Pesawat yang saya tumpangi bersama tim dari WWF harus berputar-putar di udara hingga beberapa waktu. Cuaca buruk sempat menghadang sebelum akhirnya mendarat di Bandara Udara Domine Edward Osok, Sorong.
Kesempatan menginjakkan kaki ke tanah Papua di pertengahan tahun 2009 memang membuat tubuh rasanya ingin melompat ke udara karena tawaran yang datang tak terduga. Ya, ini bukan perjalanan sembarangan. Selain ini kali pertama menghirup usara Papua, saya berkesempatan pergi bersama tim konservasi penyu WWF di Abun, Papua untuk memantau siklus peneluran dan mengamati proses pelestarian Penyu Belimbing. Satu dari spesies endemik yang kini terancam punah.
Penyu Belimbing |
Trip
panjang dan melelahkan harus kami lalui. Tantangan tidak hanya menyiapkan
kondisi fisik, tapi juga cuaca lautan Pasifik yang sulit diprediksi. Belum tentu
juga bertemu dengan ’’dinosaurus terakhir’’ dari Papua ini. Ya, penyu merupakan
salah satu spesies satwa warisan zaman purbakala yang sudah ada sekitar 220
juta tahun yang lalu di zaman Triassic, sebelum zaman Jurassic.
Kami
datang ke Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun Papua Barat bertepatan
dengan musim peneluran. Tepatnya, di Pantai Jamursbamedi dan Pantai Warmon. Dua
kawasan yang menjadi pantai peneluran terbesar di Pasifik Barat.
***
Pukul
07.00 WIT, tiga speedboad yang kami tumpangi menuju Abun sudah siap di
Pelabuhan Perikanan Sorong. Cuaca cerah. Ini pertanda baik mengingat perjalanan
yang kami lalui sangat jauh dan penuh resiko. Perjalanan pagi menjadi pilihan.
Kami harus berpacu mengarungi besarnya ombak lautan Pasifik dari Sorong hingga Abun
sejauh 200 kilometer lebih.
Sebelum berangkat menuju Abun |
Ya, perjalanan menuju lokasi pusat peneluran
Penyu Belimbing kami lalui dengan jalur laut dengan menyusuri bentang laut
Kepala Burung Papua. Puluhan lumba-lumba yang mengikuti dan hamparan biru lautan
menjadi hiburan selama perjalanan. 10 jam berada di laut bukan waktu yang
sebentar untuk dilewati dengan cuaca panas dan bau solar yang menyengat.
Perjalanan menuju Abun |
Ombak
besar bahkan sempat membuat satu dari tiga speadboad yang kami tumpangi terbalik.
Tapi kami akhirnya berhasil merapat di Kampung Wau. Lokasi terdekat dengan pantai
Warmon dan Jamursba Medi.
Tapi
perjalanan harus dihentikan. Tak mungkin melanjutkan perjalanan karena hari
menjelang senja. Kami beristirahat dan bermalam di rumah Mama Thabita, salah satu tetua kampung dan pemilik tanah
adat Pantai Jamursbamedi. Perjalanan
bersama Tim pengamatan konservasi penyu yang terdiri dari anggota LSM
Lingkungan WWF, Universitas Papua dan Universitas Udayana Bali berlanjut
esoknya.
***
Misi
ke Pantai Warmon yang berjarak lebih kurang 30 kilometer dari sisi timur Pantai
Jamursbamedi terpaksa dibatalkan karena beresiko. Ombak terlalu besar. Sayang
sekali, tapi kami harus berkompromi dengan alam dan melanjutkan rute perjalanan
menuju Pantai Jamurbamedi dengan jarak tempuh sekitar dua jam.
Tenda di Pantai Jamursba |
Ya,
Pantai Jamursbamedi masih alami, berpasir putih dan suhu panas. Sangat cocok untuk tempat peneluran
penyu hingga menetas dan menjadi tukik. Masyarakat Kampung Wau mengaku bahwa
penyu-penyu itu sudah singgah dan bertelur di sini sejak ratusan tahun yang
lalu.
Kami
bergegas mendirikan tenda untuk bermalam. Ya, harus bersabar menunggu malam
untuk mencari keberadaan dan mengamati penyu yang naik ke darat dan bertelur. Meski
musim peneluran berlangsung antara bulan
April hingga September, penyu-penyu ini sekarang tak mudah ditemukan.
