Pages

Selasa, 31 Desember 2019

Rasa Trisno untuk Tanon

Akses masuk menuju Festival Lereng Telomoyo #2. Foto:Arnee
Suara kendang dan tetabuhan gamelan berirama rancak terdengar sayup-sayup seolah memanggil pengunjung gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 untuk bergegas memasuki Dusun Tanon. Sekitar 200 meter dari gerbang dusun, nampak lapangan yang disulap menjadi panggung utama dipenuhi segerombolan bocah beratribut pakaian tradisional.
Aksi bocah-bocah Dusun Tanon memainkan Tari Geculan Bocah. Foto:Arnee
Tubuhnya dibalut rompi merah. Kain jarik bermotif warna coklat menutup celana hitam. Ikat kepala menjadi pelengkap. Mimik wajah mereka jenaka berias mirip badut. Tubuh, tangan dan kaki mereka terus bergerak. Lincah mengikuti irama gamelan.

Ya, ini keceriaan anak-anak Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Getasan, Kabupaten Semarang memainkan Tari Geculan Bocah.

Tarian yang menceritakan tentang keseruan dan kelucuan bocah bermain ini pun membuat seratusan penonton yang mengelilingi panggung sesekali tersenyum. Bahkan tertawa menyaksikan polah tingkah mereka.

Tak hanya itu, pengunjung yang datang juga disuguhi kepiawaian ibu-ibu Dusun Tanon memainkan kesenian Lesung Jumengglung. Mereka memadukan suara alu dan lesung (alat pemecah padi). Bertalu-talu, bersahutan diiringi lantunan nyanyian kegembiraan.
Ibu-ibu Dusun Tanon menunjukkan kepiawaian memainkan Lesung Jumlenggung. Foto:Arnee
Pertunjukan itu menjadi rangkaian gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 yang berlangsung selama dua hari, pada 12-13 Oktober 2019 lalu. Festival yang dikemas menyuguhkan experience tourism kepada pengunjung untuk mengenalkan Desa Menari Tanon kepada masyarakat luas.

Gelaran ini juga dimeriahkan dengan aneka pertunjukan seni lainnya. Seperti Tari Topeng Ayu, Sebuah tarian transformasi dari Tari Topeng Ireng yang terinspirasi dari gerakan penyamaran zaman perjuangan.
Remaja putri berbalut kostum Tari Topeng Ayu. Foto:Arnee
Ada juga aneka dolanan tradisional yang nyaris sulit ditemui bisa bebas dimainkan pengunjung. Sebut saja permainan Suda Manda, dakon, cublak-cuplak suweng dan egrang bambu.
Pasar rakyat yang menjajakan berbagai makanan tradisional untuk dinikmati dan hasil bumi Dusun Tanon juga menyemarakkan gelaran kali ini.
Wisatawan memainkan permainan Suda Manda. Foto:Arnee
Pengunjung menjajal egrang bambu di gelaran Festival Lereng Telomoyo. Foto:Arnee
Sebenarnya, Festival Lereng Telomoyo ini hanya satu dari sekian banyak gelaran di Dusun Tanon. Pertunjukan lain juga kerap diselenggarakan pada perayaan hari besar seperti hari besar keagamaan, Festival Budaya Desa, Bersih dusun hingga kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI.

Daerah Tertinggal

Dusun Tanon berjarak sekitar 58 kilometer dari Ibu Kota Semarang. Terletak di Lereng Gunung Telomoyo. Mayoritas penduduk petani dan peternak sapi perah.

Jalur berliku memasuki dusun yang terletak di Lereng Gunung Telomoyo, sekitar 1,5 kilometer dari kawasan wisata Kopeng membuat Dusun Tanon dianggap daerah sepi.  Terbelakang dan kumuh. Bahkan menjadi salah satu daerah Tertinggal di Kabupaten Semarang.
Peta lokasi Desa Menari. Foto:Arnee
Tapi itu dulu.

Dusun ini perlahan berubah. Sejak Trisno, pemuda asal dusun ini ingin mengajak warga menghidupkan kampungnya menjadi produktif tanpa meninggalkan kearifan lokal.

“Kepikiran sejak masih jadi mahasiswa. Setelah saya amati, salah satu aspek memutus kebuntuan di kampung adalah pendidikan. Maka saya berusaha menyelesaikan kuliah dan pulang,” kenang Trisno.

Namun, Tapi tak semudah itu. Kepulangan Trisno justru tak disambut gembira kedua orangtuanya. Keinginan demi kemajuan desa ditentang kedua orangtua. Trisno “ditolak” kembali ke desa.
Sebagai seorang sarjana pertama Dusun Tanon, itu sebuah prestasi dan kebanggaan kedua orangtua yang ingin anaknya mempunyai pekerjaan lebih baik. “Tantangan awal justru dari keluarga. Saya balik kampung, kembali ke kandang. Orangtua berpikir kenapa sekolah tinggi kalau hanya mau jadi petani lagi. Awalnya ini membuat orangtua malu,”akunya.
Trisno, sang penggagas Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno mengatakan, tantangan terberat adalah menaklukkan fase pergulatan batin dan meyakinkan keluarga untuk membuktikan ucapannya. Trisno butuh waktu 5 tahun. Rasa trisno (baca : cinta-red) pada Tanon tak menggoyahkan tekad membangun tanah kelahirannya. “Padahal saya mencontohkan bahwa saya bertani / beternak bukan dengan cara mereka yang konvensional itu,” katanya.

Tahun 2006, selepas menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Surakarta, lelaki yang akrab disapa Kang Tris ini mulai merealisasikan gagasan-gagasannya. “Saya tekankan bahwa pendidikan itu penting dan saya berkomitmen mewakafkan diri. Artinya kegiatan saya ya kegiatan pelayanan untuk masyarakat Tanon. Saya tidak boleh keluar dan patah arang karena mereka akan mentertawaka saya.”

Menghidupkan Kampung

Trisno mencari cara agar gagasannya dapat diterima warga yang meremehkan dan menolak tawaran untuk mengubah wajah Tanon. Menurutnya, pola pikir dan tingkat pendidikan warga lah yang membuat ide-idenya tidak direspons dengan baik.
“Kebanyakan tidak lulus SD, di generasi saya paling banter SMP dan jarang berinteraksi dengan dunia luar,” lanjut Trisno.

Karena itu, ia mengawali dengan mendekati warga. Ia fokus pada program pendidikan non formal melalui pembelajaran berorganisasi dan aktif membuat forum diskusi warga. Trisno juga mengundang pihak lain seperti mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata untuk mendukung kegiatan desa dan berbagi pengalaman.

Metode ini dianggap ampuh untuk memantik partisipasi warga menggali dan mengembangkan potensi desa. Interaksi dengan pihak luar membawa dampak positif terhadap pola pikir dan pengetahuan warga.

Trisno mulai menggerakkan warga dengan modal Rp 200 ribu untuk membuat lincak (meja bambu) sebagai sarana warga berkumpul. Semangat kemandirian dihembuskan kepada warga. Menurutnya, partisipasi warga jadi kunci terpenting dalam perubahan. “Semangat gotong royong. Ibaratnya siapa yang punya bambu menyumbang bambu, yang punya tenaga menyumbang tenaga. Tidak bergantung pada bantuan.”

Hingga kemudian Trisno berhasil mencetuskan ide laboratorium sosial untuk pengembangan dan pemberdayaan warga Tanon. Artinya, kampung mereka yang kaya potensi dan kearifan lokal akan menjadi laboratorium hidup melalui konservasi desa.
“Kita mengkonservasi apa yang sudah ada. Konservasi masyarakat petani dan peternak, dolanan tradisional, dan kesenian lokal,” jelas ayah 3 anak ini.

