Pages

Sabtu, 26 September 2009

Mudik..Mudik....








Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle / Indonesian Programme
by. Nonie Arnee

Tradisi mudik adalah tradisi tahunan yang berlangsung setiap menjelang hari raya Idul Fitri. Mudik adalah juga kegiatan perantau atau pekerja migran di kota-kota besar untuk kembali ke kampung halamannya. Makin banyak penduduk desa yang bekerja di Jakarta, makin banyak juga arus mudik menjelang lebaran dari Jakarta kembali ke desa asal.

"di Jakarta membantu di rumah makan. Mau ke Wonogiri naik motor. Mudik sama anak istri . Tiap tahun pasti mudik. Kalau pulang kampung yang utama ya sungkem sama bapak dan simbok. Sudah selesai sungkem pulang lagi ke Jakarta. Kita ninggali uang 10 ribu..50 ribu. (kenapa milih ke Jakarta..)Di jakarta karena ada teman yang bawa saya. Gajian 1,2 juta sebulan. di kampung paling kerjaannya petani itu kalo punya tanah, lha saya ga punya apa-apa. di kampung mau jadi apa."

Yitno adalah salah satu dari jutaan masyarakat pedesaan yang mengadu nasib ke kota besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Pengamat sosial Universitas Diponegoro Semarang Hedi Pujo Santoso mengatakan, mudik bagi perantau adalah sarana mempererat hubungan kekeluargaan. Namun 10 tahun terakhir ini mudik juga jadi lambang keberhasilan

"Berjejal-jejal berkeinginan untuk bertemu dengan keluarga bersilaturahmi, sekarang fenomena itu juga mulai berubah ketika mereka tidak sekedar ingin bertemu untuk berslaturahmi tetapi juga ingin bertemu untuk bercerita tentang ”succes story” , bercerita tentang pekerjaan, kesuksesan yang di raih di perkotaan. Fenomena ini ada plus minusnya, bisa memicu teman-teman mereka yang ”jobless” di daerah asal. Tetapi pada sisi lain ada perilaku dari tempat asal yang secara kultural tidak sesuai lagi. Sehingga menimbulkan perilaku yang konotasinya negatif Misalnya konsumtivisme yang saya kira tidak baik untuk orang-orang daerah asal."

Untuk mengantisipasi membludaknya jumlah pemudik dan untuk membantu kelancaran, pemerintah setempat harus menyediakan transportasi dan sarana pendukung. Di Jawa Tengah, jumlah pemudik yang melintas bisa mencapai 5 juta lebih.

"Kaitannya dengan perlengkapan jalan, marka rambu dan sebagainya sudah kita lakukan, penambahan jalan alternatif, posko-posko di jalur transportasi. Jumlah pemudiknya yang naik bis itu kira-kita sekitar 4,7 juta. Kalau di hitung secara total itu yang menggunakan jalur darat, kalau moda angkutan semua, lebih dari itu. Kenaikan cukup signifikan sampai 15 persen. Dan yang fenomenal arus mudik yang menggunakan roda 2."Jelas Kepala Dinas Perhubungan Jawa Tengah, Kris Nugroho

Hedi Pujo Santoso menjelaskan, Peningkatan arus pemudik ini disebabkan semakin meningkatnya kaum urban perkotaan. Karena di desa makin sedikit lapangan pekerjaan yang menjanjikan untuk masa depan. Jadi makin banyak orang yang mencari pekerjaan di kota.

"Migrasi orang-orang dari daerah ke pusat itu karena, memang bidang pekerjaan memusat di perkotaan, sehingga tidak memungkinkan mereka berkarya di daerah asal."

Meningkatnya jumlah kaum urban yang selalu mudik tiap tahunnya sebenarnya bisa di tekan, jika pemerintah lebih serius melakukan pemerataan pembangunan

"Kalau di daerah hal itu sudah tercukupi saya kira tidak ada alasan untuk ”pindah ladang” katakanlah begitu. Jangan membuat pusat-pusat ekonomi itu hanya di perkotaan supaya ada keseimbangan. Dengan otonomi daerah itu sangat memungkinkan."

Banyak pemudik yang harus menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Mereka melakukannya untuk bisa berkumpul lagi dengan dengan keluarga dan kerabat. Pengalaman kembali ke kampung halaman adalah pengalaman mengesankan, apalagi kalau mereka bisa bercerita tentang keberhasilannya.

Semarang, Sept '09

Kamis, 24 September 2009

Melongok Pesantren Preman



KBR68H Jakarta

Pondok pesantren seringkali dijadikan tempat untuk mempertebal ilmu agama. Begitu juga di Pondok Pesantren Istigfar milik Gus Tanto, di Kampung Perbalan, Semarang, Jawa Tengah. Yang unik, santri yang berguru ilmu di sana adalah preman. saya datang melongok situasi di sana.

"suasana shalat berjamaah"
Malam di ujung sebuah gang kecil di Kampung Perbalan. Kampung ini sejak zaman penjajahan Jepang, dikenal sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan. Sebuah perkampungan kumuh di Semarang yang banyak di huni penggangguran, pemabuk, penjudi, perampok dan pelaku kriminal lainnya. Tak heran jika kawasan ini disebut kampung preman. Dan kesan itupun masih melekat hingga kini.

"Ridho Allah itu dari ibunya,yg penting dari ibu..doa orang tua itu sepanjang masa, nek doa –ne pelacur sekejap mata..ni..tak critani ya, ada kejadian..di acara pengajian di tempat pelacuran. Santri saya Dah pake picis..masih di tanya ga ngamar mas..langsung saya tanya apa tipemu itu tipe pecinta wanita..padahal dah pake busana muslim mash di tawari..tapi justru indahnya dunia ya seperti itu..jadi ga nampilin putihnya saja ato hitamnya saja.. yang penting kita berusaha" suara obrolan Gus tanto diselingi ledekan dan tawa para santri

Beginilah cara Gus Tanto mendekatkan diri dengan santri yang disebutnya jemaah. Obrolan ini adalah metode tombo ati, bentuk pencerahan rohani yang biasa dilakukan Gus Tanto. Metodenya adalah ngaji tombo ati, yakni membuka hati para jemaahnya untuk berbuat baik.

Suasana ini dapat kita jumpai tiap malam usai pengajian dan shalat berjamaah di Pondok Pesantren Istigfar. nama istigfar karena tempat ini menjadi sarana untuk bertobat. Di pesantren yang sekaligus tempat tinggal Gus Tanto ini, sekitar 250 preman belajar mendekatkan diri kepada Tuhan. Semuanya adalah santri kalong. Santri yang datang ke pondok jika ada acara atau membutuhkan konsultasi.
Diantaranya Sugiharto, seorang teknisi asal Semarang, yang pernah merasakan hidup dalam dunia hitam selama 25 tahun.

”Kehidupan sebelum dapat pekerjaan ya di jalanan. Identik dengan kekerasan. Dulu kalo pulang mabuk. Pulang mesti ada masalah abis berkelahi, pakainan banyak darah. Kelamaan kehidupan seperti itu mempengaruhi apalagi saya sudah punya istri dan anak. Dengan tuntutan hati saya akhirnya kesini ketemu Gus Tanto, Kyai tombo ati. Saya dapat pencerahan sampai sekarang ini. Berpuasa melatih kesabaran.”

Lahir dan besar di Perbalan, Gus Tanto tak tahan menyaksikan kekerasan di sekitarnya. Gus Tanto sapaan akrab Muhammad Kuswanto, pengasuh Pondok Pesantren Istighfar pun kemudian bertekat merubah imej kampung tempat tinggalnya dengan membangun pondok pesantren.

”Orang main ke perbalan itu berpikir seribukali. Dikarenakan tidak aman apalagi nyaman.”Broklynnya” Semarang itu ya Perbalan ini. Krisis moralitas.Dengan di himpit lingkungan seperti itu,saya kok punya naluri Bagaimana saya bisa untuk menerapkan yang namanya kebenaran itu bagaimana. Dan saya buktikan lepas dari SMA.”

