuasaan. Yang penting syiar agama. Menurut saya, antara Kiai Telingsing dan Sunan Kudus, mereka saling ngangsu kawruh (saling belajar)."

Tapi kata sang juru kunci, Sunan Kudus punya rasa tawadlu (hormat) kepada Kiai Telingsing. Simbolisasinya ditandai melalui bisikan mimpi pada peziarah. "Peziarah yang datang ke makam Sunan Kudus dapat pesan melalui mimpi untuk datang ke sini. Banyak orang yang berziarah ke sini bercerita bahwa mereka bermimpi disuruh ziarah ke makam Kiai Telingsing."

Lalu siapa sebenarnya Kiai Telingsing itu?
Sayang, tak banyak catatan sejarah tentangnya. Kisahnya bergulir lewat cerita tutur yang turun-temurun. Konon, Kiai Telingsing memiliki nama asli The Ling Sing. Ia salah satu tokoh yang mensyiarkan Islam di Kota Kretek tersebut. Ayahnya, Sunan Sungging (keturunan Arab) adalah penyebar Islam di Yunan, Tiongkok Selatan dan menikahi perempuan setempat. Dari perkawinan tersebut, lahirlah The Ling Sing.

"Masyarakat Kudus menyebutnya Telingsing biar lebih mudah," ujarnya. Nama itu pula yang akrab di telinga masyarakat hingga saat ini.

Untuk meneruskan dakwah sang ayah, The Ling Sing berkelana hingga ke wilayah pesisir Jawa, tepatnya ke Tajug, nama wilayah sebelum Sunan Kudus mengganti menjadi Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mengumpulkan sejumlah catatan penuturan warga setempat bahwa Kiai Telingsing adalah orang Tiongkok beragama Islam yang menyebarkan Islam di wilayah Tajug, jauh sebelum kedatangan Ja'far Shodiq (Sunan Kudus) ke Kudus.

Tapi itu bukan satu-satunya cerita tutur. Banyak versi lain yang menceritakan ihwal kedatangan The Ling Sing ke tanah Jawa. "Kalau cerita digabung-gabungkan yang masuk akal, menurut saya ya cerita beliau keturunan Arab-Tionghoa dan datang sebelum Sunan Kudus," kata Munawir.

Kendi Tayyibah
Pada awal kiprah Kiai Telingsing, menyebarkan agama Islam itu tidak mudah karena berhadapan dengan masyarakat penganut Hindu. Namun dengan kegigihan dan kesabarannya, secara perlahan masyarakat dapat menerima ajaran agama Islam. Pada saat berdakwah, Telingsing bertemu dengan Sunan Kudus. Akhirnya, mereka pun berdakwah bersama-sama.

Kiai Telingsing mengabdikan dirinya secara total terhadap syiar Islam dan enggan terlibat dalam politik pemerintahan dan kekuasaan seperti Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Telingsing tidak melakukan perubahan frontal untuk mengubah dominasi Hindu. Untuk mendekati masyarakat yang jadi sasaran dakwahnya, dia memberdayakan kemampuannya sebagai ahli perkayuan.

Selain menjadi mubalig dan pedagang, peranakan Arab Tiongkok ini juga seorang pelukis terkenal yang menguasai seni lukis peninggalan Dinasti Sung dari Tiongkok. Itu sebabnya dalam setiap kisah mengenai Kiai Telingsing, seni ukir sering dikaitkan dengan dirinya.

Bagaimana ceritanya? Kisah tentang seni ukir itu bermula dari cerita tentang sebuah kendi yang akan dihadiahkan kepada penguasa. Seseorang meminta Kiai Telingsing mengukir atau menyungging pada sebuah kendi. Perintah itu tidak dipenuhi hingga sang penguasa marah. "Kendi dibanting tapi ada kejadian aneh, bagian dalam pecahan itu ada ukiran kalimah tayyibah, dua kalimat syahadat yang indah," ujar Munawir.

Sungging (ukiran) tersebut pun membuat semua orang terpesona karena halus dan kerumitan detailnya. Dari kata sungging itu nama Kampung Sunggingan berasal, daerah yang dahulunya diperkirakan sebagai tempat tinggal para pengukir dan pemahat didikan Kiai Telingsing yang mempraktikkan aliran seni ukir Sun Ging yang terkenal halus dan indah.

