Pages

Sabtu, 23 Januari 2016

Srintil, Harmoni dari Lereng Sumbing


Tembakau Srinthil dari Desa Tilir
Di timur lereng Sumbing, lahan berundak di sisi-sisi jalan beraspal Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah itu tak lagi hijau. Hanya tanah pasir berkerikil. Akhir Oktober itu, masa petik daun tembakau memang sudah lewat. 

Di permukiman penduduk, di halaman-halaman rumah, Srintil dipapar di atas anjang-ajang bambu. Srintil itu nama tembakau primadona. Sangat istimewa. Aroma khasnya menguar di situ. Lebih-lebih lagi, "Srintil tidak muncul setiap tahun." Itu kata Sutopo, petani tembakau di Legoksari.

Kenapa Srintil istimewa? Tembakau ini ada secara alamiah dan tak bisa dibudidayakan. Tanda kemunculannya baru saat proses fermentasi atau pengeraman daun tembakau petikan terakhir yang ditumbuhi jamur kuning. Setelah dirajang dan dijemur, bentuknya semakin terlihat. Rajangan daun "printhil-printhil" dipercaya masyarakat setempat sebagai anugerah Dewi Kemakmuran: Dewi Sri yang "nginthil" (ikut) menjadi berkah. Berkah itu berupa harga Srintil yang selangit. "Pada 2011 harganya mencapai Rp 900 ribu per kg. Itu puncak harga tertinggi tembakau srinthil," imbuhnya.

Bagi saya, bertemu Srinthil adalah keberuntungan. Bagi warga Legoksari, tak sekadar keuntungan. Ia adalah proses, perjuangan, keberhasilan, kebanggaan. Juga kearifan lokal bagaimana menjaga harmoni. Srintil adalah juga konsep hidup para petani tembakau di situ. 
"Saat panen tembakau, tatalah hati kita, jangan saling bertengkar. Kalau ada maslaah, ayo dirembuk. Sabar. Jangan sampai memendam kemarahan, sebab nanti daun tembakau yang baik bisa jadi buruk. Ya, agar harganya mahal. Rezeki kita lancar."

Kata Sutopo, itu pesan turun-temurun. Para petani tahu betul memaknai pesan itu dengan pola tanam tebakau yang "pranata mangsa". Semua ada waktunya sendiri-sendiri. Ada proses menyiapkan pupuk kandang, mengolah lahan, membuat lubang tanam, menanam, merawat, hingga memanen. Semua berdasarkan waktunya yang tepat. Dan semua proses itu dibangun berdasarkan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. 
"Ya, kami bergotong royong dari penanaman, petik sampai pengepakan. Yang punya lahan dua hektare atau hanya setengah hektare, sama. Tidak iri-irian. Dengan sukarela dan senang hati membantu petik daun meski jaraknya jauh. Tidak pernah mengeluh."

Kesederhanaan, keikhlasan juga menjadi irama hidup para petani. "Kalau tembakau bagus, jangan dipuji. Yang jelek, jangan disia-siakan. Daun jelek belum tentu jadi jelek. Bergantung atas perawatannya. Kalau ikhlas, itu enak. Semua lancar." 

Kearifan lokal yang turun-temurun itu tak hanya berbuah panen yang bagus, tapi juga sebuah kisah tentang harmoni, kisah keselarasan dari Lereng Sumbing.

Jumat, 22 Januari 2016

Menjaga “Surga” di Bibir Pasifik


Angin selatan di bulan Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic. 

Sembari melepas lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen, tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih banyak dikelola warga asing.  
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie
Menurutnya, usaha yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat.  Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya, ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja Ampat. 

“Mereka punya kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati.  Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”

Gagasan Steve sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu  merupakan salah satu pulau strategis dan  terindah di Raja Ampat yang dikelilingi gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari resort-resort  di Mansuar, dari Waiwo dan dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.

Ya, industri pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat tidak ingin hanya menjadi penonton.

Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat. 
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie


Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Di sini, penyelam dapat menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty (dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto
Kampung yang dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya. “Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial  Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie
 
Perempuan Arborek membuat kerajinan tangan /nonie
Kondisi ini jauh berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai alat tradisional. Dulu harganya Rp.  50 ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala itu.

Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.

“Dulu banyak yang cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya bersemangat. 