Karena terkendala dana, secara fisik ponpes baru berdiri tahun 2005. Namun, aktivitas jamaah pesantren ini sudah berlangsung sejak 20 tahun lalu, bersamaan dengan kiprah Gus Tanto di dunia jalanan dan preman. Meski hanya mandor di terminal, para preman disapa dan dibina melalui pengajian dan konsultasi rohani, hingga kembali menemukan jalan Tuhan.

”Saya harus masuk. Terjun dunianya. perjuangannya sampe mana-mana. Saya terjun di terminal langsung. Basecamp nya mereka-mereka. bener-bener mengetahui semuanya.saya jangan sampe menggurui orang atau mengatur orang. Saya ngalir aja. Saya kumpulin itu dia pengen minum , saya belikan. saya harus mendalami bagaimana psikologisnya. dari bandit kelas bawah sampai kelas atas hingga tetek bengek sudah ada.dan mereka menyadari semua perbuatan itu adalah perbuatan negatif”

Perlahan, satu persatu para preman tersentuh. Selain Sugiharto, juga Feri, bekas pemabuk yang biasa di sapa mbah iblis. Mereka merasa lebih nyaman belajar di ponpes istigfar. Karena lebih menekankan pembentukan akhlakul karimah. Tanpa mendikte dan menggurui.

”Di sini terus keluar, masih kayak gitu. Balik lagi ksini. Pokoknya kalo dari sini tidak melarang sepenuhnya.cuman kalo bisa di kurangi..dikurangi..Terapinya memang kayak gitu sih. Ok kamu make ga papa. Akhirnya sadar sendiri.”
”Adaptasi cuman sebentar. Kamunitas temen-temen di sini semua enak. Bisa ngertiin.Lagian mayoritas jalan cerita hidupnya seperti saya semua. Yang di sini yang lebih parah dari saya juga banyak dulunya seperti ada yang pembunuhan, ada yang rampok.”tambah Sugiharto.

Memang, sepintas bangunan pesantren ini lebih mirip sebuah klenteng dengan hiasan ornamen relief naga. Keunikan lain, lampu disko di dalam mushola dan tulisan "Wartel Akherat 0.42443" yang tertera pada dinding mushola. Sederetan angka jumlah rakaat salat, yang melambangkan cara berkomunikasi dengan Allah.

Semua keunikan pada ponpes tersebut, kata Gus Tanto melambangkan perjalanan para preman yang ingin kembali ke jalan yang benar.

Warga Perbalan seperti hal nya Sri Rahayu menyambut baik Keberadaan ponpes istigfar, karena ponpes mampu menjaga lingkungan yang sebelumnya mendapat stigma sebagai kampung preman

”Yang orang mabuk-mabuk itu sekarang ga ada. Bersih dan aman. pada waktu tahun dulu-dulu agak ga tenang khan banyak preman., sekarang dah sadar. Pokoknya sini dah aman. Sekarang ga ada orang mabuk..ga ada. Bisa mengamankan. Sudah beberapa tahun sudah tidak ada siskampling tetap Aman.”

Seiring dengan waktu, jemaah Kyai tombo ati ini merebak. tidak lagi dipenuhi preman. tapi, lapisan masyarakat dari berbagai strata sosial, seperti pejabat, artis, pegawai, polisi, dan lain-lain

Tiap malam suara tadarusan terus terdengar di ujung gang"

Kalau dulu identik dengan suara pemabuk yang mengganggu tidur, Kini ayat-ayat Alquran selalu terdengar setiap malam di kampung preman.

Semarang, Sept 09

Noni Arnie

Pesona di Bawah Garis Katulistiwa



Suara Merdeka / Wisata
31 Agustus 2009 | 21:08 wib

Panas dan asap menyambut saya dan rekan-rekan saat pertama menjejakkan kaki di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Terik di sana sudah kami perkirakan sebelumnya mengingat kota tersebut dilintasi garis khatulistiwa.

