Pages

Rabu, 24 November 2010

Candi Borobudur Berselimut Abu

Jendela Budaya

Radio Deutsche Welle Jerman/ Indonesian Programme
24.11.2010


Pasir dan abu vulkanis letusan dasyat gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawatengah yang terjadi sejak 26 Oktober telah menutup rata hampir semua bangunan Candi Borobudur di Magelang Jawatengah dan memporak- porandakan fasilitas pendukungnya. Akibatnya, selain terancam rusak, aktifitas pariwisata di situs bersejarah warisan pusaka dunia yang disulap menjadi obyek wisata paling populer di Indonesia ini lumpuh. Seperti apa dampaknya ?

Pelataran parkir Taman Wisata Candi Borobudur yang biasa dipenuhi pedagang cinderamata kini nampak lengang. Padahal hari Sabtu di pertengahan November ini adalah hari pertama obyek wisata ini kembali dibuka terbatas untuk umum, setelah sebelumnya ditutup selama dua pekan. Pendengar, saya Noni Arni koresponden Deutsche Welle di Jawa Tengah, mengunjungi Candi Borobudur

Terlihat hanya beberapa pedagang memperbaiki kios dari terpaan tebalnya abu vulkanis yang sesekali beterbangan tersapu angin. Atau duduk dan ngobrol menunggu pengunjung datang. Seperti yang dilakukan Sapari, pedagang kartu pos.

”Belum laku. Disini nunggu tamu kalau ada. Kalau tidak ada cuman nongkrong begini. Saya jualannya di zona 2 di dalam sana. Tapi sementara ini tidak ada, pengunjung aja tidak bisa naik ke Borobudur. 15 hari tidak aktifitas, di rumah tidak ada kerjaan, ada tabungan dikit sekarang tapi sudah habis buat anak sekolah.”

Tanpa kunjungan para wisatawan lokal dan mancanegara yang biasanya ribuan jumlahnya, tidak banyak aktifitas. Dari ratusan kios cinderamata dan makanan, hanya segelintir yang buka. Johan, pedagang cinderamata terpaksa beralih berjualan masker.

”Karena tidak punya ladang dan sawah. Kerja disini untuk menafkahi anak dan istri, setelah Borobudur kehujanan abu, pedagang asongan ada yang dagang masker, kacamata di jalan-jalan sekitar Magelang. Ada setengah bulan tidak boleh berjualan, makanya kita cari omset diluar. 10 ribu – 5 ribu bisa untuk mencukupi di rumah.”

Letusan Merapi yang mengeluarkan material hingga 150 juta meter kubik ini telah melumpuhkan perekonomian tiga ribu lebih pedagang yang menggantungkan hidup dari pariwisata di Borobudur. Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur, Pujo Suwarno, mengatakan bahwa kini wisatawan sudah boleh masuk, tetapi hanya di tamannya. Ia juga menambahkan, penurunan pengunjung akan terasa hingga tahun depan.

“Dengan erupsi merapi kita terkena dampak langsung. Kalau 20 persen wisatawan asing kan sangat terasa sekali bagi kita maupun pelaku usaha di borobudur. Sebelumnya total kunjungan 2,8 juta tapi dengan adanya ini praktis harus kita revisi total termasuk untuk target kunjungan 2011 harus kita revisi .”

Sementara itu, Kepala seksi pelayanan teknis Balai Konservasi candi Borobudur, Iskandar Mulia Siregar mengatakan, penutupan harus dilakukan karena batuan candi, vegetasi dan sarana infrastruktur di candi Borobudur rusak dan tertutup abu vulkanis dengan ketebalan hingga 3 sentimeter. Sehingga tidak memungkinkan untuk dikunjungi.

“Merata di seluruh bagian candi yang horizontal. Lantai, bagian atas, Arupadatu rata diselimuti abu. Dalam jangka waktu menengah dan panjang karena abu itu bersifat asam akan mempercepat pelapukan batu.”

Menurutnya, uji laboratorium menunjukkan pelapukan terjadi karena abu vulkanik Merapi mengandung zat silica dan sulfur yang bersifat korosiff dengan tingkat keasaman hingga 5. Sehingga bebatuan, stupa dan relief candi harus segera dibersihkan untuk mencegah kerusakan.

“Yang kita lakukan terutama membersihkan abu pasir yang menempel diseluruh batu-batu candi dengan teknik khusus. Mengoreknya pelan-pelan. Seperti melakukan penggalian.”

Sedikitnya 60 tenaga Balai Konservasi Candi Borobudur dan tiga ribu lebih relawan dari berbagai elemen dilibatkan untuk proses pembersihan. Salah satunya siswa pertukaran pelajar asal Jerman, Lara sobowsky.

(terjemahan) : ” Ini pertamakali saya ke borobudur. Saya senang dapat kesempatan kesini dan membantu membersihkan borobudur. Ini seperti mimpi masa kecil. Waktu kecil ingin jadi arkeolog. Ini menyenangkan dan saya menikmatnya. Meskipun disini sangat panas dan abunya tidak baik untuk kulit saya. Tapi ini cukup menyenangkan.”

Ini adalah kasus pertama didunia, sehingga proses pembersihan harus dilakukan dengan hati-hati, imbuh Direktur Peninggalan Purbakala Kementrian Budaya dan Pariwisata, Yunus Satrio Atmodjo.

“Untuk Indonesia ini sebuah eksperimen yang luar biasa, karena kita sudah mencari literatur dari mana-mana ternyata tidak ada yang menangani masalah ini. Terkait world heritage standarnya berbeda. Belum pernah world heritage mengalami seperti ini. Makanya kita sedang dicermati orang banyak.“

Sehingga menurutnya, butuh waktu lama hingga sebulan lebih untuk menyelesaikannya. Dan keberhasilannya nanti akan menjadi tolak ukur bagi dunia.

“Kalau kita berhasil maka dunia akan mempunyai sebuah pelajaran baru. Bagaimana mereka harus bereaksi dengan suasana keotik, ketika gunung meletus mengendapkan abu dan itu akan berefek pada world heritage, mereka akan belajar dari Indonesia. Ini adalah salah satu contoh yang akan kita gunakan sebagai standar, dipakai untuk semua jenis tinggalan purbakala.”

Memang butuh waktu untuk memulihkan candi peninggalan raja Samaratungga di abad ke 8 ini hingga nafas kehidupan mulai bisa berdenyut kembali, seperti sebelumnya.

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni, terimakasih telah mendengarkan