“Bertani tidak harus mencangkul dan masuk kandang tetapi membantu mendapat akses. Penari Topeng Ireng tidak perlu ngamen di jalan karena bisa disaksikan pertunjukannya di dusun ini. Hal semacam itu menjadi potensi yang bisa dikembangkan di sini,” paparnya.

Setelah tiga tahun berjalan, Trisno kemudian mengenalkan konservasi desa dan membuka akses warga ke luar melalui pendekatan wisata berbasis konservasi. Wisata yang mengedepankan pada pelestarian atau perlindungan kekayaan lokal yang dimiliki Dusun Tanon.

Trisno menegaskan, Tanon tidak “menjual” objek wisata misalnya keindahan lereng Gunung Telomoyo, melainkan daya tarik aktivitas kehidupan keseharian warga Tanon.
“Wisata sebagai pintu masuk untuk membuka akses masyarakat agar terbuka berinteraksi dengan pihak luar, menambah pengetahuan dan berkembang, tanpa melupakan aktivitas lokal. Paket-paket wisata di sini adalah aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertani, beternak, menari, bermain dolanan tradisional, dan pasar rakyat.”
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan tradisional dan hasil bumi Dusun tanon. Foto:Arnee
Untuk menjaga konsep ini tetap berjalan, semua elemen warga diajak berperan dengan menjadi bagian dari semua aktivitas yang “dijual”. Menjadi penari, pemain musik, pemandu wisata, berjualan di pasar rakyat, membuka homestay.

“Ada orang-orang kunci bertanggung jawab misal koordinator pasar rakyat, kesenian tradisional, homestay, pemandu wisata dan outbound. Jadi tiap kegiatan bisa berjalan. Lambat laun saya sebagai figur akan lepas.”

Desa Menari

Agar mudah dikenal, Trisno bersama masyarakat kemudian membranding Tanon menjadi “Desa Menari”. Menari karena warga Tanon mempunyai warisan kesenian tradisional yang dilestarikan. Hingga kini tercatat 18 kelompok seni tari di Desa Ngrawan. 6 kelompok tari diantaranya berada di Dusun Tanon.
Panggung utama Festival Lereng Telomoyo di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Selain itu, “menari” yang menjadi slogan Dusun Tanon merupakan akronim dari “Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori”.
“Menari mampu menyatukan warga dan pengunjung yang datang ke Tanon bisa merasakan harmoni atau keselarasan, melalui interaksi dengan warga dan alam di sekitarnya. Merasakan semangat dan aktivitas pedesaan akan menjadi pengalaman yang menginspirasi,” lanjut Trisno.

Upaya pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat dengan mengelola potensi sumber daya alam dan kearifan lokal untuk mengembangkan ekonomi warga Tanon diapreasiasi Pemerintah Kabupaten Semarang. Tahun 2015, Dusun Tanon dinobatkan sebagai desa wisata dengan SK Bupati Nomor 01 Tahun 2015.

Data Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah menyebutkan, Dusun Tanon menjadi satu dari 229 desa wisata tersebar di 35 kabupaten kota Jawa Tengah. Dusun Tanon juga membawa Desa Ngrawan meraih predikat Sejahtera Mandiri di tahun 2016 dari Kementerian Sosial RI.
Prasasti pengukuhan Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno menambahkan, sebagai desa wisata, Desa wisata Menari mampu menjadi magnet wisatawan hingga mampu meningkatkan ekonomi warga untuk mendapatkan penghasilan alternatif selain dari pencaharian utama di bidang pertanian dan peternakan.

"Pengunjung antara 1500 – 3000 setiap tahunnya. Warga punya penghasilan tambahan 10-15 persen di luar pekerjaan utama. Pendapatan ini untuk warga dan pengembangan desa,” tambah Trisno.
Namun, Trisno menegaskan bahwa Jumlah bukan target dan tolok ukur keberhasilan Desa Menari. Nilai-nilai dari filosofi “menari” lah yang menjadi fokus untuk disebarkan kepada orang lain.

Kampung Pun Berseri

Atas kerja kerasnya menghidupkan Dusun Tanon, Trisno terpilih menjadi salah satu penerima apresiasi SATU (Semangat Astra Terpadu) Indonesia Award tahun 2015, kategori lingkungan dari PT Astra International Tbk.
Setahun kemudian, Trisno dipercaya menjadi penerima SATU Indonesia Award untuk mengelola Kampung Berseri Astra (KBA). Berkat Trisno, Desa Menari Tanon menjadi Kampung Berseri Astra pertama di Jawa Tengah.

Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program yaitu Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan.

Melalui program Kampung Berseri Astra, masyarakat dan perusahaan dapat berkolaborasi bersama mewujudkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas dan produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Kehadiran Astra di Desa wisata Menari Tanon dengan empat pilar tersebut disinergikan sehingga mempercepat perkembangan konservasi desa yang dikelola warga.
Desa Menari Tanon menjadi desa binaan ASTRA sebagai KBA pertama di Jateng. Foto;Arnee
Trisno menjelaskan, di bidang pendidikan, diimplementasikan melalui program Beasiswa Astra Lestari kepada 36 anak Dusun Tanon untuk menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Selain itu, warga juga mendapat pendidikan informal melalui ketrampilan berbicara dengan baik.

Sedangkan penerapan pilar program kewirausahaan digulirkan dalam bentuk berbagai pilihan paket wisata dan pasar rakyat. “Wisatawan bisa memilih paket wisata yang diinginkan untuk merasakan pengalaman aktivitas keseharian sebagai petani menanam padi, memerah susu sapi, belajar menari hingga outbond. Kami juga menyediakan homestay yang ingin live-in,” jelasnya.
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan dan hasil bumi Dusun Tanon. Foto:Arnee
Di bidang kesehatan, Astra memfasilitasi pemeriksaan kesehatan gratis warga Dusun Tanon. Tidak hanya mendirikan posko pelayanan kesehatan Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) dan fisioterapi tapi juga menyiapkan kader kesehatan untuk 'jemput bola' sehingga warga lebih mudah cek kesehatan.
Posko pelayanan kesehatan gratis di Dusun Tanon. Foto: Arnee



Petugas kesehatan di posko pelayanan kesehatan sedang melayani warga yang ingin memeriksa kesehatan anaknya. Foto:Arnee
Astra juga membantu di pilar lingkungan dengan penataan zonasi dan pembenahan lokasi outbound, konservasi mata air serta memfasilitasi perbaikan sarana prasarana rumah warga yang disiapkan menjadi homestay dan  disewakan dengan tarif Rp 50 ribu/malam.

Penanda homestay di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Sebagai desa wisata, konsep Desa Menari Tanon menghadirkan kehidupan desa dengan membangun narasi yang baik, sehingga harmoni Desa Menari dapat menjadi inspirasi dan menerbar kebaikan yang akan menjadi memori bagi warga dan pengunjung Dusun Tanon.

Keberhasilan Trisno mengangkat potensi wisata di kampungnya tak lepas dari totalitas, dedikasi, serta kecintaannya sebagai putra Dusun Tanon. Begitu juga rasa memiliki yang tertanam dalam jiwa seluruh warga Tanon yang menjadi bagian dari proses program yang dijalankan.

Trisno puas dengan pencapaian warga Dusun Tanon. Dan ia punya harapan besar.

