Pages

Senin, 08 Maret 2010

Goethe dan Islam

Publish on Radio International Jerman Deutsche Welle

http://www.dw-world.de/dw/article/0,,5311257,00.html
Sosial Budaya | 02.03.2010



Großansicht des Bildes mit der Bildunterschrift:

Malam pembacaan dan diskusi karya-karya pujangga terbesa Jerman, Goethe, di empat kota Jawa Tengah. Siapa nyana, Goethe ternyata sangat dekat dengan Islam: menyebut Muhammad, Allah, dan Quran dalam banyak sajak,

Pekan lalu, karya-karya raksasa sastra dunia dan sastrawan terbesar Jerman Johan Wolfgang von Goethe, berkeliling Jawa Tengah. Yang membawanya adalah ahli sastra Indonesia Universitas Bonn yang juga penerjemah seri sastra Jerman, Berthold Damshäuser, didampingi sastrawan perempuan yang baru kembali dari Jerman, Dorothe Rosa Herliany, dan penyair Susiawan Leak.

Rangkaian pembacaan dan diskusi sajak-sajak karya Goethe ini dilangsungkan di Universitas Sunan Muria Kudus, Universitas Diponegoro Semarang, Taman Budaya Surakarta Solo dan Pondok Pesantren Tegolrejo. Acara berlangsung sekitar hari Maulud Nabi tempo hari.

Apa hubungannya peringatan Maulud Nabi, pesantren dan penyair Jeman? Simaklah sajak ini:
"Jika ada yang murka karena Tuhan berkenan. Berkati Muhammad kebahagiaan dan lindungan, Sebaiknya dia pasang tambang kasar. Pada tiang rumahnya yang terbesar. Biar ikatkan diri di sana! Tali itu cukup kukuh. Akan ia rasakan murkanya meluruh."

Anda tidak salah. Ini adalah karya penyair Romantik Jerman Johan Wolgang von Goethe, yang lahir tahun 1749, dan meninggal tahun 1832. Judulnya, Sabda Sang Nabi atau Der Prophet Spricht. Dan yang disebut-sebut memang benar adalah Muhammad SAW, nabi umat Islam.

Tanpa banyak kita tahu, Goethe, sastrawan terbesar Jerman adalah manusia yang sangat dekat dengan Islam. Bahkan ia tak menolak ketika orang mengganggapnya sebagai seorang Muslim. Seperti dikatakan penerjemah karya-karyanya, Berthold Damshäuser. Damshäuser menyebut, Goethe pernah mengaku bahwa ia merasa lebih dekat dengan agama Islam daripada agama Kristen.

Damshäuser mengaku bangga bahwa tokoh budaya Jerman adalah seorang seperti Goethe, tapi lebih bangga lagi bahwa bangsa Jerman tidak pernah ada masalah karena Goethe mengaku jauh dari agama Kristen yang dianut sebagian besar rakyat Jerman, dan justru lebih dekat dengan agama "asing". Ini sebuah pertanda baik bagi bangsa Jerman.

Tak sedikit yang menganggap Goethe memang memeluk Islam. Selain dipandang sebagai salah satu perintis utama dialog Islam dan Barat. Tentu bukan oleh satu puisinya Sabda Sang Nabi tadi, melainkan oleh banyak sekali karya, seperti sajak Kitab Kedai Minuman atau Das Schenkenbuch:

"Apakah Al Quran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Al Quran ciptaan? Itu tak kutahu!. Bahwa ia kitab segala kitab, sebagai muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, Memandang wajahNya lebih segar belia."

Di sajak ini kita menyimak ungkapan penyerahan diri kepada Al Quran sebagai kitab suci umat Islam, sekaligus juga pemujaannya terhadap anggur. Bahkan menyiratkan bahwa penikmatan sejati terhadap anggur, justru mampu membawa pada religiusitas sejati pula. Suatu sikap yang banyak ditemukan dalam sufisme Islam.

Damshäuser juga menegaskan bahwa Islam yang dikenal, didalami dan dikagumi Goethe memang Islam yang damai, sejuk, jernih, terbuka. Bukan jenis yang diperlihatkan oleh kaum yang kaku, radikal, penuh penghakiman dan pemarah sebagaimana banyak muncul beberapa belas tahun belakangan ini.

Islam yang indah, sikap keagamaan yang indah pula. Itulah yang tampak pada Islam dalam sajak-sajak Goethe. Misalnya lagi, sajak Wasiat:

"Tiada makhluk runtuh jadi tiada! Sang abadi tak henti berkarya dalam segala, Pada sang Ada lestarikan diri tetap bahagia! Abadilah ia: karena hukum-hukum suci. Melindungi khasanah-khasanah hayati, Dengan semesta menghias diri. Kebenaran sejak lama silam ditemukan, Telah pula mempertemukan ruh-ruh mulia. Kebenaran azali itu, peganglah dalam genggaman! Kau, putra bumi, bersyukurlah pada sang Bijaksana. Yang tunjukkan jalan bagi bumi tuk kita mentari"

Menurut Damshäuser, Wasiat merupakan salah satu puisi yang cukup sulit dipahami, namun dianggap penting dan mewakili kepemimpinan Goethe. Ditulis ketika di Eropa muncul pemikiran skeptis. Puisi yang mengajak pembaca memasuki segi-segi keimanan dalam diri masing-masing.

Tetapi bisa jadi sebagian besar karya Goethe memang tergolong sulit, jika bicara tentang upaya alih bahasanya. Terlebih penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, yang berbeda sama sekali akarnya dengan Bahasa Jerman.

"Karya-karya Goethe cukup sulit karena puisinya punya ciri khas metrum jadi irama tertentu dan rima akhir agak sulit. Dan kadang-kadang tidak berhasil untuk mentransfer rama khas itu dengan rima akhir yang sama ke dalam Bahasa Indonesia. Itu pekerjaan yang rumit. Proses yang cukup pelik dan panjang," dikatakan Berthold Damshäuser, mengisahkan perjuangannya mengalihbahasakan karya-karya Goethe ini.

Karya-karya Goethe ini sebetulnya tahun 2009 lalu pernah pula dikelilingkan di beberapa kota lain di Indonesia. Namun kembali ditampilkan, kali ini di Jawa Tengah, karena karya-karya unik Goethe terkait Islam, dan sebagai salah satu perintis dialog Timur Barat, membuatnya selalu perlu untuk terus diperkenalkan ke kalangan lebih luas. Dikatakan Berthold Damshäuser.

Johan Wolfgang von Goethe adalah seorang penyair, penulis prosa, dramawan, bahkan pelukis dan penemu. Dianggap sebagai sastrawan terbesar Jerman, sehingga namanya diabadikan sebagai pusat kebudayaan Jerman di seluruh dunia. Ia juga dianggap salah satu sastrawan periode Romantis zang paling berpengaruh di seluruh dunia.

Perjalanan Goethe melintasi tanah Arab dan Persia membuatnya terpukau pada kebudayaan Timur, dan membawa Goethe pada ketertarikan kuat untuk mempelajari Islam. Hingga di tahun 1815 tercipta kumpulan puisi Diwan Barat Timur. Salah satu karya penting dari sastrawan penting dunia yang mempertemukan Timur dan Barat dalam suatu dialog. Sebagaimana muncul dalam sajak Mukadimah Diwan.

"Yang kenal diri juga sang lain. Di sini pun kan menyadari:Timur dan Barat berpilin. Tak terceraikan lagi. Arif berayun penuh manfaat. Di antara dua dunia; Melanglang timur dan barat. Mencapai hikmah mulia."

"Andai sang mata tiada bersifat mentari, mentari tak sanggup dilihat olehnya; Andai dalam diri tiada daya Ilahi, Bagaimana keilahian sanggup birahikan kita?"

Karya-karya yang dibacakan dan didiskusikan di Jawa Tengah itu dipetik dari terjemahan sajak-sajak pilihan Goethe dengan judul Diwan Barat-Timur. Ini merupakan seri puisi Jerman ke 4 dalam versi Bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit kumpulan pilihan karya Paul Celas, Rainer Maria Rilke dan Berthold Brecht. Terakhir telah terbit pula kumpulan pilihan karya Hans Magnus Enzensberger, dan sebentar lagi akan terbit kumpulan pilihan karya Nietszche.

Noni Arni
Editor: Ging Ginanjar

Pasar Imlek Semawis

KBR68H

Pasar Imlek Semawis adalah pasar rakyat menyambut tahun baru Cina yang hanya ditemukan di kota lumpia. Di sini tidak hanya perayaan religi tapi juga budaya
Kontibutor KBR68H Noni Arni, mengajak Anda menyaksikan bagaimana kemeriahan pasar tiban ini.

Atraksi barongsai dan liong samsi terdengar di antara kerumunan di kawasan pecinan Semarang. Pernak pernik imlek dan lampion menghiasi tiap jalan, rumah dan klenteng. Suasana malam di pecinan sejak 5 hari menjelang Sin Cia nampak meriah.

Dan orang-orang pun terus berdatangan . Ada yang berbelanja, makan, cuci mata, atau hanya bersendau gurau. Stan aneka makanan khas semarangan, pernak pernik imlek, kerajinan tangan, pakaian hingga promosi berbagai macam produk modern, berjejer disepanjang jalan-jalan sempit yang penuh sesak.

Semua membaur menjadi satu. Beginilah suasana pasar imlek semawis. Pasar tiban khas pecinan Semarang yang hanya bisa ditemui setahun sekali menjelang tahun baru Cina.
Dalam bahasa jawa, semawis berarti Semarang. Artinya pasar ini hanya ada ada di Semarang. Kemeriahan pasar tradisional ini muncul 7 tahun terakhir, seiring dengan lenyapnya diskriminasi terhadap warga keturunan Cina.

Ditempat ini warga Tionghoa di pecinan biasa berbelanja kebutuhan imlek, seperti makanan, buah-buahan, hiasan rumah dan pakaian. Benita Ariani mencari makanan untuk persiapan makan malam.

”Tujuan utamanya untuk berbelanja barang-barang kebutuhan imlek. Katakan biasa makanan itu masing-masing keluarga sendiri-sendiri, tapi kalau di keluarga saya itu menu wajib itu rebung dimasak sampai lunak. Itu merupakan salah satu menu yang dinikmati pada waktu malam tahun baru imlek.”

Warga semarang umumnya pun datang menyaksikan dan menikmati kemeriahan ini. Seperti Entik

”Tiap tahun kesini lihat-lihat pasar semawis, soalnya kan adanya satu tahun sekali ya. Nyari-nyari pernak pernik berbau cina kan lucu-lucu. Selain itu aku juga wisata kuliner, jarang-jarang ada makanan khas gitu yang bikinan asli orang cina juga, kayak wedang tahu, lumpia. Macem-macem lah wisata kuliner gitu sekalian jalan-jalan.”

Pasar imlek semawis bermula dari tradisi lama pasar senggol Gang Baru yang hidup sejak ratusan tahun. Kala itu, pasar dijadikan tempat berkumpul dan berinteraksi warga Tionghoa dan pribumi.
Nafas Tradisi pasar tiban ini kembali dihidupkan melalui pasar imlek semawis,

”Asal mulanya adalah dari tradisi pasar malam Ji Kau Meh di pasar Gang Baru. Jadi masyarakat Tiong hoa di Semarang setiap tanggal 29 bulan 12 imlek itu ngumpul di pasar gang baru malam hari untuk berbelanja barang-barang keperluan untuk sembahyang imlek tanggal 30 nya. Yang kita sebut dengan pasar malam Ji Kau Meh. Itu yang kemudian kita kembangkan sekarang menjadi pasar imlek semawis.”jelas ketua panitia pasar imlek semawis Dharmadi.

Pasar ini dulunya juga dimanfaatkan muda mudi setempat untuk saling melirik dan mencari jodoh.

”Ada suatu tradisi dari masyarakat Tiong hoa, bahwa pada saat malem Ji Kau Meh itu biasanya pada jaman dulu dipake buat cari jodoh. Bagi yang masih jomlo biasanya datang di pasar gang baru untuk berkenalan, untuk cari jodoh disana. Tradisi masa lalu yang bisa kita jaga , bisa kita lestarikan.”

Pada perkembangannya, pasar imlek semawis tampil lebih modern. Tidak hanya kuliner khas, kerajinan, dan aksesoris khas negeri tirai bambu. Pasar Imlek Semawis juga menyajikan berbagai atraksi budaya seperti tarian gambang Semarang dan Barongsai

Atau wayang mandarin dan wayang potehi, seni pertunjukan yang merupakan akulturasi budaya China dengan budaya lokal.