Begitulah sosok Kiai Telingsing dipandang masyarakat sebagai cikal bakal pengukir. Tak heran di antara para ziarah adalah para pengukir dari Kudus dan Jepara. Ada juga peziarah yang menganggap Kiai Telingsing dapat memberi berkah kemampuan mengukir. "Kalau ziarah, ada yang sangat berharap mendapat warisan tatah atau alat untuk mengukir dari Kyai Telingsing," ujar Munawir.

Ukiran Joglo Pencu
Nama The Ling Sing tidak tercatat dalam inskripsi apa pun. Seperti sudah disebutkan, semua informasi berasal dari cerita tutur turun-temurun yang hingga kini masih diyakini kebenarannya.

Eros Rosidi, pengurus Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Cabang Kudus mengatakan, kajian tentang Kiai Telingsing masih sangat minim karena jejaknya sulit ditemukan. "Tidak ada manuskrip. Yang ada hanya cerita lisan turun-temurun yang menjelaskan cara berdakwahnya," katanya.

Dakwahnya, kata dia, tidak hanya dengan mengaji saja tapi juga melalui pengembangan gebyog dan seni ukir. Sama halnya dengan Sunan Kudus yang mitosnya selalu dikaitkan dengan perkembangan industri rokok kretek di Kudus.

Ya, Kudus memang dikenal sebagai kota kuno yang kaya akan peninggalan kuno baik dari kebudayaan Hindu maupun Islam yang tersebar hampir merata di wilayah Kudus. Salah satunya rumah adat Kudus Joglo Pencu (joglo dengan ujung mengerucut).

Nur Said, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus dalam buku Tradisi Pendidikan Karakter dalam Keluarga (Tafsir Sosial Rumah Adat Kudus) menyebutkan, meski kini akulturasi budaya antara Islam, Hindu, Tiongkok, dan Eropa tampak sangat kental, namun secara historis, keistimewaan rumah adat Kudus Joglo Pencu tak lepas dari peran The Ling Shing. Dan memang, seni ukirnya mewarnai corak ukiran yang sarat makna religius, etis, dan estetis pada Jonglo Pencu. Motif-motif inilah yang ditonjolkan dalam pahatan The Ling Sing.

"Motif gebyog juga pengaruh dari Timur Tengah. Dalam khazanah seni Islam di Arab sering dibuat dengan arabesk yang berwujud dari abstraksi dari bentuk-bentuk tanaman menjalar, geometrik, dan kaligrafi dalam rangkaian jalinan yang ritmis, saling menyambung tanpa henti sebagai simbol ikatan kasih sayang (mawaddah-warahmah) sesama manusia," ujar Nur Said.

Motif sulur-suluran tanaman melambangkan kesuburan. Hiasan ukir geometri berupa pertalian garis yang tidak berpangkal dan tidak berujung. Motif pertalian garis tak berpangkal dan tak berujung itu dimaknakan bahwa Allah menurut ajaran Islam mempunyai sifat tidak berawal dan tidak berakhir. Motif bunga melati melambangkan kehadiran agama Islam. Sedangkan motif kelopak daun yang jumlahnya lima mencerminkan seseorang yang melakukan takbir (mengangkat tangan) dalam salat.

Ragam ukir lainnya adalah unsur mitologi tanah Tiongkok seperti karakter Burung Phoenix dan Naga Timur yang pada abad pertengahan juga digunakan untuk melambangkan kekuatan dan kebaikan. Ragam hias berupa tetumbuhan juga dapat dijumpai berupa motif nanasan, motif hias buah nanas yang menggantung di bawah dado peksi atau pertengahan balok blandar ruang Jogosatru (di depan pintu masuk gedongan). Motif ini diserap dari dua suku kata Bahasa Arab "ana" (saya) dan "nas" (manusia), yang menyimbolkan kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan meski punya derajat tinggi.

Hal serupa juga dijelaskan Johana Theresia dari Program Studi Desain Interior, Universitas Kristen Petra dalam Tata Ruang Dalam Rumah Adat Kudus. Dia menyebut motif-motif yang diukir adalah bentuk tanaman, daun, dan bunga.
Ukiran motif naga di rumah Joglo Pencu / noni arnee

Motif mitologi tanah Tiongkok / noni arnee
Melestarikan Tradisi
Meskipun Kiai Telingsing tidak sepopuler Sunan Kudus maupun Sunan Muria, kharisma Kiai Telingsing tetap menyedot perhatian masyarakat. Ini terbukti dengan sejumlah tradisi yang hingga kini masih terus dilestarikan di kompleks masjid dan makam Kiai Telingsing.

