Akses masuk menuju Festival Lereng Telomoyo #2. Foto:Arnee |
Aksi bocah-bocah Dusun Tanon memainkan Tari Geculan Bocah. Foto:Arnee |
Tubuhnya dibalut rompi merah. Kain jarik bermotif warna
coklat menutup celana hitam. Ikat kepala menjadi pelengkap. Mimik wajah mereka jenaka
berias mirip badut. Tubuh, tangan dan kaki mereka terus bergerak. Lincah mengikuti
irama gamelan.
Ya, ini keceriaan anak-anak Dusun Tanon, Desa Ngrawan,
Getasan, Kabupaten Semarang memainkan Tari Geculan Bocah.
Tarian yang menceritakan tentang keseruan dan kelucuan bocah
bermain ini pun membuat seratusan penonton yang mengelilingi panggung sesekali tersenyum.
Bahkan tertawa menyaksikan polah tingkah mereka.
Tak hanya itu, pengunjung yang datang juga disuguhi
kepiawaian ibu-ibu Dusun Tanon memainkan kesenian Lesung Jumengglung. Mereka memadukan
suara alu dan lesung (alat pemecah padi). Bertalu-talu, bersahutan diiringi lantunan
nyanyian kegembiraan.
Ibu-ibu Dusun Tanon menunjukkan kepiawaian memainkan Lesung Jumlenggung. Foto:Arnee |
Pertunjukan itu menjadi rangkaian gelaran Festival Lereng
Telomoyo #2 yang berlangsung selama dua hari, pada 12-13 Oktober 2019 lalu. Festival
yang dikemas menyuguhkan experience
tourism kepada pengunjung untuk mengenalkan Desa Menari Tanon kepada masyarakat
luas.
Gelaran ini juga dimeriahkan dengan aneka pertunjukan seni
lainnya. Seperti Tari Topeng Ayu, Sebuah tarian transformasi dari Tari Topeng
Ireng yang terinspirasi dari gerakan penyamaran zaman perjuangan.
Remaja putri berbalut kostum Tari Topeng Ayu. Foto:Arnee |
Ada juga aneka dolanan tradisional yang nyaris sulit ditemui
bisa bebas dimainkan pengunjung. Sebut saja permainan Suda Manda, dakon,
cublak-cuplak suweng dan egrang bambu.
Pasar rakyat yang menjajakan berbagai makanan tradisional untuk
dinikmati dan hasil bumi Dusun Tanon juga menyemarakkan gelaran kali ini.
Wisatawan memainkan permainan Suda Manda. Foto:Arnee |
Pengunjung menjajal egrang bambu di gelaran Festival Lereng Telomoyo. Foto:Arnee |
Sebenarnya, Festival Lereng Telomoyo ini hanya satu dari
sekian banyak gelaran di Dusun Tanon. Pertunjukan lain juga kerap diselenggarakan
pada perayaan hari besar seperti hari besar keagamaan, Festival Budaya Desa, Bersih
dusun hingga kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI.
Daerah Tertinggal
Dusun Tanon berjarak sekitar 58 kilometer dari Ibu Kota
Semarang. Terletak di Lereng Gunung Telomoyo. Mayoritas penduduk petani dan
peternak sapi perah.
Jalur berliku memasuki dusun yang terletak di Lereng Gunung
Telomoyo, sekitar 1,5 kilometer dari kawasan wisata Kopeng membuat Dusun Tanon dianggap
daerah sepi. Terbelakang dan kumuh.
Bahkan menjadi salah satu daerah Tertinggal di Kabupaten Semarang.
Peta lokasi Desa Menari. Foto:Arnee |
Tapi itu dulu.
Dusun ini perlahan berubah. Sejak Trisno, pemuda asal dusun
ini ingin mengajak warga menghidupkan kampungnya menjadi produktif tanpa
meninggalkan kearifan lokal.