Perpaduan budaya tak lepas dari sejarah pecinan Semarang. Kawasan yang diapit wilayah Kauman dengan budaya Timur tengah, Kota Lama Belanda dan kawasan Jurnatan dengan mayoritas pribumi. Keunikan Ini tidak ditemui di pecinan lain,

”Ji kao meh khas semarang, karena ditempat lain biasanya di tempat lain perayaan imlek cenderung berbeda. semarang ada kekhasan, meskipun kita mengatakan budaya tradisi seni masyarakat sudah membaur dengan budaya setempat dengan budaya jawa, budaya timur tengah kemudian juga budaya barat. Ada perpaduan budaya yang cukup unik. Di kawasan ini ada 9 klenteng yang umurnya ratusan tahun, Ada gereja, ada masjid yang letaknya berdampingan satu sama lain. Kaeneka ragaman itu ada.” kata Dharmadi.

Budaya lokal dan pendatang inilah yang mempengaruhi tolerasi di komunitas pecinan Semarang. Mereka lebih terbuka enerima perbedaan.

Kini, pasar imlek semawis menjadi kegiatan yang ditungggu menjelang tahun baru cina. Ketua Kopi Semawis, komunitas pecinan semarang untuk pariwisata, haryanto halim mengatakan,

”Yang menarik bahwa sekarang dengan adanya pasar imlek semawis ini, yang dulunya tidak pernah ke pecinan sekarang jadi pengen lihat pecinan. Bukan hanya kalangan non Tiong hoa yang pengen, yang Tiong hoa yang ga pernah ke pecinan jadi pengen ke pecinan. Tionghoa tidak semua ke pecinan. Karena buat mereka itu entitas yang tidak mereka kenal. Karena Tiong hoa itu juga beragam. Dengan diangkatnya pasar imlek semawis ini menjadi sesuatu yang menarik. Dan menarik lagi bahwa orang-orang Semarang yang sudah bermigrasi keluar kota yang dulunya ga pernah pulang sekarang saat imlekpun sekarang juga pengen pulang.”

Multi etnis berbaur dipasar itu. Pasar Imlek Semawis pun menjadi peristiwa budaya dan simbol kerukunan umat beragama.

-Non-

Menghilangnya Kesenian Kentrung

Publish on SAGA KBR68H Jakarta
23 Feb'10

Kentrung adalah seni bertutur khas wilayah Pantura Timur Jawa. Mulai dikenal sejak 1900-an, kentrung dimainkan oleh seorang dalang, diiringi tetabuhan rebana. Bercerita tentang kebajikan, yang dijadikan suri tauladan masyarakat. Namun kini kentrung menghadapi senjakala; kehilangan generasi penerus dan peminat. Kontributor KBR68H Noni Arni menelusuri jejak kentrung yang tersisa...

Setelah mengencangkan kulit dua rebananya, Parno Kodri meletakkan satu rebana di pangkuan. Satunya direbahkan di lantai. Lantas ia mulai menabuh, dengan jari dan tangan. Alunan suara rebana mengiringi cerita yang dituturkannya.

”Bunyi trung..tung..tung..tung dari alat musik rebana ini menjadi ciri khas kesenian kentrung. Bunyi in i sangat dominan sejak awal hingga akhir pertunjukan.”

Laki-laki usia 60 tahun ini duduk beralaskan karpet, di teras sebuah rumah. Penampilannya sederhana; kemeja lengan panjang dan sarung lusuh. Ia diundang sebagai dalang kentrung oleh empunya rumah yang sedang ada hajatan.

Malam itu Parno Kodri menyajikan cerita Aji Saka. Cerita soal kepahlawanan seorang ksatria yang jadi raja pertama di tanah Jawa.

Tak mudah menemukan pergelaran kentrung, meski dulu sangat populer di kalangan masyarakat. Ini kali kedua, sang empunya rumah, Ahyar Permana, menggelar pertunjukan kentrung.

"Saya pernah melihat kentrung ketika saya masih usia sekolah dasar. Di kampung saya di Pati itu beberapa orang suka kentrung. Ketika sekarang ini kentrung sudah tidak ada, saya merindukan kesenian kentrung. Karena kebetulan saya punya hajat, maka saya mengundang dalang kentrung yang masih tersisa, Generasi terakhir karena sesudah itu tidak ada lagi."

Kentrung adalah seni bertutur tradisional, perpaduan antara budaya Timur Tengah dan Jawa. Biasanya kentrung dihelat dalam acara pernikahan, syukuran atau sunatan.

Alat musik yang digunakan adalah rebana, sementara ceritanya berasal dari banyak sumber. Selain lakon babad tanah Jawa, bisa juga menggunakan cerita rakyat, hikayat nabi, cerita Wali Songo sampai kisah 1001 malam. Ada nilai-nilai kebaikan yang disampaikan lewat setiap cerita.

”Melihat esensinya sangat berkaitan dengan budaya Islam, ekspresinya yang pakai trebang. Cerita-cerita islam. Cara mendongeng itu, cara yang efektif mentransformasikan nilai, mentransmisikan nilai dari satu generasi ke generasi. Mereka adalah pentransmisi nilai di masyarakat itu. Di waktu itu fungsinya. Kentrung menjadi salah satu ikon yang dibutuhkan di masyarakat waktu itu." jelas Pemerhati seni kentrung Anis Sholeh Ba’asyin.

Kentrung dimainkan oleh seorang dalang. Pertunjukan berlangsung semalam suntuk.

Penonton kentrung dari dalang Parno Kodri itu malam hanya puluhan. Rata-rata usianya 40 tahun. Ada Ahmad, tetangga Ahyar di sana.

”Kalau nonton sudah pernah baru satu kali saja. Di desa saya di Gulungan kurang lebih sudah 10 tahun yang lalu. Hampir semalam. Jadi ceritanya satu cerita nanti selesai cerita yang lain. Bersambung-sambung. Istiahat nanti main lagi."

Sementara Sulihat, meski sudah berusia lebih separuh abad, baru sekali ini menonton kentrung.

”Katanya tradisional di daerah saya Pati, tapi belum pernah. Saya sendiri kurang paham, dulu di belakang rumah itu dulu pernah ”nanggap” itu istilahnya. Belum pernah nonton? Iya, Saya belum pernah ”blas”(belum pernah sama sekali). Dulu orang-orang tua saja yang bilang itu.”

Kalau yang tua saja baru sekali ini nonton kentrung, tak bisa banyak berharap seni bertutur tradisional ini populer di kalangan anak muda.

Parno Kodri, sang dalang kentrung, mengaku makin kekurangan order.
"Sekarang jarang diundang untuk mendalang kentrung. Hanya sesekali saja kalau kebetulan ada orang yang mempunyai hajat tertentu. Hanya kadangkala. Biasanya saya mendalang sampai Margojero, Bakaran, Bajo, Sluke, kemana-mana tapi masih di sekitar Pati saja. Jarang di tanggap, tidak seperti dulu lagi."

Gilasan roda jaman membuat kentrung terpinggirkan. Kalau tak segera diselamatkan, kesenian ini betul-betul bakal musnah.

Kontributor KBR68H Noni Arni menuju Desa Sadang, di Kudus, Jawa Tengah. Mencari Wiryo Sidi, satu dari dua dalang kentrung senior yang tersisa.

Terlambat. Wiryo meninggal sebulan lalu, di usia 102 tahun.

Perjalanan diteruskan ke rumah Kasriyono. Dalang kentrung berusia 86 tahun ini tengah bersantai di teras rumah sambil menghisap rokok kretek. Penampilannya masih bugar. Badannya masih tegap, raut mukanya cerah dan deretan gigi yang masih utuh.

Kematian Wiryo Sidi menjadi awal perbincangan kami.
"Lha itu habis pinjem golek saya karena dia ndak punya golek. Mau ada yang nanggap dia, terpaksa dia pinjem saya. Habis main 3 hari kemudian meninggal. Dia dulu punya golek katanya dijual. (Untuk apa mbah golek kok dijual?)..Saya sakit, golek saya jual untuk berobat... dah pinjem boleh..pinjem golek saya cuma pinjem 10 biji saja..Ya boleh berapa..ya sudah kuate mbah wiryo berapa..50 ribu ya..ya sudah bawa. Ya tinggal saya sendiri, di Kudus enggak ada lagi.”

Kasriyono awalnya adalah dalang wayang golek. Lantaran sepi order, ia menuruti nasihat Mbah Wawing, dalang kentrung yang populer di tahun 1940-an, untuk menjadi dalang kentrung. Ia lantas memadukan bunyi tetabuhan rebana dan aluanan lagu jawa dari kentrung dengan wayang golek yang terbuat dari kayu.

Kalau di Pati tinggal Kasriyono satu-satunya dalang kentrung yang tersisa, maka di Pati, Parno Kodri adalah dalang pamungkas.

”Dalang kentung sudah banyak yang meninggal, di sekitar wilayah Pati sekarang hanya saya.”