Semisal haul atau prosesi penggantian kelambu atau luwur makam Kiai Telingsing pada setiap tanggal 15 bulan Sura (Muharam). Dalam ritual tersebut, panitia biasanya membagikan nasi berkat yang dibungkus keranjang dan potongan luwur secara gratis. Luwur inilah yang menjadi magnet masyarakat datang menyaksikan upacara tersebut.

Yayasan Masjid dan Makam Kiai Telingsing juga menyelengarakan tradisi pembagian nasi berkat berbungkus daun jati dengan daging kerbau atau kambing yang dimasak pada upacara haul di Masjid Kiai Telingsing.

Bahkan pada hari Kamis terakhir menjelang puasa, juga digelar upacara Sedekah Kubur Sego Rasulan dan Kue Apem Kiai Telingsing. Inti dari upacara ini adalah memohon maaf kepada para leluhur yang disimbolkan dengan kue apem. Konon, kata apem berasal dari bahasa Arab "afuwwun" yang artinya pengampunan. Adapun Sega Rasulan adalah nasi gurih beserta lauk pauk dan ingkung.

Semua ritual itu menegaskan bahwa kearifan lokal untuk menjaga semangat dan kiprah Kiai Telingsing dalam penyebaran Islam. Meskipun tanpa inskripsi atau manuskrip tentang dirinya, tapi makam, masjid, nama jalan, dan warisan tradisi seni ukir kayu masih ada hingga kini, jejak sang kiai tak bisa begitu saja diabaikan.

Artikel ini dimuat di beritagar.id / 18 Juni 2016

link : https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/jejak-sumir-guru-para-ulama-tanah-jawa

Minggu, 08 Mei 2016

Sekarung plastik untuk sepiring nasi di Kantin Gas Metan



Pasangan suami istri Sarimin dan Suyatmi kompak memasak sayur mangut dan semur tahu di dapur warung makan milik mereka yang berada di sisi kiri zona aktif tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Jatibarang, Kecamatan Mijen, Semarang, Jawa Tengah.

Sudah tiga bulan terakhir ini pasangan itu membuka warung makan seluas 3x7 meter dengan berdinding triplek, beratap asbes, dan lantai tanpa plester. Sebuah spanduk merah dipajang di depan warung bertuliskan: Kantin Gas Metan.

Berbeda dengan warung makan pada umumnya, Kantin Gas Metan tidak menggunakan uang sebagai alat transaksi, tetapi plastik. Setiap orang yang ingin menyantap hidangan di warung tersebut harus terlebih dulu menukarkan sampah plastiknya.


Seperti siang itu, Andi Sumanto, pemulung asal Boyolali datang dengan memanggul sampah plastik dan meletakkan di depan warung.

Sarimin menyambutnya dengan membawa alat timbang untuk menimbang tumpukan sampah plastik sedangkan Suyatmi menyiapkan kertas bon pencatat sampah.

Menurut Sarimin, sampah plastik kresek dihargai Rp400 per kilogram. Setelah semua sampah plastik yang dibawa diberi harga, Andi pun masuk ke warung dan bersantap.

“Makan di kantin ini enak. Di warung lain bayar pakai uang, tapi di kantin ini bayarnya pakai plastik jadi meringankan. Kalau plastik saya dihargai Rp10.000 dan saya makan seharga Rp7.000, pemilik warung mengembalikan Rp3.000 kepada saya,” kata Andi, seperti dilaporkan wartawan di Semarang, Nonie Arni.

Kurangi plastik di TPA

Keberadaan Kantin Gas Metan tak lepas dari ide Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi, yang ingin mengurangi sampah plastik di TPA Jatibarang dengan target mencapai 40% dari total sampah di TPA sebanyak 800 ton per hari.

Dia lalu menghubungi pasangan Sarimin dan Suyatmi untuk membuat kantin yang memakai plastik sebagai alat transaksi. Untuk menopang kebutuhan bahan bakar memasak di kantin, gas metana pun disuplai dari TPA Jatibarang.