“Saya cukup bahagia dengan perkembangan Tanon, meskipun saya ingin membuat terobosan baru. Semoga semangat ini tidak hanya milik warga Tanon tapi juga menular ke desa lain dan seluruh masyarakat di negeri ini,”harapnya.

Sebagai desa wisata, Desa Menari Tanon menjadi Ikon Kebanggaan warga dan masyarakat Jawa tengah. Itu artinya juga menjadi ikon kebanggan Indonesia.

Ya, karena #KitaSATUIndonesia dan #IndonesiaBicaraBaik akan menghasilkan peradaban yang baik pula. Seperti yang dilakukan Trisno bersama warga Dusun Tanon.


Jumat, 27 Desember 2019

Penantian Para Penyintas Jugun Ianfu


Usianya sudah menginjak 87 tahun. Tapi gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya yang tirus. Malah senyum selalu mengembang di bibirnya kala menceritakan kesehariannya di sebuah rumah sederhana berlantai tanah.

Di ruang tengah rumahnya, hanya ada tikar lusuh. Dan Paini –begitu dia dipanggil, bertukar cerita dengan saya sembari memutar kembali ingatannya ke masa pendudukan Jepang.

Kata dia, di kurun waktu 1942-1945, serdadu Jepang datang ke kampungnya di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah. Mereka kemudian merekrut para perempuan dan lelaki muda untuk kerja paksa atau romusha. Dan Paini, adalah satu di antaranya yang baru berusia 13 tahun.
“Waktunya istirahat nggak boleh istrahat, harus kerja. Dikasih pekerjaan apapun saya harus mau, kalau nggak mau pasti saya dipukuli. Bukan hanya kerja angkatin batu, tapi juga angkatin tanah," kata Paini lirih.

"Sudah selesai di dapur, saya di disuruh minta makan di kampung lain. Disuruh ngemis-ngemis minta makanan. Saya jalanin itu supaya selamat, jangan sampai dipukuli. Makan pun kalau saya nggak cari sendiri saya nggak bisa makan.”

Di tangsi militer Kamp Garuda –milik Jepang itu, Paini kecil dipaksa bekerja tanpa imbalan uang dan makanan.

Dia sendiri bahkan tak berdaya ketika dilarang pulang ke rumahnya hanya untuk menengok keluarga atau suami yang baru setahun dinikahi. Dan yang kian membuatnya murka, tatkala dirinya dipaksa melayani hasrat seksual seorang pria berbaju kimono.
“Saya tidak tahu kalau ada orang di belakang saya. Saya lalu disikep (peluk dari belakang-red). Dibekap mulutnya. Dipaksa, saya dipaksa suruh melayani (tentara Jepang). Saya duduk sendirian sambil menangis.”

Paini, adalah saksi hidup sekaligus korban perbudakan seks tentara Jepang pada Perang Dunia ke-2. Korban kejahatan tentara Negeri Matahari Terbit itu membentang dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Timor Leste, hingga Indonesia. Dan diperkirakan korbannya lebih dari 200 ribu perempuan.
Penderitaan Paini, berlangsung kira-kira satu setengah bulan. Hingga kemudian, dua serdadu Jepang bernama Haruka San dan Handika Motto, menyelamatkannya.
“Saya menjerit, lalu ada yang mendengar dan menolong saya. Saya ingat nama yang menolong yaitu Haruka San dan Handika Motto.”

Tapi kepulangannya dari Kamp Garuda, tak disambut gembira keluarganya. Paini justru disangka selingkuh dengan tentara Jepang hingga akhirnya diceraikan sang suami.

Paini lantas menikah untuk kali kedua, tapi usia perkawinan itu tak bertahan lama.
“Waktu ada pelecehan itu, saya terus diceraikan oleh suami. Baru lima bulan orangtua saya menerima lamaran lagi. Baru tujuh bulan, saya diceraikan lagi sama suami yang kedua."

***

Kegetiran Paini, juga dialami Sri Sukanti. Tatkala umurnya sembilan tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Rakyat –kini Sekolah Dasar, ia dibawa paksa tentara Jepang untuk melayani hasrat seksual Ogawa –seorang komandan regu.

Di kediaman sekaligus kantor Ogawa, Sri Sukanti dikurung. Di dalam Gedung Papak, Grobogan –yang merupakan bekas bangunan Belanda itulah, Sri kecil tak berdaya melawan tubuh besar lelaki bermata sipit tersebut.
“Ayah saya semaput (pingsan-red) lihat saya dibawa. Dikira mau dibunuh. Waktu diambil Jepang saya diajak tidur, bokong dielus-elus,” ucap Sri Sukanti dengan bibir bergetar.

Atas perintah Ogawa pula, penjagaan ketat dilakukan. Sehingga tak ada yang bisa menolongnya.
“Yang jaga dua, di depan pintu. Saya dikunci di kamar, dijaga kalau ada yang nengok-nengok dibentak sama yang jaga. Jepang itu memang kejam.”

Enam bulan, Sri kecil menjadi budak seks tentara Jepang Ogawa. Ia pun masih ingat dirinya disuntikkan obat anti-hamil berkali-kali di pinggul kiri sebelum akhirnya dipulangkan ke orangtuanya.
“Iya biar nggak punya anak. Suntikannya nih..nih.. Waktu disuntik satu minggu nggak bisa bangun.”
Suntikan itu rupanya berdampak panjang. Ia tak bisa memiliki anak meski telah menikah dua kali. Pertama dengan pria asal Semarang, namun berpisah. Dan kini, dengan Sidik Tonys yang setia mendampinginya.

Catatan Komnas HAM menyebut, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu.
Dan hingga kini, belum ada permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Negeri itu belakangan hanya bersedia meminta maaf pada ianfu yang berasal dari Korea Selatan, Tiongkok.

***
Kembali ke Paini. Perih akibat perlakuan tentara Jepang, takkan mungkin dilupakan.
“Saya dilecehkan dengan penjajah itu. Malu saya.. memalukan. Biarpun saya dilecehkan, biarpun saya tidak berguna, jiwa saya itu nggak suci lagi saya terima. Tapi saya itu kalau ingat, menyesal sekali, sakit hati. Kalau malam nggak bisa tidur, ingat jiwa saya itu sudah tidak suci lagi, sudah tidak berguna..”

Dan kini, janda empat anak ini tinggal bersama anak perempuan sulungnya di rumah sederhana berlantai tanah itu.

Permintaan Maaf dan Kompensasi
Di rumahnya sederhana –berlantai tanah di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah, Paini tinggal bersama anak perempuan sulungnya.
Suaminya, meninggal 20 tahun lalu. Maka dia harus menghidupi dirinya sendiri dan sang anak, dengan menjadi buruh lepas; mengisi pot sayuran. Dari situ, dia bisa mengantongi 50 ribu dari lima ribu pot.

Tapi jika tak ada pesanan, Paini hanya mengandalkan pemberian anak-anaknya yang juga serba pas-pasan.
“Satu pot kalau sama ngeranjangi itu cuma seribu, satu pot. Kan masih untung, buat beli beras sekilo, sayurnya cari sendiri di tempat keponakan. Masih terimakasih nenek masih sehat,” imbuh Paini.
Di usianya yang sudah 87 tahun, dia juga masih bisa menyusuri jalan kampung mencari kayu bakar dan rumput.

Perempuan sepuh lain, Sri Sukanti –yang hidup sebatang kara, kini bergantung pada uluran tangan orang sekitarnya. Sementara suaminya yang dulu bekerja sebagai kuli bangunan, tak bisa lagi diandalkan.
“Aku nggak malu, aku minta-minta pada orang kampung buat beli nasi. (Sejak kapan terima raskin?) Sudah lama, kalau nggak begini nggak makan,” kata Sri Sukanti.

