Pages

Kamis, 06 Januari 2022

Suara “Kartini” Digital

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sebuah era yang dinamakan sebagai era ”new media”.

Dalam catatan McQuail (2010:141), perubahan penting dalam perkembangan itu nampak dari digitalisasi dan konvergensi semua aspek dari media, meningkatnya interaktivitas dan konektivitas jejaring, mobilitas dan delokasi pengiriman dan penerimaan pesan, adaptasi publikasi dan peran-peran khalayak, hingga munculnya beragam bentuk baru dari media gateway dan kaburnya institusi media.

Tak lagi hanya menjadi pustaka raksasa, internet memberi kemudahan bagi setiap orang untuk  saling berinteraksi, berbagi ide dan menyuarakan pendapatnya dengan cepat, mudah, serta massif. Mulai dari hal-hal keseharian hingga urusan negara.

Internetpun bertransformasi menjadi ruang publik ideal untuk bebas bersuara. Bukan lagi seperti Kartini yang di jamannya begitu sulit berekspresi. Dia hanya bisa menyuarakan gagasannya melalui surat kepada sahabatnya. Juga tidak melulu menggunakan cara-cara konvensional dengan menggelar aksi demo menuntut kesetaraan gender, penyelesaian kasus kekerasan perempuan atau menyewa kebaya agar bisa seperti “Kartini” untuk ikut dalam perlombaan di kantor.

Perubahan jaman di era digital menyulap gagasan dan semangat Raden Ajeng Kartini untuk mengajak perempuan mengubah cara bersuara dalam ruang publik (public sphere) seperti yang dikemukakan Jurgen Habermas itu menjadi sarana gerakan sosial (sosial movement) yang mengglobal.

Perempuan pun semakin berani menunjukkan diri dan unjuk gigi membentuk opini publik untuk  mengkampanyekan dan mewujudkan berbagai isu sosial, kemanusiaan, buruh, HIV/AIDS, lingkungan, politik dan Hak Asasi Manusia pada sebuah perubahan dan tindakan nyata.  Digitalisasi berhasil mengubah peran perempuan dan internet sebagai agen perubahan (agents of change) pada level of change tingkat global.

Siapa Saja

Sebut saja Melanie Subono, aktris Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini menjadi pegiat isu kemanusiaan dan lingkungan. Dia terbilang rajin membuat petisi melalui change.org, sebuah platform petisi daring terbesar di dunia yang sudah diakses 96 juta lebih warga dunia di 196 negara  ini memang dinilai efektif dan banyak dimanfaatkan untuk memberdayakan orang di mana pun untuk bersuara dan mengajak penghuni dunia peduli terhadap setiap isu yang digulirkan baik  secara lokal, nasional dan global. Petisi untuk menggerakkan dukungan public yang bisa dimulai hanya dari satu orang.

Seperti petisi berjudul #Demi Rembang dalam laman change.org untuk membantu perjuangan warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen. Selain terjun langsung memberikan bantuan, petisi daring juga dibuat untuk menggalang upaya penyelamatan nasib satwa di Kebun Binatang Surabaya (KBS), mengkampanyekan Save Turtle, hingga memperjuangkan nasib buruh migran Indonesia yang di eksekusi mati.

Melani juga membuat petisi dengan mengumpulkan dukungan sebanyak mungkin untuk menuntut Komisi III menggagalkan pencalonan Daming Sanusi sebagai hakim agung karena tidak sensitif gender dan melalui pernyataannya yang seolah membela “pemerkosa”. Melanie memanfaatkan akun twitter pribadinya untuk mengajak followers-nya menandatangani petisi yang dibuatnya.

Riyanni Djangkaru bersuara untuk penyelamatan satwa langka berbagai jenis hiu dengan kampanye Save Sharks Indonesia (savesharksindonesia.org), melalui jejaring sosial. Serta membuat petisi daring untuk menuntut dan mengajak maskapai penerbangan di Indonesia agar menolak mengangkut sirip hiu ke luar negeri.

Efeknya nyata dari sebuah gagasan juga dibuktikan Valencia Mieke Randa dan Ina Madjidhan. Dengan menggunakan media sosial twitter @Blood4lifeID dan komunitas Three Little Angel , keduanya berjibaku tiap malam mendapatkan donor darah, penggalangan donasi dan pendampingan untuk menjembatani anak-anak berpenyakit kronis.

Suciwati, istri pejuang HAM Munir Said Thalib menuntu penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia dengan membuat petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Sosok Mia Sutanto patut diapresiasi karena berhasil menginisiasi para ibu di Indonesia melalui Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia dengan menciptakan relasi di dunia maya.  Irawati Harsono berani membuat petisi yang ditujukan kepada Kapolri Jendral Sutarman untuk menghapus tes kesehatan vagina/keperawanan pada rekrutmen Polwan.

Angela Sutandar mendapat 85 ribu lebih dukungan melalui petisi yang ditujukan kepada Gubernur/Sultan Yogyakarta agar membantu menghentikan kekejaman perdagangan anjing untuk konsumsi. Juga Prita Mulyasari yang pernah tersandung perseteruan dengan Rumah Sakit Omni Internasional yang membuat petisi untuk meminta Menkoinfo mengubah UU ITE dan kebebasan berekspresi.

Perempuan berani bersuara untuk melawan koruptor melalui Gerakan Perempuan Anti Korupsi dan Diskriminasi (GPAKD) yang dimulai dengan memasang foto profile di media sosial. Hingga Gerakan “Perempuan Indonesia Mendengar”, gerakan dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan yang bersifat user generated pada siapapun untuk mendengarkan dan memberikan inspirasi serta konsultasi.

Ketika bersuara dengan menggerakkan dukungan dari internet lewat media sosial seperti Facebook, Blackberry Messanger, Google, Blog Twitter, dan change.org, perempuan dari mana saja dan apapun profesinya mempunyai kesempatan sama untuk memulai sebuah kampanye dan menggalang ribuan orang secara lokal atau di seluruh dunia untuk membuat perbedaan, perubahan dan menginspirasi semua orang

Kini, suara nyaring perempuan dalam cyber movement terus bermunculan untuk mengajak pada perubahan yang lebih baik. Tapi, di sisi lain, kita juga tidak bisa memalingkan muka pada suara “sumbang” di dunia maya yang berevolusi menjadi nyata seperti kisah Tata Chubby.* (Noni Arnee)

Rabu, 05 Januari 2022

Perempuan itu (Bukan) Liyan

22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Hari yang menurut Wikipedia sebagai  peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Beragam cara diekspresikan untuk “menjunjung” ibu hingga uforia membebastugaskankan kewajiban ibu dari tugas domestiknya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Jujur saja, saya tergelitik melihat perbedaan perempuan dan laki-laki dengan mempertanyakan, “Apakah gender tumbuh sebagai ekses dari jenis kelamin dan menjadi suatu pemaksaan kebudayaan yang arbitrer terhadap suatu penentu jenis kelamin?.”

