Pages

Rabu, 04 November 2009

Belenggu Tradisi Pernikahan Dini

Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan anak di bawah umur. UU Perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU Perkawinan, seorang anak perempuan baru boleh menikah di atas usia 16 tahun, seorang anak lelaki di atas usia 18 tahun. Tapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama, KUA, masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun.

Salam jumpa pendengar, saya Noni Arni.

Perspektif perempuan kali ini akan menyajikan tema mengenai perkawinan usia dini yang hingga kini masih marak terjadi, akibat kuatnya budaya yang mengakar pada suatu wilayah. Seperti yang terjadi di Rembang Jawa Tengah.

Sutik perempuan asal Tegaldowo Rembang Jawa Tengah ini, pertamakali di jodohkan orang tuanya pada usia 11 tahun. Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti sebuah pernikahan.

”Dijodohin sama ibu..? iya.. Setelah tahu dijodohkan? Saya masih kecil jadi biasa saja, belum ada pikiran saya suka dengan pasangan saya. Saya belum mengerti, karena waktu itu masih kelas 4 SD saya mulai di jodohkan. 2 kali dijodohkan gagal dan perjodohan ketiga baru saya dinikahkan. Waktu menikah saya belum lulus SD. ”

Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di wilayah Tegaldowo Rembang yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan disini melakukan pernikahan dini.

”Tradisi di sini jika umur belasan tidak segera dijodohkan nanti terlanjur tua dan tidak ada yang bersedia meminang ”

Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencacat nikah di Tegaldowo Rembang Jawa Tengah

”Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku. Percaya hal seperti itu masyarakat di sini. Entah nantinya jodoh atau tidak tetep di terima. Habis saya terima nikahnya..terus besoknya sudah pulang itu banyak.Bisa diartikan dipaksa. Angka perceraianpun tinggi masalahnya kayak gitu.”

Di daerah ini anak umur belasan sudah menikah, bahkan banyak yang sudah menyandang status janda karena orang tua tidak mempedulikan apakah anak bersedia dinikahkan atau tidak. Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah menikahkan terlebih dulu, meski kemudian di ceraikan.

Berbagai cara biasa dilakukan agar pernikahan terlaksana, dari memaksa perangkat desa untuk mempermudah urusan administasi, memberi uang pelicin hingga harus memanipulasi usia anak mereka. Seperti yang terjadi pada Sutik. Dalam surat nikahnya tercatat berumur 16 tahun, meski sebenarnya Sutik menikah di usia 13 tahun.

Salah satu warga Tegaldowo , Suharti menjelaskan
”Akte kelahiran banyak yang di ubah. Ketika akan menikah cari akte lagi, biar bisa menikah umur di aktenya di tuakan. Orang tuanya datang ke sektretaris desa atau modin minta surat kenal lahir. Dibuatkan terus nanti minta dari catatan sipil membuat akte baru. Banyak yang membuat akte baru untuk bisa menikahkan anaknya.”

Setelah semua urusan admistrasi beres, pesta pernikahanpun di gelar dengan meriah, tamu undangan berdatangan, aneka makanan disajikan, kedua pengantin di arak seperti raja. Pesta seperti ini menjadi ajang hiburan warga.

Fenomena pernikahan diusia anak-anak menjadi kultur masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2. Para orang tua ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, anggapan tidak penting pendidikan bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua.

Mengubah budaya dalam struktur masyarakat turun temurun seperti tradisi pernikahan dini bukan hal yang mudah.

Namun secara perlahan, tradisi pernikahan dini di Tegaldowo Rembang pun mulai terkikis, setelah sebuah lembaga kemanusiaan internasional yang menitikberatkan pada anak, Plan, mulai aktif. Lembaga itu memberikan penyadaran akan dampak negatif perkawinan dini bagi anak anak di bawah umur

Staf Plan Indonesia, Novika Nurdiyanti mengatakan, banyak hal dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup anak perempuan di wilayah ini, seperti edukasi, advokasi, pemberdayaan anak melalui forum anak, konseling hingga gerakan akte masal

”Kita juga melakukan akte masal dengan harapan mereka yang belum punya akte punya akte sehingga usia pernikahan itu bisa lebih panjang. Kita juga melakukan konseling atau perkumpulan bagi remaja yang ingin konsultasi dan tahu lebih banyak tentang program kesehatan reproduksi. Bisa tahu lebih banyak apa dampaknya dari sisi kesehatan reproduksi jika menikah di usia dini, harapanya itu bisa terkikis.”

Menurut laporan badan perencanaan pembangunan Bappenas tahun 2008, dari 2 juta lebih pasangan yang melakukan pernikahan, angka pernikahan dini dibawah 16 tahun mencapai hampir 35 persen. Di Departemen Agama persentase angka ini diketahui karena adanya surat dispensasi bagi perempuan yang belum cukup umur.

Menurut Suwandi, tingginya angka kasus perkawinan dini, karena UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak konsisten dalam memberikan batasan terhadap batas minimal usia perkawinan.
Dalam pasal 7 disebutkan, jika belum memenuhi syarat perkawinan yakni anak perempuan usia 16 tahun, maka diberikan dispensasi.

”Kepala desa dan perangkat sudah menyarankan supaya nikahnya sampai umurnya pas. Lha sementara kalau sini mengajukan katanya orang PA (Pengadilan Agama) ada undang-undangnya. kalau memang PA tidak mengeluarkan dispensasi mungkin sudah tidak ada lagi pernihakan dini. Setiap kali ada pertemuan dari tingkat desa , kecamatan, kabupaten yang di bicarakan pasti pernikahan dini, saya malu karena setiap ada dispensasi, perceraian, pernikahan dini pasti wilayah Tegaldowo terus. Biasanya yang melakukan pernikahan kisaran 14-15 tahun.”

Suwandi menambahkan, Dalam konteks kekinian, anak-anak sebenarnya belum siap secara psikis dan sosial untuk membentuk keluarga. Karena itu, Undang-Undang harusnya tegas karena banyak hak-hak perempuan dan anak yang dikorbankan.

Koordinator Plan Rembang, Endang Suprapti menilai, perubahan mulai terlihat beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran warga akan pentingnya pendidikan

”Perubahan yang siknifikan yang terlihat adalah perubahan pola pikir masyarakat. Di awal mereka lebih mementingkan dirinya sendiri, sekarang ini mereka sudah mulai berpikir bahwa anak-anak itu penting, anak-anak perlu di prioritaskan. Misalnya sebagai contoh ternyata mereka melihat bahwa pernikahan dini itu adalah sesuatu yang melanggar hak anak. Sehingga mereka mau terbuka. Lalu mereka juga mencoba mencari jalan keluarnya. Itu yang terjadi di masyarakat.”

Kini, di wilayah ini Semua orang terutama orang tua mulai menyadari dan belajar dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernikahan di usia dini.

Demikian perspektif perempuan kali ini, saya Noni Arni mohon pamit, Salam.

Nov '09

2 komentar:

arianne mengatakan...

halloo... kak seto kemana yah?
daripada sibuk ngejar2 syeh puji, kesini aja ka.. bakalan sibuk loh..

noni arnee mengatakan...

kalo kak seto kesana tar malah di kejar-kejar..hiiii

lagian kesananya butuh energi gede...tempatnya terpencil musti maik turun bukit. untung aja ada yg bisa di kerjain suruh nganterin...meski harus ngasih uang bensin n supir

yg penting dpt akses kesana.,..plus liat janda2 abg...wkwkkkk