Pages

Minggu, 23 November 2014

Orang-Orang yang Memanen Kabut (1)

Kekeringan melanda sebagian wilayah Indonesia. Mata air hilang atau menyusut, kini merekapun memanen kabut. Cerita dari desa-desa seputaran Semarang, tentang bertahan dari cuaca yang kerontang, sembari mempertahankan semangat hidup agar tak cepat redup.
Kasilah terus menganyam jaring penutup bulir-bulir padi yang mulai menguning. Sesekali bambu panjang berhias plastik di ujungnya dijulurkan menghalau burung-burung pemakan padi. Kali ini musim kering terlalu panjang, dan sawah mulai mengering, tapi perempuan itu tak patah semangat. Pada dua petak sawah miliknya itulah, nenek berusia 64 tahun dan bercucu 12 ini menggantungkan hidup.
“Ya, sawah ini harus diurus. Hasilnya untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari,” ujarnya. Rembang petang di tengah bulan September itu, tetap memberinya harapan sampai panen akhir bulan nanti, meski harus kerepotan dengan wereng, tenggerek, dan burung yang menjadi “musuhnya” sepanjang hari.
Hama-hama ini rakus memakan bulir padi bunting. Walaupun bersemangat menunggui sawahnya tiap hari, Karsilah tahu hasil panennya makin tak bisa diandalkan memberi makan sekeluarga. Pasalnya, padi yang tumbuh bagus dan gemuk seringkali berakhir dengan meranggas karena kekurangan air dan habis disantap hama. Hujan yang dinanti tak kunjung turun.
Apalagi selama ini pasokan air untuk sawahnya hanya berasal dari saluran irigasi yang dialiri air limbah rumah tangga dari komplek perumahan tak jauh dari areal persawahan. “Kalau tidak dijaga bisa habis semua, dan tidak bisa panen. Sebenarnya tetap bisa panen, tapi tidak seperti dulu, dapat 10 karung sudah untung karena banyak yang gabuk. Yang mentes (bernas) hanya sedikit, padahal modal beli jaring saja bisa sampai satu juta,” tutur Karsilah.
Menurut dia, sejak banyaknya sawah yang berubah jadi perumahan atau toko, hama padi menjadi berkali lipat dan menghabisi bulir-bulir padi yang ditanamnya. “Dulu di sisi sana sampai ujung itu sawah semua,” katanya menunjuk ujung jalan. “Sekarang habis jadi perumahan, tinggal sekitar 14 petak ini saja. Mungkin rumah-rumah itu penyebabnya sampai banyak burung makan padi, harus pasang jaring dan dikerudungi dengan kain,” katanya, dan telunjuknya menunjuk lagi ke beberapa arah berusaha meyakinkan Ekuatorial, bahwa sawah di desanya dulu memang jauh lebih luas.

Tidak hanya sawah Kasilah yang kerontang. Puluhan hektare lahan areal persawahan tanaman di Desa Meteseh, Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah dibiarkan mangkrak oleh pemiliknya. Semak merambat di hamparan sawah yang sebagian besar tak terurus. Tak lagi berharap hujan. “Pemiliknya Sudah nggak pernah ke sini, sawahnya nggak pernah ditengok lagi sejak ada rencana proyek pembangunan perumahan,” ujar Karjo,34, warga Desa Meteseh.
Sama halnya dengan Kampung Deliksari dan Kalialang, Sukorejo, Gunungpati, Semarang. Mata air Sendang Gayam yang selama ini menghidupi 900 kepala keluarga tak lagi bisa memenuhi kebutuhan air bersih. Debit air terus menyusut. “Alirannya kecil jadi harus giliran dan hanya boleh mengambil dua pikul per minggu. Itu pun harus jalan dua kilometer melintasi bukit. Kalau dropping air kan hanya sementara,” jelas Marsudi, salah seorang warga Deliksari.

Darurat Kekeringan
Kota Semarang adalah satu dari 12 kabupaten kota di Jawa Tengah yang menetapkan status darurat bencana kekeringan. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 384 desa di 91 kecamatan dan 24 kabupaten di Jateng mengalami bencana kekeringan, diantaranya Kabupaten Rembang, Pemalang, Klaten, Kendal, Demak, Kebumen, Magelang, Purworejo, Blora, Wonogiri dan Kabupaten Grobogan.
“Hampir 60 persen dari 35 kabupaten-kota di Jawa Tengah rawan kekeringan. Itu yang terparah dari 24 kabupaten kota rawan kekeringan di Jateng akibat kemarau panjang,” ujar Direktur Penanganan Darurat BNPB J. Tambunan, di Semarang baru-baru ini.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, Sarwa Pramana mengatakan, upaya tanggap darurat untuk memenuhi suplai air bersih telah dilakukan dengan dropping air, pengadaan pipanisasi, membangun instalasi persediaan air, dan pembuatan sumur untuk mengurangi wilayah-wilayah terdampak kekeringan secara bertahap. “Kami menyiapkan 3.000 tangki air bersih, menyusul bertambahnya wilayah yang mengalami kekeringan.”
Kepala Seksi Ekploitasi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jateng, Arus Horizon, menyebutkan debit air di sejumlah bendungan besar di wilayahnya menurun, khususnya Waduk Kedungombo yang mengairi lahan pertanian di Grobogan, Demak, Pati, Kudus, hingga Jepara.
Bahkan, diprediksi ketersedian air tak dapat mencukupi kebutuhan musim tanam awal Nopember mendatang. Padahal tahun lalu, Kedungombo surplus. “Kedungombo bahkan perlu penanganan karena penguapan tinggi akibat cuaca ekstrim. Ketinggian air terus menurun. Sebenarnya sekitar lima juta meter kubik air di situ sudah menguap,” paparnya.

Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang memprediksi musim kemarau terjadi hingga bulan November mendatang dengan suhu mencapai 34 derajat celcius. Sebagian besar terjadi di wilayah pantura timur seperti Rembang, Pati, Blora, Demak, Semarang. “Mundurnya musim kemarau disebabkan El Nino kategori lemah yang mengakibatkan kemarau basah. Hujan baru mulai turun pada minggu ketiga November nanti,” jelas Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Jawa Tengah, Reni Kraningtyas.
Menurutnya, El Nino yang mempengaruhi tingkat kemarau di Jawa Tengah kurang signifikan karena kondisi laut Jawa yang sama-sama hangat dan mudah memunculkan awan. Akibatnya, hujan sesekali turun di beberapa wilayah Jawa Tengah namun dengan intensitas tidak normal.
Ketua Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia di Jawa Tengah Riyono mengatakan kekeringan terjadi karena kerusakan lingkungan. “Rusaknya sistem irigasi, resapan tanah di lahan produktif hampir tidak ada, dan tidak berfungsinya embung untuk resapan air. Belum lagi penggundulan hutan atau alih fungsi lahan. Ini akumulasi.”

Menurutnya, persoalan ini seolah menjadi cerita klise karena terjadi tiap tahun tanpa terobosan untuk beradaptasi. Ia memberi contoh kekeringan besar yang terjadi tahun 2007, ketika sekitar 118 ribu ha atau 50% sawah gagal panen yang mengancam persediaan beras di Jawa Tengah. “Panen tingkat Jawa Tengah sekarang cederung konstan di angka 4 sampai 6 ton gabah kering panen tiap ha, padahal potensinya bisa hingga 8 ton/ha. Tak hanya itu, lahan pertanian terus menyusut. Data nasional rata-rata 100 ribu ha lahan hilang, di Jateng perkiraan sekitar 5-10 ribu ha,” ujarnya.
Riyono menambahkan, tingkat kekeringan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kerusakan lingkungan yang masif mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam dan rumitnya mengatur pola tanam petani. “Dampak nyata, kesulitan mencari sumber air karena debit air di waduk dan irigasi makin menyusut, tanaman mudah terserang hama dan ancaman puso karena anomali cuaca.”
Karena itu, pemerintah perlu mensosialisasikan pada petani perlunya mengantisipasi cuaca perubahan musim yang ekstreem serta perlindungan kepada petani akibat gagal panen. Menurut Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jawa Tengah, Siti Narwanti mengatakan, selain fenomena alam, kegagalan panen disebabkan petani kurang menerapkan pola tanam terencana.

Data BPTPH menyebutkan, di akhir Agustus saja sedikitnya 9.691 ha lahan pertanian padi di 20 kabupaten/kota mengalami kekeringan dan 319 ha puso. Jika diakumulasikan dari Januari hingga pertengahan Agustus ini, kekeringan mencapai 118.081 ha dan 10.700 ha puso. Luasan terbanyak terjadi di wilayah Cilacap dan Grobogan. “Kemungkinan terus bertambah karena kemarau mundur. Tapi harapannya tidak mengganggu target produksi padi di lahan seluas 1,6 juta ha karena beberapa wilayah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Brebes masih panen.”

