Usianya sudah menginjak 87 tahun. Tapi gurat kecantikan
masih terlihat jelas di wajahnya yang tirus. Malah senyum selalu mengembang di
bibirnya kala menceritakan kesehariannya di sebuah rumah sederhana berlantai
tanah.
Di ruang tengah rumahnya, hanya ada tikar lusuh. Dan Paini
–begitu dia dipanggil, bertukar cerita dengan saya sembari memutar kembali
ingatannya ke masa pendudukan Jepang.
Kata dia, di kurun waktu 1942-1945, serdadu Jepang datang ke
kampungnya di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah. Mereka kemudian merekrut para
perempuan dan lelaki muda untuk kerja paksa atau romusha. Dan Paini, adalah
satu di antaranya yang baru berusia 13 tahun.
“Waktunya istirahat nggak boleh istrahat, harus kerja.
Dikasih pekerjaan apapun saya harus mau, kalau nggak mau pasti saya dipukuli.
Bukan hanya kerja angkatin batu, tapi juga angkatin tanah," kata Paini
lirih.
"Sudah selesai di dapur, saya di disuruh minta makan di
kampung lain. Disuruh ngemis-ngemis minta makanan. Saya jalanin itu supaya
selamat, jangan sampai dipukuli. Makan pun kalau saya nggak cari sendiri saya
nggak bisa makan.”
Di tangsi militer Kamp Garuda –milik Jepang itu, Paini kecil
dipaksa bekerja tanpa imbalan uang dan makanan.
Dia sendiri bahkan tak berdaya ketika dilarang pulang ke
rumahnya hanya untuk menengok keluarga atau suami yang baru setahun dinikahi.
Dan yang kian membuatnya murka, tatkala dirinya dipaksa melayani hasrat seksual
seorang pria berbaju kimono.
“Saya tidak tahu kalau ada orang di belakang saya. Saya lalu
disikep (peluk dari belakang-red). Dibekap mulutnya. Dipaksa, saya dipaksa
suruh melayani (tentara Jepang). Saya duduk sendirian sambil menangis.”
Paini, adalah saksi hidup sekaligus korban perbudakan seks
tentara Jepang pada Perang Dunia ke-2. Korban kejahatan tentara Negeri Matahari
Terbit itu membentang dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Timor Leste, hingga
Indonesia. Dan diperkirakan korbannya lebih dari 200 ribu perempuan.
Penderitaan Paini, berlangsung kira-kira satu setengah
bulan. Hingga kemudian, dua serdadu Jepang bernama Haruka San dan Handika
Motto, menyelamatkannya.
“Saya menjerit, lalu ada yang mendengar dan menolong saya.
Saya ingat nama yang menolong yaitu Haruka San dan Handika Motto.”
Tapi kepulangannya dari Kamp Garuda, tak disambut gembira
keluarganya. Paini justru disangka selingkuh dengan tentara Jepang hingga akhirnya
diceraikan sang suami.
Paini lantas menikah untuk kali kedua, tapi usia perkawinan
itu tak bertahan lama.
“Waktu ada pelecehan itu, saya terus diceraikan oleh suami.
Baru lima bulan orangtua saya menerima lamaran lagi. Baru tujuh bulan, saya
diceraikan lagi sama suami yang kedua."
***
Kegetiran Paini, juga dialami Sri Sukanti. Tatkala umurnya
sembilan tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Rakyat –kini Sekolah Dasar, ia
dibawa paksa tentara Jepang untuk melayani hasrat seksual Ogawa –seorang
komandan regu.
Di kediaman sekaligus kantor Ogawa, Sri Sukanti dikurung. Di
dalam Gedung Papak, Grobogan –yang merupakan bekas bangunan Belanda itulah, Sri
kecil tak berdaya melawan tubuh besar lelaki bermata sipit tersebut.
“Ayah saya semaput (pingsan-red) lihat saya dibawa. Dikira
mau dibunuh. Waktu diambil Jepang saya diajak tidur, bokong dielus-elus,” ucap
Sri Sukanti dengan bibir bergetar.
Atas perintah Ogawa pula, penjagaan ketat dilakukan.
