Pages

Kamis, 12 April 2012

Bertemu Kumbo di Schmutzer





” Wah, seperti di film Jurastic Park!” anak laki-laki disebelah saya menyipitkan matanya dari terik matahari sambil tengadah di pintu gerbang berbentuk kubah kuning keemasan yang menjulang tinggi dihadapannya.
Selain wahana dan koleksi primata, pintu gerbang yang mengingatkan pengunjung pada pintu gerbang taman jurastik di film garapan Steven Spielberg ini memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pusat primata terbesar di dunia yang lokasinya menyatu dengan komplek  Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta Selatan. 

Pusat Primata Schmutzer bukanlah kebun binatang biasa, karena di tempat ini pengunjung dipastikan mendapat pengetahuan lengkap tentang primata di dunia termasuk gorila hitam Afrika yang notabenenya bukan primata asli Indonesia, tapi dipercaya pemeliharaannya di tempat ini  untuk ditangkarkan dan diteliti keberadaannya.

Karena itu, saya pun tak sabar memasuki gerbang besar dengan tangga berundak yang kiri kanannya penuh dengan pohon akar menjuntai yang dijaga patung gorila berukuran empat kali tubuh orang dewasa. Patung itu sangat mirip sekali dengan wujud gorila asli yang berada diantara panel-panel berisi informasi lengkap tentang primata dunia.

Tapi, beda ketika memasuki dan menyaksikan aneka satwa di Taman Margasatwa Ragunan alias kebun binatang Ragunan yang bebas membawa bekal makanan. Jangan harap bisa membawa tas ransel penuh makanan karena di sebelah loket pintu masuk ke Pusat Primata Schmutzer, terpampang jelas  tulisan besar berisi larangan membawa makanan, minuman, rokok dan korek api, tas berukuran besar, jaket, senjata api, senjata tajam, bahkan mainan anak sekalipun. Barang bawaan  harus di titipkan di loker yang tersedia dan dapat diambil kembali ketika keluar. Dan jangan pernah coba-coba nekad menyelipkan barang-barang larangan itu karena petugas khusus akan memeriksa satu persatu pengunjung yang masuk. Sebanyak  68 kamera pemantau juga tersebar di setiap sudut untuk melindungi satwa dari tangan jahil para pengunjung. 
Wajar saja, pemberlakukan keamanan yang cukup ketat ini bertujuan untuk menghindari ulah iseng pengunjung yang memberi makan binatang.  Lokasi ini juga sangat dijaga kebersihannya. Bahkan cukup banyak petugas yang bersliweran memperhatikan para pengunjung.

***
Ketika memasuki kubah raksasa itu, tubuh saya sesekali harus menyibak akar-akar yang menjuntai.  Tumbuhan akar yang ada di sekeliling dan tiap sudut bangunan utama seakan membawa saya seperti berada di hutan. Gorilla Walk sudah menanti saya didepan sana. Dinamakan demikian karena begitu memasuki gerbang, pengunjung akan menyusuri jembatan khusus di atas kandang gorila yang biasa disebut enklosur (kandang yang dibuat mirip  habitat asli binatang). Dari jembatan inilah saya  leluasa melihat aktivitas gorila dari ketinggian tanpa harus terbang ke Afrika..hehee

Tepatnya, cukup harus  membayar tiket masuk seharga lima  ribu rupiah untuk dewasa di luar tiket masuk Taman Margasatwa Ragunan seharga Rp 4.500 (plus asuransi). Saya dapat menjelajah tempat seluas 6,2 hektar  yang dibuka setiap hari, pukul 09.00-16.00WIB,

Di sepanjang jembatan ini juga tersedia kursi untuk melihat pemandangan ke bawah, beberapa ubin dari kuningan  berukiran wajah-wajah primata dan panel yang di pajang berderet foto aneka jenis spesies primata disertai keterangan tentang asal,  nama, habitat, makanan hingga status mereka yang sebagian besar terancam punah. Gorila-gorila yang ada di pusat primata ini juga dinamai seperti  Komu dan Kumbo.

Disini juga tertulis kepanjangan dari akronim GORILA, yang berisi trivia tentang Gorila,  yang menjelaskan bahwa gorila di Pusat Primata Schmutzer adalah jenis yang hidup di hutan dataran rendah di Afrika dan  sering disebut King Kong. Cirinya   berambut  keperakan (silver black) di punggungnya. Gorila merupakan salah satu kera terbesar di dunia yang habitatnya terancam hilang karena perburuan ilegal untuk dikonsumsi dagingnya, dan penyakit seperti Ebola.

***
Untuk melihat gorila dari jarak dekat, saya turun dari  Gorilla Walk, dan mendekati enklosur. Di kandang terbuka ini  terdapat empat gorila jantan yang  didatangkan dari Kebun Binatang Howlettes dan Port Lympne, Inggris.

Dan sepeminum teh  saya duduk di kursi taman disekitar enklosur yang sejuk, saya melihat benda hitam bergerak-gerak dan berjalan dengan kedua kaki dan tangannya. Tepat di depan saya Kumbo  berhenti dan duduk seperti sedang memperhatikan sesuatu. Saya sempat terperanggah karena bisa menyaksikan gorila seberat 200 kilogam lebih yang biasa hidup di hutan dataran rendah di Afrika dengan  jarak pandang 10 meter tanpa  harus masuk keluar hutan. Luar biasa..

Puas menyaksikan tingkah laku Kumbo dari enklosur gorila, saya berjalan mengelilingi kawasan ini. Ada beberapa kandang primata lain seperti Ungko, Owa Jawa, Wau-wau, Kera Hitam Sulawesi, Digo, Boti, Kelawat, dan Siamang. Kandang-kandang ini ada yang berupa kerangkeng besi, ada juga yang berupa kerangkeng besi dengan kaca. Enklosur Simpanse, primata tercerdas dikolam dengan ”pulau” ditengahnya. Kemudian terowongan Orangutan yang   mengelilingi enklosur Orangutan yang dapat dilihat dari balik kaca, hingga tembus ke jembatan kanopi dimana kita bisa berjalan di atas jembatan yang dipasang di atas pohon. Di tempat ini juga terdapat fasilitas lainnya seperti  jembatan cantilever dan playground.

Fasilitas untuk satwa di Pusat Primata Schmutzer yang awalnya dikelola The Gibbon Foundation, pimpinan Dr. Willie Smits ini memang dibuat se-alami mungkin seperti habitat aslinya dengan koleksi hewan primata sekitar 25 spesies dari lima famili  ordo primata di dunia yang berasal dari dalam dan luar negeri. Hampir semua primata yang terdapat di lokasi ini merupakan primata yang dilindungi dan  beberapa diantaranya merupakan hasil sitaan atau serahan dari masyarakat.

Saya tak perlu khawatir berada dan mengelilingi kawasan ini karena di banyak sudut di tempat ini tersedia kursi taman untuk istirahat. Suasanapun dijamin teduh dengan 84 jenis pepohonan yang ditanam di kawasan ini. Serasa di hutan tapi tetap nyaman. Jika haus saya cukup minum di pancuran air minum ”niagara” gratis yang tersedia di banyak titik. Tinggal pencet saja air minum seperti air mancur akan keluar otomatis dan saya tinggal menikmati kesegarannya. Namun sayang, ada beberapa fasilitas air minum ini tak bisa digunakan karena rusak.

Pusat primata ini tidak hanya mengoleksi hewan primata, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan konservasi lingkungan hidup. Karena itu belum lengkap rasanya berkeliling jika tidak menyambangi museum dan gedung theater yang memutar film dokumenter tentang kehidupan primata. Lokasinya menyatu di sebelah kiri pintu gerbang kubah. Di sini dipamerkan berbagai miniatur primata lengkap dengan penjelasannya yang bisa menjadi wahana edukasi anak. Juga souvenir khas yang bisa dibeli seperti t-shirt bergambar gorila atau satwa lain dan mug.