”Kami berpikir bagaimana caranya mengurangi plastik. Lalu muncul ide mendirikan sebuah kantin yang masaknya memakai gas metana. Tapi yang makan di sana harus membayar memakai plastik. Targetnya adalah melayani para pemulung dan supir truk sampah,” kata Agus.

Lalu dari mana gas metana berasal?


Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi mengatakan gas metana muncul dari sampah aktif yang tertimbun di TPA Jatibarang selama dua tahun. Gas tersebut ditangkap menggunakan pipa-pipa yang ditanam di 9 titik dengan kedalaman 5-6 meter.

Kemudian, gas berkapasitas 72 meter kubik itu dialirkan secara gratis ke 100 rumah warga sekitar TPA, termasuk ke Kantin Gas Metan milik Sarimin dan Suyatmi. Setiap satu meter kubik (m3) gas metana setara dengan energi yang dihasilkan 0,48 kilogram gas elpiji.

Gas metana yang dipakai sebagai bahan bakar pun memuaskan.

“Enak memasak menggunakan gas metana. Apinya biru, tidak mengotori perabotan. Memasak juga cepat,” kata Suyatmi.

Sementara dari sisi bisnis, pemakaian gas metana dan penukaran plastik diakui Sarimin sangat menguntungkan.

“Kalau dulu belum punya warung, selama satu bulan, kami berdua menghasilkan Rp2 juta tapi harus dipotong biaya makan Rp500.000 dan tabungan Rp1 juta. Sekarang Rp1,5 juta sudah bersih. Makanan dari warung dan pengeluaran lainnya, seperti gas, gratis,” ujar Sarimin.

Konsep limbah ke energi

Pengalaman Sarimin dan Suyatmi adalah contoh warga yang mendapat manfaat dari konsep waste to energy atau limbah ke energi yang diterapkan di Tempat Pembuangan Akhir. Idealnya, penanganan dan pengelolaan sampah di TPA menggunakan konsep tersebut.

“Sanitary land fill menjadi salah satu pendukung untuk program waste to energy. Semua sampah bisa masuk. Tapi butuh investasi karena berkaitan dengan teknologi. Ini hanya bisa dilakukan di kabupaten kota yang punya pendanaan besar. Di beberapa kota termasuk Semarang diarahkan untuk pembangkitan energi dari sampah. Kalau itu terealisasi TPA tidak ada masalah,” kata Winardi Dwi Nugraha, Dosen Teknik Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang

Akan tetapi, lepas dari teknologi di TPA, Winardi menekankan perlunya sistem pengelolaan sampah yang baik sejak dari rumah tangga.

“Penghasil sampah nomor satu ada di rumah tangga. Karena itu, perlu ada edukasi untuk mengolah sampah agar jumlah sampah yang masuk ke TPA pun bisa berkurang,” paparnya.

Tugas pemerintah, lanjutnya, ialah memprioritaskan anggaran untuk penanganan sampah.

“Pembuangan sampah rumah tangga perlu ditata, tapi harus ada mekanisme tertentu sehingga tidak membebani masyarakat seperti subsidi. Perlu ada. Ini mungkin bisa dicoba di beberapa kota kalau sistem sudah dibangun. Masyarakat untuk berubah juga bisa dengan regulasi yang jelas dan tidak ragu menerapkan itu,” tutupnya.

Anda bisa mendengarkan versi audio artikel ini dalam program Lingkungan Kita yang disiarkan berbagai stasiun radio mitra BBC di Indonesia, pada Rabu (6/4).


http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/04/160405_majalah_lingkungan_sampah

Ketika perempuan berkerudung Muslim dan Kristiani menyerukan persahabatan dan toleransi

Persahabatan bisa terjalin tanpa mengenal ras, suku, agama, dan usia. Mungkin inilah yang tersirat dari kisah persahabatan Suster Atanasia dan sejumlah guru-guru Muslim di Taman Kanak-Kanak Kucica di Semarang.

Kedekatan mereka yang terjalin setahun terakhir ini berawal dari pertemuan dalam kegiatan Himpunan Pendidik dan Kependidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Kabupaten Semarang.

Suster Atanasia, 56 tahun, adalah biarawati dari Kongregasi Abdi Kristus yang aktif dalam dunia pendidikan. Lewat kegiatan Himpaudi, dia dan sejumlah guru TK Kucica sering bertemu dan mengadakan acara-acara bersama.

