Pages

Kamis, 06 Januari 2022

Suara “Kartini” Digital

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sebuah era yang dinamakan sebagai era ”new media”.

Dalam catatan McQuail (2010:141), perubahan penting dalam perkembangan itu nampak dari digitalisasi dan konvergensi semua aspek dari media, meningkatnya interaktivitas dan konektivitas jejaring, mobilitas dan delokasi pengiriman dan penerimaan pesan, adaptasi publikasi dan peran-peran khalayak, hingga munculnya beragam bentuk baru dari media gateway dan kaburnya institusi media.

Tak lagi hanya menjadi pustaka raksasa, internet memberi kemudahan bagi setiap orang untuk  saling berinteraksi, berbagi ide dan menyuarakan pendapatnya dengan cepat, mudah, serta massif. Mulai dari hal-hal keseharian hingga urusan negara.

Internetpun bertransformasi menjadi ruang publik ideal untuk bebas bersuara. Bukan lagi seperti Kartini yang di jamannya begitu sulit berekspresi. Dia hanya bisa menyuarakan gagasannya melalui surat kepada sahabatnya. Juga tidak melulu menggunakan cara-cara konvensional dengan menggelar aksi demo menuntut kesetaraan gender, penyelesaian kasus kekerasan perempuan atau menyewa kebaya agar bisa seperti “Kartini” untuk ikut dalam perlombaan di kantor.

Perubahan jaman di era digital menyulap gagasan dan semangat Raden Ajeng Kartini untuk mengajak perempuan mengubah cara bersuara dalam ruang publik (public sphere) seperti yang dikemukakan Jurgen Habermas itu menjadi sarana gerakan sosial (sosial movement) yang mengglobal.

Perempuan pun semakin berani menunjukkan diri dan unjuk gigi membentuk opini publik untuk  mengkampanyekan dan mewujudkan berbagai isu sosial, kemanusiaan, buruh, HIV/AIDS, lingkungan, politik dan Hak Asasi Manusia pada sebuah perubahan dan tindakan nyata.  Digitalisasi berhasil mengubah peran perempuan dan internet sebagai agen perubahan (agents of change) pada level of change tingkat global.

Siapa Saja

Sebut saja Melanie Subono, aktris Indonesia yang beberapa tahun terakhir ini menjadi pegiat isu kemanusiaan dan lingkungan. Dia terbilang rajin membuat petisi melalui change.org, sebuah platform petisi daring terbesar di dunia yang sudah diakses 96 juta lebih warga dunia di 196 negara  ini memang dinilai efektif dan banyak dimanfaatkan untuk memberdayakan orang di mana pun untuk bersuara dan mengajak penghuni dunia peduli terhadap setiap isu yang digulirkan baik  secara lokal, nasional dan global. Petisi untuk menggerakkan dukungan public yang bisa dimulai hanya dari satu orang.

Seperti petisi berjudul #Demi Rembang dalam laman change.org untuk membantu perjuangan warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen. Selain terjun langsung memberikan bantuan, petisi daring juga dibuat untuk menggalang upaya penyelamatan nasib satwa di Kebun Binatang Surabaya (KBS), mengkampanyekan Save Turtle, hingga memperjuangkan nasib buruh migran Indonesia yang di eksekusi mati.

Melani juga membuat petisi dengan mengumpulkan dukungan sebanyak mungkin untuk menuntut Komisi III menggagalkan pencalonan Daming Sanusi sebagai hakim agung karena tidak sensitif gender dan melalui pernyataannya yang seolah membela “pemerkosa”. Melanie memanfaatkan akun twitter pribadinya untuk mengajak followers-nya menandatangani petisi yang dibuatnya.

Riyanni Djangkaru bersuara untuk penyelamatan satwa langka berbagai jenis hiu dengan kampanye Save Sharks Indonesia (savesharksindonesia.org), melalui jejaring sosial. Serta membuat petisi daring untuk menuntut dan mengajak maskapai penerbangan di Indonesia agar menolak mengangkut sirip hiu ke luar negeri.

Efeknya nyata dari sebuah gagasan juga dibuktikan Valencia Mieke Randa dan Ina Madjidhan. Dengan menggunakan media sosial twitter @Blood4lifeID dan komunitas Three Little Angel , keduanya berjibaku tiap malam mendapatkan donor darah, penggalangan donasi dan pendampingan untuk menjembatani anak-anak berpenyakit kronis.

Suciwati, istri pejuang HAM Munir Said Thalib menuntu penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia dengan membuat petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Sosok Mia Sutanto patut diapresiasi karena berhasil menginisiasi para ibu di Indonesia melalui Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia dengan menciptakan relasi di dunia maya.  Irawati Harsono berani membuat petisi yang ditujukan kepada Kapolri Jendral Sutarman untuk menghapus tes kesehatan vagina/keperawanan pada rekrutmen Polwan.

Angela Sutandar mendapat 85 ribu lebih dukungan melalui petisi yang ditujukan kepada Gubernur/Sultan Yogyakarta agar membantu menghentikan kekejaman perdagangan anjing untuk konsumsi. Juga Prita Mulyasari yang pernah tersandung perseteruan dengan Rumah Sakit Omni Internasional yang membuat petisi untuk meminta Menkoinfo mengubah UU ITE dan kebebasan berekspresi.

Perempuan berani bersuara untuk melawan koruptor melalui Gerakan Perempuan Anti Korupsi dan Diskriminasi (GPAKD) yang dimulai dengan memasang foto profile di media sosial. Hingga Gerakan “Perempuan Indonesia Mendengar”, gerakan dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan yang bersifat user generated pada siapapun untuk mendengarkan dan memberikan inspirasi serta konsultasi.

Ketika bersuara dengan menggerakkan dukungan dari internet lewat media sosial seperti Facebook, Blackberry Messanger, Google, Blog Twitter, dan change.org, perempuan dari mana saja dan apapun profesinya mempunyai kesempatan sama untuk memulai sebuah kampanye dan menggalang ribuan orang secara lokal atau di seluruh dunia untuk membuat perbedaan, perubahan dan menginspirasi semua orang

Kini, suara nyaring perempuan dalam cyber movement terus bermunculan untuk mengajak pada perubahan yang lebih baik. Tapi, di sisi lain, kita juga tidak bisa memalingkan muka pada suara “sumbang” di dunia maya yang berevolusi menjadi nyata seperti kisah Tata Chubby.* (Noni Arnee)

Rabu, 05 Januari 2022

Perempuan itu (Bukan) Liyan

22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Hari yang menurut Wikipedia sebagai  peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Beragam cara diekspresikan untuk “menjunjung” ibu hingga uforia membebastugaskankan kewajiban ibu dari tugas domestiknya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Jujur saja, saya tergelitik melihat perbedaan perempuan dan laki-laki dengan mempertanyakan, “Apakah gender tumbuh sebagai ekses dari jenis kelamin dan menjadi suatu pemaksaan kebudayaan yang arbitrer terhadap suatu penentu jenis kelamin?.”

Kewajiban domestik yang disematkan ibu. Siapa yang menganggap itu sebagai kewajiban? Apa peran itu hanya untuk perempuan? Mungkin saja sebagain besar akan menjawab “iya”. Lantas, dimanakah posisi laki-laki dalam ranah domestik?

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada Kabinet Kerja, Yuddy Chrisnandi seolah semakin memeruncing pertanyaan saya dengan mengamini kekhawatiran Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap masa depan generasi bangsa dengan memangkas dua jam kerja Pekerja Negeri Sipil (PNS) perempuan yang memiliki balita hingga anak usia SD.

Betapa mulianya menteri bergelar  Doktor memikirkan nasib perempuan agar tidak melupakan anak dengan menjembatani antara kewajiban sebagai pelayan publik dan kewajiban sebagai seorang ibu yang harus memberikan belaian kasih sayang kepada anaknya sehingga meminta seluruh kantor/ instansi penyelenggaraan pemerintahan di pusat hingga daerah dapat menerapkan aturan ini.

Perbedaan fungsi laki-laki dan perempuan seolah semakin menjadi penegas ranah domestik. Seperti halnya ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya di konferensi perempuan di Istanbul yang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak bisa ditempatkan pada pijakan yang sama karena  bertentangan dengan alam. Tidak semua pekerjaan yang dilakukan laki-laki, boleh dilakukan perempuan karena bertentangan dengan 'sifat halus' perempuan.