Di Salatiga, Sri Sukanti bersama suami, tinggal di rumah yang sangat sederhana. Dinding kusam rumah itu dipenuhi foto dia dan keluarganya. Isi perabotan seolah dibiarkan berantakan tak terurus.
Hanya ada satu kamar tidur yang bersebelahan dengan dapur. Di situ, rak kayu yang sudah lapuk, dipenuhi piring dan panci. Di lantai, sebuah tungku teronggok.
Sementara di ruang depan, penuh sesak. Di sisi kanan rak papan televisi berukuran 14 inchi, perabot rumahtangga bertumpuk. Dan bau pesing, begitu menyengat.

***
Catatan Komnas HAM, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu. Dua di antaranya adalah Paini dan Sri Sukanti.
Karena itulah, sejumlah pihak; Komnas HAM, LBH Yogyakarta, dan lembaga lain yang mengatasnamakan Ianfu Indonesia gencar memperjuangkan hak penyintas. Salah satunya, mengajukan gugatan kompensasi atas kerugian materil dan imateril yang dialami para penyintas.

Hingga pada 1997, Asian Women’s Fund (AWF) –sebuah organisasi swasta Jepang mengucurkan dana santunan bagi para penyintas melalui Departemen Sosial RI. Nilainya sebesar 380 juta yen atau setara Rp1,1 Triliun. Tapi uang itu, tak pernah sampai ke tangan Paini pun Sri Sukanti.

“Katanya ada imbalan segini..segini.. Sampai sekarang kok nggak datang. Imbalannya itu saya masih ingat kalau nggak salah 100 juta. Sampai sekarang imbalan dari Jepang itu belum pernah seperserpun saya terima. Saya ikhlas,” jelas Paini.

Uang triliunan itu rupanya dialokasikan Departemen Sosial untuk membangun Panti Wreda khusus penyintas Jugun Ianfu di sejumlah kota di Indonesia.

Karena dana itu digunakan dengan tak semestinya, para penyintas melayangkan surat gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat.
“Dibawa kemana-mana. Ke Yogya kalau nggak salah, sembilan kali diwawancarai. Yang paling banyak di Solo. Terakhirnya saya dibawa ke Jakarta. Saya pun sampai diangkat di podium untuk bicara. Tapi sampai sekarang nol nggak ada apa-apanya,” sambung Paini.

Heruwaty Wahyu, Kepala Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran, Jawa Tengah membenarkan, pernah ada proyek dari pemerintah pusat untuk membangun wisma untuk penyintas Jugun Ianfu di areal pantinya.
“Jugun Ianfu suatu proyek sendiri, bantuan dari Jepang kalaupun saya pimpro saya nggak dipegangin. Bantuan yang jugun ianfu itu hanya fisiknya pandu itu saja. Jadi kita hanya menyediakan lahan. Khusus untuk ianfu sekarang difungsikan untuk yang lain, untuk lansia yang terlantar-terlantar tapi bukan jugun ianfu,” jelas Heruwaty Wahyu.

Wisma yang diberi nama Pandu Dewanata dibangun pada 1997 dengan fasilitas lima kamar tidur dan televisi. Di tahun yang sama juga, pemerintah membangun empat panti yang tersebar di sejumlah kota.

Namun, Paini menolak tinggal di panti dengan berbagai alasan.
“Nggak mau saya. Saya mau di rumah saja, kerja, kumpul sama cucu anak. Terus terang daripada saya dibawa ke panti jompo, dikasih uang 10 ribu dibuat jajan saya ikhlas. Tapi kalau dibawa ke panti jompo, saya nggak mau. Biarpun kayak gini kotor tempatnya. Nggak apa-apa. Kalau saya dibawa ke panti jompo nanti anak saya cucu saya yang repot.”

Para penyintas seperti Paini dan Sri Sukanti, hidupnya sengsara. Hak yang seharusnya mereka peroleh, justru tak diberi. Pemerintah Indonesia sendiri malah menganggap kejahatan yang dilakukan tentara Jepang, sudah selesai. Tapi, tidak bagi Paini.

“Saya ditanyakan apakah sanggup ngasih maaf sama orang Jepang? Kalau saya berhadapan sendirian ya saya mau bisa ngasih maaf. Tapi kalau saya nggak bisa berhadapan sendiri apa bisa saya ngasih maaf? Kan nggak bisa. Yang penting saya dikasih kesehatan, dilindungi, dikasih kekuatan sama Allah saya sudah terimakasih. Saya ikhlas.”

Noted :
Perjalanan menemui Sri Sukanti dan Paini dilakukan pada tahun 2016
Elizabeth Sri Sukanti atau Mbah Sri, penyintas jugun ianfu paling muda meninggal dunia di Kota Salatiga pada 20 Desember 2017 di usia ke-84.

Revitalisasi Kota Lama Semarang, Pelestarian bangunan bersejarah dengan “Beautifikasi”


Kota Lama Semarang yang dulu nyaris terlantar, kini dibanjiri pelancong. Revitalisasi bertahap, mampu menghidupkan kawasan yang dikenal dengan sebutan Little Netherland. Namun, revitalisasi ini dikritik karena dianggap menghilangkan keautentikan sejarah.
======
Suasana Malam di Kota lama Semarang. Foto:Noni
Sudut-Sudut Kota Lama menjadi Objek Swafoto yang Menarik. Foto:Noni


Senja di langit Kota Lama Semarang berganti malam. Suasana di depan Gereja Blenduk justru semakin ramai dengan lalu lalang pejalan kaki dan kendaraan yang melintas di depan bangunan yang didirikan pada 1753, dan salah-satu ikon penting Semarang.
Tak hanya itu, segerombolan anak muda nampak asyik bergaya dan berfoto bersama di depan gereja yang berada di jalan utama Kawasan Kota Lama yang dulu disebut de Herenstaart ( sekarang Jalan Letjend Suprapto).
Pengamen jalanan menjadi hiburan para pelancong di Kawasan Kota Lama Semarang. Foto : Noni

Semakin malam Kawasan Kota Lama, semakin ramai dengan pelancong yang ingin menikmati suasana dan hiburan musik jalanan yang ada di sejumlah titik di bibir jalan.
Pemandangan seperti itu sebelumnya jarang terlihat di kawasan gereja Blenduk dan sudut-sudut lainnya. Saat beranjak malam, kala itu, orang-orang berpikir ulang untuk mengunjungi kawasan kota lama yang dianggap “rawan” dan gelap.

Tapi, Lima tahun terakhir ini perlahan berubah. "Sekarang makin ramai, makin terang jalan-jalannya," aku Dian Ariesyana, warga setempat, yang menyulap rumahnya di seberang Taman Srigunting sebagai tempat usaha. "Dan, aman. Kami senang, tentu saja..."," tambahnya.
Banyak gedung kuno di kawasan Kota Lama yang semula tidak terawat, direstorasi oleh pemiliknya dan disulap menjadi Kafe dan usaha lainnya sehingga kawasan ini menjadi lebih “hidup”.

Revitalisasi Bertahap

Sudah sejak lama ada kesadaran yang terus tumbuh untuk merawat sejarah dengan berikhtiar menyelamatkan ratusan gedung tua di kawasan Kota lama Semarang.

Toh, pekerjaan rumah untuk menyelamatkan semua bangunan tua bersejarah yang sebagian masuk kategori cagar budaya, serta kawasan Kota Lama Semarang secara menyeluruh, bukanlah seperti membalik tangan.

Upaya penyelamatan gedung-gedung tua di Semarang, yang sebagian masuk kategori dilindungi, dihadapkan pada masalah klasik, yaitu dana.

Revitalisasi tidak terlepas dari tangan dingin Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, yang sejak dua tahun lalu, menggenjot pembangunan fisik di kawasan itu, dengan guyuran dana pemerintah pusat hingga Rp160 miliar.

Sempat tersendat pada awalnya, proyek ambisius Hendi - panggilan akrabnya - mampu merevitalisasi sekitar 80% dari 116 bangunan cagar budaya dan memugar infrastruktur pendukungnya hingga September 2019 lalu. Tahun ini, revitalisasi memasuki tahap kedua.

Setelah terpilih sebagai Wali Kota Semarang pada 2012, Hendi meneken apa yang disebut Piagam Komitmen Kota Pusaka, yang intinya semacam komitmen untuk mengajak semua pihak menyelamatkan kawasan kota lama.
Suasana sore di Kota Lama pasca Revitalisasi Tahap Pertama. Foto:Noni

Langkah awal, dilakukan dengan memperbaiki salah-satu persoalan terbesar, yaitu rob dan banjir di kawasan kota lama, dengan memperbaiki sistem drainase perkotaan Kali Semarang.
Lainnya? "Kami terus memprovokasi para pemilik gedung (yang masuk kategori cagar budaya) untuk bersama-sama menjadikan Kota Lama sebagai ikon Semarang," kata Hendi, empat tahun silam.

Pelibatan pemilik gedung, memang, menjadi sangat penting, karena keberadaan gedung-gedung itu merupakan daya tarik kawasan itu. Masalahnya, dari 245 bangunan di kawasan itu, 177 dan 68 bangunan merupakan milik perorangan dan swasta.

Sudah menjadi rahasia umum, tidak semua pemilik bangunan mau merogoh kocek untuk merestorasi bangunan miliknya, karena memang tidak murah. Itulah sebabnya, mereka justru ingin gedungnya tidak termasuk yang dilindungi, sehingga mereka bisa menjualnya.

Pemerintah Kota Semarang sampai turun tangan dengan memberikan keringanan 50% Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada pemilik gedung lama yang mau memperbaiki dan merawatnya.
"Itu salah-satu insentif bagaimana kita untuk merevitalisasi kawasan kota lama," kata Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu.

Mereka juga menawarkan investor baru untuk mengelola gedung apabila mereka tidak mampu melestarikannya. "Kalau mereka tidak mau mampu, kita akan carikan investor," ujarnya.

Demi merangsang kesadaran para pemilik gedung tua, Pemkot Semarang bahkan membeli salah-satu gedung cagar budaya bernama Oudetrap di dekat Gereja Blenduk, dan disulap menjadi gedung serbaguna.

Dihadapkan kembali pada masalah dana, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi meminta uluran tangan pemerintah pusat agar terlibat mendanai revitalisasi Kota Lama karena kucuran dana APBD Jawa Tengah dan Kota Semarang, dianggap tidak cukup untuk membiayai proyek ambisius meremajakan kawasan tersebut.

"Ada anggaran Rp5 miliar, tapi itu hanya cukup untuk pembangunan satu ruas jalan. Lah, kapan selesainya," kata Hevearita.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akhirnya menggelontorkan total anggaran Rp183 miliar untuk merevitalisasi kawasan tersebut pada 2017.
"Penataan dilakukan agar kawasan lebih tertata, nyaman dan bisa menjadi tujuan wisata," kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono saat meninjau pengerjaan penataan kawasan Kota Lama Semarang, akhir Maret 2019 lalu.

Menteri PUPR meminta agar penyelesaian proyek itu tetap memperhatikan kebersihan kota dan berhati-hati agar tidak merusak situs budaya yang ada di Kota Lama. "Ini merupakan pekerjaan seni, sehingga perlu diperhatikan detil dan kerapihannya," ujar menteri.

Revitalisasi kawasan ini meliputi penataan prasarana dan sarana seperti utilitas saluran PDAM, kabel telepon, serta listrik. Kementerian PUPR juga memberikan fasilitas tambahan, diantaranya tempat duduk panjang, tempat sampah, lampu penerangan jalan utama dan trotoar.

Dalam rangkaian ini, pemerintah pusat juga melakukan perbaikan jalan, drainase, halte, hingga dua kolam retensi Berok dan Bubakan yang akan dipompa dan dialirkan menuju kali Semarang.
Sampai September 2019, tahap pertama revitalisasi sudah dinyatakan berakhir, dan ada sekitar 116 bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Semarang yang hampir 80% sudah direvitalisasi.
"Memang ada yang belum (direvitalisasi), karena ada yang kepemilikannya belum jelas.Masalah lainnya, bangunan cagar budaya masih menjadi sengketa," kata Hevearita.

Saat ini, dia mengklaim pemkot Semarang tengah menelusuri satu per satu tentang status hukum aset tersebut.

Selama tahap pertama revitalisasi, pemkot Semarang menitikberatkan kepada upaya pemugaran gedung-gedung cagar budaya di kawasan itu, dengan melibatkan pemiliknya dan investor baru.
Harapannya, gedung-gedung itu dapat "disulap" menjadi bernilai ekonomi, seperti dijadikan kafe, restoran, atau galeri seni serta ruang pameran dan kegiatan budaya.

"Kota lama kita revitalisasi harus dengan rohnya juga. Rohnya apa? Ya, aktivitas ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat yang ada di dalamnya," kata Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Pada 2015 lalu, keterangan resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Keautentikan Sejarah Kota lama Dipertanyakan

Rukardi, Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah, KPS, Semarang, menghargai upaya revitalisasi Kota Lama Semarang, namun dia mengatakan "banyak catatan" dalam prosesnya. Terlebih proses revitalisasi dalam azas pelestarian. “Ada beberapa bangunan yang direnovasi, namun kemudian bentuknya berubah dan berbeda dari aslinya.

Pegiat sejarah menganggap ornamen seperti pembatas jalan, lampu-lampu dan gardu telepon sebagai "salah konteks". Bahkan kalangan pegiat sejarah di Semarang menyebut proses revitalisasi sebagai "beautifikasi".
Air Mancur di Jalan Let Jen Suprapto Kota Lama Semarang. Foto:Noni

"Konservasi (bangunan cagar budaya) itu 'kan mengembalikan sesuai dengan aslinya, tapi yang terjadi, justru lebih banyak polesannya. Misalnya gardu telepon (warna merah) yang sangat British, meskipun itu ada fungsinya untuk charger, yang sangat aneh di situ. Chargernya bisa dipakai, lah gardu telepon buat apa? Pajangan saja? Ini tidak tepat," cetus Rukardi.
Red Box yang difungsikan untuk charger. Foto:Noni


Pendapat senada juga diutarakan pegiat Kota Tua Semarang, Tjahjono Rahardjo, yang mengaku khawatir dengan berbagai aksesori, seperti lampu jalan, pembatas jalan, serta elemen yang tidak terkait kota lama. "Seperti telepon boks merah atau pancuran air yang kita temukan di Inggris. Untuk apa kita masukkan ke situ? Semua ada sejarah, lah kita kok tiba-tiba muncul di kota lama, dari mana? Itu ada sejarahnya."?" katanya.

Pemasangan lampu mirip dengan lampu-lampu jalan di era Victoria di Inggris yang terlalu banyak dan mencolok dianggap 'menganggu' dan mengesampingkan keindahan bangunan cagar budaya. Kehadiran aksesoris seperti itu, justru mengalahkan keberadaan bangunan cagar budaya yang relatif baik.