Memanen Kabut
Kondisi lingkungan dan alam yang terus berubah tak membuat para petani di Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah menyerah. Daerah “kantong” yang selalu bermasalah dengan pasokan air, panen tetap melimpah.
Kegetiran puluhan tahun menjelang panen padi dan jagung pun hilang sejak empat tahun terakhir ini. Persoalan teratasi dengan keberadaan Tyto Alba. Salah satu jenis burung hantu yang kini jadi “penunggu” areal persawahan seluas 225 ha milik warga.
“Yang tersisa hanya tangkai bulir jagung saja karena diserbu hama tikus. Panen jarang berhasil. Semua usaha adaptasi dilakukan untuk mengubah nasib 900 kepala keluarga yang bergantung pada hasil pertanian. Termasuk program peningkatan produksi pertanian, seperti kincir angin dan 800 sumur pantek untuk irigasi dan pertanian SRI,” jelas Soetedjo, 54, Kepala Desa Tlogoweru.

Mujiono Sukarman, 43, lelaki asal Desa Blitar, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang menciptakan teknologi tepat guna pompa air tanpa listrik. Ide itu muncul dari kegelisahannya terhadap ketersediaan air bersih di desa dengan kontur perbukitan. “Setiap musim kemarau kami selalu kesulitan air bersih. Tiap hari antre di sumber mata air di desa. Saya mencari cara agar air sumur bisa naik dan mengalir ke pipa-pipa milik warga.”

Kekeringan dan kesulitan air juga dialami petani sayur di dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Dataran tinggi dengan ketinggian 1.600 mdpl selalu menghadapi masalah kekeringan permanen.
“Ketika musim kemarau kami tidak bisa menanam, tapi dengan bantuan alat pemanen kabut (fog harvesting) kekurangan air dapat diatasi dan kami bisa panen. Bagian utama alat pemanen itu adalah paranet atau jala plastik yang memilki rongga cukup kecil, yang akan memerangkap kabut yang berbentuk gas itu, lalu mengubahnya menjadi air. Di Desa Kemitir, paranet sepanjang 8 meter dan selebar 1 meter itu dibagi dua masing-masing 4 meter lalu dibentangkan pada ketinggian 2-3 meter di atas tanah, dengan penyanggu bambu. Sepanjang malam dan subuh, air yang terperangkap di jala itu akan menetes dan ditampung dalam sebuah pipa atau bambu yang terbuka bagian atasnya, lalu dari dalam penampung akan mengalir lewat selang plastik ke dalam ember besar.

Pemanen kabut juga bisa dikombinasikan dengan alat fertigasi tetes atau irigasi tetes, dimana jumlah air yang keluar dari selang itu dapat diatur dan disebarkan ke sebanyak mungkin tanaman yang ingin diberi air. Ternyata setiap alat panen kabut di desa Kemitir mampu menangkap kabut dan menghasilkan 25 liter air per hari untuk keperluan pertanian. “Ini teknologi sederhana dan potensi kabut di sini sangat tinggi meski di siang hari,” kata Puji Utomo, Kepala Desa Kemitir yang dibantu tim dari Program Kreatifitas Mahasiswa Universitas Gajah Mada untuk membuat dan memasang pemanen kabutnya.

Faktor Manusia
Guru besar hidrologi dari Lembaga Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor Setyowati, mengatakan selain perubahan alam karena faktor lingkungan dan manusia, kondisi fisik sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Semarang dan Jawa Tengah memang memprihatinkan. Ia menyebut nama beberapa DAS seperti Kreo, Babon, Sungai Bringin, Sungai Silandak, Sungai Blorong, Sungai Bodri dan Pemali Jratun yang kondisinya tergolong kritis.
Dewi juga mengatakan, perubahan alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan menjadi faktor dominan berkurangnya debit air tanah hingga mengakibatkan ketersediaan air terus menyusut di ambang batas normal. Ketidakseimbangan inilah yang berdampak pada perubahan iklim. “Jumlah air di bumi pada dasarnya tidak mengalami perubahan. Permasalahan air terjadi karena adanya gangguan pada siklus hidrologi akibat aktivitas manusia. Dampaknya ya akan terjadi krisis air,” ujarnya.
Ia menambahkan, perubahan lahan menjadi pemukiman yang terjadi sejak 20 tahun lalu tidak diikuti dengan sistem drainase memadai sehingga berpengaruh besar terhadap siklus hidrologi. .“Yang terpenting mengubah perilaku manusia. Agar prediksi Kota Semarang mengalami krisis air bersih di tahun 2025 itu tidak terjadi,” ungkapnya. Namun Dewi menambahkan bahwa usaha memanen air hujan di sejumlah titik rawan kekeringan dapat dipakai sebagai cara untuk mengantisipasi kurangnya pasokan sumber air, karena upaya konservasi lahan butuh waktu lama.
Nonie Arnee (Semarang)

 http://ekuatorial.com/climate-change/orang-orang-yang-memanen-kabut#!/map=4847&story=post-8968&loc=-6.991859181483679,110.445556640625,7