Sehingga tak ada yang bisa menolongnya.
“Yang jaga dua, di depan pintu. Saya dikunci di kamar,
dijaga kalau ada yang nengok-nengok dibentak sama yang jaga. Jepang itu memang
kejam.”
Enam bulan, Sri kecil menjadi budak seks tentara Jepang
Ogawa. Ia pun masih ingat dirinya disuntikkan obat anti-hamil berkali-kali di
pinggul kiri sebelum akhirnya dipulangkan ke orangtuanya.
“Iya biar nggak punya anak. Suntikannya nih..nih.. Waktu
disuntik satu minggu nggak bisa bangun.”
Suntikan itu rupanya berdampak panjang. Ia tak bisa memiliki
anak meski telah menikah dua kali. Pertama dengan pria asal Semarang, namun
berpisah. Dan kini, dengan Sidik Tonys yang setia mendampinginya.
Catatan Komnas HAM menyebut, di Indonesia ada sekitar dua
ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu.
Dan hingga kini, belum ada permintaan maaf dari pemerintah
Jepang. Negeri itu belakangan hanya bersedia meminta maaf pada ianfu yang berasal
dari Korea Selatan, Tiongkok.
***
Kembali ke Paini. Perih akibat perlakuan tentara Jepang,
takkan mungkin dilupakan.
“Saya dilecehkan dengan penjajah itu. Malu saya.. memalukan.
Biarpun saya dilecehkan, biarpun saya tidak berguna, jiwa saya itu nggak suci
lagi saya terima. Tapi saya itu kalau ingat, menyesal sekali, sakit hati. Kalau
malam nggak bisa tidur, ingat jiwa saya itu sudah tidak suci lagi, sudah tidak
berguna..”
Dan kini, janda empat anak ini tinggal bersama anak
perempuan sulungnya di rumah sederhana berlantai tanah itu.
Permintaan Maaf dan
Kompensasi
Di rumahnya sederhana –berlantai tanah di Sidomukti, Kopeng,
Jawa Tengah, Paini tinggal bersama anak perempuan sulungnya.
Suaminya, meninggal 20 tahun lalu. Maka dia harus menghidupi
dirinya sendiri dan sang anak, dengan menjadi buruh lepas; mengisi pot sayuran.
Dari situ, dia bisa mengantongi 50 ribu dari lima ribu pot.
Tapi jika tak ada pesanan, Paini hanya mengandalkan
pemberian anak-anaknya yang juga serba pas-pasan.
“Satu pot kalau sama ngeranjangi itu cuma seribu, satu pot.
Kan masih untung, buat beli beras sekilo, sayurnya cari sendiri di tempat
keponakan. Masih terimakasih nenek masih sehat,” imbuh Paini.
Di usianya yang sudah 87 tahun, dia juga masih bisa menyusuri
jalan kampung mencari kayu bakar dan rumput.
Perempuan sepuh lain, Sri Sukanti –yang hidup sebatang kara,
kini bergantung pada uluran tangan orang sekitarnya. Sementara suaminya yang
dulu bekerja sebagai kuli bangunan, tak bisa lagi diandalkan.
“Aku nggak malu, aku minta-minta pada orang kampung buat
beli nasi. (Sejak kapan terima raskin?) Sudah lama, kalau nggak begini nggak
makan,” kata Sri Sukanti.
Di Salatiga, Sri Sukanti bersama suami, tinggal di rumah
yang sangat sederhana. Dinding kusam rumah itu dipenuhi foto dia dan
keluarganya. Isi perabotan seolah dibiarkan berantakan tak terurus.
Hanya ada satu kamar tidur yang bersebelahan dengan dapur.
Di situ, rak kayu yang sudah lapuk, dipenuhi piring dan panci. Di lantai,
sebuah tungku teronggok.
Sementara di ruang depan, penuh sesak. Di sisi kanan rak
papan televisi berukuran 14 inchi, perabot rumahtangga bertumpuk. Dan bau
pesing, begitu menyengat.
***
Catatan Komnas HAM, di Indonesia ada sekitar dua ribu
perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu. Dua
di antaranya adalah Paini dan Sri Sukanti.