Namun, asap yang diakibatkan hutan terbakar adalah hal lain. Apalagi asap itu bertahan hingga malam, sehingga hampir semua orang yang keluar harus mengenakan masker penutup hidung.

Tapi, persoalan di kota yang konon semula berupa kerajaan (kesultanan) itu tak berhenti di situ. Sesampai di hotel tempat kami menginap, permasalahan yang mendera bertambah dengan sering matinya aliran listrik. Hampir setiap tiga jam sekali, aliran listrik terputus selama beberapa menit.

Meski sedikit terganggu dengan kondisi itu, saya tetap berusaha menikmati Pontianak. Salah satu yang menarik di kota tersebut adalah budidaya tanaman lidah buaya (Aloe Vera). Di sana berdiri Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional atau yang sering disebut sebagai Aloe Vera Center Pontianak.

Letaknya di Siantan Hulu, Pontianak Utara. Dari pusat kota, perjalanan ke tempat tersebut menempuh waktu sekitar 30 menit.

Setiba di sana, pandangan mata saya dan rombongan langsung tertuju pada tanaman lidah buaya yang ditanam di halaman muka hingga belakang. Di depan, ada belasan pot yang ditanami tanaman yang disebut berasal dari Kepulauan Canary (barat Afrika) itu dengan ukuran cukup besar. Tapi, masih ada lidah buaya yang lebih besar ditanam di bagian belakang. Jumlahnya juga puluhan bahkan mungkin lebih dari ratusan.

Petugas yang menyambut kami mengatakan, tanaman lidah buaya baru masuk di Pontianak sekitar tahun 1980, tepatnya di Siantan Hulu. Saat itu, sebagian tanaman masih ditanam dalam pot sebagai tanaman hias dan sebagian lagi ditanam di kebun bercampur dengan tanaman pepaya dan sayuran. Pada tahun itu, lidah buaya juga belum dibudidayakan secara khusus.

Satu dekade kemudian, barulah tanaman yang oleh etnis Tionghoa disebut tanaman ajaib (suci) itu sedikit demi sedikit mulai dibudidayakan. Aloe Vera mulai ditanam di lahan khusus, tidak lagi bercampur dengan pepaya atau sayuran.

”Pada tahun 1992, Aloe Vera mulai dikenalkan pada masyarakat luas di sini. Saat itulah masyarakat mulai mencarinya,” ujar petugas tersebut dengan ramah.

Di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional, selain lahan budidaya, kita juga bisa melihat langsung produk-produk yang dihasilkan tanaman tersebut. Di sebelah kanan pintu masuk, tersedia tempat untuk menjual produk-produk itu, seperti minuman, selai, teh, dan juga dodol dan kerupuk. Tapi ternyata itu semua bukan produk Aloe Vera Center.

”Kami tidak memproduksi barang-barang seperti itu. Produk tersebut adalah hasil kelompok masyarakat binaan yang kemudian kamu tampung di sini.”

Sebenarnya, berbagai produk itu juga tersedia di beberapa toko oleh-oleh di Pontianak. Jadi, jika Anda kehabisan barang di sana, tak usahlah khawatir. Meski tentu saja, Anda mungkin harus merogoh kocek lebih banyak.

Di sebelah showroom tersebut, terdapat ruang pamer pengolahan lidah buaya. Di situ, pengunjung bisa melihat contoh proses pembuatan lidah buaya mulai dari tanamannya hingga hasil olahan yang bisa berupa minuman maupun obat.

***

BERKUNJUNG ke Kota Pontianak kurang lengkap rasanya jika belum menyusuri Sungai Kapuas. Paket wisata menyusuri Sungai Kapuas banyak ditawarkan biro perjalanan kepada wisatawan. Yakni, berupa perjalanan dengan perahu besar berkapasitas 50 orang atau perahu bermotor. Tapi kami coba memilih menggunakan perahu dayung, ketimbang paket yang ditawarkan biro perjalanan. Kami menganggap bahwa menyusuri sungai dengan perahu dayung lebih seru.