***
Sekitar
pukul 22.00 WIT, kami berkumpul dan membuat kelompok atau tim. Pencarian pun
dimulai dengan panduan para patroler. Kami menyusuri pasir putih yang halus di bibir
pantai sepanjang 18 kilometer. Tanpa alas kaki dan hanya membawa lampu senter untuk
penerangan. Cahaya bintang dan debur ombak berirama mengiringi percakapan.
Untuk
memudahkan pencarian, tim menyebar di beberapa lokasi peneluran penyu di
sepanjang lima kilometer pertama. Menelusuri jejak penyu ketika naik ke darat
maupun kembali ke laut adalah cara yang efektif untuk menemukan keberadaan penyu.
Sekitar
dua jam kami menyusuri pantai, tiba-tiba terdengar suara salah seorang patroler
dari walki talkie. ”Bisa di copy..tim menemukan Penyu Lekang sedang
naik.”
Kami
pun langsung merapat menuju partoler yang berhasil mengidentifikasi jejak Penyu
Lekang.
Penyu
Lekang (dengan ’e’ di ’kentut’), jenis penyu terkecil yang terancam punah
karena perburuan telurnya. Warnanya hijau tentara dan
memiliki enam pasang lempang pada tiap cangkangnya. Dibeberapa wilayah di Indonesia penyu ini masih bisa
ditemui, meski populasinya kecil.
Kami
pun mulai mengamati pergerakan Penyu Lekang seberat 70 kilogram yang akan bertelur.
Penyu berjalan dengan sirip depan menjauhi bibir pantai untuk menentukan lokasi
sarang. Kemudian dengan sirip belakang penyu mulai menggali lubang sarang
sedalam 60 hingga 80 sentimeter.
Kami
tak boleh berisik ketika mengamati proses peneluran sekitar 40 menit karena
spesies ini sangat sensitif dengan cahaya dan suara. Makanya, selama mengamati
proses peneluran, kami hanya menggunakan pencahayaan minim dan tak bersuara. Ya, saya jadi tahu kebiasaan penyu ketika membuat lubang sarang
yang berbentuk bulat dan
mengeluarkan telur sebesar bola
tenis meja ini. Jumlahnya berkisar
antara 80 hingga 110 butir.
Penyu
kemudian menutup sarang dengan pasir dengan sirip belakangnya, lalu menimbun
badan dengan keempat siripnya. Tak lama kemudian, mulai membuat sarang kamuflase atau sarang tipuan untuk
mengelabuhi para predator. Manusia, biawak, anjing dan babi hutan
adalah musuh mereka. Sarang penyamaran ini sebenarnya hanya berupa bekas
gerakan memutar sirip depannya yang berjarak sekitar dua meter dari sarang
asli.
Nah, setiap sarang
ini akan ditandai tenaga patroli untuk mengetahui berapa jumlah penyu yang
datang dan bertelur. Sarang ini juga dijaga dari predator alias pemangsa. Kalau
perlu, sarang akan dipindahkan agar telur aman. Yang pasti, semua harus
dilakukan dengan sangat hati-hati.
“Kalau galian lubang sarang tidak terlalu dalam akan direlokasi karena
rentan predator. Apalagi Penyu Lekang yang baru pertama kali bertelur. Ukuran sarang
tidak standar dan jumlah telur sedikit,”jelas William Iwanggin, salah satu tim konservasi penyu
dari Universitas Negeri Papua.
menghitung telur penyu Lekang |
Pencarian
berakhir dengan membawa Penyu Lekang betina ke pos pemantauan untuk pemasangan alat
pemancar. Namanya Transmiter atau satelit
tag. Beratnya 500 gram. Bentuknya persegi mirip dengan tikus yang dilengkapi
dengan saklar otomatis yang direkatkan pada punggung penyu. Fungsinya, untuk
memantau habitat penyu di daerah peneluran maupun pakannya.
***
Esoknya, anggota tim Konservasi penyu
Universitas Udayana, I Made Jaya Ratha memasang transmitter di punggung Penyu Lekang
untuk mengetahui jalur migrasi penyu di pantai Jamursbamedi dan Warmon.