Sejak tahun 2003, pemda setempat juga  mulai menginisiasi kampung wisata. Ada lima kampung yang dibina pemerintah kabupaten menjadi desa wisata untuk mengangkat potensi dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kelima Kampung Wisata adalah Arborek, Sawinggrai, Yenbuba, Yenwoubnor, dan Sawandarek. Mereka mengawali dengan membangun home stay dan membentuk kelompok sadar wisata.
“Pemerintah mulai memperhatikan kampung, Ada penyuluhan antara masyarakat dan pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengerti, bertahap, tidak sekaligus. Kami mencari ikan sekadar untuk makan, cuman cari ikan hidup seperti kerapu. Dijual juga. Masyarakat kerja sambil monitoring laut dan masyarakat berhenti cari hiu,” Pak Mambraw menjelaskan awal mula kampungnya menjadi rintisan kampung wisata.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie

Bibir pantai Kampung Arborek /nonie
Dan mereka tak lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat.  Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan tangan. 

Jadi tak hanya transit, wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas, anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli ikan segar hasil tangkapan.”

Pak Mambraw menambahkan, warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan. Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa homestay. 

“Sejak banyak wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.

Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita tentang perubahan yang terjadi di kampungnya. 

“Kita merasa ada perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang uang gampang.” 
Pintu masuk Kampung Yenbuba
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Pak Marcell mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”

“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang jetty.

Kini, setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)

Merawat Masa Lalu, Menyelamatkan Kota lama Semarang


Menjelang siang di sudut Jalan Kepodang, Semarang, raungan sepeda motor bercampur aduk dengan aroma makanan kaki lima. Terlihat pula beberapa pria dengan ayam aduannya. Tidak jauh dari situ berdiri sebuah gedung tua dengan kondisi merana dan bahkan nyaris hancur.

Belakangan diketahui bangunan merana itu adalah bekas kantor redaksi surat kabar De Locomotief, yang terbit pertama kali pada 1851, dan dikenal sebagai pendukung politik Etis. "Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan," kata Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang, kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee. 
Bekas kantor Surat Kabar De Locomotif yang dirobohkan /nonie

Menurut Rukardi, keberadaan bangunan bersejarah ini tidak tercatat dalam buku Semarai bangunan dan kawasan pusaka budaya kota Semarang (2006) yang diterbitkan pemerintah kota Semarang dan Universitas Diponegoro. “Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan,” Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang. 

Buku ini memuat sekitar 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya, kata Rukardi. "Bahkan sudah melalui proses penelitian, tapi faktual ternyata ada kesalahan, sehingga bangunan itu tidak tercatat sebagai bangunan cagar budaya," katanya.
Rukardi dan orang-orang yang peduli terhadap bangunan cagar budaya telah melaporkan masalah ini kepada Balai pelestarian cagar budaya setempat untuk ditindaklanjuti.

Nasib Pasar Peterongan
Bagaimanapun, kondisi merana yang dialami bangunan De Locomotief menambah daftar panjang bangunan tua bersejarah yang rusak atau dibiarkan terlantar di Semarang. Masyarakat pencinta sejarah di kota itu masih ingat ketika Pasar Peterongan, yang dibangun pada 1916, sebagian bangunannya telah dibongkar, Juli 2015 lalu.

Masalah ini telah dilaporkan ke Wali Kota Semarang, dan kemudian pembongkaran itu untuk sementara dihentikan, menyusul adanya penelitian terakhir yang mengukuhkan bahwa bangunan pasar itu termasuk bangunan cagar budaya.
Semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan.Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono. 
Pembongkaran Konstruksi beton Pasar Peterongan yang dibangun tahun 1916 menjadi polemik / Nonie
Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono, yang diberi tanggung jawab menyelesaikan masalah ini, mengharapkan ada kompromi antara kepentingan sejarah dan kebutuhan untuk memperbaiki pasar tersebut. 

Sejauh ini pedagang pasar ditempatkan di tempat lain selama persoalan ini belum dituntaskan, tapi menurut Kriswandhono hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. "Karena ujung dari proses ini adalah ketika cagar budaya ini tidak bisa menyejahterakan masyarakatnya, nggak usah ngomong soal cagar budaya," kata Albertus Kriswandhono.
Dengan kata lain, "semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan," katanya.

Namun demikian, menurutnya, bisa saja nanti salah-satu opsi jalan keluarnya adalah menyediakan lahan baru untuk pembangunan pasar baru.

Kisah sukses Sobokartti
Sejumlah anak muda tengah latihan tari tradisional di Sasana Sobokartti, sebuah bangunan cagar budaya di Semarang, yang didirikan pada 1929. Keberadaan Sobokartti berikut aktivitas di dalamnya adalah contoh sukses sebuah pelestarian bangunan kuno bersejarah.
Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan upaya konservasi gedung harus berkompromi dengan tuntutan zaman.  "Kami harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Misalnya, sekarang kalau pertunjukan membutuhkan lighting (lampu) yang bagus, ya nanti kami harus nambah," kata Tjahjono memberi contoh.
Gedung kesenian Sobokarti yang berhasil dikonservasi /nonie

Dia mengatakan, penambahan fasilitas seperti itu tidak menyalahi kaidah konservasi. "Itu sah-sah saja, nggak melanggar. Sekarang kalau harus punya kamar mandi yang representatif, misalnya dengan mengganti WC jongkok, ya nggak apa-apa."
Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru.Pemilik Galeri Semarang, Chris Darmawan. 

Di Semarang, juga berdiri galeri seni kontemporer Semarang di Jalan Srigunting, yang merupakan hasil konservasi gedung cagar budaya. Pemiliknya, Chris Darmawan menjelaskan, bagaimana dia melakukan konservasi:  "Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru," jelas Chris Darmawan.

Disulap menjadi galeri seni pada 2008, gedung tua ini dibangun pada 1918. Bangunan ini pernah ditempati sebagai kantor asuransi milik konglomerat Oei Tiong Ham dan berakhir menjadi pabrik sirop hingga 1998.
Salah satu sudut Galeri Semarang di Kawasan Kota Lama /nonie

Minta dicabut status cagar budaya
Seperti yang dialami gedung De Locomotief, sejumlah gedung cagar budaya milik per orangan di kawasan kota tua Semarang banyak terlantar, karena pemiliknya dihadapkan kendala dana. Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan sebagian pemilik gedung tua bersejarah di kota lama Semarang, mengaku kesulitan untuk merawat bangunan miliknya. "Ada orang yang keberatan kalau bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan ada yang pernah minta status sebagai cagar budaya itu dihapus," kata Tjahjono.

Dia melanjutkan, pemilik gedung tua bersejarah itu kemudian mencontohkan dilema yang dialami, utamanya seandainya dia meninggal dunia.
Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu.Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti.  "Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu," ungkapnya. 

Akibat kekurangan dana, menurut pimpinan Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi, ada sebagian pemilik menelantarkan gedung kuno bersejarah."Mendiamkan bangunan itu dengan harapan bangunan itu roboh dengan sendirinya dan kemudian mereka bisa membangun bangunan baru di atasnya," kata Rukardi.

Di sinilah muncul ide agar pemerintah Kota Semarang memberikan semacam insentif kepada pemilik gedung-gedung kuno sehingga dapat meringankan mereka."Mestinya tidak hanya dibebaskan dari pajak, tapi juga mendapatkan insentif," ujar Rukardi.

Perbaiki infrastruktur

Sekretaris Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang, Irwansyah, tengah menggodok sejumlah jalan keluar untuk menyelesaikan soal kendala dana tersebut. Nanti ada insentif dan disinsentif. PBB (Pajak bumi dan bangunan) juga sedang kita upayakan untuk mereka mendapatkan keringanan. Mungkin kalau itu digunakan untuk usaha, nanti ada keringanan pajak," kata Irwansyah saat dihubungi wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui saluran telepon. 

"Yang sudah kita lakukan, pemerintah kota membantu merecording documenting masing-masing bangunan cagar budaya, terus kita bisa mengarahkan kira-kira apa yang bisa dilakukan terhadap bangunan ini," ungkapnya.

Sejumlah bangunan yang sudah didokumentasikan dan dikaji diantaranya adalah Gedung Marba, bangunan pasar Johar, Pasar Jatingaleh, Restoran Ikan bakar Cianjur, Hotel Dibya Puri, serta Hotel Candi Baru.  Tetapi arsitek dan pegiat pelestarian bangunan cagar budaya, 
Albertus Kriswandhono mengatakan, langkah penting yang harus dilakukan pemerintah kota Semarang adalah memperbaiki infrastruktur:
"Jalan, lampu, listrik, air, itu saja yang Anda perbaiki, tidak banjir, tidak rob, selokannya jalan lancar, itu saja yang diperbaiki, Nah, untuk bekerja di sana, ada aturannya, bertanyalah kepada badan pengelola ini," kata Albertus Kriswandhono. 
Gedung cagar budaya Lawang Sewu difungsikan sebagai museum kereta api / Nonie

Keterangan resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Para pencinta sejarah di Semarang meminta agar pemerintah Kota Semarang dan otoritas terkait terus memperbaharui proses dokumentasi dan pengkajian sehingga dapat melacak dan menyelamatkan bangunan-bangunan kuno bersejarah. (Heyder Affan / Noni Arnee, BBC Indonesia)