Kewajiban domestik yang disematkan ibu. Siapa yang menganggap itu sebagai kewajiban? Apa peran itu hanya untuk perempuan? Mungkin saja sebagain besar akan menjawab “iya”. Lantas, dimanakah posisi laki-laki dalam ranah domestik?

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada Kabinet Kerja, Yuddy Chrisnandi seolah semakin memeruncing pertanyaan saya dengan mengamini kekhawatiran Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap masa depan generasi bangsa dengan memangkas dua jam kerja Pekerja Negeri Sipil (PNS) perempuan yang memiliki balita hingga anak usia SD.

Betapa mulianya menteri bergelar  Doktor memikirkan nasib perempuan agar tidak melupakan anak dengan menjembatani antara kewajiban sebagai pelayan publik dan kewajiban sebagai seorang ibu yang harus memberikan belaian kasih sayang kepada anaknya sehingga meminta seluruh kantor/ instansi penyelenggaraan pemerintahan di pusat hingga daerah dapat menerapkan aturan ini.

Perbedaan fungsi laki-laki dan perempuan seolah semakin menjadi penegas ranah domestik. Seperti halnya ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya di konferensi perempuan di Istanbul yang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak bisa ditempatkan pada pijakan yang sama karena  bertentangan dengan alam. Tidak semua pekerjaan yang dilakukan laki-laki, boleh dilakukan perempuan karena bertentangan dengan 'sifat halus' perempuan.

“Ibu” merupakan hasil konstruksi sosial dari seorang perempuan yang umumnya sudah berkeluarga. Motherhood biologis dilembagakan di bawah patriarki lebih merupakan konstruksi budaya untuk opresi karena meruncing kendali laki-laki pada perempuan karena tidak membedakan antara motherhood biologis sebagai hubungan privat reproduksi perempuan dan sebagai “institusi”. Padahal istilah mothering mengacu pada hubungan di dalam individu saat merawat dan menyayangi yang lain. Dan seseorang semestinya tidak perlu menjadi ibu biologis untuk menjadi ibu sosial.

Di dalam patriarki, seks juga lebih bersifat politis. Dalam buku “Sexual politics”(1970),  Kate Millett menyatakan, ideologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Laki-laki maskulin dan dominan sedangkan perempuan subordinat/feminin. Dan kondisi ini di”legalkan” melalui institusi.

Opresi terhadap perempuan menjadi semakin mendarah daging dalam sistem seks/gender. Suatu rangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk transformasi seksualitas biologis menjadi produk  kegiatan manusia yang dijadikan dasar membangun identitas dan perilaku “maskulin” dan “feminin” dalam masyarakat patriarkal. Normalitas seseorang bergantung pada kemampuannya menunjukkan identitas dan perilaku gender yang secara kultural dihubungkan kepada jenis kelamin seseorang.

Menurut Simone De Beauvoir, perempuan berbeda, terpisah dari laki-laki dan inferior terhadap laki-laki karena anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai manusia dan warga negara kelas dua (The Second Sex ). Perempuan dianggap sebagai “Liyan” / “the other”.(Rosemarie Putnam Tong,2010)

Negara yang sudah merasa memberikan perlindungan kepada perempuan, ternyata  justru semakin mengopresi perempuan dengan segala aturan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap perempuan melalui intervensi regulasi dan konstruksi dominan di masyarakat. Padahal setiap perempuan membentuk eksistensinya sendiri yang mungkin berbeda dengan perempuan lain.

Manusia sudah semestinya membebaskan perempuan sebagai produk konstruksi kebudayaan atau hasil dari pengaturan ilmiah. Sebenarnya tidak ada satupun pembatas yang “memenjarakan” perempuan karena perempuan ditentukan nasibnya sendiri dan pada saat yang sama bebas dari patriarki. Perempuan harus menggariskan nasibnya sendiri dengan melepaskan beban yang menghambat kemajuan mereka menuju Diri/Selfhood yang autentik. Sehingga tidak ada seorangpun atau sesuatu yang dapat menghambat perempuan untuk maju di ranah sastra, agama, politik, kerja, pendidikan, motherhood, dan seksualitas.

Bisa jadi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti dengan mempercepat jam kerja PNS masuk lebih awal sehingga dapat pulang lebih cepat adalah  alasan yang lebih rasional bagi perempuan dan laki-laki yang dianggapnya sebagai ibu dan ayah bagi anak, masyarakat dan negara.

Menteri Susi lebih melihat eksistensi perempuan ketimbang psikologis atau gender dengan menentang mitos dan citra perempuan. Dimana  menuju proses trandensi, perempuan dapat bekerja. Perempuan dapat menjadi anggota intelektual. Perempuan bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Dan untuk mentrandensi batasan-batasan, perempuan dapat menolak internalisasi ke-Liyanannya dan ke-Dirian laki-laki.  

Sudah semestinya setiap individu bertanggungjawab atas keputusannya. Seperti keputusan menjadi manusia yang melahirkan manusia lain (disebut ibu). Atau keputusan manusia yang membuat manusia lain itu lahir (disebut ayah). Jadi, sudah saatnya berhenti dari pemikiran dikotomis dan tak ada lagi alasan bolos kerja karena mengurus anak, lembur karena sudah ada yang menjaga anak di rumah, atau memangkas jam kerja pekerja perempuan, bukan?* (Noni Arnee)

Sabtu, 29 Agustus 2020

Bertemu Di Udara, Cara Siswa Sekolah Dasar Tegalontar Belajar di Tengah Pandemi


“Bagaimana kabar anak-anakku tersayang siswa siswi kelas 6 di SDN 01 Tegalontar. Mudah-mudahan kalian tetap sehat dan semangat ya. Kalian pasti sudah menunggu kehadiran bu guru yang siap menemani kalian belajar. Akbar, Risqi, Aqeela, Manda, Kaila. Hari ini ibu guru akan menyampaikan pelajaran kesukaanmu.”

Sri Windarni, membuka kelas mata pelajaran matematika. Intonasi dan irama suaranya pelan agar mudah dipahami siswa. Dia menyapa dan menyebut satu persatu beberapa nama siswa di kelas 6 yang diampunya. Sebelum pelajaran dimulai, tak lupa juga mengingatkan para siswa untuk menyimak materi yang akan disampaikan di kelas pagi itu.

Minggu pertama tahun ajaran baru 2020/2021, para guru tetap aktif mengajar di kelas, meski sekolah masih ditutup. Pandemi Covid-19 berdampak pada larangan belajar di sekolah dan keharusan menerapkan pembelajaran jarak jauh sesuai instruksi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tentu saja guru kelas 6 ini tidak berhadapan langsung dengan anak-anak yang disapanya. Dengan berpakaian dinas batik Korpri, dia duduk menghadap mikrofon. Kedua telinganya tertutup headset. Dan tangannya memegang beberapa lembar kertas berisi materi pelajaran hari itu.

Di waktu yang bersamaan, siswa yang disapa seperti Risqi dan kelima siswa lainnya yang tergabung dalam kelompok 3, duduk melingkar lesehan di atas tikar. Mereka saling berjarak satu sama lainnya. Semua bermasker. Di hadapan mereka alat tulis lengkap dan sebuah radio analog kecil berwarna hitam. Dari perangkat radio itulah suara gurunya, Sri Windarni berasal. Kadang terdengar jelas, kadang menghilang.

Seminggu sebelum tahun ajaran dimulai, Sri Windarni sudah berinteraksi dengan siswanya melalui udara dalam program Kelas Mengajar di Radio Komunitas. Bak penyiar profesional menyapa para pendengarnya. Begitu juga dengan ketiga guru lainnya yakni Ucih Ursih, Kisnaeni dan Sri Haryati. Mereka guru kelas 5 dan kelas 6 Sekolah Dasar Negeri 01 Tegalontar, Sragi, Kabupaten Pekalongan yang bertugas sebagai “penyiar”.

Sebelum siaran, mereka harus berkoordinasi dengan anak didiknya. Termasuk mengingatkan untuk menyimak radio sehingga mereka tidak ketinggalan pelajaran.

“Sebelum siaran kami ngoprak-oprak, memberitahu dan mengingatkan anak-anak. Sudah jam ini, siap-siap. Di kelas ada grup masing-masing, yang punya Whatsapp memberitahu, getok tular sehingga anak yang lain juga bisa tahu,” kata Sri Windarni.

Tak mudah bagi para guru berada di ruang siaran milik Radio Komunitas PPK FM Sragi, Pekalongan, demi menjangkau anak didiknya.

“Sama sekali buta tentang radio, bagaimana menjadi seorang penyiar. Apalagi dengan alat-alat itu. Awalnya kurang fokus, mikrofon kurang mendekat atau posisi ke di bawah mulut jadi hasilnya suara kurang jelas.” Sri Windarni menceritakan pengalaman siaran kepada Noni Arnee, jurnalis lepas untuk BBC Indonesia yang menemuinya usai mengajar.

Guru kelas 6 mengaku, awalnya tak percaya diri ketika berada di ruang siaran. Ada kekhawatiran siswanya tak mampu memahami materi pembelajaran yang disampaikan karena tak punya keahlian.

“Suara saya lucu, medok (logat) Jawa nampak sekali. Ciri khas Sragi. Katanya tidak apa-apa, itu menunjukan kelokalan kita sebagai orang Pekalongan. Kalau siaran menyampaikan materi pelan, maksudnya agar anak bisa mengikuti semua instruksi,” lanjutnya.

Kisnaeni guru matematikan kelas 5A juga merasakan perbedaan mencolok. Dia harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini. Mengganti pola sebelumnya karena dari jumlah 25 siswanya, tak lebih dari 10 anak yang berkomunikasi melalui Whatsapp Group sebagai sarana belajar jarak jauh.

“Pertama kaget, lah kita disuruh siaran radio, kita bukan penyiar, kita nggak bisa. Dengan dikasih semangat akhirnya bisa. Dari beberapa minggu yang lalu kita coba siaran lewat radio. Anak respons mendengarkan bahkan ada yang menanti,”jelasnya.

Materi siaran disesuaikan kurikulum 2013 yang disajikan dengan pendekatan tematik-integratif. Guru siaran setiap hari, termasuk materi tambahan di luar tematik yakni Matematika pada Hari Jumat dan Hari Sabtu khusus Agama dan Budi Pekerti serta muatan lokal.

“Kita tiap hari satu pembelajaran. Biasanya 2-3 muatan pelajaran (mupel), tapi dengan siaran radio tidak target harus selesai semua. Semampu kita siaran, misal dalam menyampaikan hanya 1 mupel, ya tidak apa-apa,” lanjutnya.

Sri Haryati, guru kelas 6 lainnya menambahkan, tidak hanya siaran, guru juga mengunjungi rumah atau lokasi rombel untuk memantau proses pembelajaran siswa. Mulai dari mengabsen satu persatu siswa hingga mendampingi siswa bersama orangtua selama proses belajar di radio berlangsung, sehingga pembelajaran dapat berjalan baik dan efektif.

 “Kita kerja tim, bagi tugas. Ada banyak guru, 19 guru. 12 rombel. Kita di sini siaran untuk kelas 5 dan 6 dulu. Guru kelas 1-4 membantu di lapangan. Cek apakah anak-anak mendengarkan radio,”tambahnya.

Kelas Mengajar di Radio Komunitas (KejarRakom) adalah sebuah metode pembelajaran menggunakan media alternatif radio siaran. Guru dilatih memberikan materi pelajaran melalui siaran di radio. Metode ini diinisiasi sebagai respons dan solusi mengatasi keterbatasan akses dan infrastrutur para siswa dan orangtua.

Pasalnya, dari 289 siswa SD Negeri 01 Tegalontar, hanya 145 siswa yang mampu mengakses fasilitas daring. Selebihnya tidak mempunyai perangkat yang memadai maupun akses internet.

Kejar Rakom juga ditujukan sebagai bentuk pemenuhan hak pendidikan anak, khususnya di masa pandemi yang selama ini harus belajar jarak jauh dan terbentur dengan berbagai keterbatasan.

 “Lah yang sisanya mau diapain, pertanyaannya kan gitu. Saya bingung ketika saya tanya beberapa orangtua kenapa tidak bisa mengikuti, punya hp tapi bukan hp android, hp android punya tapi tidak ada aplikasi, pulsa habis. Beberapa wilayah sinyal tidak bagus. Caranya bagaimana? Ketika dari rumah ke sekolah ada anak-anak menyapa, “Halo pak guru berangkat sekolah ini ?” jadi trenyuh, nyesek,” ungkap Yoso, Kepala sekolah SD Negeri 01 Tegalontar.

Akhirnya, datang tawaran belajar melalui radio siaran yang difasilitasi Radio Komunitas PPK FM Sragi. Pihak sekolah menyiapkan guru dan materi, sedangkan rakom menyiapkan peralatan teknisnya.

Butuh waktu sekitar satu bulan untuk menyusun materi, orangtua siswa dan mempersiapkan para guru mengajar melalui radio. Kejar Rakom ini hanya berdurasi dua jam setiap hari yang dimulai pada pukul 10 WIB. Materi pembelajaran disiarkan ulang pada pukul 16 WIB.

“Guru mengajar sudah biasa tapi ini tidak ada murid di depannya dan harus bisa ngomong. Kita coba dan ternyata bisa. Satu minggu sebelum masuk, kita sudah memberitahu orangtua meski masih libur. Ketika mulai sekolah sudah siap. Kita jalan lebih awal, curi start. Saya datangi ketua kelas, meminta memberitahukan ke anak-anak bahwa Hari Senin ada siaran radio khusus kelas 5 dan 6. Kondisi seperti ini kita tidak diam saja, kita tidak tidur. Kita harus melakukan sesuatu agar bisa belajar betul-betul di rumah. Itu yang saya banggakan.”

Selain kelas 5 dan kelas 6 dianggap mempunyai daya nalar lebih tinggi, pertimbangan prioritas lebih pada mempersiapkan mereka untuk menghadapi jenjang lebih tinggi di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).  Sedangkan kelas 1-4 masih menggunakan metode home schooling.

“Kita nggak ngerti masa depan seperti apa. Apa yang terjadi kalau materi yang kita sampaikan tidak maksimal. Yang salah siapa? Saya berikir kita siapkan mereka. Saya tidak mentargetkan untuk tuntas, yang terpenting hak anak untuk belajar tetap terpenuhi. Guru tetap mengajar. Tidak sekadar memberikan materi, ada hubungan emosi. Apalagi dari orangtua dampingi,” papar Yoso.

Yoso berharap inisiasi ini akan diikuti 32 SD/MI lain di wilayah Sragi yang memiliki keterbatasan fasilitas daring sehingga siswa dapat belajar dan terhubung dengan guru. Jika pandemi Covid-19 berakhir, Kelas Mengajar di Radio Komunitas ini tetap dilanjutkan sebagai bagian dari program Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

Kelas di Udara

Kelas Mengajar di Radio Komunitas (KejarRakom) tak lepas dari peran Sunarto, pengelola Radio Komunitas PPK Sragi 107,7 MHz untuk membantu menjembatani proses belajar siswa dengan para guru yang terdampak pandemi Covid-19. Dia menawarkan sekolah untuk mengajar melalui radio komunitas yang sudah mengudara sejak tahun 2007 ini.

“Belum menemukan jalan keluar terhadap sistem belajar mengajar, ngobrol kecil. Saya cari solusi dan menawarkan para guru pindah belajar ke sini mengajar di studio. Murid-murid belajar di rumah dengan mendengarkan radio. Akhirnya kita coba dulu. Kegiatan sangat beda, di radio guru sedikit berimajinasi seolah-olah siswa ada di depannya, bahan yang diajarkan seperti biasa.”

Dia membantu mematangkan kesiapan guru dan menyiapkan teknis siarannya. Dalam sehari, guru siaran bergantian berdasarkan kelas dan mapel yang diampu. Siaran dimulai dari kelas 5, kemudian bergantian untuk materi kelas 6.

Kelas Mengajar di Radio Komunitas dirasakan manfaatnya oleh orangtua siswa. Seperti Netty Indarwati, orangtua siswa kelas 6, yang merasa terbantu dengan penggunaan media alternatif radio.

“Senang, sebagai ibu rumah tangga anak tidak hanya Aqeela. Sebelumnya saya harus mengajari sendiri, cuman dikasih tugas ngerjain sendiri. Itu tidak efektif banget. Berharap metode belajar radio tetap dilanjutkan dengan diselingi home visit sehingga anak-anak bisa menanyakan pembelajaran kembali,” ujar Netty.

Begitu juga dengan Kusnaeni. Sebelumnya, Risqi, sang anak kerap mengaku jenuh karena belajar dengan menggunakan teknologi melalui aplikasi Whatsapp dirasa tidak efektif.

“Dikasih tugas terus dikumpulkan ternyata anak bosan, jenuh, ingin ke sekolah, ketemu guru. Kadang bosan, lebih baik sekolah kalau belajar di rumah sulit. Kadang saya sebagai orangtua bingung, kalau tanya jawabnya saya ga bisa itu agak susah. Kadang dikerjakan bersama, dikerjakan kelompok yang dekat-dekat. Iya dipantau ditungguin, nemenin belajar. Mau gimana lagi.”

Hubungan emosional dengan guru juga terbangun melalui pembelajaran lewat radio.

“Pake WA kadang kendala beli kuota. Ya senang ketimbang dulu pakai WA dikasih tugas halaman sekian dikerjain sekian-sekian. Si anak lebih mendengarkan gurunya. Ya mending enakan sekarang, berarti si anak bisa dengeri suara gurunya, dikasih materi, ada penjelasan. Kadang dikasih yel-yel sama bu guru untuk menambah semangat,”imbuh Kusnaeni.

Efektifvitas metode Kelas Mengajar di Radio Komunitas pun dilirik anggota Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) di wilayah lain dan akan diujicobakan di Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan Wamena.

Di Jawa tengah sendiri terdapat 35 radio komunitas yang tergabung dalam JRKI, dari total 457 radio komunitas seluruh Indonesia yang tersebar di 20 propinsi.

Keterbatasan Fasilitas

Hasil evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan menyebut, dari 518 Sekolah Dasar di Kabupaten Pekalongan, hanya 50 % yang menerapkan pembelajaran daring.

“Tidak semua mempunyai fasilitas. 50 persen belum ada yang melakukan dengan daring, makanya kami minta sekolah aktif menginstruksikan guru home visit meski tidak setiap hari,“ jelas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan, Sumarwati.

Selain itu, pihaknya berinisiatif bekerjasama dengan tiga radio siaran. Radio Kota Santri milik Pemkab Pekalongan dan dua radio komersial yakni Radio KSM dan Radio Soneta untuk membantu siswa pelajar di jenjang kelas 1 hingga kelas 9. Baru diujicobakan sebulan karena terkendala alokasi anggaran.