“Kepikiran sejak masih jadi mahasiswa. Setelah saya amati,
salah satu aspek memutus kebuntuan di kampung adalah pendidikan. Maka saya berusaha
menyelesaikan kuliah dan pulang,” kenang Trisno.
Namun, Tapi tak semudah itu. Kepulangan Trisno justru tak
disambut gembira kedua orangtuanya. Keinginan demi kemajuan desa ditentang
kedua orangtua. Trisno “ditolak” kembali ke desa.
Sebagai seorang sarjana pertama Dusun Tanon, itu sebuah
prestasi dan kebanggaan kedua orangtua yang ingin anaknya mempunyai pekerjaan
lebih baik. “Tantangan awal justru dari keluarga. Saya balik kampung, kembali
ke kandang. Orangtua berpikir kenapa sekolah tinggi kalau hanya mau jadi petani
lagi. Awalnya ini membuat orangtua malu,”akunya.
Trisno, sang penggagas Desa Menari Tanon. Foto:Arnee |
Trisno mengatakan, tantangan terberat adalah menaklukkan
fase pergulatan batin dan meyakinkan keluarga untuk membuktikan ucapannya. Trisno
butuh waktu 5 tahun. Rasa trisno
(baca : cinta-red) pada Tanon tak menggoyahkan tekad membangun tanah
kelahirannya. “Padahal saya mencontohkan bahwa saya bertani / beternak bukan dengan
cara mereka yang konvensional itu,” katanya.
Tahun 2006, selepas menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah
Surakarta, lelaki yang akrab disapa Kang Tris ini mulai merealisasikan
gagasan-gagasannya. “Saya tekankan bahwa pendidikan itu penting dan saya
berkomitmen mewakafkan diri. Artinya kegiatan saya ya kegiatan pelayanan untuk
masyarakat Tanon. Saya tidak boleh keluar dan patah arang karena mereka akan
mentertawaka saya.”
Menghidupkan Kampung
Trisno mencari cara agar gagasannya dapat diterima warga
yang meremehkan dan menolak tawaran untuk mengubah wajah Tanon. Menurutnya,
pola pikir dan tingkat pendidikan warga lah yang membuat ide-idenya tidak direspons
dengan baik.
“Kebanyakan tidak lulus SD, di generasi saya paling banter
SMP dan jarang berinteraksi dengan dunia luar,” lanjut Trisno.
Karena itu, ia mengawali dengan mendekati warga. Ia fokus
pada program pendidikan non formal melalui pembelajaran berorganisasi dan aktif
membuat forum diskusi warga. Trisno juga mengundang pihak lain seperti
mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata untuk mendukung kegiatan desa dan berbagi
pengalaman.
Metode ini dianggap ampuh untuk memantik partisipasi warga menggali
dan mengembangkan potensi desa. Interaksi dengan pihak luar membawa dampak
positif terhadap pola pikir dan pengetahuan warga.
Trisno mulai menggerakkan warga dengan modal Rp 200 ribu
untuk membuat lincak (meja bambu) sebagai sarana warga berkumpul. Semangat kemandirian
dihembuskan kepada warga. Menurutnya, partisipasi warga jadi kunci terpenting dalam
perubahan. “Semangat gotong royong. Ibaratnya siapa yang punya bambu menyumbang
bambu, yang punya tenaga menyumbang tenaga. Tidak bergantung pada bantuan.”
Hingga kemudian Trisno berhasil mencetuskan ide laboratorium
sosial untuk pengembangan dan pemberdayaan warga Tanon. Artinya, kampung mereka
yang kaya potensi dan kearifan lokal akan menjadi laboratorium hidup melalui konservasi
desa.
“Kita mengkonservasi apa yang sudah ada. Konservasi masyarakat
petani dan peternak, dolanan tradisional, dan kesenian lokal,” jelas ayah 3
anak ini.
“Bertani tidak harus mencangkul dan masuk kandang tetapi
membantu mendapat akses. Penari Topeng Ireng tidak perlu ngamen di jalan karena bisa disaksikan pertunjukannya di dusun ini.
Hal semacam itu menjadi potensi yang bisa dikembangkan di sini,” paparnya.
Setelah tiga tahun berjalan, Trisno kemudian mengenalkan
konservasi desa dan membuka akses warga ke luar melalui pendekatan wisata berbasis
konservasi. Wisata yang mengedepankan pada pelestarian atau perlindungan
kekayaan lokal yang dimiliki Dusun Tanon.
Trisno menegaskan, Tanon tidak “menjual” objek wisata misalnya
keindahan lereng Gunung Telomoyo, melainkan daya tarik aktivitas kehidupan
keseharian warga Tanon.
“Wisata sebagai pintu masuk untuk membuka akses masyarakat agar
terbuka berinteraksi dengan pihak luar, menambah pengetahuan dan berkembang, tanpa
melupakan aktivitas lokal. Paket-paket wisata di sini adalah aktivitas masyarakat
sehari-hari. Bertani, beternak, menari, bermain dolanan tradisional, dan pasar
rakyat.”
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan tradisional dan hasil bumi Dusun tanon. Foto:Arnee |
Untuk menjaga konsep ini tetap berjalan, semua elemen warga
diajak berperan dengan menjadi bagian dari semua aktivitas yang “dijual”.
Menjadi penari, pemain musik, pemandu wisata, berjualan di pasar rakyat,
membuka homestay.
“Ada orang-orang kunci bertanggung jawab misal koordinator
pasar rakyat, kesenian tradisional, homestay, pemandu wisata dan outbound. Jadi
tiap kegiatan bisa berjalan. Lambat laun saya sebagai figur akan lepas.”
Desa Menari
Agar mudah dikenal, Trisno bersama masyarakat kemudian
membranding Tanon menjadi “Desa Menari”. Menari karena warga Tanon mempunyai
warisan kesenian tradisional yang dilestarikan. Hingga kini tercatat 18
kelompok seni tari di Desa Ngrawan. 6 kelompok tari diantaranya berada di Dusun
Tanon.
Panggung utama Festival Lereng Telomoyo di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee |
Selain itu, “menari” yang menjadi slogan Dusun Tanon
merupakan akronim dari “Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori”.
“Menari mampu menyatukan warga dan pengunjung yang datang ke
Tanon bisa merasakan harmoni atau keselarasan, melalui interaksi dengan warga dan
alam di sekitarnya. Merasakan semangat dan aktivitas pedesaan akan menjadi
pengalaman yang menginspirasi,” lanjut Trisno.
Upaya pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat dengan mengelola
potensi sumber daya alam dan kearifan lokal untuk mengembangkan ekonomi warga
Tanon diapreasiasi Pemerintah Kabupaten Semarang. Tahun 2015, Dusun Tanon
dinobatkan sebagai desa wisata dengan SK Bupati Nomor 01 Tahun 2015.
Data Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa
Tengah menyebutkan, Dusun Tanon menjadi satu dari 229 desa wisata tersebar di
35 kabupaten kota Jawa Tengah. Dusun Tanon juga membawa Desa Ngrawan meraih
predikat Sejahtera Mandiri di tahun 2016 dari Kementerian Sosial RI.
Prasasti pengukuhan Desa Menari Tanon. Foto:Arnee |
Trisno menambahkan, sebagai desa wisata, Desa wisata Menari mampu
menjadi magnet wisatawan hingga mampu meningkatkan ekonomi warga untuk
mendapatkan penghasilan alternatif selain dari pencaharian utama di bidang pertanian
dan peternakan.
"Pengunjung antara 1500 – 3000 setiap tahunnya. Warga
punya penghasilan tambahan 10-15 persen di luar pekerjaan utama. Pendapatan ini
untuk warga dan pengembangan desa,” tambah Trisno.