“Semestinya sebagian lampu dapat digunakan untuk menyorot bangunan cagar budaya. Pantulan gedung itu akan menerangi jalan, itu akan indah sekali bangunannya. Bangunannya kelihatan menonjol, jalan juga terang," katanya. "
Yang terjadi, keberadaan bangunan kalah oleh kehadiran lampu-lampu jalan.

Lebih lanjut, Rukardi menganggap pemugaran beberapa gedung cagar budaya tidak sesuai kaidah konservasi. Salah satu contoh, gedung eks percetakan peninggalan kolonial Belanda yang sekarang difungsikan sebagai rumah makan Pringsewu. Bangunan ini pernah terbakar dan bangunan dalamnya sudah hancur, walau bangunan depan dan atapnya masih terlihat.

“Setelah diperbaiki, bangunan yang semula asimetris, terutama bagian atapnya, itu menjadi simetris. Saya punya dokumentasinya. Apakah ini yang dimaksud konservasi? Tentu saja tidak, karena pengertian konservasi itu mengembalikan sesuai aslinya," papar Rukardi.

Contoh lain, Gedung Eks Van Dorp yang kini berfungsi sebagai Museum 3D DMZ di Jalan Branjangan, Kota Lama Semarang yang kini dicat warna-warni tidak sesuai dengan Perda RTBL tahun 2003 tentang kota lama.
"Ini cermin ketidaktegasan dari BP2L maupun pemkot Semarang dalam menegaskkan aturan yang berlaku. Salah-satu pasal dalam perda itu menyebutkan soal warna cat bangunan cagar budaya yang sudah ditentukan warna-warnanya, yaitu warna-warna pastel, soft," akunya.
Gedung Eks Van Dorp yang kini menjadi Museum 3D DMZ. Foto: Noni

Padahal, menurutnya, itu adalah gedung yang sangat penting. "Itu bekas salah-satu percetakan swasta pertama terbesar di Hindia Belanda. Kemudian kalau kita lihat interiornya, sudah sama-sekali hilang bentuk aslinya," katanya.

Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan selama ini pihaknya terbuka menerima masukan dari siapapun terkait proyek revitalisasi itu. "Kita juga sudah mengakomodir dan melakukan sosialisasi pada awalnya. Kalau perencanaan itu, ada pada pemerintah pusat, karena uangnya dari pusat."

Namun diakuinya ada diskusi antara pemkot Semarang dan Kementerian PUPR, misalnya, tentang disainnya. "Kalau ada hal-hal yang memang perlu didiskusikan, pemkot juga ikut terlibat. Pak Wali Kota juga memberikan masukan-masukan sebelum dibangun," ujarnya.

Dia memberikan contoh pihaknya memberikan masukan tentang kehadiran pembatas antara trotoar dan jalan raya.
"Pasti setiap pembangunan tidak akan memuaskan semua pihak," katanya. "Kalau kita nanti yang enggak senang sedikit daripada yang banyak, lebih baik mendengatkan yang banyak."

Diakui oleh Rukadi, bagi orang awam kebanyakan, perubahan Kota Lama Semarang sangat mencolok dan keren. Instagramable. Seharusnya upaya revitalisasi itu bisa menghargai keautentikan sejarah.

''Tapi kalau dari sisi konservasi, kalau menurut teman-teman, itu merupakan proses beautifikasi, terlalu banyak pupurnya," kata Rukardi menekankan.

Sementara, pegiat kota lama Semarang, Tjahjono Rahardjo juga mempertanyakan motivasi pemerintah dalam merestorasi kawasan Kota Lama Semarang. Untuk tujuan wisata atau menjadi kota pusaka.

"Mau dibawa ke warisan budaya dunia seperti yang selalu didengung-dengungkan atau menjadi daerah tujuan wisata? Ini dua hal yang berbeda," ujarnya, setengah bertanya.
Menurutnya, Kalau berniat menjadikannya sebagai warisan budaya dunia UNESCO, seharusnya tidak ada kata-kata 'turisme'. Dikatakan status World Heritage ini, menurutnya, adalah komitmen. Kalau sudah ditetapkan sebagai World Heritage, makan harus berkomitmen menjaga otensitasnya, keaslian bangunannya.

"Karena kebingungan itu, yang terjadi seperti sekarang ini. Kota lama ini menjadi seperti Dufan atau Disneyland, padahal itu tidak yang diminta oleh UNESCO," katanya.
Gedung Monod Huis di Jalan Kepodang yang sudah di revitalisasi. Foto :Noni


Untungnya, lanjutnya, bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Semarang, relatif tidak banyak berubah.  Ada sejulah bangunan milik pribadi yang dikonservasi sesuai kaidah dengan mempertahankan keasliannya. Misalnya, Gedung Monod Huis, Oudetrap, De Indische Llioyd milik Oei Tiong Ham Concern yang kini menjadi Semarang Contemporary Art Gallery

"Jadi pelestarian bangunan (di kawasan Kota Tua Semarang), masih dalam koridor," akunya.

Noted : Semua karya dalam bentuk teks dan foto adalah milik pribadi penulis. Dilarang menduplikasi, menyalin dan mengambil tulisan dan atau foto tanpa menyebutkan sumbernya / copyright

Selasa, 10 Desember 2019

Ketika Pedagang di Pasar Tradisional Semarang Bertransaksi nontunai

Suasana Pasar Semarangan Tinjomoyo begitu ramai siang itu. Ratusan pengunjung memanfaatkan akhir pekan dengan mencicipi berbagai penganan di pasar tersebut. Mulai dari nasi kebuli, mie ayam, hingga sate tersedia di berbagai lapak bambu beratap daun aren berukuran 2x1 meter.
Karena animo masyarakat sangat tinggi, sekitar 200 pedagang di sana dibuat kewalahan. Mereka tidak hanya melayani pesanan para pengunjung, tapi juga sibuk membimbing pembeli cara membayar makanan.
Titik Ika Purbianti, penjual wedang kawi salah satunya. Dengan sabar dia mencontohkan penggunaan 'Yap', sebuah aplikasi pembayaran non tunai yang wajib digunakan untuk transaksi di Pasar Semarangan Tinjomoyo.
"Ini benar-benar baru, ada yang merasa ini kok aneh cuman beli kayakgini repot banget dan customer tidak jadi beli. Ada yang sudah makan minum dan waktu membayar belum tahu caranya. Kami sampaikan kalau pembayaran dengan uang elektronik," jelas perempuan yang menghias lapaknya dengan kain batik dan alat masak dari tembikar.
Sudah sekitar empat bulan Pasar Semarangan hadir dengan transaksi non tunai menggunakan aplikasi Yap yang bisa diunduh gratis di ponsel android. Kartu elektronik pengganti uang tunai dari Bank BNI juga bisa dipakai di pasar ini.
Tidak merasa kerepotan, Syahnaz Nadia, justru ketagihan datang ke Pasar itu. Warga Kota Semarang ini mengaku sudah tiga kali datang bersama suami dan kedua anaknya untuk menikmati aneka kuliner.
"Makanan enak-enak, ada permainan anak-anak. Kalau dilihat dari konsepnya bagus, cashless. Waktu dibuat memang sudah diinformasikan ke masyarakat. Bukan masalah gampang atau tidak tapi tergantung kebiasaan," tuturnya kepada wartawan di Semarang, Nonie Arni.