“Sesuai kelas, sesuai mapel ari kelas 1-6, kelas 7-9, pembelajaran dengan menghadirkan guru-guru. Respon bagus. Tidak hanya sekadar mendengaran tapi ada tugasnya. Radio komersil supaya terakses di semua daerah. Lebih terjangkau di beberapa wilayah. Butuh anggaran, kemarin di perubahan kita usulkan untuk mendahului anggaran.Ini rencana kita mengusulkan dalam perubahan anggaran,”ungkapnya.

Karena itu pihaknya menyambut baik jika ada radio komunitas yang bersedia membantu pembelajaran jarak jauh karena metode ini cukup efektif.

Media Alternatif Pembelajaran

Secara teknis, tingkatan pendidikan SMP hingga perguruan Tinggi memang relatif lebih siap dan tidak kesulitan dalam pembelajaran daring di bandingkan Sekolah Dasar.

Farid Ahmadi, Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, mengatakan, di masa pandemi guru dan sekolah justru lebih kreatif dan inovatif mencari dan mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi sekolah. Contohya, Kelas Mengajar di Radio Komunitas di SD Negeri 01 Tegalontar yang menggandeng komunitas lokal untuk mengatasi keterbatasan fasilitas akses dan infrastruktur.

Sebenarnya, banyak alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dengan memanfaatkan teknologi pembelajaran sederhana hingga canggih seperti Sekolah Dasar negeri dan swasta di perkotaan yang mulai membangun management e-learning system dengan mengintergrasikan pembelajaran dan materi dalam satu platform.

“Platform-platfom semakin banyak dan makin bisa jadi alternatif guru untuk mengembangkan metode pembelajaran. Mulai ajaran baru ini melakukan kombinasi e-learning, video conference, konten pembelajaran, kuis, video pembelajaran di unggah di YouTube, penugasan siswa hingga assesment pembelajaran melalui satu platform e-learning. Relatif efektif asal didukung fasilitas. Guru mengajar dengan berbagai multimedia melakukan pembelajaran secara online,” lanjutnya.

Kondisi sangat berbeda dengan SD di pedesaan yang minim fasilitas. Namun bukan berarti mereka tidak dapat memanfaatkan berbagai alternatif media pembelajaran untuk pembelajaran jarak jauh.

“Sekolah Dasar sebagaian besar berada di desa. Kendala koneksi internet, punya 2 anak yang masih SD, tidak memiliki handphone. Kalau dipaksakan pembelajaran daring banyak mengalami kesulitan.” jelas Farid.

Upaya lain menurut Farid, bisa dilakukan dengan konsep home schooling. Guru berkunjung ke rumah (home visit). Ada juga model daring sederhana melalui Whatsapp Grup.

“Semua instruksi guru pembelajaran anak disampaikan melalui WAG orangtua. Satu kelas di bagi 5 kelompok sehingga jumlah siswanya tidak terlalu banyak berada di satu rumah atau satu lokasi dan guru-guru ditugaskan keliling dengan protokoler kesehatan melakukan pembelajaran. Awalnya guru di sekolah daerah tertinggal yang tidak memiliki fasilitas internet menginisiasi dengan melakukan hal seperti itu,” imbuhnya.

Farid menambahkan, upaya-upaya ini dapat berjalan dengan baik jika didukung kebijakan yang sesuai kebutuhan tiap daerah.

“Format pembelajaran daring tidak bisa diatur pusat karena kondisi tiap daerah beda. Seperti SD saya rasa kebijakan ada di level daerah saja karena yang tahu kondisi sekolah. SD belum optimal tapi sekarang mulai bergerak mempersiapkan menuju kesana,”tambahnya.

Hanya saja, pembelajaran daring dengan berbagai kelebihan justru mengesampingkan pendidikan karakter yang masih mutlak diajarkan di semua tingkatan pendidikan.

“Kelemahan daring tidak bisa melakukan pendampingan pendidikan karakter. Dalam kondisi seperti ini ya mau tidak mau. Kedepannya tetap harus ada kombinasi pembelajaran daring dan luring sehingga ada penguasaan teknologi dan tetap ada muatan pendidikan karakter,”tandasnya.

Published with editing on BBC News Indonesia, link https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53562848

#Covid19 #pendidikan #belajar #Radiokomunitas #viruscorona

Sabtu, 22 Agustus 2020

Covid-19 Dari Kluster Pernikahan di Semarang

“Awalnya rapid test reaktif. Kemudian dilakukan swab test pertama di Rumah Sakit Tlogorejo. Hasilnya positif,” kenang Khotib yang ketika dinyatakan reaktif berinisiatif melakukan isolasi mandiri di rumahnya. Istrinya menyediakan kamar khusus. Di kamar tersebut dipasang tenda untuk tidur. “Di kamar saya kasih tenda. Saya tidur di dalam tenda agar lebih aman,” jelasnya.

Banyak diantara positif Covid-19 adalah Orang tanpa Gejala (OTG). Salah satunya Ahmad Khotib. Warga RT 06 RW 01 Tambakrejo, Gayamsari, Semarang ini OTG yang teridentifikasi positif Covid-19 setelah menjalani serangkaian test.

Khotib juga berturut-turut melakukan swab test lanjutan kedua dan ketiga. Selama isolasi mandiri, Khotib mengkonsumsi dua jenis obat. Pehavra, suplemen vitamin dan Azithromycin, antibiotik golongan macrolide yang diberikan secara oral untuk infeksi saluran napas atas (tonsilitis, faringitis), infeksi saluran napas bawah (bronkitis, pneumonia). Selama masa isolasi, warga di kampungnya juga bergantian mengirim makanan. “Dikirim lauk pauk di taruh di depan nanti saya ambil. Di tiap rumah juga disediakan air dan sabun cuci tangan.”

Dia dapat bernafas lega. Berdasarkan surat keterangan hasil pemeriksaan dari laboratorium sampel Covid-19 yang diterima dari Laboratorium Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret tertanggal 22 Juni 2020 menunjukkan dia negatif Covid-19.

“Ini tinggal 3 hari lagi obat habis,” jelas Khotib kepada Noni Arnee, wartawan di Semarang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, ketika ditemui di rumahnya Selasa (22/6/20).

Khotib, OTG yang teridentifikasi positif Covid-19 pasca menghadiri acara akad nikah tetangganya pada 11 Juni lalu. Yang hadir pada saat acara sakral tersebut diantaranya perangkat RT, tetangga dan keluarga kedua mempelai.

Menurutnya, akad nikah ini sudah direncanakan jauh hari. Kamis 11 Juni sebagai tanggal akad nikah dan 14 Juni untuk gelaran resepsi. Namun rencana resepsi ditiadakan karena kondisi kesehatan kedua orangtua mempelai perempuan pada saat itu tidak memungkinkan. Ibu mempelai perempuan didiagnosa penyakit dalam dan setahun ini rutin terapi. Sedangkan sang ayah mempunyai riwayat medis penyakit jantung.

 “Yang penting akad nikah dan sah dulu. Acara dilangsungkan di rumah mempelai perempuan,’ jelasnya.

Hamid, keluarga mempelai perempuan menambahkan, acara akad nikah berlangsung di rumah mempelai perempuan yang jaraknya sekitar 150 meter dari Masjid Besar Terboyo.

“Bulan Juni, KUA memberi kelonggaran mengelar akad nikah dengan menerapkan protokol kesehatan. Boleh memilih di KUA, masjid atau di rumah. Pilihan waktu itu di rumah karena Masjid Besar Terboyo belum mengizinkan karena masih pandemi,” jelas Hamid.

Menurutnya, jumlah tamu undangan yang hadir dalam akad nikah tak lebih dari 30 orang. “Undangan 15, mempelai pria bawa 3 mobil, isinya tidak penuh. Ya dengan anak-anak jumlahnya tidak lebih dari 30,” ungkap Hamid.

Namun, selang dua hari, adik mempelai perempuan mengaku lemas, batuk dan sesak sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Sultan Agung. Kedua orangtua mempelai juga menyusul masuk rumah sakit.

“Hari Sabtu 3 keluarga mempelai perempuan masuk rumah sakit. Adik dan kedua orangtua. Minggu sore adiknya meninggal, katanya karena radang paru-paru. Disusul Senin petang Ibunya meninggal. Sedangkan ayahnya masih di rawat hingga kini dan kondisinya sudah membaik,” ungkap Khotib.

Dinas Kesehatan pun kemudian mengambil langkah dengan tracking dan tracing pada orang-orang yang terlibat dalam acara akad nikah tersebut. Tracking dilakukan sejak tanggal 2 Juni yang menemukan adik mempelai perempuan sudah mempunyai keluhan demand an hasil lab swasta menunjukkan sang adik menderita typus.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr. Abdul Hakam, mengatakan, dari serangkaian test, hasilnya ditemukan 10 orang positif Covid-19. Semua dalam keadaan OTG.

“Di awal 10 orang rapid test, ada satu yang reaktif. Karena banyak lansia dan anak-anak yang hadir di acara itu maka hari berikutnya saya lakukan swab kepada 20 orang. Hasilnya ada 3 orang positif. Nah mereka ini ternyata punya anak dan di tracking ketemu  lagi 2 positif. Dari pihak keluarga inti mempelai total ada 5 positif,” ungkap Hakam.

Selain rapid test dan swab test, pihaknya juga berupaya memutus rantai penyebaran dan penularan Covid-19 dengan meminta para OTG yang teridentifikasi positif itu untuk diisolasi mandiri dan terapi dengan mengkonsumsi obat. Di kawasan tersebut juga dilakukan steririsasi dengan penyemprotan disinfektan. “Per Hari Rabu 25 Juni masih ada 2 positif.”

Untuk lebih memastikan kondisi kesehatan, sejumlah keluarga mempelai juga isolasi mandiri dan melakukan swab test mandiri. “8 orang dari pihak keluarga melakukan swab test mandiri dengan membayar Rp 2.3 juta / orang dan hasilnya negatif semua.” imbuh Hamid.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr. Abdul Hakam  menegaskan, peristiwa akad nikah di Tambakrejo ini menjadi pembelajaran penting bagi warga Semarang ketika ingin menggelar acara yang mendatangkan orang banyak. Meski diperbolehkan harus menerapkan dan mentaati protokol kesehatan yang ketat.

Acara akad nikah tersebut digelar ketika Kota Semarang masih menerapkan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) Tahap III yang berlaku 8 Juni hingga 21 Juni 2020 seperti yang tertuang dalam Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan PKM dalam percepatan penanganan Covid-19 Kota Semarang.

Dalam PKM tahap III tersebut diantaranya menyebutkan kegiatan sosial seperti pemakaman dan pernikahan tetap boleh dilakukan dengan pembatasan jumlah 30 orang dan harus menerapkan protap kesehatan.

“Itu jumlah maksimal. Tapi juga harus melihat kondisi ruangan. Luas atau sempit dan aturan jarak 1-2 meter harus terpenuhi,” imbuh Hakam.

Kasus Covid-19 Naik Terus

Jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Semarang dalam satu minggu terakhir ini melonjak drastis. Data Dinas Kesehatan Kota Semarang menunjukkan jumlah positif Covid-19 per tanggal 18 Juni sebanyak 291 orang, naik menjadi 591 orang (per tanggal 25 Juni) yang tersebar di 16 kecamatan.

 

Terkait dengan jumlah positif Covid-19 di Kota Semarang, M Abdul Hakam mengakui terjadi lonjakan terus menerus menyusul makin masifnya upaya rapid test dan swab test oleh Dinas Kesehatan maupun test mandiri yang dilakukan warga di rumah sakit pemerintah yang menjadi rujukan, rumah sakit swasta maupun di klinik dan lab utama yang melayani test.

“Belum turun, ini masih naik terus. Jadi tidak ada kata lain warga harus benar-benar menerapkan protokol kesehatan yang disiplin dan sustainable. Orang selama 3 bulan mungkin sudah bosan di rumah dan begitu keluar seperti euphoria. Makanya harus selalau diingatkan.” Hakam mengingatkan.

Di Kota Semarang terdapat 3 rumah sakit melayani swab test yakni Rumah Sakit Wongsonegoro, Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND), dan Rumah Sakit Kariadi. “Kalau lab di rumah sakit penuh, kolaborasi dengan lab se-Jateng. Dua Minggu ini kita kirim sampel test ke Solo, Yogyakarta. Ya nyebar supaya semua terkendali dan cepat dapat hasilnya.

Hakam mengakui keterbatasan laboratorium rujukan dalam menerima sampel test juga menghambat kecepatan proses identifikasi. Ditambah lagi prosedur panjang mulai dari perencanaan tempat atau lokasi rapid test dan swab test, pencatatan, hingga pembaharuan data.

“Yang jadi persoalan ketika harus antre sampel swab test karena kuota di lab terbatas. Kita harus cari lab yang tidak banyak antrean. Pandai-pandai kita melihat lab mana yang kosong dan bisa dimasuki agar hasilnya cepat. Per tanggal 25 Juni, kita juga masih punya 311 PDP yang menunggu hasil. Kasihan kalau mereka terlalu lama berada di karantina.”

Sementara itu dari 16 kecamatan di Kota Semarang, 3 Kecamatan menjadi perhatian dan diwaspadai karena angka positif Covid-19 yang tinggi, yakni Kecamatan Pedurungan, kecamatan banyumanik dan Kecamatan Tembalang.