Oh ya, seperti halnya manusia gorila disini juga makan sehari tiga kali. Jadi jika berkunjung pada jam memberi makan pada pukul 09.00, 12.00 dan pukul 15.00WIB pengunjung dapat menyaksikan petugas memberi makan primata ini di sekitaran enklosur.

Yang menarik, ditempat ini banyak sekali poster maupun karikatur ajakan dan  cermin besar bertuliskan, “ayo, jadi sahabat primata!”, yang berarti ajakan kepada diri kita ketika berdiri di atas cermin tersebut untuk berpartisipasi melestarikan hewan yang terancam punah ini.

--> Puck, Sang Bunda Primata

Kesederhanaan terpancar dari raut wajah bulat perempuan berambut putih belah tengah itu. Meski kanan kirinya diapit gorila dan orangutan, senyumnya nampak sumringah dengan bayi dalam gendongan. Bahkan dibalik rerimbunan pohon, sesekali ia terlihat  tengah mencium bayi orangutan berbulu coklat itu dengan kasih sayang.

Yang jelas perempuan itu bukan pawang gorila atau induk orangutan yang menjadi tontonan dan bagian dari atraksi, meski  ketika berada di Pusat Primata Schmutzer wajahnya nongol dibeberapa sudut areal Schmutzer dan museum. Perempuan yang tergambar dalam bentuk lukisan dan foto terpampang dalam berbagai ukuran  adalah nyonya Pauline. Siapa dia?

Ya, Pusat Primata Schmutzer ini memang tak bisa lepas dari perempuan bernama Pauline Adeline Antoinette Veersteegh. Ia adalah penggagas dan penyandang dana pembangunan pusat primata terbesar di dunia selain pusat primata yang ada di Leipzig, Jerman. Atas usaha dan tekadnya Pusat Primata Schmutzer berdiri megah di komplek Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan.

Puck Schmutzer , sapaan akrab perempuan kelahiran Wonorejo, Jawatengah ini selain punya jika seni yang tinggi dengan koleksi lukisannya, ia seorang penyayang binatang dan dermawan yang mempunyai kepedulian sangat besar pada kelestarian satwa liar yang hampir punah.

Istri pengusaha  Drs. IAM Ignace Schmutzer sering malah melintang keberbagai belahan dunia untuk misi sosial, pelestarian satwa dan lingkungan. Meski berkewarganegaraan Belanda karena dipersunting Schmutzer, tak menyurutkan keprihatinan dan kepeduliannya pada upaya konservasi terhadap primata yang terancam punah di tempat kelahirannya, Indonesia.

Melalui The Gibbon Foundation, Ia mewariskan seluruh harta warisannya untuk pembangunan dan pengelolaan Pusat Primata Schmutzer  yang diresmikan almarhum Presiden Soeharto tahun 2002 lalu dengan menghabiskan dana hingga Rp 44 miliar. Pengelolaannya kemudian  berpindah tangan ke Pemda DKI Jakarta. Puck kemudian mendapat julukan ibu primata.

Atas kecintaannya pada Indonesia, perempuan yang abu jenazahnya ditabur di atas jejak kaki harimau sumatera di kawasan Taman Nasional Berbak, Jambi ini berharap hibah yang diberikan dapat membantu masyarakat Indonesia untuk lebih menghargai dan peduli pada keindahan satwa liar Indonesia, khususnya satwa yang berada dalam ambang kepunahan seperti primata.

