Pages

Minggu, 23 Juni 2013

Bingkai Sejarah dalam Film Jerman



German Cinema Film Festival :

Foot..ball?”
Pertanyaan singkat itu datang dari seorang muridnya saat Konrad Koch menunjukkan benda berbentuk bundar di tangannya. Sekembalinya dari Inggris pada 1874, sebagai guru utama, Konrad seharusnya mengajar bahasa Inggris.

Tapi apa yang dia lakukan? Di tengah rutinitas mengajar bahasa Inggris, Konrad menyebar menyebarkan “virus” sepak bola kepada siswa-siswanya yang selama ini terbelenggu “kepatutan dan keteraturan” dan menyulap dengan semangat tim dan sportivitas di lapangan hijau.

Pihak sekolah dan para orangtua meradang atas kelakuan sang guru muda yang dianggap melanggar kebiasaan di Kekaisaran Jerman karena membawa  olahraga “barbar”.

Ya, kisah Konrad melawan “ketaatan gaya Jerman” dengan sepak bola yang kala itu dicela sebagai “penyakit Inggris”  menjadi tema utama cerita dalam film Der Ganz Große Traum (Impian Sangat Besar) (2011). Dari film yang bersandar pada kisah sejarah itu, kita tahu seperti apa sepak bola di Jerman (juga saat masih bernama Jerman Barat).

Film itu besutan sutradara Sebastian Grobler dalam suasana vintage. Akting Daniel Brühl yang memainkan Konrad Koch juga sangat memukau. Wajar saja, film itu meraih sejumlah penghargaan pada festival film di dunia, antara lain  Predikat Sangat Bernilai dari Badan Penilai Film dan Media Wiesbaden, Penghargaan Publik Seksi Generasi pada Festival Film Internasional Rio de Janeiro, Hadiah Pertama Festival Film Anak-Anak ke-26 Düsseldorf.

Film tersebut dipilih sebagai pembuka dalam perhelatan German Cinema Film Festival,  di Jakarta, Kamis (20/6) lalu. Selain di Jakarta, perhelatan kali kedua itu bakal berlangsung 10 hari (20-29 Juni) di tujuh kota besar  lain, yaitu Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Balikpapan, dan Palu. 
Tak hanya  Der Ganz Große Traum, pada festival yang dimotori Pusat kebudayaan Jerman Goethe-Institut diputar 14 film lain yang telah memenangi beberapa penghargaan internasional. Semua beraras pada satu hal: film yang mengandung unsur sejarah.

Sebut saja Barbara karya sutradara Christian Petzold adalah drama sejarah di Berlin Timur sekitar 1980-an. Begitu pula Halt Auf Freier Strecke (Berhenti di Tengah Jalan) karya Andreas Dresen, Die Farbe Des Ozeans (Warna Samudera) karya Maggie Peren, Sound of Heimat (Suara Kampung Halaman) karya Arne Birkenstock dan Jan Tengeler. Atau film karya Percy Adlon dan Felix Adlon yang bertajuk Mahler Auf Der Couch (Mahler di Sofa).

Selain itu, This Ain't California karya Martin Persiel, Wintertochter (Puteri Musim Dingin) arahan Johannes Schmid, Der Verdingbub (Bocah Pekerja Titipan) karya Markus Imboden, Vergiss Mein Nicht (Jangan Lupakan Aku) karya David Sieveking, dan 5 Jahre Leben (5 Tahun) karya Stefan Schaller.

Pola Omnibus
Menarik salam perhelatan itu ada sebuah film berpola omnibus yang dalam sinematigrafi Jerman disebut dreileben. Film garapan tiga sutradara dengan kisah yang tentu saja masing-masing sutradara memakai pendekatan dan gaya berbeda, tetapi dirangkai menjadi satu kesatuan. Ketiga film yang masuk kategori itu adalah Etwas Besseres als den Tod (Lebih Baik daripada Mati) karya Christian Petzold, Komm Mir Nicht Nach (Jangan Mengikutiku) karya Dominik Graf, dan Eine Minute Dunkel (Semenit Kekelaman) karya Christoph Hochhausler.

Di luar perhelatan tersebut, Jerman bagaimanapun lekat dengan sejarah perfilman dunia dan tak bisa dipandang sebelah mata. Di Negara inilah dua bersaudara Germans Max dan Emil Skaldanowsky mengembangkan teknologi rol selulosa menggunakan proyektor  dengan menayangkan film berdurasi 15 menit pada sebuah teater di Berlin pada tahun 1895.

Meski kemudian industri film lokal Jerman terhempas hingga tahun 1913 lantaran dianggap tak signifikan dan reputasi rendah karena selalu menyajikan tema kejahatan. Kehancuran film Jerman pada masa itu juga disebabkan dominasi  firma film Pathé dari Perancis yang menguasai industri perfilman dunia. Semua film mereka selalu laris dan  paling sering diputar di berbagai bioskop dengan antrean penonton membludak.

Tapi, sineas Jerman terus bangkit dan berusaha membuat literatur film yang lebih elegan dan pretisius hingga Jerman sangat  terkenal lewat kemunculan Autorenfilm, genre film yang kaya akan efek visual layaknya film D’art dari Perancis.

Film yang pertama berjudul 1st Der Andere (1913) karya  Max Mack atau Die Landstrasse (jalan Kampung- 1913) karya  Paul Von Woringen yang dianggap sebagai film luar biasa memuaskan dalam segi teknik eksplorasi dan ekspresi sinematik.

Setelah masa-masa film propaganda Nazi yang dimotori Joseph Goebbels, Jerman terus bangkit dalam industri perfilman. Hanya saja, ada kecenderungan besar pada kalangan sineas yakni kesukaan pada tema sejarah. Lola Rennt (Lola Berlari-1998) karya Tom Tykwer misalnya berkisah mengenai upaya Lola melintasi Tembok Berlin.

Begitu pula saat memasuki millennium ketiga, kecenderungan itu masih tampak sekali. Film Good Bye, Lenin!(2003) kaeya Wolfgang Becker yang mengisahkan kehancuran Tembok Berlin diputar di 70 negara lebih, atau film karya Florian Henckel von Donnersmarck bertajuk Das Leben der Anderen (2007)   yang mengangkat kehidupan penduduk semasa pemerintahan Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur).Yang pasti, film-film dari sineas Jerman mulai disukai di sini. Itu terbukti ribuan orang hampir selalu menjadi penonton setia Festival Film Jerman.

e-paper harian Suara Merdeka 230613
Non