Metode penempelan dilakukan dengan menggunakan alat perekat fiberglass atau
resin. Sebelum dipasang, karapas diamplas terlebih dahulu agar bebas dari algae
atau lumut. Setelah itu atasnya baru ditutup dengan resin dan fiberglass sebelum
dipasang transmiter dengan menggunakan Q-cell. Pemasangan satelit ini tidak
akan bertahan selamanya di punggung penyu. Biasanya hanya mampu bertahan hingga
1,5 tahun. Tapi dari situ, tim bisa mendapat banyak data sebagai pedoman.
Setelah memasang transmitter |
Menurut Jaya Ratha, penyu naik ke permukaan di
spot-spot tertentu akan mengirimkan sinyal. Lokasi itu lah yang kemudian saling
dihubungkan untuk dijadikan satu track
atau jalur migrasi penyu hingga bisa memberikan gambaran habitat penyu.
Memang unik karena penyu memiliki habitat pakan yang jaraknya
ribuan kilometer dari pantai peneluran. ”Misalnya penyu dari Papua ini, dia
cari makannya dimana, terus dia lewat jalur mana, apakah itu juga merupakan
jalur penangkapan ikan. Nah, pemasangan satelit ini juga menjadi salah satu
cara untuk mengidentifikasi bahaya yang ditemui penyu di perairan yang tidak
bisa dipantau kasat mata,” jelas Spesialis pemasang transmitter
dari Tim Konservasi Penyu Universitas Udayana ini.
Tim Konservasi
Penyu Universitas Udayana menyebut, sejak
2003 sebanyak 13 Penyu Lekang terpasang alat pemancar satelit dan mengirimkan
sinyal setiap kali muncul ke permukaan.
Dari hasil pemantauan itu pun diketahui
identifikasi pakan Penyu Lekang yang habitat penelurannya di Pantai Jamursbamedi
dan Warmon bermigrasi atau mencari pakan di sekitar Laut Arafura, dan perairan
Sulawesi.
Usaha
konservasi penyu ini mulai aktif dilakukan LSM Lingkungan WWF bersama
masyarakat lokal yang mendiami kawasan yang didatangi penyu-penyu untuk bertelur sejak tahun 1993.
Mama Rebeca dengan transmitter di punggung |
Selama musim peneluran, 40 patroler (petugas patroli) melakukan pengamatan penyu.
Mereka warga kampung Wau dan Saubeba, dua kampung terdekat dengan pantai
peneluran yang dilatih untuk menjaga dan mengawasi penyu dengan imbalan insentif
sebesar Rp 1,5 juta perbulan.
Salah
satunya David, warga kampung Saubeba yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Pantai
Jamursbamedi. Tugasnya menyusuri bibir pantai sepanjang musim peneluran untuk mengambil
data. Setiap pagi dan malam dengan berjalan kaki. “Kami menghitung jejak penyu yang naik dan bertelur. Juga menghitung sarang penyu yang berhasil
bertelur, dirusak predator atau hanya jejaknya saja.”
Partoler dan penyu Lekang |
***
Tak
hanya itu, kami juga mengamati Penyu Belimbing. Jenis spesies endemik penyu
terbesar dengan panjang mencapai 1,8 meter yang masuk dalam daftar merah IUCN. Artinya
statusnya amat langka. Populasinya turun drastis dalam 50 tahun terakhir ini dengan
jumlah penyu betina yang bertelur diperkirakan hanya tersisa ribuan
ekor saja. Hanya
sedikit tempat di dunia yang dipilihnya untuk bertelur. Pengamatan pun kami
lakukan di sepanjang pantai Jamursba medi.
Pencarian
berlanjut. Seperti malam sebelumnya, kali ini kami menyusuri sisi timur Pantai
Jamursbamedi dan berharap bertemu Penyu Belimbing. Penyu yang biasa dijuluki
’dinosaurus terakhir’. Ya,
tak seperti penyu lainnya, penyu belimbing
satu-satunya penyu terbesar yang tak memiliki cangkang. Kulit punggung tanpa cangkang bergaris-garis,
menonjol, menyerupai buah belimbing. Tak heran jika penyu ini dinamai dengan
nama buah. Hanya saja warnanya hitam bercak putih.
Kami
menuju ke arah timur Jamursbamedi, tepatnya di kawasan Warmamedi. Jalur yang
kami lalui lebih sulit karena melintasi bibir hutan. Setelah menempuh jarak
sekitar lima kilometer dari pos pengamatan, kami melihat Penyu Belimbing berukuran besar sedang
naik ke pantai.