Sebuah gagasan besar dan mulia untuk pengembangan dan pelestarian primata yang berawal dari ingatan Puck akan sebuah petuah sederhana tapi luar biasa dari kedua orangtuanya. Ya, sebuah petuah yang juga diperuntukkan bagi kita untuk selalu menghargai dan mencintai semua ciptaan Tuhan, termasuk manusia dan satwa.
Noni Arnee


Rubrik Jalan-Jalan Harian Suara Merdeka



Ketika Wayang Asia Bertemu



Jendela Budaya 
Radio Deutsche Welle / Indonesian Programme
080411

Wayang bukan cuma tumbuh dan berkembang di pulau Jawa dan Bali. Tetapi juga di berbagai belahan dunia lain. Khususnya di kawasan Asia, yang memang secara kebudayaan cukup dekat satu sama lain, dan selama beratus tahun saling mempengaruhi. Hal ini mengemuka dengan jelas dalam Temu Wayang Asia yang diselenggarakan terpadau dengan festival wayang Indonesia ke-2, di Taman Budaya Yogyakarta. Pesta setiap tiga tahun sekali ini diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia Pepadi bersama Lembaga Sena Wangi.
Saya Nonie Arni, koresponden Anda di Jawa Tengah, berbagi cerita dalam Jendela Budaya kali ini.

Lakon Abimanyu Ranjab atau tewasnya Abimanyu dalam pakeliran padat selama 1 jam yang disajikan dalang muda asal Jawa Timur Ki Cahyo Kuntadi, begitu menghanyutkan penonton. Wajar saja kalau akhirnya Wayang Kulit Jawa Timuran ini memperoleh predikat penyaji  dan garap sabet atau permainan wayang terbaik.

Selain Abimanyu Ranjab dari Ki Cahyo Kuntadi, tampil 17 dalang dari seluruh Indonesia dengan 17 laokon yang berbeda. Juga dengan berbagai gaya, jenis, dan bahkan aliran wayang yang berbeda.
Gaya utama yang kali ini tampil antara lain Wayang Golek Sunda, Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, Wayang Kulit Jawatimuran, Wayang Kulit Gaya Yogyakarta, dan Wayang Banjar.

Ketua panitia festival wayang, Ki Ageng Mas’ud Thoyib mengatakan, festival ini  selain untuk  memberi motivasi baru bagi  seniman pewayangan, juga   diupayakan untuk menumbuhkan apresiasi masyarakat lebih luas, khususnya generasi muda, terhadap seni budaya wayang.
“Setelah diakui dunia, maka pertama langkahnya adalah konsolidasi yang diwujudkan dalam bentuk festival yang disebut festival wayang Indonesia 2008. Tapi festival wayang itu sudah dilaksanakan 3 tahun lalu yang pada saat itu pesertanya 10, padahal PEPADI punya Komda di 24 propinsi. 18 mengirimkan berarti di daerah itu sudah tumbuh wayang-wayang itu sendiri. mewakili tingkat propinsi. Sangat dinamis dan tidak didominasi oleh Jawa. Tujuan akhir dengan adanya festival pasti akan lahir dalang baru. Ke depan akan sangat baik sekali potensinya”


Upaya Festival Wayang untuk menjangkau penonton lebih luas tampak dari pertunjukan-pertunjukan yang tidak dilangsungkan semalaman sebagaimana pertunjukan tradisional. Melainkan dengan pertunjukan padat yang berlangsung sekitar 1 jam. Setiap gharinya dalam festival ini ditampilkan lima pakeliran padat oleh lima peserta.

Wayang Indonesia saat ini mencapai lebih dari 50 jenis dan gaya,  yang terbedakan dalam hal bentuk, gaya dan teknik pertunjukan. Bentuk yang nyata terlihat bedanya, misalnya antara wayang kulit, wayang golek, wayang beber, wayang klitik,  bahkan juga wayang orang. Sebagian sudah tak lagi hidup dengan wajar, karena sudah tidak lagi disangga masyarakat pendukungnya. Seperti wayang beber atau wayang klitik.

Yang paling dominan adalah wayang kulit purwa, khususnya gaya Yogyakarta dan Surakarta. Dalam Festival Wayang, pakeliran gagrak wayang purwa begitu mendominasi. wayang gaya Surakarta lebih banyak dipilih peserta dari luar Jawa. Ada juga pakeliran wayang banjar khas Kalimantan Selatan yang disajikan Ki Syaputra.

Namun kata pemerhati wayang asal Yogyakarta, Sumari, festival akan lebih menarik jika jenis dan gaya wayang yang dipertontonkan lebih variatif. “Bagaimana festival ini mencakup berbagai jenis dan gaya  wayang di Indonesia. Tidak hanya wayang kulit gaya surakarta, yogyakarta, tapi mungkin gaya-gaya yang lain seperti wayang Palembang, gaya Banyumasan, gaya Betawi. Itu semua bisa pentas alangkah lebih bagus lagi”

Terlepas dari itu, Festival Wayang selalui dijubeli pengunjung. Dalam setiap pertunjukan, kursi di gedung pertunjukan berkapasitas seribu orang selalu dipadati penonton, siang dan malam. Mungkin kkarena pertunjukan juga digratiskan.

Di antara ribuan penonton terdapat Sartono warga Yogyakarta yang sore itu datang bersama istri dan Bagus anaknya yang berusia lima  tahun.“Pada dasarnya saya sebagai orang tua ingin megenalkan kebudayaan lokal kepada anak, tapi anehnya kejadian kemarin itu justru anak saya yang memberitahukan bahwa disini ada wayang, jadi hari ini saya menyempatkan melihat karena diajak anak saya. Anak saya bilang wah.. kasian ya bapak ga bisa lihat wayang padahal bapak suka wayang. Kemudian anak saya mengajak untuk menonton wayang.”


Festival Dalang disleenggarakan sesudah terhentinya Pesta Wayang yang biasanya diselengagrakan oleh pemerintah. Berbeda denan Pesta Wayang yang biasanya berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Festival Wayang diselenggarakan secara berpindah-pindah. Upaya ini mendapat dukungan kuat dari para dalang dan seniman seni pewayangan. Seperti dikatakan Ki Cahyo Kuntadi dalang asal Jawa Timur. “Sangat luar biasa, saya sangat mendukung dan menorong adanya festival wayang tingkat nasional seperti ini, karena untuk memacu generasi-generasi penerus untuk mengiprahkan keahlian dan kemampuan dalam berkesenian terutama di wayang. Dengan cara begini temen-temen bisa berpikir oh.. kalau dengan festival seperti ini dengan kriteria seperti ini, nilainya gimana, bobotnya gimana.. lha ini tantangan, itu sangat positif.”


Yang menarik dari ajang ini juga adalah tampilnya peserta dari Papua. Tentu saja bukan wayang Purwa Papua. Melainkan wayang kulit purwa Jawa yang didhidupkan oleh pendatang Jawa di pulau paling timur itu. Ki Toto Handoko, dalang peserta dari Papua, menggambarkan:
“Untuk mengenalkan wayang disana biasanya kita pakai pegelaran padat juga tapi dialognya pakai bahasa Indonesia. Di sana kita mengenalkan anak-anak kadang kita memancing pagelaran pakai doorprize tiap triwulan. kalau frontal langsung susah. Biasanya ada hari-hari penting seperti 17an, satu syuro, tahun baru. Saya pribadi Ingin menciptakan wayang papua mengangkat cerita asli daerah sana tapi ya tetep pakai bahasa Indonesia karena sekitar 300 lebih bahasa disana dan sulit untuk mempelajari.”


Di Papua Ki Toto Handoko berusaha memperkenalkan wayang Jawa. Kendati dengan bahasa Indonesia. Namun di pulau Jawa sendiri, wayang tidak lagi berada di masa kejayaannya. Jumlah dalang jauh berkurang, seiring menurunnya jumlah penonton dan undangan manggung. Pertunjukan wayang kini lebih terbatas kesempatannya. Dan banyak yang harus menyertakan bumbu kesenian populer seperti dangdut, agar bisa tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat. Sementara wayang yang murni sebagaimana pakemnya, lebih banyak ditampiulkan dalam acara kebudayaan yang khusus. Pengamat pewayangan Sumari menjelaskan,
“Satu sisi kita prihatin generasi muda kita khususnya diperkotaan itu semakin jauh dari wayang, itu kita akui.  Tapi kalau kita petakan di pedesaaan daerah-daerah tertentu seperti Jawa timur khususnya itu masih tinggi sekali. Ya ini tantangan bagi semua yang ngurusi wayang ini. Kendalanya banyak anak muda kita jauh dari wayang itu karena dari sisi bahasa mereka kurang paham. Kedua memang munculnya pesaing media lain seperti media elektronik.“


Kondisi yang sama dialami wayang lain di berbagai negara Asia. Sebagaimana terungkap dalam Temu Wayang Asia zang diikuti 13 negara.
.Kali ini sebagian peserta berasal dari Asia Tenggara. Namun wayang atau teater boneka dalam berbagai bentuknya, juga tersebar di hampir semua wilayah Asia
Sekretaris Jendral Asosiasi Wayang ASEAN, Tupuk Sutrisno mengatakan, dalam temu Wayang Asia itu para delegasi menyepakati beberapa hal.
“Melestarikan dan mengembangan wayang diseluruh sub region, itu antara lain tukar 
 menukar pagelaran, tukar menukar ahli untuk saling membantu agar wayang ini tumbuh. Ke dua adalah membuat dimasing-masing Negara itu sanggar wayang tradisional dan tidak membutuhkan banyak biaya. Disanggar itu akan dipelajari filosofi dari masing-masing wayang. Wayang Indonesia, Thailand, Myanmar dan sebagainya. Nantinya akan tumbuh kualitas dalang dan SDM  lainnya secara lebih meningkat kualitas nya.”

Dalam pertemuan tersebut juga digagas pembuatan buku Wayang ASEAN sebagai  referensi Wayang  di negara-negara ASEAN.

Terdesaknya seni tradional wayang oleh berbagai tradisi kesenian dan kebudayaan baru, juga diderita negara-negara Asia lain.  Di Thailand misalnya.  Ketua delegasi Thailand, Siriporn Theopipithporn menjelaskan, untuk bisa bertahan, seni wayang Thailand yang disebut ‘hun’, bahkan dikemas dalam bentuk mini konser yang lebih modern.

“Teater boneka tradisional Joe Louise, misalnya,  sangat terkenal nasional dan internasional. Bahkan mendapatkan  2 penghargaan best performance dalam festival teater boneka internasional di Praha pada tahun 2006 dan tahun ini. Tahun depan berencana ikut festival di Prancis. Pada dasarnya teater boneka tradisional di dunia punya masalah yang sama dalam hal penyajian dan bagaimana mempertahankan.”


Teater boneka tradisional Thailand dari kelompok Joe Louise bisa terus bertahan, karena mereka berkompromi dengan kebudayaan dan kenyataan baru dan modern. Kini mereka berencana membuat sekolah khusus mengenai teater boneka ini. Di Indonesia pun banyak kelompok dan dalang yang bertahan dan memperoleh tempat khusus justru karena mereka berkompromi dengan selera baru masyarakat. Seperti tampak dari wayang golek Asep Sunarya, dalang Ki Narto Sabdo, dalang wayang Kulit Tegal  Enthus Sismono, dan lain-lain.
Sementara wayang dalam bentuk aslinya hanya bisa hidup jika disangga dengan peristiwa dan dana kebudayaan yang besar. Masalahnya, kesenian bukan merupakan prioritas dalam anggaran pemerintah Indonesia. Kendati justru kesenian merupakan salah satu unggulan dan kebanggaan Indonesia di dunia internasional.

Pendengar demikian jendela budaya kali ini. Saya Noni Arni.