“Ibu” merupakan hasil konstruksi sosial dari seorang perempuan yang umumnya sudah berkeluarga. Motherhood biologis dilembagakan di bawah patriarki lebih merupakan konstruksi budaya untuk opresi karena meruncing kendali laki-laki pada perempuan karena tidak membedakan antara motherhood biologis sebagai hubungan privat reproduksi perempuan dan sebagai “institusi”. Padahal istilah mothering mengacu pada hubungan di dalam individu saat merawat dan menyayangi yang lain. Dan seseorang semestinya tidak perlu menjadi ibu biologis untuk menjadi ibu sosial.

Di dalam patriarki, seks juga lebih bersifat politis. Dalam buku “Sexual politics”(1970),  Kate Millett menyatakan, ideologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Laki-laki maskulin dan dominan sedangkan perempuan subordinat/feminin. Dan kondisi ini di”legalkan” melalui institusi.

Opresi terhadap perempuan menjadi semakin mendarah daging dalam sistem seks/gender. Suatu rangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk transformasi seksualitas biologis menjadi produk  kegiatan manusia yang dijadikan dasar membangun identitas dan perilaku “maskulin” dan “feminin” dalam masyarakat patriarkal. Normalitas seseorang bergantung pada kemampuannya menunjukkan identitas dan perilaku gender yang secara kultural dihubungkan kepada jenis kelamin seseorang.

Menurut Simone De Beauvoir, perempuan berbeda, terpisah dari laki-laki dan inferior terhadap laki-laki karena anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai manusia dan warga negara kelas dua (The Second Sex ). Perempuan dianggap sebagai “Liyan” / “the other”.(Rosemarie Putnam Tong,2010)

Negara yang sudah merasa memberikan perlindungan kepada perempuan, ternyata  justru semakin mengopresi perempuan dengan segala aturan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap perempuan melalui intervensi regulasi dan konstruksi dominan di masyarakat. Padahal setiap perempuan membentuk eksistensinya sendiri yang mungkin berbeda dengan perempuan lain.

Manusia sudah semestinya membebaskan perempuan sebagai produk konstruksi kebudayaan atau hasil dari pengaturan ilmiah. Sebenarnya tidak ada satupun pembatas yang “memenjarakan” perempuan karena perempuan ditentukan nasibnya sendiri dan pada saat yang sama bebas dari patriarki. Perempuan harus menggariskan nasibnya sendiri dengan melepaskan beban yang menghambat kemajuan mereka menuju Diri/Selfhood yang autentik. Sehingga tidak ada seorangpun atau sesuatu yang dapat menghambat perempuan untuk maju di ranah sastra, agama, politik, kerja, pendidikan, motherhood, dan seksualitas.

Bisa jadi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti dengan mempercepat jam kerja PNS masuk lebih awal sehingga dapat pulang lebih cepat adalah  alasan yang lebih rasional bagi perempuan dan laki-laki yang dianggapnya sebagai ibu dan ayah bagi anak, masyarakat dan negara.

Menteri Susi lebih melihat eksistensi perempuan ketimbang psikologis atau gender dengan menentang mitos dan citra perempuan. Dimana  menuju proses trandensi, perempuan dapat bekerja. Perempuan dapat menjadi anggota intelektual. Perempuan bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Dan untuk mentrandensi batasan-batasan, perempuan dapat menolak internalisasi ke-Liyanannya dan ke-Dirian laki-laki.  

Sudah semestinya setiap individu bertanggungjawab atas keputusannya. Seperti keputusan menjadi manusia yang melahirkan manusia lain (disebut ibu). Atau keputusan manusia yang membuat manusia lain itu lahir (disebut ayah). Jadi, sudah saatnya berhenti dari pemikiran dikotomis dan tak ada lagi alasan bolos kerja karena mengurus anak, lembur karena sudah ada yang menjaga anak di rumah, atau memangkas jam kerja pekerja perempuan, bukan?* (Noni Arnee)