Pages

Rabu, 16 Maret 2011

Syahwat Keabadian...

Budaya dan gaya
Radio Deutsche Welle Jerman
15.03.11



Syahwat Keabadian Friedrich Nietzsche :

Lewat karya fenomenalnya Sabda Zarathustra, Friedrich Wilhelm Nietzsche begitu populer sebagai filsuf Jerman yang sangat berpengaruh dan berdampak besar pada jagat filsafat dan perkembangan pemikiran di dunia.

Namun, belum lama ini, melalui tur di beberapa kota di Jawa Tengah, Berthold Damnhauser, ahli sastra dari Universitas Bonn bersama penyair Sosiawan Leak dan Dorothea Rosa Herliany, justru memperkenalkan sosok Nietzsche yang berbeda, yakni sebagai salah satu penyair besar pada zamannya. Dalam rubrik budaya kali ini, Saya, Noni Arni mengikuti tur Syahwat Keabadian di 3 kota di Jawatengah.

”Oh, bagaimana aku tak syahwatkan keabadian, dan cincin kawin segala cincin, cincin Sang Keberulangan! Tak pernah kutemukan perempuan, yang ingin kujadikan ibu anak-anakku, kecuali perempuan yang kucintai ini: karena kucintai kau, oh Keabadian!.”

Penggalan sajak ”Tujuh Materai” yang dibaca penyair Sosiawan Leak merupakan salah satu sajak dalam kumpulan puisi Syahwat Keabadian yang termaktub dalam buku Nietzsche Also Sprach Zarathustra. Ini buku keenam dari Seri Puisi Jerman yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.

Benarlah, Nietzsche memang lebih dikenal sebagai filsuf bukan penyair. Karena itu, dalam rangkaian pembacaan dan diskusi sajak-sajak karyanya yang dilangsungkan di Universitas Negeri Semarang, Balai Soedjatmoko Solo, dan Rumah Buku Dunia Tera Magelang, Nietzsche diperkenalkan ke kalangan lebih luas. Begitu penjelasan Berthold Dams-hauser.

”Yang kita sebarkan terutama melalui buku puisi tentulah puisi, estetika. Karena itu puisi-puisi besar saya kira itu bisa dirasakan sebagai puisi saja. Itu sebenarnya bukan tujuan menyebarkan pikiran Nietzsche, tapi memperkenalkan puisi indah Nietzsche dalam bahasa Indonesia yang juga indah. Ada pertimbangan estetika sebenarnya.”

Sebagai penyair, Nietzsche bahkan dianggap sebagai salah seorang pembaharu pada sastra Jerman. Sajak-sajaknya menunjukkan kebebasan berbahasa, metafora-metaforanya demikian kaya yang banyak diikuti oleh penyair sesudahnya.

”Penyair seperti Rilke, Trackel, mereka semua membaca Nietzsche. Tidak dibaca pada zamannya. Baru setelah meninggal dia dibaca, ramai dibaca. Di Jerman dipengaruhi baik oleh pemikiran Nietzsche maupun oleh bahasanya. Metafora-metafora itu terlihat muncul pada bentuk yang sedikit diubah pada cukup banyak puisi. Itu penuh patos. Saya kira patos itu juga bisa dirasakan dalam terjemahannya. Jadi semangat yang ada di puisi Nietzsche juga suka ditiru, cara metaforis dan mereka juga angkat ide-ide dari filosofinya. Terutama pada awal abad yang lampau di situ pengaruh bisa dilihat bahkan dalam bentuk puisi. Ketika perang dunia pertama, banyak tentara membawa dua buku. Alkitab dan Zarathustra. Alkitab oke tapi Zarathustra juga dibawa, yang sebenarnya sangat bertentangan.”

Dams-hauser juga mengatakan adanya pengaruh metafora Nietzshe pada sajak-sajak karya para penyair yang hidup di era tahun 1844 hingga tahun 1900 ini.

’’’Palsu dengan diri sendiri’. Bukankah itu luar biasa palsu pada diri sendiri. Gamang. ’Di tengah ratusan kenangan, lelah di tiap luka’, itu sebuah metafora bagamana kita bisa lelah di tiap luka. ’Gigil di tiap kedinginan tercekik pada tali sendiri’.

Itu ide-ide luar biasa. Bayangkan yang terjadi di sini. Menggali-gali diri sendiri. Menggali diri itu sebuah metafora. Hal-hal yang tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. ‘Kau dibungkukkan di antara dua tiada’. Yang satu tiada adalah Tuhan, yang lain adalah setan.”

Namun, menurut Dams-hauser, 60 puisi karya Nietzsche itu memuat pemikirannya. Buku Syahwat keabadian dipilih dan diambil dari sejumlah karya Nietzsche dalam periode yang merepresentasikan gagasan dan kegelisahan jejak pemikiran Nietzsche yang ditulis pada puncak kreativitasnya di usia 45 tahun.

”Latar belakang dari kebanyakan puisi adalah filosofinya. Karena banyak puisi yang kita bacakan diambil dari karya Demikian Sabda Zarahustra. Tapi bisa juga dari puisi Nietzsche lain yang tidak demikian jelas berkaitan dengan filosofinya.”

Salah satu puisi yang cukup dianggap penting dan mewakili pemikiran Nietzsche adalah ”Cuma Pandir! Cuma Penyair.”

’’kerinduan yang berlumur ribuan larva,/bersifat rajawali, bersifat macan kumbang,/kau yang pandir! Kau yang penyair!//Kau yang menemukan manusia/sebagai dewa maupun domba,/mencabik dewa dalam manusia/dan terbahak dalam bahak men-cabik,/Itu, itulah bahagia-mu,/bahagia macan kum-bang dan rajawali,/bahagia penyair dan si pandir!”

Lantas, bagaimana cara penyair Sosiawan Leak Sosiawan membaca Nietzsche yang telah dialih bahasakan?

”Sedahsyat apa pun proses penerjemahan selalu ada jarak. Nggak cukup dari terjemahannya saja. proses terjemahan adalah proses menyaring kembali. Kesulitannya ada tapi tidak begitu masalah. Saya kemudian baca waktu dia nulis ini, kegelisahannya pada wilayah di mana, ideloginya, kegelisahan temanya, pengolahannya, pengembaraan estetikanya. Harus mengungkap lebih banyak tentang itu daripada tentang puisinya. Gaya baru yang style dia. Terjemahan itu selalu lebih sulit daripada karya aslinya.”

Dams-hauser menegaskan, puisi Nietzsche mencerminkan dirinya sebagai seorang nihilistik yang mempertanyakan nilai kebenaran seraya terus mencari kebenaran itu sendiri yang kerap dianggap kontradiksi.

“Tetapi toh cuma ilusi. Ini harus dipahami sebagai puisi, bukan sebagai keterangan logis filosofis. Itu penuh dengan absurditas, dan sebagian dari Itu adalah dialog dalam diri Zarathustra. Asosiasi-asosiasi ini sangat penting untuk memahaminya karena logika kadang putus karena sekian banyak pikiran ada di benak Zarathustra. Ada yang menginterpretasikan puisi itu sebagai skitzophrenia Nietzsche sendiri.”

Dari Syahwat Keabadian yang sarat makna itulah kini publik Indonesia bisa melihat sosok lain Nietzsche. Bahkan, Jonuary Ari, penonton yang menyaksikan pembacaan puisi Nietzsche mengaku terkesan.

”Aku sedikit tergerak oleh pemikiran-pemikiran Nietzsche. Jadi sejauh Zarathustra, aku baca bukunya sama beberapa artikel pelengkap. Suka dengan pemikirannya tentang ‘amor fati’ kita mencintai takdir kita sendiri. Ternyata Nietzsche punya walaupun dibukunya itu cukilan-cukilan dari Zarathustra. Yang aku lihat Nietzsche ”nakal” dalam memilih kata-kata. Menggunakan kata-kata yang lugas tapi mengena. Kalau dari terjemahannya kata-katanya biasa saja tapi langsung menusuk memberikan arti yang dalam.

Yang judulnya ”Cuma Pandir! Cuma penyair!. Itu aku suka banget. Lebih baik jadi orang bodoh tapi sadar daripada orang pintar tapi lupa daratan.”

Seperti sudah disebutkan, kumpulan puisi pilihan Nietzsche dengan judul Syahwat Keabadian ini merupakan Seri Puisi Jerman ke-6 dalam versi bahasa Indonesia. Sebelumnya telah terbit kumpulan pilihan karangan Paul Celan, Rainer Maria Rilke, Berthold Brecht, Johan Wolfgang von Goethe dan Hans Magnus Enzensberger. Yang dialihbahasakan bersama penyair Agus Sarjono sebagai penerjemah pendamping.

Demikian sekilas tentang sajak-sajak Nietzsche...

http://www.dw-world.de/popups/popup_single_mediaplayer/0,,4128430_type_audio_struct_11583_contentId_2934131,00.html