Edukasi

Transaksi non tunai di Pasar semarangan diakui pihak penyelenggara membuat banyak pengunjung merasa kesusahan. Namun, ada nilai edukasi di baliknya.
"Perbankan mensupport, memperkenalkan ke masyarakat pasar digital. Memang kelihatan ribet tapi di sinilah edukasinya. Butuh effort yang tinggi untuk mengedukasi pedagang dan masyarakat untuk mengikuti perubahan zaman.
"Ya memang awalnya akan menganggap ribet tapi nanti sesudahnya enak. Kita belajar sama-sama," kata Shafiqh Pahlevi Lontoh ketua Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Jateng sebagai panitia pelaksana Pasar Semarangan.
Pasar digital ini diinisiasi Pemerintah Kota Semarang bersama Komunitas GenPI Jateng, sebuah komunitas yang dibentuk Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Republik Indonesia untuk mendukung program kota pintar dan berkelanjutan yang tengah dikembangkan Pemkot Semarang.
Walau baru berusia kurang dari enam bulan, Pasar Semarangan diklaim mampu menarik animo pengunjung yang cukup tinggi.
"Transaksi makanan sold out semua, launching laris. Harga makanan berkisar antara Rp5.000 sampai Rp25.000. Bisa mencapai Rp20 juta per hari. Pengunjung bisa mencapai 5.000 orang. Pemasukan dua hari bisa untuk menutup retribusi di Hutan Wisata Tinjomoyo selama tiga tahun," klaim Shafiqh.
Dengan transaksi nontunai, pasar yang terinspirasi dari pasar antik di Paris ini ingin membangun budaya pasar modern yang mempunyai nilai tambah komersial.
Untuk mewujudkannya, Shafiqh Pahlevi Lontoh menjelaskan strateginya.
"Masing-masing beda, punya karakter. Kita mengkurasi lapaknya makanannya tidak boleh sama, harganya. Lalu penyajiannya dari penjual tidak boleh sembarangan. Pakaiannya, misalnya, mengenakan kain lurik. Itu kan instagrammable dan jadi promosi gratis," paparnya.

Imbas ekonomi ke warga

Pasar Semarangan yang didirikan di lahan bekas kebun binatang di Hutan kota Tinjomoyo sebenarnya hanya satu dari sekian banyak perwujudan kota pintar yang mendatangkan imbas ekonomi ke warga.
"Ini kemajuan era teknologi informasi. UMKM diajari dan akhirnya bisa karena metode sederhana hanya diperlukan gadget. Yang penting pergerakan ekonomi cepat.," kata Walikota Semarang, Hendar Prihardi.
Menurut Hendar, digitalisasi akan menggerakkan ekonomi Semarang lebih cepat. Hal ini terlihat dari meningkatnya pertumbuhan jumlah UMKM di Kota Semarang di kisaran 1,71% per tahun dengan pergerakan aset hingga Rp7,5 miliar. (non)

Nelayan Karimunjawa Bergerak Melestarikan Penyu Langka

Jepara, JAWA TENGAH – Masih maraknya perdagangan telur dan konsumsi daging penyu membuat program konservasi satwa langka tersebut sulit dilakukan. Namun, dengan melibatkan nelayan setempat sebagai pelaku utama konservasi, seperti halnya di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, penyelamatan penyu dapat berjalan.

Program konservasi penyu di Karimunjawa dimulai sejak tahun 2003 ketika tim Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) melakukan pendataan keanekaragaman hayati di wilayah Taman Nasional Karimunjawa yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 1999.
Saat melakukan pendataan, petugas BTNKJ menemukan bahwa masyarakat setempat memperdagangkan telur dan mengkonsumsi daging penyu.

“Kami lihat telur penyu di jual bebas di warung dan pasar. Telur dan daging penyu dimakan. Kami telusuri dari mana asal telur, tanya warga, nelayan dan cek ke lapangan berharap menjumpai penyu bertelur, bekas sarang penyu, sisa telur penyu bekas biawak. Semua didata,” jelas Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa, kepada Ekuatorial akhir September lalu.

Sutris, yang saat itu masih menjadi polisi hutan mengatakan, Karimunjawa merupakan kawasan penting bagi penyu karena menjadi lokasi pantai peneluran (nesting beach), tempat mencari makan (feeding place) dan berkembangbiak.

Berdasarkan karakter habitat, pantai peneluran, bekas sarang dan telur menetas, penyu sisik (Eretmochelys imbricata) lebih banyak ditemukan di kawasan konservasi Laut Karimunjawa.
Sementara, penyu lainnya, seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu lekang (Lepodichelys olivaceae), jumlahnya tidak signifikan.
“Iya, khususnya penyu sisik, nelayan sering menjumpai penyu remaja sedang mencari makan, dewasa bertelur, dan kawin. Tidak semua tempat bisa jadi ketiga aktivitas tersebut,” kata Sutris menambahkan mereka membutuhkan waktu tiga bulan untuk melakukan pendataan.

Odang (Red: bukan nama sebenarnya), salah satu warga Desa Kemujan, Karimunjawa mengatakan, nelayan Karimunjawa biasa menjual dan memakan telur penyu. Selain itu, daging penyu juga dimanfaatkan sebagai syarat ritual, misalnya sesaji acara selapanan (Red: memperingati hari kelahiran anak selang 35 hari).
“Dulu ngambil dan dijual ke tengkulak Rp1000 per butir. Dagingnya bikin tubuh hangat, bikin orang penasaran akhirnya makan. Sembelih juga kalau ada acara. Sekarang sudah tahu dan sadar karena ada sosialisasi kalau penyu dilindungi, tapi masih ada yang curi-curi,” jelas Odang yang mengaku pernah makan daging penyu sisik.

Khawatir dengan keberadaan penyu di Karimunjawa, terutama dengan ancaman perburuan, maka petugas BTNKJ pun berinisiatif melanjutkan aksi perlindungan penyu dengan merintis program konservasi penyu di tahun 2003.
“Awalnya dibiarkan menetas alami tapi ketika dicek telur-telur lenyap. Nelayan mencari ikan kemana-mana, istirahat dan berlindung dari cuaca buruk di pulau nemu sarang, diambil telurnya dibawa pulang di konsumsi. Sedih sekali kecolongan terus. Akhirnya, [nelayan] didekati pelan-pelan kalau nemu telur jangan diambil tapi lapor petugas diambil sama-sama untuk ditetaskan,” kata Sutris.
Ia mengatakan para nelayan dilibatkan dalam upaya konservasi penyu karena daya jelajah dan insting yang kuat untuk mengidentifikasi keberadaan sarang penyu serta karakter lokasi peneluran.

Sepuluh nelayan pun bergabung dalam Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa sejak tahun 2003 untuk upaya konservasi ini. Hingga kini, total ada 45 nelayan yang membantu petugas mengevakuasi telur penyu di pantai peneluran yang tersebar di 22 pulau di kawasan konservasi laut Karimunjawa.
“Karena satwa dilindungi kami fokus pada penetasan, kami yang menyelesaikan penetasan dengan bantuan nelayan. Tapi, tidak semua aktif karena keterlibatan ini tidak mengikat. Data BTNKJ, 63 nelayan telah melaporkan temuan sarang penyu, katanya.

Ia melanjutkan bahwa awalnya nelayan menolak karena memilih menjual dan mengkonsumsi telur penyu ketimbang melaporkan hasil temuannya, sehingga BTNKJ pun menyiasati dengan mengalokasikan anggaran evakuasi sarang berupa uang ganti bahan bakar solar dengan pola pembayaran langsung.
“Nelayan berpikir praktis nemu 200 telur dijual laku Rp 200 ribu atau dikonsumsi. Kami tidak bisa ganti uang dengan menghitung sejumlah telur temuan, itu artinya membeli. Jadi, solusinya ganti solar,” jelasnya.

Besaran disesuaikan dengan jarak tempuh pengambilan telur, Rp150 ribu untuk jarak terdekat seperti Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil, Rp350 ribu untuk jarak menengah seperti Pulau Krakal dan Pulau Geleang, hingga Rp500 ribu untuk jarak jauh, seperti Pulau Katang yang memerlukan dua jam perjalanan.

Nelayan yang mengevakuasi telur penyu dari pantai peneluran pun dibekali pengetahuan dan ketrampilan khusus teknik pemindahan dan membawa telur dari sarang.
“Mindahin telur nggak sembarangan, butuh 2 jam lebih. Kalau nggak sabar, hati-hati dan telaten bisa gagal semua,” kata Matobi’in, Ketua Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa, yang bergabung sejak tahun 2004.

Ia pun mengaku mengkonsumsi telur dan daging penyu sebelum mengetahui bahwa hal tersebut dilarang oleh undang-undang.
“Dulu awam undang-undang belum tahu ada larangan, ya saya makan telur dan daging penyu, Itu biasa di sini. Kalau ke pulau nemu telur bawa pulang. Ambil penyu ukuran 50 sentimeter mudah. Laut juga rusak, cari ikan pakai potasium (racun ikan), jelasnya.

Seiring waktu, ia pun menyadari nelayan merupakan ujung tombak konservasi.
“Kalau penyu habis gimana nanti anak cucu tanya kok nggak ada penyu lagi. Dari situ timbul pikiran ikut melindungi. Sekarang penyu mulai banyak lagi. Saya mau melestarikan penyu agar anak cucu bisa melihat penyu di sini,” imbuhnya.

Sulitnya Penetasan Telur Penyu
Luasnya persebaran pantai peneluran penyu dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pelestarian penyu, khususnya penyu sisik yang masuk kategori sangat terancam punah menjadi tantangan besar program konservasi penyu di Taman Nasional Karimunjawa selama 15 tahun terakhir.

Susi Sumaryati, anggota tim konservasi penyu dan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BTNKJ, mengatakan tingkat keberhasilan model penetasan semi alami dipengaruhi oleh proses evakuasi telur, kualitas telur dan faktor alam atau cuaca.
Tim konservasi kemudian membangun Penetasan Semi Alami (PSA) di tahun 2004 dengan meminjam lahan milik warga setempat di Pulau Menjangan Besar, sebelum dipindahkan ke Legon Jaten yang berada di zona pemanfaatan Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada tahun 2013.
PSA tersebut mengadopsi metode konservasi penyu yang telah diterapkan oleh Taman Nasional Meru Betiri dan Alas Purwo di Jawa Timur.

Namun, konservasi penyu di Karimunjawa memiliki tantangan berbeda, antara lain luasnya persebaran pantai peneluran, keterbatasan petugas, hingga memprediksi waktu bertelur dan menjaga hingga menetas.
“Kami tidak tahu kapan bertelur, kecuali identifikasi jejak baru. Bisa jadi dua hari atau seminggu baru ditemukan nelayan. Pagi nemu, siang diambil dan butuh perjalanan jauh. Cuaca buruk bisa lebih lama dan getaran di perahu lebih besar,” jelas Susi.

Kegagalan penetasan telur penyu di PSA Legon Janten, tambahnya, dipengaruhi oleh kelembaban, suhu sarang buatan dan tempat penyimpanan telur yang aman dari goncangan.
“Kami modifikasi ember cat berukuran 25 kilogram yang disterilkan semirip sarang asli. Bagian dinding dilubangi. Sepertiga bagian diisi pasir, [lalu] telur dipindah ke ember persis seperti ketika berada di dalam sarang dan ditutup pasir hingga dua lapis untuk mereduksi getaran,” jelas Susi.

Ia menambahkan setiap ember diberi tanda berdasarkan jumlah, waktu dan lokasi penemuan telur. Dalam satu sarang, lanjutnya, menampung dua hingga tiga ember berisikan 50-70 telur.
Selain melakukan penetasan semi alami, tim konservasi penyu juga berupaya menyelamatkan penyu hasil sitaan atau terjaring nelayan, serta merawat penyu terdampar untuk dilepasliarkan.
“Kami [pernah] evakuasi penyu sisik yang dipelihara warga selama satu tahun dan diberi makan nasi. [Penyu tersebut] ditaruh di pantai tidak mau ke laut karena terkontaminasi air tawar. Dilatih beradaptasi perekaman terhadap laut. Kami beri nama “Marinem” dengan tagging ID 3372,” jelas Susi.

Berdasarkan data BTNKJ tahun 2003-18, sebanyak 121 ekor penyu sudah ditagging dan 698 sarang penyu dengan total 87.396 telur ditemukan. Dari temuan tersebut, hanya 43.671 telur berhasil menetas.
Sementara, pada tahun 2018, sebanyak 72 sarang dengan 8.046 telur ditemukan, dengan 3.240 telur berhasil ditetaskan.
“Ada peningkatan tiap tahun, makin banyak sarang yang ditemukan. Ini pertanda baik. Tapi, tingkat penetasan masih 45-50 persen karena semua laporan temuan telur apapun kondisinya digabungkan. Itu data riil, harus jujur ada kegagalan,” tandas Susi menambahkan mereka menargetkan adanya peningkatan populasi penyu hingga dua persen pada tahun 2019.

Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
Meski penetasan penyu masih belum memperlihatkan peningkatan, namun perilaku masyarakat setempat sudah menunjukkan adanya perubahan terhadap konservasi penyu di Karimunjawa.

Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa mengatakan mereka melakukan pendekatan persuasif terhadap nelayan setempat selama 15 tahun belakangan untuk bisa berpartisipasi dalam konservasi penyu.
“Nelayan hanya dibekali ember bisa evakuasi sendiri. Kami sangat percaya dan bergantung dengan nelayan sebagai patroller. Persuasif-lah yang sembelih penyu diingatkan, riskan kalau frontal. Tegas tapi perhitungan jangan sampai yang dibangun 15 tahun hancur, [hingga saat ini] belum ada law enforment. Dulu tahu-nya enak dimakan, dianggap hama. Sekarang bersedia lapor itu bentuk partisipasi luar biasa meski ada yang ngumpet nemu telur direbus, jelas Sutris.

Selain itu, mulai Agustus 2006, tim BTNKJ juga mendekati pedagang yang menjual suvenir berbahan karapas (Red : cangkang) penyu seperti gelang, cincin dan hiasan dinding di kawasan wisata Karimunjawa.
“Karapas penyu sisik bagus sekali dijadikan suvenir. Kami datangi pengrajin dan pedagang, mendata stok suvenir berbahan penyu. Dalam enam bulan masih tersisa disita, dimusnahkan dan kami ganti suvenir lain yang bisa dijual. Hasilnya, di tahun 2007 nyaris tidak ada souvenir dari karapas penyu,” ungkap Sutris.

I Made Jaya Ratha, pemerhati dan peneliti penyu, mengatakan bahwa edukasi masyarakat dan pemangku kebijakan menjadi kunci upaya konservasi penyu.
“Mati-matian menyelamatkan dan melindungi, ternyata di sisi lain masih dimakan, terumbu karang, lumbung pakan rusak, pariwisata tidak ramah lingkungan, laut banyak sampah, atau hanya jaga pantainya saja. Ya, tidak bisa maksimal,” tandas I Made. (non)