Selama menyusuri sungai, kami menyaksikan pemandangan khas rumah-rumah lanting yang berayun-ayun terkena gelombang. Ini adalah perkampungan air. Menarik melihat aktivitas penghuninya. Ada yang mandi, mencuci tanpa memedulikan kecokelatan air sungai. Panorama lainnya yang ”eksotis” selain hilir mudik perahu dayung, juga jejeran gubuk terapung untuk buang hajat. Dari atas perahu, kami juga melewati kawasan perdagangan Kapuas Besar yang merupakan pusat perekonomian tertua di Pontianak dan tepian Alun Kapuas sebagai pusat perdagangan modern.
Perlu diketahui, Sungai Kapuas dengan dua anak sungainya yaitu Sungai Kapuas Kecil dan Landak merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Panjangnya 1.143 Km dan lebarnya 400-700 Meter. ”Alirannya dapat dilayari sepanjang 800 Km atau hingga ke Kabupaten Kapuas Hulu,” kata pemandu kami.

Sungai yang membelah Kota Pontianak menjadi 3 bagian, yakni Pontianak Barat dan Selatan, Pontianak Timur, dan Pontianak Utara itu sangat penting bagi kota tersebut sebagai pusat jalur perdagangan dan transportasi kota bahkan provinsi. Ya, boleh dibilang sungai tersebut jantung perekonomian bagi Pontianak.

Puas menyusuri sungai, akhirnya perahu kami bersandar. Kira-kira 100 meter dari tempat kami bersandar, berdiri bangunan bersejarah yang menjadi bagian dari wajah lama kota ini. Atap dari sirap warna kuning dan krem, bertuliskan ”Istana Kadriah” dalam bahasa Arab.
Keraton Kadriah atau juga dikenal Istanah Kadriah di bangun tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie pada masa kekuasaan Van Der Varra (1761-1775), Gubernur Jenderal VOC ke-29. Lokasinya berada di kawasan Kampung Dalam Bugis (kini Tanjung Pura), Kecamatan Pontianak Timur.

Gapura melengkung ala benteng Eropa dengan atap limas berbahan sirap dan dua meriam kuno berusia ratusan tahun menjadi pintu masuk keraton. Adapun di halaman keraton terdapat sebuah tiang bendera dari ulin yang dilengkapi pengerek. Konon dulu, di dekat tiang, bertengger Perahu Lancang Kuning, perahu asli khas Kalimantan Barat. Perahu ini konon digunakan sultan berlayar. Tapi sayang, kami tak bisa melihatnya karena sekarang sudah tidak ada lagi.

Bangunan Keraton seluas 9.800 meter persegi, ber arsitektur unik dari kayu belian atau ulin itu terdiri atas pendapa, balai, dan 8 ruang utama. Meski sudah uzur, bangunan masih tampak kokoh dan terpelihara. Benda bersejarah peninggalan kesultanan seperti pakaian kesultanan, takhta, tongkat penobatan, meriam, dan ranjang tidur antik masih tersimpan rapi. Yang paling menarik tentunya singgasana sultan yang berwana kuning keemasan dan cermin seribu wajah berukuran besar. Semua pengunjung termasuk kami diperbolehkan melihat dari dekat singgasana sang sultan. Perpaduan arsitektur Melayu, Arab dan Eropa yang megah.

Tak jauh dari keraton terdapat Masjid Keraton. Masyarakat setempat menyebutnya Masjid Jami Pontianak. Masjid yang berdiri di pinggir Sungai Kapuas Kecil itu sangat unik karena seluruh bangunannya terbuat dari kayu dengan dikelilingi pagar besi bercat kuning dan hijau.
Pemandu kami mengatakan, masjid tersebut menjadi objek wisata bersejarah yang saling berkaitan dengan Keraton Kadriah. ”Dua peninggalan kesultanan yang pernah berkuasa di Pontianak ini menjadi cikal bakal berdirinya Kota Pontianak.” tambahnya.

Sebenarnya banyak hal menarik yang bisa kami singgahi, di jantung kota Pontianak.Tapi terbatasnya waktu membuat kami harus segera bergegas meninggalkan kota penuh pesona yang dilalui garis khatulistiwa ini. Dan tugu khatulistiwa pun terlupa. Sayang sekali.... (73)

Siapkan Tas untuk Oleh-oleh

TENTU saja, setiap perjalanan lebih berkesan bila disertai buah tangan, setidaknya sebagai penegas kenangan. Di Pontianak, kita tak perlu risau jika menginginkan oleh-oleh khas dengan berbagai pilihan. Mungkin, kita malah perlu menyediakan satu tas khusus untuk diisi oleh-oleh itu.

Pertokoan di salah satu sudut kota, tepatnya di Jalan Pattimura, akan memanjakan wisatawan yang ingin berbelanja. Deretan toko dengan lebar masing-masing yang sebetulnya tak luas itu menyediakan berbagai macam barang yang cocok untuk oleh-oleh. Mulai dari kaus dengan desain khas Pontianak hingga mandau (senjata kaum Dayak) dalam berbagai ukuran tersedia di sana.

Bahkan, ada pedagang yang menyediakan mandau yang dia katakan benar-benar telah mencabut nyawa seseorang. Konon, cirinya adalah dari lingkaran di tepi bagian yang tajam. Pedagang yang sempat saya tanyai mengatakan, biasanya setiap membunuh orang, sebuah mandau akan dilubangi untuk kemudian ditutup kembali dengan bahan yang sama. Meski demikian, bekas lubang itu masih tetap membekas menyisakan tanda.
”Jadi, mau beli tidak?” tanya pedagang itu.

Saya menggeleng, ”Tidak.” Saya tidak suka kekerasan. Pun benda-benda yang mengingatkan padanya. Untuk mengurangi kekecewaan pedagang yang telah bercerita panjang lebar soal sejarah mandau itu, saya alihkan pandangan ke kain-kain.

Ya, Pontianak juga memiliki kain tenun dengan corak khas Dayak. Suku Dayak, Melayu, serta Tionghoa memang menjadi penghuni terbesar kota tersebut. Maka, tak heran jika motif benda-benda yang menjadi oleh-oleh khas sana berbau suku tersebut. Akhirnya, jadilah saya beli sebuah sarung tenun.

Seperti yang berlaku di pusat oleh-oleh di mana saja, kita harus pandai menaksir harga. Bahkan, menawar harga yang dibuka oleh pedagang menjadi keharusan agar uang kita bisa berguna untuk beli yang lain. Apalagi, begitu banyak barang di sana yang harus kita masukkan dalam tas khusus oleh-oleh tadi.

Ya, ada batu mulia untuk mata cincin, hiasan dinding beraneka bentuk, dan juga pernak-pernik yang sayang untuk dilewatkan. Maka pastikan agenda ke sentra oleh-oleh itu tak dibatasi waktu.

Tak terlalu jauh dari pertokoan tersebut, ada supermarket yang cukup terkenal. Di sana, bisa didapat aneka makanan ringan yang disebut berasal dari Malaysia. Harganya pun relatif terjangkau sehingga tepat kiranya jika ikut dimasukkan dalam tas khusus oleh-oleh.

Terakhir, jika kita ke Pontianak tepat di musim durian tumbuh, maka pastikan pula mencicipinya. Berhubung banyak hotel tak membolehkan membawa durian ke kamar dan tak mungkin pula untuk memasukkannya dalam tas oleh-oleh tadi, maka Anda hanya bisa menikmatinya di jalanan.

Di malam hari, banyak penjaja durian di dekat Jalan Pattimura itu. Bahkan, istilah dugem yang semula singkatan dari dunia gemerlap alias berfoya-foya di klub malam, di Pontianak dipelesetkan menjadi durian gemerlap. Bagaimana tidak, dengan harga yang tak lebih dari Rp 10 ribu, kita sudah bisa mendapatkan satu durian dengan rasa yang tak terlupakan. Hmm, tentu saja, jangan lupakan kadar kolesterol yang ada. (73)
(Noni Arnee/)