Parno sudah 30 tahun lebih merintis kehidupan sebagai dalang kentrung.
“Sudah lama sekali, keturunan dari bapak saya. Dulu sekitar tahun ’55 mulai menemani bapak saya mendalang sampai kemana-mana dan itu akhirnya menurun pada saya sampai sekarang. Saya tidak pernah latihan tapi langsung bisa karena dulu sering mengikuti bapak saya mendalang, lama-lama bisa sendiri. Saya kentrung keturunan.”

Yang tak menurun adalah rejeki jadi dalang kentrung.
”Sebulan bisa lima hingga enam kali jaman bapak saya, sekarang jarang karena banyak kesenian di TV, kaset-kaset tayub. Orang-orang lebih suka lihat itu. Sekarang jarang mendalang karena kalah dengan kesenian sekarang. Jaman dulu laris.”

Tak heran, Kasriyono lantas disibukkan dengan usaha tempat penitipan sepeda, ketimbang melakoni seni bertutur khas Pantura ini.

“Masih kalau ada yang nanggap. Setahun itu paling-paling ya 10 kali itu dah bagus. Sekarang ini sudah setengah tahun tidak ada yang ‘nanggap’. Kalau tahun 80-an itu 150 ribu, kemarin ini yang terakhir sejuta. Itu kan ga bisa untuk makan untuk nyandang. Ini penitipan sepeda untuk karyawan pabrik rokok, pemasukan hampir sama misalnya 60 ribu”

Pengamat kesenian kentrung Anis Sholeh Ba’asyin seolah memprediksi, kematian kentrung tinggal menunggu waktu.

”Lima jari saya ga habis apalagi yang maesto ga ada. Generasi terakhir yang menguasai betul yang ahli sudah habis, bahkan kalau Anda mendengarkan musiknya tanya yang pernah mendengarkan. Beda cara bermain musik mereka, cara mengekspresikan mereka beda sekarang, tampak sekali bahwa bukan tangan pertama, bukan ahlinya.”

Di Kudus, dalang kentrung tinggal Kasriyono. Di Pati tinggal Parno Kodri. Dan keduanya sudah tua.

Tak banyak pula anak muda yang tahu apa itu kentrung.

“Dulu di kampung sering kali orang menanggap dalang kentrung itu sering sekali. Sekarang hampir tidak ada. Bahkan sekarang kalau kita tanya usia di bawah saya sedikit, tanya kentrung itu apa ga tahu. Mereka ga punya referensi untuk itu bahkan banyak orang-orang di desa-desa ga tahu kentrung itu apa.”ungkap Anis Sholeh Ba'asyin.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kudus mengaku sudah mengupayakan pelestarian kentrung.
Menggelar Pertunjukan kentrung 2 bulan sekali di Taman Budaya Kudus, menyertakan dalam agenda budaya hingga menggelar pertunjukan kentrung di desa-desa. Tapi hasilnya nol, kata Kepala Seksi Seni Budaya dan Tradisi, dan Bahasa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Giyono. Sepi dengan penonton.

“Perkembangannya mengalami kesulitan karena kami mencoba untuk mensosialisasikan. Seni kentrung itu kita pentaskan. Namun kenyataannya, masyarakat belum bisa menerima sehingga pelestariannya atau pewarisannya kepada generasi muda sampai saat ini belum bisa berjalan. Minat dari generasi muda untuk menggeluti seni kentrung ini masih sangat kurang bahkan malah tidak ada.”

Parno Kodri tak bisa mengharapkan keluarganya jadi penerus dalang kentrung di Pati.

”Kalau ada bisa turun temurun. Tapi anak saya perempuan dan kerja di Malaysia. Satunya lagi kerja di Juwana jadi tukang las di perusahaan. (Tidak ada yang ingin jadi dalang?) Tidak ada yang mau mengikuti jejak saya. Habis, sudah tidak ada lagi. (Di daerah bapak ada yang tertarik jadi dalang?)..Tidak ada.”

Mungkin kentrung tengah berhitung mundur. Sebelum benar-bentar punah karena tak ada yang melestarikannya.

”Tidak ada yang nerusin terus gimana? Ya mau gimana lagi, biarin saja. Kalau ada penggantinya bagus, tapi kalau ga ada ya mau gimana lagi. Ya..Nanti di lain desa pasti ada, di desa-desa lain pasti ada...” kata Parno Kodri pasrah.

-non-