Kami menemukan satu Penyu Belimbing yang akan bertelur. Proses peneluran tidak jauh beda dengan Penyu
Lekang. Sungguh pengalaman yang luar biasa dan tak terlupakan bisa menyaksikan
penyu belimbing yang beratnya diperkirakan hampir
setengah ton dengan telur seukuran bola biliar.
Menimbang dan mengukur tubuh Penyu Belimbing |
Namun kami hanya menyaksikan proses peneluran saja karena
pemasangan satelit pemancar butuh peralatan yang lebih khusus. Juga sabuk
khusus yang melingkari tubuh ’’raksasanya’’. Sejak 2003, tercatat sebanyak 22 Penyu Belimbing telah dipasang
transmitter.
Jenis penyu ini mempunyai kemampuan
jelajah terjauh ke segala arah dalam kurun waktu setahun. Mereka bermigrasi menempuh
jarak hingga enam ribu mil dari habitat asalnya di Papua.
Menyusuri Papua hingga Kepulauan Solomon, ke selatan hingga Kepulauan
Kei di Maluku Tenggara, ke utara melampaui Filipina hingga ke Jepang, dan
menyeberang Samudera Pasifik hingga pantai barat California.
***
Menjaga Ekosistem
Konservasi dan monitoring penyu di Papua ini
tentu saja sangat penting dilakukan karena kawasan ini menjadi tempat peneluran
untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Dua pantai yang terletak di utara Papua
ini merupakan satu-satunya tempat dengan
jumlah populasi tertinggi dengan pantai peneluran yang cukup panjang. Beda
dengan pantai peneluran penyu di Amerika dan India yang populasinya relatif
kecil.
Sebenarnya upaya konservasi penyu di Papua ini bermula dari survei udara di
Pantai Jamursbamedi di tahun 1980-an yang menemukan 250 ekor lebih penyu Belimbing
dan Lekang betina datang bertelur setiap malam pada puncak musim peneluran di
sepanjang 20 kilometer garis pantai. Ini menjadi titik awal betapa pentingnya
pantai tersebut bagi habitat penyu.
Ya, selama 20 tahun terakhir, jumlah
populasi penyu di kawasan Pasifik
yang merupakan jalur padat reptil ini diperkirakan mencapai 30 ribu ekor penyu.
Tapi terus menyusut hanya 13 ribu saja yang ditemukan di tahun 1984.
Populasinya menurun drastis.
Dari catatan
WWF Indonesia, sepanjang 2008 memperkirakan di kawasan ini hanya sekitar
tiga ribuan penyu diantaranya penyu belimbing betina dewasa yang bertelur.
Pantai peneluran |
Yang jelas
banyak faktor yang mengancam keberlanjutan populasi Penyu Belimbing dan Penyu
Lekang di pantai utara Papua. Penyebab utamanya perburuan liar dan penggunaan
jaring penangkap ikan di kawasan laut lepas. Selain itu juga predator alami
penyu seperti biawak, anjing dan babi hutan. Abrasi alias pengikisan pantai,
juga berperan terhadap menurunnya jumlah spesies endemik ini.
Tapi
yang bikin saya terkejut bahwa ancaman terbesar keberadaan penyu adalah manusia
yang mengambil telur, memakan dagingnya serta merusak wilayah pantai tempat
penyu bertelur sehingga telur penyu gagal menetas.
Kepala Kampung Saubeba yang berjarak sekitar
15 kilometer dari jamursba medi, Damianus Yesawen mengaku, selain penangkapan liar yang sering terjadi di kawasan laut lepas, telur dan penyu
dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai
bahan makanan dan mata pencaharian. Warganya masih kerap mengkonsumsi telur
penyu, atau ditukar dengan kain
sarung, celana. Ini dilakukan karena belum paham pentingnya pelestarian penyu.
Chistopher warga Kampung Wau juga bercerita jika dirinya sering
memakan telur penyu dan menjualnya. “Untuk makan dan beli kebutuhan, tapi tidak banyak paling hanya 1 atau 2
sarang. Ambil secukupnya saja.”
“Telurnya enak bisa buat campuran makanan. Semua
orang juga suka makan telur karena di daerah lain tidak ada. Kalau dijual bisa
dapat Rp 500 ribu kalau di jual ke Sorong atau Manokwari. Tapi kalau di sini
tidak mahal, satu atau dua butir hanya seribu,” timpal August
Yesnat.
Juga
Martina Yaum masyarakat di Kampung Wau yang berada sekitar 40 kilometer dari Jamursbamedi.
“Di
makan dan jual. Ada yang satu noken dapat Rp 30 ribu. Untuk beli sabun atau gula. Ada juga kapal perintis yang datang membawa
dan menjual telur,” ujarnya dengan logat khasnya.
Karena itulah
Penyu Lekang dan Penyu Belimbing ditempatkan sebagai penyu laut yang paling
terancam populasinya di dunia. Penyu Belimbing bahkan masuk daftar merah
Serikat Internasional untuk Konservasi Sumber Daya Alam, IUCN. Masuk ke daftar
ini berarti memiliki resiko punah paling tinggi. Banyaknya ancaman dalam
kehidupan penyu menyebabkan tingkat keberhasilan penetasan telur penyu sangat
rendah. Dari sekitar seribu telur penyu, hanya satu yang selamat hingga dewasa.
Begitu juga dengan penyu Lekang yang saat ini statusnya terancam punah.
Padahal, kawasan pantai di
sepanjang kepala burung Papua merupakan salah satu tempat peneluran terakhir Penyu
Lekang dan Belimbing. Di kawasan lainnya seperti Malaysia dan Meksiko tercatat
makin sedikit penyu betina yang kembali ke kawasan pantai untuk bertelur. ***
Kawasan Khusus
Pelestarian Penyu Belimbing dan Penyu Lekang tidak hanya punya arti penting bagi ekosistem laut, tapi juga manusia dan industri nelayan. Sebagai pemangsa ubur-ubur, kedua penyu ini dianggap mampu mengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di laut. Bayangkan, jika populasi ubur-ubur berlebih ini memangsa larva ikan. Dampaknya tentu saja akan mengancam populasi ikan.
Karena itu untuk menjaga habitat penyu agar tetap lestari, pemerintah setempat sepakat untuk menjadikan dua situs peneluran yakni Jamursbamedi dan Warmon sebagai kawasan khusus yang penting bagi keberlanjutan penyu dengan membentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun yang secara admintratif terletak dalam wilayah Distrik Sausapor dan Distrik Abun, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Penetapan ini diperkuat dalam SK Bupati Sorong No.142/ 2005 yang menetapkan kawasan laut dan pesisir Distrik Abun sebagai KKLD dengan luas pantai mencapai 169 ribu hektar, dan lima kilometer dari garis pantai ke darat.
Di KKLD Abun |
“Untuk memastikan perlindungan pantai peneluran agar populasi penyu di Pasifik tetap stabil atau meningkat,” jelas Kasi Konservasi dan Pesisir pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong, Linder Rouw.
Bahkan untuk
mencuri perhatian dan mencari dukungan internasional terhadap pelestarian
tempat hidup Penyu Lekang dan Penyu Belimbing, KKLD Abun, Papua Barat dideklarasikan
saat Konferensi Kelautan Dunia World Ocean Conference (WOC) di Manado
pertengahan Mei 2009 lalu. Sehingga masyarakat
internasional bisa melihat pentingnya Kawasan Konservasi Abun di Papua sebagai salah
satu kawasan peneluran penyu terbesar di pasifik. Tujuannya agar semua ikut
menjaga dan melestarikan jenis penyu dari kepunahan.
“Penyu di Jamursbamedi cukup banyak, tapi satu tahun bisa kehilangan
ribuan tukik karena yang selamat hanya 10 atau 15 tukik. Kalau tidak diperhatikan lama-lama bisa punah. Jadi bagaimana bisa selamat, semua bisa ikut menyelamatkan
tukik supaya berkembang disini,” ungkap Kepala Kampung Saubeba Daminaus
Yesawen.
Dan perlindungan tidak hanya bagi Penyu Lekang dan Penyu Belimbing saja karena sebenarnya Indonesia juga menjadi rumah bagi enam dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia.
Jadi, mari kita lindungi!!
Its me, kecoak pengembara |
Nggak melewatkan pemandangan |
Bersama anak-anak Kampung Wau |
Ini nih penyu Lekang |
bayangin tuh segede apa telurnya |
Nemu cangkang penyu |
santapan malam, baby gurita |
Menunggu daging rusa matang di Sausapur |
mari makan baby gurita bakar, maknyuus |
mengikuti Rebeca kembali ke laut |
dengan Om Bethuel, bapak penyu |
Post by Non
pics from personal n WWF team