Karena itulah, sejumlah pihak; Komnas HAM, LBH Yogyakarta,
dan lembaga lain yang mengatasnamakan Ianfu Indonesia gencar memperjuangkan hak
penyintas. Salah satunya, mengajukan gugatan kompensasi atas kerugian materil
dan imateril yang dialami para penyintas.
Hingga pada 1997, Asian Women’s Fund (AWF) –sebuah
organisasi swasta Jepang mengucurkan dana santunan bagi para penyintas melalui
Departemen Sosial RI. Nilainya sebesar 380 juta yen atau setara Rp1,1 Triliun.
Tapi uang itu, tak pernah sampai ke tangan Paini pun Sri Sukanti.
“Katanya ada imbalan segini..segini.. Sampai sekarang kok
nggak datang. Imbalannya itu saya masih ingat kalau nggak salah 100 juta.
Sampai sekarang imbalan dari Jepang itu belum pernah seperserpun saya terima.
Saya ikhlas,” jelas Paini.
Uang triliunan itu rupanya dialokasikan Departemen Sosial
untuk membangun Panti Wreda khusus penyintas Jugun Ianfu di sejumlah kota di
Indonesia.
Karena dana itu digunakan dengan tak semestinya, para penyintas
melayangkan surat gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat.
“Dibawa kemana-mana. Ke Yogya kalau nggak salah, sembilan
kali diwawancarai. Yang paling banyak di Solo. Terakhirnya saya dibawa ke
Jakarta. Saya pun sampai diangkat di podium untuk bicara. Tapi sampai sekarang
nol nggak ada apa-apanya,” sambung Paini.
Heruwaty Wahyu, Kepala Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran,
Jawa Tengah membenarkan, pernah ada proyek dari pemerintah pusat untuk
membangun wisma untuk penyintas Jugun Ianfu di areal pantinya.
“Jugun Ianfu suatu proyek sendiri, bantuan dari Jepang
kalaupun saya pimpro saya nggak dipegangin. Bantuan yang jugun ianfu itu hanya
fisiknya pandu itu saja. Jadi kita hanya menyediakan lahan. Khusus untuk ianfu
sekarang difungsikan untuk yang lain, untuk lansia yang terlantar-terlantar
tapi bukan jugun ianfu,” jelas Heruwaty Wahyu.
Wisma yang diberi nama Pandu Dewanata dibangun pada 1997
dengan fasilitas lima kamar tidur dan televisi. Di tahun yang sama juga,
pemerintah membangun empat panti yang tersebar di sejumlah kota.
Namun, Paini menolak tinggal di panti dengan berbagai
alasan.
“Nggak mau saya. Saya mau di rumah saja, kerja, kumpul sama
cucu anak. Terus terang daripada saya dibawa ke panti jompo, dikasih uang 10
ribu dibuat jajan saya ikhlas. Tapi kalau dibawa ke panti jompo, saya nggak
mau. Biarpun kayak gini kotor tempatnya. Nggak apa-apa. Kalau saya dibawa ke
panti jompo nanti anak saya cucu saya yang repot.”
Para penyintas seperti Paini dan Sri Sukanti, hidupnya
sengsara. Hak yang seharusnya mereka peroleh, justru tak diberi. Pemerintah
Indonesia sendiri malah menganggap kejahatan yang dilakukan tentara Jepang,
sudah selesai. Tapi, tidak bagi Paini.
“Saya ditanyakan apakah sanggup ngasih maaf sama orang
Jepang? Kalau saya berhadapan sendirian ya saya mau bisa ngasih maaf. Tapi
kalau saya nggak bisa berhadapan sendiri apa bisa saya ngasih maaf? Kan nggak
bisa. Yang penting saya dikasih kesehatan, dilindungi, dikasih kekuatan sama
Allah saya sudah terimakasih. Saya ikhlas.”
Noted :
Perjalanan menemui Sri Sukanti dan Paini dilakukan pada
tahun 2016
Elizabeth Sri Sukanti atau Mbah Sri, penyintas jugun ianfu
paling muda meninggal dunia di Kota Salatiga pada 20 Desember 2017 di usia
ke-84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar