Pages

Jumat, 02 Oktober 2009

Jangan Lupakan Limbahnya...(Batik..)





SAGA KBR 68H Jakarta
by. Noni Arnee

Batik kini menjadi tren, dipakai oleh anak muda dan orangtua, tak dianggap kuno atau tak menarik. Salah satu kota penghasil batik adalah Pekalongan, Jawa Tengah. Tapi di Pekalongan, pencemaran akibat limbah batik menjadikan kota ini sebagai kota paling tercemar se-Jawa Tengah. Air sumur tak lagi bisa dipakai lantaran tercemar. Separah apakah limbah batik ini di Pekalongan? Simak ceritanya,

“Airnya dari sungai, yang dibuat buang limbah batik. Kampung-kampung deket sungai Kampung yang bikin batik. Lewatnya selokan terus masuk sungai terus ke sawah.Ini dah lama sejak ada batik kecil-kecil”keluh Tarjuni

Sawah Tarjuni letaknya dekat Desa Pabelan, salah satu sentra pengrajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah. Sawah ini sekarang lebih sering gagal panen, ketimbang berhasil. Penyebabnya adalah aliran sungai yang tak lagi jernih, tapi berwarna dan berbuih; tercemar limbah pewarnaan batik.

Di belakang setiap rumah terdapat selokan selebar 1,5 meter. Air yang melintas pekat, warnanya merah kehitaman. Isinya limbah batik, sampah rumah tangga, sampai kotoran manusia. Rumini, pengrajin batik Pabelan mengatakan, air inilah yang digunakan untuk mencuci kain batik sebelum dibilas dengan air sumur.

“proses batik itu harus dikali (sungai kecil red-)..kalau gak di kali gak bisa. Kalau di sumur semua tempatnya gak ada. Nanti di bilas di bak. Pokoknya liatnya bagus.Disini prosesya begini.pokoknya dikemasnya bagus.semua bikinnya juga begini.nyuci sekali tu biar praktis, ngejar waktu.”

Kata Rumini, ujung selokan ini adalah sungai. Kepercayaan setempat menyebut, mencuci batik harus di kali atau sungai.

”Nggak ada yang melarang. Sudah bebas disini. Kalinya kan tidak besar.pokoknya ya buat nyuci disini. Kualitasnya ga terpengaruh... Nyuci tidak terpengaruh malah laris batiknya kalau dijual. Tidak ada yang tahu kalau nyucinya ditempat selokan yang airnya sangat kotor seperti ini.Kalau dah dikemas bagus.”pengrajin lain menambahkan.

"2 atau 3 hari batik sudah jadi.(berapa kali nyuci tanya saya..3 kali..direndem satu jam ..nah.ini dah jadi..(airnya bisa buat berapa kali nyuci pak?).. 3 kali..( trus buang airnya ke mana ?)…ya ke saluran, trus kesungai.." demikian obrolan saya dengan pengrajin batik di Pabelan.

Setelah batik diwarnai, batik dicuci dalam sebuah bak. Sisa cucian batik lantas dibuang lewat selokan khusus, menuju ke sungai. Memang tak semua pengrajin batik membuang limbahnya ke sungai, tapi sebagian besar begitu. Jangan lupa, ini adalah kegiatan turun temurun, yang dilakukan oleh sebagian besar industri batik skala rumahan. Mereka yakin limbah batik tak berbahaya.

Obrolan saya terus berlanjut,
(Sehari buang ganti yang baru lagi. Ke sungai…itu da langsung di kolah-kolah (kolam red-)kecil..gorong-gorong langsung lalu ke timur..naik ke sungai kecil di pinggir jalan itu.. dah biasa.Kalau batik gak bau gak.tapi hanya berwarna kayak gitu.gak-gak bahaya.)" jelasnya.

Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Kota Pekalongan pada tahun 2008 mencatat, ada 12 ribu industri kecil dan 23 industri menengah besar yang membuang limbahnya ke sungai. Semua limbah, apa pun bentuknya, berpotensi mencemari lingkungan. Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Pekalongan, Masrur mengatakan, salah satu sumber limbah adalah industri batik rumahan.

“Tidak usah dipantau itu otomatis ya tahu lah kalau limbah itu masuknya ke sungai.habis itu ke laut. 4 sungai.”
“Limbah batik mengandung B3, termasuk warna, BOD, COD itu memang tinggi sekali dibanding limbah rumah sakit. Limbah batik BOD, COD tinggi. Untuk merendahkan sesuai baku mutu itu memang sulit prosesnya mahal. Ada konsultan dari Jakarta yang menawarkan tak mampu untuk menuunkan BOD 1500 yang sesuai standar 50 itu ga bisa”

Sialnya, ada sekitar seribuan industri batik rumahan yang membuang limbah ke sungai. Meskipun limbah itu sangat berbahaya, tak banyak yang bisa dilakukan Pemerintah Kota Pekalongan.

“Jadi ini kalau satu dua banyak yang taat. Sedikit mungkin gampang diatasi. Yang jadi masalah ini kan pelanggaran kolektif. Pelanggaran berjamaah.apa suruh nutup semua.”
“Tidak ada complain. karena dia buruh batik ditempat majikannya tetangganya sendiri. Itu bisa langsung lapor saja. Masak mo melaporkan majikannya sendiri. Suruh menutup usahanya..la terus mau kerja apa.melaporkan dia..ya memang sedikit banyak tercemari. Masak mo melaporkan tetangganya sendiri. Memang dilema”

*****

Apakah sungai di Pekalongan akan dibiarkan tercemar, demi menopang pesatnya pertumbuhan bisnis batik?

Pencemaran limbah batik berasal dari penggunaan zat kimia sebagai pewarna. Kepala Badan Pengelolaan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Tengah Djoko Sutrisno mengatakan, ini dimulai sejak batik mengalami masa kejayaan pada 1970an. Order meningkat, penggunaan zat pewarna kimiawi otomatis melimpah.

“Sebelum ini langsung membuang limbahnya di alur-alur sungai disitu sendiri. Memang ini industry kecil, dulu pada saat nenek moyang mereka memulai usahanya yang pertama itu pewarna batik belum banyak menggunakan warna-warna kimia. Realitanya di kanan kiri sungai, sumur penduduk sudah berubah warna . bahkan ada yang tidak bisa digunakan lagi”

Wahnuri, warga Desa Sepacar, Kecamatan Tirtokalongan, berdiri di tepi Sungai Pencongan, Pekalongan. Ia menunjukkan pada saya sumber pencemar sungai, yang membuat air sungai berwarna merah kehitaman.

“Ini sungai warnanya merah, itu juga..air batik dari pabrik.ngalirnya sebelah sana. Ada pintu itu. Mo liat sana? padahal Dulunya bersih..(Wahnuri menawari saya untuk melihat lebih dekat aliran limbah yang berasal dari gorong-gorong pabrik)
"Dah ijin sama pemerintah. Ada uangnya.TST (tahu sama tahu )gitu... bisa disuap kan ga papa. Banyak warga yang kerja di pabrik”jelas Wahnuri.

Jarak dari pabrik batik ke sungai hanya 300 meter. Meski limbah sudah teramat jelas di depan mata, tak ada warga yang protes. Termasuk mereka yang tinggal di bantaran sungai.

“Mau minta berapa kamu saya beli..kan udah.lewat batik..dijual.kan aman. Obatnya kan nglerit berkali-kali ada yang merah, hitam, ijo gitu. Tapi semua diam aja. Lha bagaimana orang kampung juga diam apalagi saya. pasrah saja. Sebetulnya ini ga boleh. biar aman. Orang kampung sudah diam karena sudah dibeli.”ungkap Wahnuri.

****

Fajar dan istrinya tinggal di bantaran Sungai Banger, yang juga tercemar limbah batik. Air sumur Fajar sama sekali tak bisa dipakai.
Fajar mengingat masa perjuanganya bersama 87 kepala keluarga yang tinggal di sepanjang sungai banger. Mereka menuntut 3 perusahaan tekstil yang nyata mencemari sungai. Tahun 1988 kasus Kali Banger mencuat.

”Sumur saya itu rasanya asin, pahit, getir, dan warnanya itu kuning. Diatas nglirap minyak tanah. Buat nyuci misalnya, 1 timba air, soklin satu bungkus kecil nggak berbusa. Kalau dipake kurang enak. setenga gatal-gatal gitu..tapi kepekso. sampe alat-alat rumah tangga gelas, piring warnanya kuning semua. sampe kuku-kuku kuning seperti orang biasa ke sawah. ikan-ikan mati, ke sawah sudah ga bisa.10 tahun sumur saya kena limbah. sungai itu warnanya hitam dan baunya menyengat sekali.. bener menyesakkan. Susah. rusak parah.ke DPR pekalongan, semarang, pusat jakarta sampe ke mahkamah agung itu terus maju tak ada henti-hentinya ...itu sistem gerilya”

Kebanyakan limbah batik itu mengucur langsung ke sungai yang mengalir di Pekalongan. Ini berbahaya. Limbah bisa meresap masuk ke sumur warga, yang jaraknya hanya sekitar 5 meter dari sungai. Danali, warga Jenggot, misalnya, tak lagi bisa menggunakan air sungainya.

”Limbah-limbah masuknya ke kali semua. Dari jenggot, simbang wetan, krajenan.masuknya ke kali. Ada UPL tapi jalannya paling masuknya jam 8-9. Yang lainnya masuk kali. Jadi cemar kalinya.pokoknya sini tu untuk pembuangan semua. Limbah-limbah masuknya ke kali semua.”Masuk ke kali kesumur. Dah lama tahun 89 sampe sekarang. Air agak hitam. sumur rusak tidak bisa dipake.”

Padahal di Jenggot ada satu Unit Pengelolaan Limbah batik organik. Jumlahnya memang tak sepadan dengan buangan limbah yang mencapai 900 meter kubik limbah cair sehari dari 23 pengrajin resmi. Operator Unit Pengelolaan Limbah di Jenggot, Bambang mengatakan, unitnya berfungsi dengan baik. Hanya kapasitasnya saja yang kurang, hanya 400 ribu meter kubik. Limbah yang ditampung hanya sepertiga dari keseluruhan produksi limbah tiap hari.

“Dibawah batu ga langsung tanah ada lapisan semacam karpet itu namanya geo membran. Fungsinya air limbah tidak meresap ke tanah.karena kalau meresap ke tanah otomatis sumur masyarakat itu kan tercemar.Penyaringan ke batu-batu. Ada yang masih terbuang sekitar 300 lebih. Makanya kalau ada yang bilang kurang berfungsi itu ga benar.. cuman kurang muat.Daya tampungnya kurang.”

Sejumlah upaya sudah dilakukan untuk menangkal dampak buruk pencemaran limbah batik. Cara yang paling bisa dilakukan setiap pengrajin batik adalah beralih ke pewarna alami. Pemerhati batik asal Pekalongan Dudung Alisyahbana berani jamin, bahannya murah dan mudah didapat.

“Dari tingi, tegeran,jambal, secang,dll. Beberapa daun dan akar mengkudu.beberapa tempat tumbuh liar di pinggir jalan.itu banyak sekali jalan dari Pekalonga ke pemalang kemudian di tegal Ringroot arteri dikendal . it juga banyak sekali tumbuh liar.“

Akademisi teknik lingkungan Universitas Diponegoro Semarang, Junaedi mengingatkan, pewarna kimiawi sama sekali tak bisa terurai dan bisa menyebabkan kanker.

“Proses pewarnaan itu, karena tradisional dan hanya di celupkan. Tingkat peresapan warnanya rendah. Sebagian besar limbah 75 persen terbuang semua. Jadi yang meresap ke kain, ke benang hanya 25 persen. Semakin rendah tingkat industrinya, pencemaran makin besar karena dari sisi warna tadi.
Seremnya kan di warna. Fluktuatif warnanya bukan harian tapi jam-an.kalau lagi hijau itu hijaunya lebih hijau dari baju kita. Merah tapi air limbahnya lebih merah dari yang mbak pake. Mengerikan
Warna itu bisa mengalami bioakumulasi senyawanya karesnogenik bisa timbul tumor.tubuh kita efeknya tahunan jadi susah. “

Tapi Pemerintah Kota Pekalongan mengaku kewalahan kalau harus mengingatkan satu per satu industri batik rumahan.

“Saya tidak mungkn jaga 24 jam disana ya memang pegusaha kan maunya efisiensi, diantaranya karena pembuangan yang tanpa diketahui. Ni jelas memungkinkan, buang tengah malam masak saya suruh jadi herder juga. Kan ga mungkin lah, pembungan seperti itu kan mungkin juga yang namanya pengusaha kan cari celah."ungkap Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Pekalongan, Masrur.

Mengingat Pekalongan memiliki tingkat pencemaran paling tinggi se-Jawa Tengah, langkah jitu mesti segera dilakukan demi menyelamatkan sungai. Kepala Badan Pengelolaan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Tengah Djoko Sutrisno Salah satunya dengan remediasi lahan

“Kita bisa memafaatkan mikroorganisme maupun dengan sejumlah tanaman yang kita tanam pada lahan yang sudah tercemar itu. Tanaman-tanaman yang kita pilih yang rakus akan unsur logam pakai rami, nilam yang menyerap unsur logam. Bisa dengan kubis.ditanam di areal itu tidak boeh dikonsumsi. Ini harus dimusnahkan”

Upaya lain adalah mengajukan industri batik yang bandel dan tak mau mematuhi aturan lingkungan ke pengadilan. Seperti yang dilakukan Fajar dan 87 keluarga lain yang tinggal di sepanjang Sungai Banger. Pada 1988, mereka menuntut tiga perusahan tekstil yang terbukti nyata mencemari sungai.

”Saat pelebaran, sungai itu untuk pembuangan sudetan di Pekalongan. tapi ternyata yang mengalir itu limbah sungai. ini kan disedot untuk mengaliri sawah ke utara. rusak total 20 hektar. mati total. itu berarti imbah kan sudah parah. dari masyarakat terus mengajukan gugatan minta diperbaiki. limbah dibikinkan ipal dari pemerintah maupun pabrik. lha timbul demo-demo itu tapi tetep saja dari pihak aparat polisi dan tentara selalu menghalang-halangi”

LBH YAPHI mendampingi warga membuktikan pencemaran yang dilakukan tiga industri batik itu.

”Yang paling alot adalah pada pembuktianhya begitu lama, karena kami harus membutikan satu persatu. misalnya pembuktian mengenai pencemarannya itu sendiri, kami harus mencarikan saksi ahli yang bisa membuktikan dan harus bisa membaca hasil analisa. Tidak setiap ahli mau dijadikan saksi ahli dalam kasus kemasyarakatan seperti ini. pembuktian bagi masyarakat itu sendiri. karena misalnya salah satu penggugat mengatakan dia rugi karena sawahnya tercemar itu juga harus dibuktikan,"ungkap Koordinator LBH YAPHI, Lusila Anjela Bodroani.

Hasilnya? Tak sia-sia. Pada 2003 Pengadilan Negeri Semarang sampai tingkat kasasi menyatakan perusahaan tekstil bersalah. Ketiga perusahaan itu terbukti membuang limbah ke sungai dan mengakibatkan kerugian: ternak mati, sawah puso dan hajat hidup warga sekitar Sungai Banger terganggu. Warga mendapat ganti rugi, meski tak layak.

”Jelas tidak bisa menyelesaikan semuanya. harapan dengan adanya satu putusan menjadi evalusai bagi semua penentu kebijakan di pekalongan. pemkot melakukan kebijakan yang mendukung pada penegakan hukum aparat .dari perusahaannya sendiri sudah sadar. cuman mekanisme ini tidak jalan . yang seharusnya itu sudah diawali baik oleh masyarakat ya akhirnya tidak ditindak lanjuti.akhirnya masyarakat lagi yang jadi korban”

Identitas Pekalongan sebagai kota batik harus terus dipelihara demi menjaga kelestarian batik. Tapi jangan sampai ini mengorbankan sungai dan lingkungan.

Jun '08