“Pokoknya jangan kaget. Kalau dalam 1-2 minggu ini kita mendapatkan hasil (Covid-19) yang luar biasa tinggi. Iya karena test makin intensif dan kami lakukan dengan multiple swab, ambil sampel dari hidung dan tenggorokan,” tandasnya.

Sementara data siagacorona.semarangkota.go.id pada 25 Juni 2020 menujukkan, jumlah Covid-19 meninggal sebanyak 127 orang, PDP 1637 orang, Dalam Perawatan dan Perbaikan Klinis sebanyak 592 orang dan ODP sejumlah 4.236 orang. Sedangkan yang sembuh 566 orang.

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53176439

#Corona #Covid19 #Semarang #Kluster #Pernikahan

Pasar Pon Ambarawa di Masa Pandemi

Sapi-sapi di pasar hewan Ambarawa bergantian keluar dari dalam pasar. Sapi dengan kisaran ukuran standar di dorong dan ditarik dua orang menuju ke luar pasar. Di bawa menuju truk atau mobil bak yang sudah menunggu di areal parkir di pasar seluas 3,75 hektare.

Mereka ini para bakul atau pedagang sapi yang membeli sapi dari para peternak atau pedagang besar di pasar hewan Ambarawa. Biasanya sapi-sapi ini dijual kembali ke pasar atau pesanan para pembeli dari dalam maupun luar kota.

Sapi-sapi dan pemiliknya hilir mudik masuk dan keluar pasar yang hanya memiliki satu akses utma masuk dan keluar. Pasar Hewan Ambarawa, salah satu pasar ternak / pelelangan hewan ternak terbesar di Jawa Tengah yang lokasinya cukup strategis di tepi  jalan nasional  Bawen-Yogyakarta. Tepatnya di Jalan Palagan di Dusun Jembangan, Bawen, Kabupaten Semarang.

Hewan-hewan seperti sapi dan kambing datang dari berbagai desa di Kabupaten Semarang, seperti Babadan, Salatiga, Ambarawa, Grabag, dan Sumowono. Ada juga sapi didatangkan dari Boyolali. Ukurannya bervariasi dari yang siap potong hingga sapi bibit untuk dipelihara.

Jelang Idul Adha Seperti Apa ?

Biasanya, di jelang Hari Raya Idul Adha aktivitas pasar yang hanya dibuka di hari Pon (penanggalan Jawa) melonjak. Permintaan pasar naik.

Seperti Dimas Tameng yang siang itu memantau para pekerjanya memasukkan sapi yang dibelinya. Di pasaran Pon awal bulan Juli, Dimas membeli satu sapi ukuran standar pesanan dan tiga sapi bibit untuk dipelihara.

1 Juli 2020, pasaran Pon pertama asar hewan Ambarawa ini buka dalam kondisi tatanan kenormalan baru atau new normal. Sebelumnya pasar ini ditutup sementara untuk di sterilkan.

Suara bising ratusan sapi yang diikat di los pasar hewan tidak menggangu konsentrasi Muhammad, pedagang asal Salatiga yang tengah menghitung uang lembaran 50 ribuan dan 100 ribuan hasil transaksi dagangannya. Transaksi tunai diterima langsung setelah berhasil negosiasi harga sapi yang nilainya turun di tengah pandemi Covid-19 ini. Baginya tidak mudah menawarkan dagangannya ketika pembeli jauh berkurang. Bahkan ketika jelang Idul Adha yang biasanya selalu disertai dengan meningkatnya pembeli hewan sapi dan kambing untuk qurban. 

Muhammad, satu dari seratusan pedagang yang tumpah ruah di pasar hewan Ambarawa yang hanya buka pada pasaran Pon menurut perhitungan kalender Jawa. Atau dalam satu bulan buka 6 kali sesuai dengan hari pasaran Pon. Para pedagang ini mencoba mencari peruntungan menjual sapi dagangannya di tengah pandemi.

Namun, suara bising membuat para pedagang lain harus bergerombol dan berdekatan agar suara mereka terdengar ketika mencoba menawarkan sapi-sapi dagangannya kepada para bakul. Atau berusaha meyakinkan pembeli dengan bernegosiasi langsung.

Di saat pandemi ini, para pedagang nyaris tidak menerapkan physical distancing di pasar. Suara para pedagang akan hilang tertelan suara bising ratusan sapi di dalam pasar. Bahkan agar suara terdengar, sesekali mereka melepas masker yang dipakainya.

Negosiasi terkadang dilakukan lewat telepon seluler. Biasanya untuk calon pembeli dari jauh atau luar kota. Transaksi di pasar ini memang tidak hanya dilakukan dengan cara tunai, tapi juga daring dengan mengirim foto atau video dagangan pada calon pembeli yang berada di luar kota.

Di pasar hewan Ambarawa menyediakan tenaga medis untuk memberikan pelayanan kesehatan hewan dan memberi rekomendasi SKKH bagi hewan yang akan didistribuksikan ke luar kota.

Sebagian besar transaksi di pasar ini meruapkan transaksi peternak dengan pedagang  / bakul yang dijual lagi untuk pasar maupun pesanan. Tidak hanya didistribusikan di Semarang dan sekitar tapi juga di distribusikanke sejumlah kota seperti Jakarta, Bandung, Bogor dan Garut. Dalam kondisi normal, pasar hewan Ambarawa mampu menampung sapi dan kerbau sekitar 800 ekor sapi, bahkan di hari tertentu bisa mencapai 1.000 ekor.

Kuncoro Murjatmiko, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Puskeswan, RPH dan Pasar Hewan, Dinas Pertanian Peternakan dan Pangan Kabupaten Semarang mengatakan, perdagangan hewan dimasa pandemic cenderung menurun.

“Perdagangan Per-Pon (hari pasaran pasar di buka) per hari jumlah sapi yang masuk sekitar 550 ekor, kambing sekitar 700 ekor. Di saat pandemi banyak desa yang di lockdown dan ditutup, aset pasar menurun pada waktu pandemi sehingga hewan ini jumlah masuknya berkurang jauh. Bahkan pernah di angka 150 ekor sapi, 200 ekor kambing. Menurun drastic,” jelasnya.

Dalam masa new normal perdagangan mendekati stabil karena rata-rata menjelang Besar (Bulan Besar penanggalan Jawa) ini rata-rata menjelang Bulan Besar ini jumlah sapi masuk 650 ekor. Kambing sekitar 800 ekor.  Itu di saat jelang Hari Raya Besar. Tapi setelah itu menurun lagi, kalau di hari biasa itu di angka 500 ekor. Kalau pas sepi ya diangka 450 ekor sapi dan kambing 500 sampai 600 ekor.

Sulis, petugas retribusi di los hewan kambing mengatakan, jelang Hari Raya Idul Adha

bisa sampai 600 ekor, kalau hari biasa 400 ekor. “Ini karena sudah new normal ya pedagang sudah mulai banyak yang datang. Pengaruh besar karena tidak ada pembeli, tidak ada pengunjung. Para penyembelih yang istilahnya mau hajatan kan nggak ada ya otomatis pedagang jualannya nggak pada laku. Masa pandemi sangat berpengaruh sekali.”

Harga Pasaran hancur

Dimas Tameng, pedagang asal Kedungjati mengaku harga jual ternak munurun drastis. Biasanya sudah ramai mulai Bulan Syawal dan Apit. Ini sudah tanggal 8 Bulan Besar (penanggalan Jawa) masih biasa-bisa saja belum banyak peminat, turun.

 “Kalau di pasar harganya memang hancur, turunnya jauh, kalau biasa harga Rp15 juta bisa jadi Rp 12 juta. Nah ini pedagang lagi spekulasi yang tinggi, nanti kalau kita meleset tidak ada pembeli karena Hari Raya Haji juga tidak ada ya itu resiko kita. Harga mengikuti harga Idul Qurban. Kalau itu sesuai pesanan nanti ada yang datang bisa langsung ke perseorangan yang pesan bisa langsung ke rumah.

Menurutnya, tahun sebelumnya, harga jual minimal Rp 18 juta untuk ukuran standar. Dirinya mampu menjual 40 ekor sapid an 100 kambing. “Kalau kambing harganya lebih bagus. Kita lihat nanti peminatnya. Harga kambing lebih bagus dari sapi karena sapi datang dari berbagai daerah, karena di sana lockdown para pengunjung tidak ada juga kurang. Keadaan belum normal apalagi naik haji juga tidak ada.”

Muhammad, pedagang asal Salatiga mengaku, pandemic berdampak besar terhadap perdagangan di pasar hewan. Bahkan penjualan jelang Qurban belum nampak ada peningkatan dan belum dapat diprediksi.

“Oh dampaknya besar sekali, orang-orang yang rencana beli sapi nggak jadi beli karena takut keluar rumah. (hari ini laku berapa) baru laku 4. Harga tutun, satu sapi harga bisa turun RP 3 juta. (menurun berapa persen) 30 persen ya. Kalau satu bulan bisa jual 30 ya 30 persen dari 30 itu berapa, gitu aja. Kalau sekarang (masa pandemi) belum pulih, belum 100 persen. Ya, harapannya bisa seperti tahun lalu, syukur bisa lebih dari tahun lalu.”

Joko, pedagang asal Ambarawa yang mengirimkan hewan hingga luar kota seperti Jakarta dan Bogor juga mengeluh.

“Ini dikirim ke Bogor, jualnya lebih mudah sekarang, peminatnya cenderung kurang. Dampaknya banyak. Kalau aturan relatif tidak mereporkan. Pembeli atau konsumennya yang bikin pusing.

Sebagian besar yang ada di pasar ini adalah petani hewan di sekitar Kabuaten Semarang, Grabag (Magelang), dan Boyolali. yang membawa sapi ke pasar kemudian di beli pedagang besar. Pedagang besar mengumpulakan di rumahnya. Transaksi biasanya model online.

Protokol Kesehatan itu Harus, Tapi …

Pasar hewan juga memberlakukan protocol kesehatan seperti himbauan memakai masker, membuat MMT di tiap titik yang mudah dilihat, meletakan 25 tempat cuci tangan, thermogan, dan hand sanitizer di loket

“Satu jam sekali kami jug amenghimbau lewat pengeras suara himbauan untuk tidak bergerombol, memakai masker dan cuci tangan. ketika orang transaksi terima uang (retribusi).”

Hal yang sulit diatasi di Pasar Ambarawa ini tentunya bergerombol. Jaga jarak karena transaksi sapi ini kadang-kadang kebisingan suara ternak baik kambing maupun sapi. Jadi orang kadang-kadang tidak bisa teriak-teriak, ketika transaksi mereka jaraknya berdekatan karena pengaruh suara ternak.

Pemakaian masker karena ini pengunjungnya dari mana-mana kami sudah menghimbau pemakain masker cuman kadang ada juga yang masih belum memakai masker. Banyak sekali terutama misalnya himbauan jangan bergerombol, ketika menghimbau ini mereka memakai masker, ketika kita sudah pergi dibuka lagi. Ya begitu terus kita dekati lagi pakai masker lagi. Jauh lagi dibuka lagi.

Kuncoro menambahkan, pihaknya pernah mengancam akan menutup pasar jika himbauan tidak ditati. “Seperti kemarin jangan salahkan kami karena kalau kalau bandel tidak nurut aturan protokol kesehatan bisa ditutup lagi kayak kemarin. Ternyata ketika ditutup juga banyak yang bingung karena ini kan bisa jual beli ternak karena kalau ternak tidak segera dijual  memberi pakannya terlalu berat, ongkos pemeliharaan terlalu banyak yang harusnya dijual belum dijual peternak rugi.”

Air dalam bak plastik warna biru dan sabun cuci disediakan pihak pengelola pasar di sejumlah titik, seperti di pintu masuk dan keluar los sapi, di los kambing dan di dalam pasar sebagai standar protokol kesehatan untuk menjaga higienis pasar.

Spanduk himbauan memakai masker dan mencuci tangan juga dipasang di pagar pasar dan di pos-pos retribusi dan medis.

Bagi para petugas, mereka diwajibkan untuk memakai masker, sarung tangan dan menyediakan hand sanitaizer.

Seperti Dimas dan pekerjanya harus memakai masker. Dia juga harus mencuci tangan usai menghitung uang yang harus dibayarkan kepada pemilik sapi yang dibelinya.

Doni, petugas medis di pasar hewan mengatakan, standar kesehatan hewan terjamin karena ada pemeriksaan di setiap pengiriman. Tapi dia mengaku itu sulit diterapkan pada pedagang. Meski setiap hari menghimbau para pedagang tapi masih banyak yang tidak patuh. “Tetap “ndablek” (cuek, tidak mau mendengarkan omongan orang, keras kepala, suka melanggar aturan).”

#Pandemi #Covid-19 #IdulAdha #Corona #ProtokolKesehatan #Pasar #Hewan #Kesehatan #PasarPon #Ambarawa