Minggu pertama tahun ajaran baru 2020/2021, para guru tetap
aktif mengajar di kelas, meski sekolah masih ditutup. Pandemi Covid-19 berdampak
pada larangan belajar di sekolah dan keharusan menerapkan pembelajaran jarak
jauh sesuai instruksi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.Tentu saja guru kelas 6 ini tidak berhadapan langsung dengan
anak-anak yang disapanya. Dengan berpakaian dinas batik Korpri, dia duduk menghadap
mikrofon. Kedua telinganya tertutup headset.
Dan tangannya memegang beberapa lembar kertas berisi materi pelajaran hari itu.
Di waktu yang bersamaan, siswa yang disapa seperti Risqi dan
kelima siswa lainnya yang tergabung dalam kelompok 3, duduk melingkar lesehan
di atas tikar. Mereka saling berjarak satu sama lainnya. Semua bermasker. Di
hadapan mereka alat tulis lengkap dan sebuah radio analog kecil berwarna hitam.
Dari perangkat radio itulah suara gurunya, Sri Windarni berasal. Kadang terdengar
jelas, kadang menghilang.
Seminggu sebelum tahun ajaran dimulai, Sri Windarni sudah berinteraksi
dengan siswanya melalui udara dalam program Kelas Mengajar di Radio Komunitas.
Bak penyiar profesional menyapa para pendengarnya. Begitu juga dengan ketiga
guru lainnya yakni Ucih Ursih, Kisnaeni dan Sri Haryati. Mereka guru kelas 5
dan kelas 6 Sekolah Dasar Negeri 01 Tegalontar, Sragi, Kabupaten Pekalongan
yang bertugas sebagai “penyiar”.
Sebelum siaran, mereka harus berkoordinasi dengan anak
didiknya. Termasuk mengingatkan untuk menyimak radio sehingga mereka tidak ketinggalan
pelajaran.
“Sebelum siaran kami ngoprak-oprak,
memberitahu dan mengingatkan anak-anak. Sudah jam ini, siap-siap. Di kelas ada
grup masing-masing, yang punya Whatsapp
memberitahu, getok tular sehingga anak yang lain juga bisa tahu,” kata Sri
Windarni.
Tak mudah bagi para guru berada di ruang siaran milik Radio
Komunitas PPK FM Sragi, Pekalongan, demi menjangkau anak didiknya.
“Sama sekali buta tentang radio, bagaimana menjadi seorang
penyiar. Apalagi dengan alat-alat itu. Awalnya kurang fokus, mikrofon kurang
mendekat atau posisi ke di bawah mulut jadi hasilnya suara kurang jelas.” Sri
Windarni menceritakan pengalaman siaran kepada Noni Arnee, jurnalis lepas untuk
BBC Indonesia yang menemuinya usai mengajar.
Guru kelas 6 mengaku, awalnya tak percaya diri ketika berada
di ruang siaran. Ada kekhawatiran siswanya tak mampu memahami materi
pembelajaran yang disampaikan karena tak punya keahlian.
“Suara saya lucu, medok
(logat) Jawa nampak sekali. Ciri khas Sragi. Katanya tidak apa-apa, itu menunjukan
kelokalan kita sebagai orang Pekalongan. Kalau siaran menyampaikan materi pelan,
maksudnya agar anak bisa mengikuti semua instruksi,” lanjutnya.
Kisnaeni guru matematikan kelas 5A juga merasakan perbedaan
mencolok. Dia harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini. Mengganti pola
sebelumnya karena dari jumlah 25 siswanya, tak lebih dari 10 anak yang
berkomunikasi melalui Whatsapp Group sebagai
sarana belajar jarak jauh.
“Pertama kaget, lah kita disuruh siaran radio, kita bukan
penyiar, kita nggak bisa. Dengan dikasih semangat akhirnya bisa. Dari beberapa
minggu yang lalu kita coba siaran lewat radio. Anak respons mendengarkan bahkan
ada yang menanti,”jelasnya.
Materi siaran disesuaikan kurikulum 2013 yang disajikan dengan
pendekatan tematik-integratif. Guru siaran setiap hari, termasuk materi
tambahan di luar tematik yakni Matematika pada Hari Jumat dan Hari Sabtu khusus
Agama dan Budi Pekerti serta muatan lokal.
“Kita tiap hari satu pembelajaran. Biasanya 2-3 muatan
pelajaran (mupel), tapi dengan siaran radio tidak target harus selesai semua.
Semampu kita siaran, misal dalam menyampaikan hanya 1 mupel, ya tidak apa-apa,”
lanjutnya.
Sri Haryati, guru kelas 6 lainnya menambahkan, tidak hanya
siaran, guru juga mengunjungi rumah atau lokasi rombel untuk memantau proses
pembelajaran siswa. Mulai dari mengabsen satu persatu siswa hingga mendampingi
siswa bersama orangtua selama proses belajar di radio berlangsung, sehingga pembelajaran
dapat berjalan baik dan efektif.
“Kita kerja tim, bagi
tugas. Ada banyak guru, 19 guru. 12 rombel. Kita di sini siaran untuk kelas 5
dan 6 dulu. Guru kelas 1-4 membantu di lapangan. Cek apakah anak-anak
mendengarkan radio,”tambahnya.
Kelas Mengajar di Radio Komunitas (KejarRakom) adalah sebuah
metode pembelajaran menggunakan media alternatif radio siaran. Guru dilatih
memberikan materi pelajaran melalui siaran di radio. Metode ini diinisiasi
sebagai respons dan solusi mengatasi keterbatasan akses dan infrastrutur para siswa
dan orangtua.
Pasalnya, dari 289 siswa SD Negeri 01 Tegalontar, hanya 145
siswa yang mampu mengakses fasilitas daring. Selebihnya tidak mempunyai
perangkat yang memadai maupun akses internet.
Kejar Rakom juga ditujukan sebagai bentuk pemenuhan hak pendidikan
anak, khususnya di masa pandemi yang selama ini harus belajar jarak jauh dan
terbentur dengan berbagai keterbatasan.
“Lah yang sisanya mau
diapain, pertanyaannya kan gitu. Saya bingung ketika saya tanya beberapa
orangtua kenapa tidak bisa mengikuti, punya hp tapi bukan hp android, hp
android punya tapi tidak ada aplikasi, pulsa habis. Beberapa wilayah sinyal
tidak bagus. Caranya bagaimana? Ketika dari rumah ke sekolah ada anak-anak
menyapa, “Halo pak guru berangkat sekolah ini ?” jadi trenyuh, nyesek,” ungkap
Yoso, Kepala sekolah SD Negeri 01 Tegalontar.
Akhirnya, datang tawaran belajar melalui radio siaran yang
difasilitasi Radio Komunitas PPK FM Sragi. Pihak sekolah menyiapkan guru dan
materi, sedangkan rakom menyiapkan peralatan teknisnya.
Butuh waktu sekitar satu bulan untuk menyusun materi,
orangtua siswa dan mempersiapkan para guru mengajar melalui radio. Kejar Rakom ini
hanya berdurasi dua jam setiap hari yang dimulai pada pukul 10 WIB. Materi
pembelajaran disiarkan ulang pada pukul 16 WIB.
“Guru mengajar sudah biasa tapi ini tidak ada murid di
depannya dan harus bisa ngomong. Kita coba dan ternyata bisa. Satu minggu
sebelum masuk, kita sudah memberitahu orangtua meski masih libur. Ketika mulai
sekolah sudah siap. Kita jalan lebih awal, curi start. Saya datangi ketua
kelas, meminta memberitahukan ke anak-anak bahwa Hari Senin ada siaran radio
khusus kelas 5 dan 6. Kondisi seperti ini kita tidak diam saja, kita tidak
tidur. Kita harus melakukan sesuatu agar bisa belajar betul-betul di rumah. Itu
yang saya banggakan.”
Selain kelas 5 dan kelas 6 dianggap mempunyai daya nalar
lebih tinggi, pertimbangan prioritas lebih pada mempersiapkan mereka untuk
menghadapi jenjang lebih tinggi di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan kelas 1-4 masih menggunakan metode home schooling.
“Kita nggak ngerti masa depan seperti apa. Apa yang terjadi
kalau materi yang kita sampaikan tidak maksimal. Yang salah siapa? Saya berikir
kita siapkan mereka. Saya tidak mentargetkan untuk tuntas, yang terpenting hak
anak untuk belajar tetap terpenuhi. Guru tetap mengajar. Tidak sekadar
memberikan materi, ada hubungan emosi. Apalagi dari orangtua dampingi,” papar
Yoso.
Yoso berharap inisiasi ini akan diikuti 32 SD/MI lain di
wilayah Sragi yang memiliki keterbatasan fasilitas daring sehingga siswa dapat
belajar dan terhubung dengan guru. Jika pandemi Covid-19 berakhir, Kelas
Mengajar di Radio Komunitas ini tetap dilanjutkan sebagai bagian dari program
Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Kelas di Udara
Kelas Mengajar di Radio Komunitas (KejarRakom) tak lepas
dari peran Sunarto, pengelola Radio Komunitas PPK Sragi 107,7 MHz untuk
membantu menjembatani proses belajar siswa dengan para guru yang terdampak pandemi
Covid-19. Dia menawarkan sekolah untuk mengajar melalui radio komunitas yang
sudah mengudara sejak tahun 2007 ini.
“Belum menemukan jalan keluar terhadap sistem belajar
mengajar, ngobrol kecil. Saya cari solusi dan menawarkan para guru pindah
belajar ke sini mengajar di studio. Murid-murid belajar di rumah dengan
mendengarkan radio. Akhirnya kita coba dulu. Kegiatan sangat beda, di radio guru
sedikit berimajinasi seolah-olah siswa ada di depannya, bahan yang diajarkan
seperti biasa.”
Dia membantu mematangkan kesiapan guru dan menyiapkan teknis
siarannya. Dalam sehari, guru siaran bergantian berdasarkan kelas dan mapel
yang diampu. Siaran dimulai dari kelas 5, kemudian bergantian untuk materi
kelas 6.
Kelas Mengajar di Radio Komunitas dirasakan manfaatnya oleh
orangtua siswa. Seperti Netty Indarwati, orangtua siswa kelas 6, yang merasa
terbantu dengan penggunaan media alternatif radio.
“Senang, sebagai ibu rumah tangga anak tidak hanya Aqeela.
Sebelumnya saya harus mengajari sendiri, cuman dikasih tugas ngerjain sendiri.
Itu tidak efektif banget. Berharap metode belajar radio tetap dilanjutkan
dengan diselingi home visit sehingga
anak-anak bisa menanyakan pembelajaran kembali,” ujar Netty.
Begitu juga dengan Kusnaeni. Sebelumnya, Risqi, sang anak
kerap mengaku jenuh karena belajar dengan menggunakan teknologi melalui
aplikasi Whatsapp dirasa tidak
efektif.
“Dikasih tugas terus dikumpulkan ternyata anak bosan, jenuh,
ingin ke sekolah, ketemu guru. Kadang bosan, lebih baik sekolah kalau belajar
di rumah sulit. Kadang saya sebagai orangtua bingung, kalau tanya jawabnya saya
ga bisa itu agak susah. Kadang dikerjakan bersama, dikerjakan kelompok yang
dekat-dekat. Iya dipantau ditungguin, nemenin belajar. Mau gimana lagi.”
Hubungan emosional dengan guru juga terbangun melalui
pembelajaran lewat radio.
“Pake WA kadang kendala beli kuota. Ya senang ketimbang dulu
pakai WA dikasih tugas halaman sekian dikerjain sekian-sekian. Si anak lebih
mendengarkan gurunya. Ya mending enakan sekarang, berarti si anak bisa dengeri
suara gurunya, dikasih materi, ada penjelasan. Kadang dikasih yel-yel sama bu
guru untuk menambah semangat,”imbuh Kusnaeni.
Efektifvitas metode Kelas Mengajar di Radio Komunitas pun
dilirik anggota Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) di wilayah lain dan
akan diujicobakan di Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan Wamena.
Di Jawa tengah sendiri terdapat 35 radio komunitas yang
tergabung dalam JRKI, dari total 457 radio komunitas seluruh Indonesia yang
tersebar di 20 propinsi.
Keterbatasan
Fasilitas
Hasil evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Pekalongan menyebut, dari 518 Sekolah Dasar di Kabupaten Pekalongan, hanya 50 %
yang menerapkan pembelajaran daring.
“Tidak semua mempunyai fasilitas. 50 persen belum ada yang
melakukan dengan daring, makanya kami minta sekolah aktif menginstruksikan guru
home visit meski tidak setiap hari,“
jelas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan, Sumarwati.
Selain itu, pihaknya berinisiatif bekerjasama dengan tiga
radio siaran. Radio Kota Santri milik Pemkab Pekalongan dan dua radio komersial
yakni Radio KSM dan Radio Soneta untuk membantu siswa pelajar di jenjang kelas
1 hingga kelas 9. Baru diujicobakan sebulan karena terkendala alokasi anggaran.
“Sesuai kelas, sesuai mapel ari kelas 1-6, kelas 7-9, pembelajaran
dengan menghadirkan guru-guru. Respon bagus. Tidak hanya sekadar mendengaran
tapi ada tugasnya. Radio komersil supaya terakses di semua daerah. Lebih
terjangkau di beberapa wilayah. Butuh anggaran, kemarin di perubahan kita
usulkan untuk mendahului anggaran.Ini rencana kita mengusulkan dalam perubahan
anggaran,”ungkapnya.
Karena itu pihaknya menyambut baik jika ada radio komunitas yang
bersedia membantu pembelajaran jarak jauh karena metode ini cukup efektif.
Media Alternatif Pembelajaran
Secara teknis, tingkatan pendidikan SMP hingga perguruan
Tinggi memang relatif lebih siap dan tidak kesulitan dalam pembelajaran daring
di bandingkan Sekolah Dasar.
Farid Ahmadi, Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, mengatakan, di masa pandemi guru
dan sekolah justru lebih kreatif dan inovatif mencari dan mengembangkan model
pembelajaran yang sesuai dengan kondisi sekolah. Contohya, Kelas Mengajar di Radio
Komunitas di SD Negeri 01 Tegalontar yang menggandeng komunitas lokal untuk
mengatasi keterbatasan fasilitas akses dan infrastruktur.
Sebenarnya, banyak alternatif media pembelajaran yang dapat
digunakan dengan memanfaatkan teknologi pembelajaran sederhana hingga canggih
seperti Sekolah Dasar negeri dan swasta di perkotaan yang mulai membangun management e-learning system dengan
mengintergrasikan pembelajaran dan materi dalam satu platform.
“Platform-platfom semakin banyak dan makin bisa jadi
alternatif guru untuk mengembangkan metode pembelajaran. Mulai ajaran baru ini
melakukan kombinasi e-learning, video conference, konten pembelajaran,
kuis, video pembelajaran di unggah di YouTube,
penugasan siswa hingga assesment
pembelajaran melalui satu platform e-learning.
Relatif efektif asal didukung fasilitas. Guru mengajar dengan berbagai
multimedia melakukan pembelajaran secara online,” lanjutnya.
Kondisi sangat berbeda dengan SD di pedesaan yang minim
fasilitas. Namun bukan berarti mereka tidak dapat memanfaatkan berbagai alternatif
media pembelajaran untuk pembelajaran jarak jauh.
“Sekolah Dasar sebagaian besar berada di desa. Kendala
koneksi internet, punya 2 anak yang masih SD, tidak memiliki handphone. Kalau dipaksakan
pembelajaran daring banyak mengalami kesulitan.” jelas Farid.
Upaya lain menurut Farid, bisa dilakukan dengan konsep home schooling. Guru berkunjung ke rumah
(home visit). Ada juga model daring
sederhana melalui Whatsapp Grup.
“Semua instruksi guru pembelajaran anak disampaikan melalui
WAG orangtua. Satu kelas di bagi 5 kelompok sehingga jumlah siswanya tidak
terlalu banyak berada di satu rumah atau satu lokasi dan guru-guru ditugaskan
keliling dengan protokoler kesehatan melakukan pembelajaran. Awalnya guru di
sekolah daerah tertinggal yang tidak memiliki fasilitas internet menginisiasi
dengan melakukan hal seperti itu,” imbuhnya.
Farid menambahkan, upaya-upaya ini dapat berjalan dengan
baik jika didukung kebijakan yang sesuai kebutuhan tiap daerah.
“Format pembelajaran daring tidak bisa diatur pusat karena
kondisi tiap daerah beda. Seperti SD saya rasa kebijakan ada di level daerah
saja karena yang tahu kondisi sekolah. SD belum optimal tapi sekarang mulai
bergerak mempersiapkan menuju kesana,”tambahnya.
Hanya saja, pembelajaran daring dengan berbagai kelebihan
justru mengesampingkan pendidikan karakter yang masih mutlak diajarkan di semua
tingkatan pendidikan.
“Kelemahan daring tidak bisa melakukan
pendampingan pendidikan karakter. Dalam kondisi seperti ini ya mau tidak mau.
Kedepannya tetap harus ada kombinasi pembelajaran daring dan luring sehingga ada
penguasaan teknologi dan tetap ada muatan pendidikan karakter,”tandasnya.
Published with editing on BBC News Indonesia, link https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53562848
#Covid19 #pendidikan #belajar #Radiokomunitas #viruscorona