“Sering latihan bareng. Kalau ada acara di sekolah St Theresia kami selalu datang. Bahkan dikenalkan dengan suster lainnya. Semua ramah," kata Deasy Irawati, salah satu guru TK Kucica.

Lambat laun, interaksi mereka tak hanya melulu terkait kegiatan organisasi, tapi kian personal. Guru-guru muda yang semua berjilbab tak pernah merasa risih ketika datang ke kompleks asrama dan Sekolah Mardi Rahayu, Ungaran, tempat biarawati tinggal. Pun sebaliknya, ketika suster bertandang ke TK Kucica.

"Orangnya asyik dan fun ngobrol apa saja. Jadi kami merasa kalau Ibu tidak hanya seorang suster tapi juga ibu dan teman," imbuh Deasy.

Para perempuan berkerudung

Bagi mereka agama bukan penghalang atau pembatas untuk menjalin kebersamaan, kata Nonie Arnie, wartawan di Semarang melaporkan untuk BBC Indonesia.

Mereka tampak begitu klop bekerja sama ketika menampilkan tari anak 'zunea-zunea' dalam acara Jumpa Hati Perempuan Lintas Agama di halaman Gereja Katolik Kristus Raja, Rabu (09/03).

Tak hanya Suster Ata dan guru TK Kucica yang berpartisipasi dalam acara itu, ratusan perempuan yang mewakili komunitas Muslim dan Kristiani datang untuk menyerukan persahabatan, toleransi, dan pesan pluralisme. Partisipan semakin bertambah ketika mereka juga berkunjung ke Masjid Jami’ Istiqomah yang berada persis di depan gereja.

“Ini menjadi titik awal perempuan lintas agama bersama-sama mengambil peran untuk perdamaian dan semangat kemanusiaan,” ujar koordinator acara Yulia Silalahi dari Kongregasi Penyelenggaraan Ilahi.

Seperti apa acaranya? - Nonie Arnie, wartawan di Semarang bercerita:

"Konsepnya menarik, apalagi ketika ada dua Budi yang berbeda keyakinan tampil di atas panggung. Kyai Budi dan Romo Budi sama-sama berbicara soal cinta yang universal. Di sela-sela, ada pertunjukan dan musik-musik bertema kasih dan kemanusiaan. Menyentuh, begitu humanis, saya pun ikut terenyuh. Mereka tidak bicara saya Islam, kamu Kristen, tapi bicara persaudaraan."

Sempat ditentang

Semangat pluralisme dan toleransi kemudian dituangkan dalam penandatangan bersama di kain putih dan Deklarasi Persaudaraan Perempuan Lintas Agama.

Isinya memuat empat hal penting dari tujuan pertemuan. Di antaranya, rasa syukur atas perjumpaan yang disemangati rasa persaudaraan, tekad menjadi promotor perdamaian dengan menjunjung rasa saling memahami, mengamalkan keyakinan untuk kerukunan di semua lingkup, serta tekad terus merajut dialog dan kerja sama dengan prinsip kebudayaan dan kemanusiaan untuk mewujudkan dan membangun peradaban yang lebih baik.

“Semua menyatu saling mengenal, mengasihi, tanpa melihat agama. Terharu dan terenyuh ya. Kunjungan ke masjid juga disambut hangat. Harapannya terus berjalan dalam kehidupan sehari-hari,” kesan Titik Sudarwati, warga Ungaran.

Walau banyak diapresiasi, acara ini sempat ditentang oleh sebagian kalangan. Bahkan, ada yang mengurungkan niat untuk berpartisipasi. Penyelenggara mengatakan ada sedikit acara yang diubah untuk menghindari gejolak. "Ada yang tetap ikut meski diteror dan dibully. Merata antara Muslim, Katolik, Kristen.”
Perempuan adalah 'agen perubahan'

Acara tersebut diinisiasi oleh Forum Persaudaraan Perempuan yang dibentuk 18 Februari lalu, menjawab keresahan terhadap maraknya kasus intoleransi di Indonesia.

Perempuan-perempuan muslimat dari Fatayat Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU), perempuan Katolik, Kristen dan para suster dari berbagai Tarekat di Semarang kemudian menggelar pertemuan untuk memaknai peran perempuan bagi bangsa.

“Kita akan mengetahui perbedaan lewat perjumpaan. Itu gagasan awal,” jelas Yulia Silalahi.


http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/03/160311_trensosial_perempuan_berkerudung