Namun, Trisno menegaskan bahwa Jumlah bukan target dan tolok
ukur keberhasilan Desa Menari. Nilai-nilai dari filosofi “menari” lah yang menjadi
fokus untuk disebarkan kepada orang lain.
Kampung Pun Berseri
Atas kerja kerasnya menghidupkan Dusun Tanon, Trisno
terpilih menjadi salah satu penerima apresiasi SATU (Semangat Astra Terpadu) Indonesia
Award tahun 2015, kategori lingkungan dari PT Astra International Tbk.
Setahun kemudian, Trisno dipercaya menjadi penerima SATU
Indonesia Award untuk mengelola Kampung Berseri Astra (KBA). Berkat Trisno, Desa
Menari Tanon menjadi Kampung Berseri Astra pertama di Jawa Tengah.
Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan program Kontribusi
Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan
konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program yaitu Pendidikan,
Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan.
Melalui program Kampung Berseri Astra, masyarakat dan
perusahaan dapat berkolaborasi bersama mewujudkan wilayah yang bersih, sehat,
cerdas dan produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Kehadiran Astra di Desa wisata Menari Tanon dengan empat
pilar tersebut disinergikan sehingga mempercepat perkembangan konservasi desa yang
dikelola warga.
Desa Menari Tanon menjadi desa binaan ASTRA sebagai KBA pertama di Jateng. Foto;Arnee |
Trisno menjelaskan, di bidang pendidikan, diimplementasikan
melalui program Beasiswa Astra Lestari kepada 36 anak Dusun Tanon untuk menempuh
pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Selain itu, warga
juga mendapat pendidikan informal melalui ketrampilan berbicara dengan baik.
Sedangkan penerapan pilar program kewirausahaan digulirkan
dalam bentuk berbagai pilihan paket wisata dan pasar rakyat. “Wisatawan bisa
memilih paket wisata yang diinginkan untuk merasakan pengalaman aktivitas
keseharian sebagai petani menanam padi, memerah susu sapi, belajar menari hingga
outbond. Kami juga menyediakan homestay yang ingin live-in,” jelasnya.
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan dan hasil bumi Dusun Tanon. Foto:Arnee |
Posko pelayanan kesehatan gratis di Dusun Tanon. Foto: Arnee |
Petugas kesehatan di posko pelayanan kesehatan sedang melayani warga yang ingin memeriksa kesehatan anaknya. Foto:Arnee |
Penanda homestay di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee |
Sebagai desa wisata, konsep Desa Menari Tanon menghadirkan
kehidupan desa dengan membangun narasi yang baik, sehingga harmoni Desa Menari dapat
menjadi inspirasi dan menerbar kebaikan yang akan menjadi memori bagi warga dan
pengunjung Dusun Tanon.
Keberhasilan Trisno mengangkat potensi wisata di kampungnya
tak lepas dari totalitas, dedikasi, serta kecintaannya sebagai putra Dusun
Tanon. Begitu juga rasa memiliki yang tertanam dalam jiwa seluruh warga Tanon
yang menjadi bagian dari proses program yang dijalankan.
Trisno puas dengan pencapaian warga Dusun Tanon. Dan ia punya
harapan besar.
“Saya cukup bahagia dengan perkembangan Tanon, meskipun saya
ingin membuat terobosan baru. Semoga semangat ini tidak hanya milik warga Tanon
tapi juga menular ke desa lain dan seluruh masyarakat di negeri ini,”harapnya.
Sebagai desa wisata, Desa Menari Tanon menjadi Ikon
Kebanggaan warga dan masyarakat Jawa tengah. Itu artinya juga menjadi ikon
kebanggan Indonesia.
Ya, karena #KitaSATUIndonesia dan #IndonesiaBicaraBaik akan
menghasilkan peradaban yang baik pula. Seperti yang dilakukan Trisno bersama
warga Dusun Tanon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar