Pages

Tampilkan postingan dengan label gaya hidup. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gaya hidup. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Desember 2017

Mangrove pun bisa Jadi Makanan dan Batik

Chumaeroh membantu Ulfatin membentangkan kain yang akan di cap dengan motif hewan laut mimi yang dikombinasi dengan motif mangrove jenis rizophora. Plat dicelupkan ke pewarna alami yang terbuat dari batang limbah mangrove.

Ini sudah menjadi keseharian perempuan di Desa tapak, Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Jawa Tengah selama empat tahun terakhir. Tepatnya sejak Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSeMat) memberikan edukasi dan pelatihan pengolahan mangrove sebagai sumber pangan dan ekonomi alternafit. Ada dua kelompok Pengolah jajanan Mangrove yakni Bina Citra Karya Wanita yang mengelola berbagai jenis makanan dengan produk Mas Jamang dan Kelompok pengrajin batik mangrove Srikandi Pantura.

Mufida, selaku koordinator Srikandi Pantura mengatakan, warga merasakan manfaat dari pemberdayaan tersebut. Tidak hanya memberikan ruang aktualisasi diri, mangrove mampu memberi nilai tambah bagi perempuan pesisir.

 “Potensi mangrove sangat besar di sini, di sisi lain ibu-ibu banyak yang tidak punya kegiatan. Kita dikumpulan di kasih pelatihan bantuan alat, tidak hanya ilmu yang kami dapat.”
Dalam pelatihan tersebut, perempuan yang tinggal di wilayah pesisir utara Semarang Barat ini diajarkan membuat dan mengolah mangrove menjadi aneka penganan. Ada kerupuk , stik, peyek, bolu, Klepon, cendol.

“Macam-macam. Sampai sekarang kita diajak anak-anak KeSeMat untuk melatih kemana-mana. Tenyata manfaat mangrove itu besar sekali, selain pencegah abrasi juga  mempunyai nilai tambah. Ibu-ibu jadi punya uang sendiri selain dikasih suami.”

Ardyan Syahputra, anggota KeSeMaT mengatakan, tidak hanya manfaat ekonomi, warga di pesisir otomatis juga turut serta menjaga kelestarian ekosistem mangrove di wilayahnya dengan selektif memilih bahan baku yang akan diolah menjadi makanan maupun pewarna batik.

Ya, mangrove tumbuhan pesisir yang digadang-gadang sebagai benteng alami penahan laju abrasi di wilayah pesisir memiliki manfaat lain. Tumbuhan yang dulu memprihatinkan, rusak dan habis dibabat untuk alih fungsi lahan, kini keberadaannya terus menjadi perhatian.

Selasa, 16 Mei 2017

Mimpi Lima Generasi

Hidup dari tembakau bagi keluarga Kunadi Ahmad (46) sangat menguntungkan. Dia ingat saat ia bersama kedelepan saudaranya ikut merawat sumber penghidupan keluarga sebagai petani tembakau di Desa Karangmulyo, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, sekitar sekitar 30 tahun lalu. “Selain sekolah, ya, membantu orang tua di kebun, mengurus mbako. Dari menyiram, menyemprot, merawat, semualah sampai panen,” cerita Kunadi Ahmad (46) kepada Independen.
Desa Kunadi dahulu dikenal sebagai salah satu sentra tembakau di Kendal selain di Kecamatan Ngampel, Gemuh, Patebon, Kangkung, Weleri, dan Ringinarum. Tembakau daerah ini menjadi komoditas primadona dan terserap di sejumlah pabrik rokok besar di Jawa.
Pada kurun 1990-2005, petani masih merasakan kejayaan tembakau. Bahkan yang tak memiliki lahan pun berani menyewa lahan karena hasilnya memang menggiurkan, meski hanya menyewa satu tahun. “Misalnya modal dan tenaga habis Rp6 juta, kalau panen bisa dapat dua kali lipat. Bahkan pada 2000-an lahan 0,25 hektare bisa menghasilkan Rp 20 jutaan,” jelas anak terakhir dari 9 bersaudara ini.
Dia mengaku sempat mengikuti jejak kedua orang tua. Tapi semua berubah ketika petani di desanya tidak lagi mendapat jaminan hidup dari mata pencaharian utama sebagai petani tembakau. Dulu, kata Kunadi, pengepul utusan pabrik dulu siap beli tembakau dari petani. “Sekarang yang beli siapa belum jelas. Akhirnya petani malas menanam dan lahan mangkrak,” ujarnya.
Terbukti lahan perkebunan tembakau di desanya menurun drastis hingga 70 persen. Dari 100 hektar tersisa 30 hektar. Kini, hanya kedua kakaknya yang masih bertahan. Warga desa lainnya beralih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan buruh pabrik.
Berbeda dengan Kunadi, Kusumaadmadja Agung (69) sejak usia belia, sudah digembleng sang kakek dan ayahnya mewarisi bisnis tembakau. Kedekatan emosional Yap Sing Tjay terhadap sang cucu membuatnya ingin melibatkan Agung dalam urusan pertembakauan. “Saya masih ingat tembakau Boyolali ‘ting trecep’ rasanya kayak ditusuk jarum tapi ada rasa manisnya. Yang jelas rasanya nggakkeruan. Kalau malam saya sampai nangis karena hampir setiap hari disuruh mencicipi tembakau,” kenang lelaki yang dekat dengan sang kakek.
Agung terbiasa mencium berbagai aroma daun tembakau dari berbagai daerah yang tersimpan di gudang lantai dua. Sejak belia sudah mengikuti kebiasaan Yap pergi ke daerah tembakau.   Sesekali dia mengaku dipaksa untuk mencium dan mencicipi satu per satu aroma tembakau yang ada di gudang.
Ia belajar mengidentifikasi kualitas daun tembakau di setiap urutan tangkainya sehingga hafal jenis dan kualitas tembakau terbaik. “Hanya melihat bentuk, warna, dan bau, saya sudah tahu. Setiap tembakau mempunyai ciri sendiri. Beda warna dan kalau dipegang ada yang memeskemresek, lembut,” katanya.
Bahkan pada usia 11 tahun, Agung sudah mengisap kretek lintingan buatan leluhurnya dan mencicipi cerutu pertama ketika usia 14 tahun. Tidak biasa untuk anak seumurannya, tapi itu wajar bagi keluarganya. “Dulu rumah jadi gudang dan toko tembakau. Istilahnya lahir dan sejak kecil saya ini sudah dibacem denganmbako. Jadi darah saya sudah menyatu dengan tembakau,” katanya.
Sebagai pedagang yang mahir meracik berbagai tembakau Nusantara, Yap mendirikan toko tembakau bernama “Soei An Tabaks” di kawasan Pecinan Semarang pada 1958. Sebelumnya, dia menjajakan tembakau eceran yang diletakkan dalam bumbung bamboo ini dengan berjalan kaki. Lelaki asal Xiamen, Tiongkok itu mengeluti bisnis tembakau sejak 1903 dengan berkeliling dari kampung ke kampung.
Yap mewariskan toko pada anaknya Bram Mukti Agung yang lalu mengganti nama menjadi Toko Mukti pada pertengahan 1930-an. Agung sebagai generasi ketiga dipercaya meneruskan usaha tembakau eceran sejak berumur 20 tahun.

Tak Selalu Mulus
Bisnis keluarga yang dijalankan hampir setengah abad itu tidak selalu berjalan mulus. Berbagai regulasi pada setiap rezim pemerintahan kerap menggoyang denyut bisnis warisan keluarganya, termasuk kemunculan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), badan kesehatan dunia WHO, yang membatasi konsumsi tembakau.
Kondisi ini sempat membuat Agung frustasi. Dia ingin melepas semua aset bisnisnya untuk beralih usaha yang lebih menguntungkan, termasuk menerima tawaran menggiurkan sebagai expert tobacco di Bremen. Sebuah perusahaan asal Amerika bahkan sempat akan membeli toko dan kafe tembakau berlantai dua serta gudang tembakau di Weleri.
“Kalau memikirkan itu saya tidak bisa tidur, apalagi kalau ingat kawan yang bisnis tembakaunya ambruk dan stres. Sulit, sempat berpikir jual semua aset, bayar hutang bank, selesai. Tapi mungkin sudah garis tangan saya disuruh meneruskan,” ujarnya sambil menerawang.
Sejarah keluarga menguatkan Agung untuk bertahan. Pesan ayahnya  untuk meneruskan usaha keluarga selalu terngiang. Meski mengaku sulit, Agung bertekad tidak akan menghapus garis tangan keluarga untuk bertahan di bisnis tembakau.
Sekarang ini, pada usia yang tak lagi muda, ia mencari pewarisnya mewujudkan mimpi “five generation one family tobacconist legacy”. Dia merangkul anak satu-satunya dan kedua cucunya. Dia juga mengaet anak-anak muda untuk berkiprah di kafe tembakaunya.
Keahlian yang didapat karena faktor keturunan itu ia tularkan. Jalan panjang melintasi zaman dalam menjaga warisan sang kakek dilalui demi tumpuan bisnis keluarga. “Anak sekarang tidak sabar, misal meracik masih kurang harus ditambahi, kurang apa tambahi. Kalau tidak ulet, ya sulit,” katanya.
Ia melabeli satu produk cerutunya Khansa, gabungan nama dua cucunya yang masih berusia 9 tahun dan 4 tahun. “Kalau tidak keturunan sepertinya sulit, untuk mempelajarinya juga susah. Saya coba ajak cucu cium tembakau ternyata bisa membedakan.”
Sementara itu Heru Karyanto, pengusaha asal Kudus mengatakan tidak mudah mencari generasi penerus usaha kretek. “Tidak semua generasi penerus siap,” katanya saat bedah buku “Djamhari Penemu Kretek” di Kafe Pustaka John Dijkstra Institute, Semarang, (25/3) lalu.
Prinsipnya orangtua atau pendiri perlu melatih dan membina dengan etos kerja. Ia mengatakan keberhasilan bisnis tembakau secara turun temurun terbukti dalam regenerasi pabrik rokok besar seperti Djarum, Noroyono dan Sukun.

Berharap pada Distributor
Masalah sulitnya membentuk generasi penerus juga dterjadi pada jaringan distributor kretek, seperti yang disampaikan Slamet, Kepala Bagian Keuangan TMPT Taru Martani Yogyakarta. Ia mengungkap pabrik penghasil cerutu ini hidup dengan mengandalkan jaringan distributor yang makin menciut jumlahnya.
Tidak banyak distributor yang melakukan regenerasi meski bisnis ini masih cukup menjanjikan. Banyak yang tidak mendidik anak-anak untuk meneruskan bisnisnya. Distributor yang dimaksud adalah para distributor lama yang dibina puluhan tahun.
“Seperti distributor di Lampung dan Palembang, anaknya yang meneruskan. Di Amerika dan Bandung sudah tua tapi anaknya tidak mau melanjutkan,” katanya.
Padahal bisnis ini lebih mengutamakan sisi kepercayaan dan kehati-hatian agar jalur distribusi lebih tertata sehingga tidak merusak harga cerutu yang diproduksi. Harga jual menjadi mekanisme pasar. “Kita mau mendidik calon distributor satu saja harus hati-hati. Jadinya tidak maksimal. Mau percaya siapa kita tidak tahu dan pada akhirnya pasar kosong dan jadi liar,” ujarnya.
Pada 1994-2009, Taru Martani mempunyai 11 distributor atau importir yang tersebar di berbagai negara seperti Tobacco Service Holland, CVJ Switzerland, Tobaccos Lebanon and Middle East, Havana Tropical, Sal Dubai and Iraq, Birlesik Tutun Turkey, Indo Worldwide Horizon USA and China, Java Royale, Nguila France, Universal Praha Czech &Slovakia, Phoenicia Trading Afro-Asia Sal Cyprus, dan Russia Taekwondo Association.
Kini, jaringan distribusinya menyusut. Hanya enam distributor yang beroperasi di Amerika, Jepang, Swiss, Turki, Georgia (Imeri), dan Jerman (Surya Kretek). Jumlah ekspornya kecil, hanya satu kontainer senilai Rp 700 juta.
Sedangkan distributor lokal ada 18 yang tersebar antara lain di Lampung, Palembang, Pangkalpinang, Jambi, Tembilan, Pekanbaru, Tanjungpinang, Bengkalis, Medan, Jakarta, Bandung, DIY, Bali, Pontianak, Merauke, dan Serang.
Bagi Taru Martani, jaringan distributor yang diwariskan turun-temurun menjadi prioritas sehingga penting membina hubungan baik dengan para jaringan distributor dan berharap ada regenerasi karena pasar tembakau lokal masih potensial. Ia mengakui belum mempunyai sistem agar distributor bisa langgeng. "Mungkin dengan cara memberi bonus dan diskon akan efektif. Tapi yang terpenting bahwa cerutu Taru Martani enak, tanpa itu sulit berjualan,” tandasnya.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/387/mimpi-lima-generasi/

Bertahan dari Himpitan Regulasi Kretek

Regulasi ketat pembatasan konsumsi tembakau dan produk olahannya memengaruhi  bisnis pertembakauan berskala menengah dan kecil. Sebagian besar dari mereka gulung tikar. Sebagian bertahan karena pintar berinovasi dan menyiapkan regenerasi.  Independen menurunkan laporan bersambung tentang dinamika perusahaan kretek lokal dari berbagai sisi.

-----------
Kusumaadmadja Agung (69) masih ingat kejayaan usaha tembakau orang tuanya. Saat itu, di lantai dua gudang  toko tembakau ayahnya di Jl Wahid Hasyim 2A, Kota Semarang, bronjong-bronjong tembakau bertumpukan. Daun tanaman bernama Latin Nicotiana tobacco  itu dibeli ayahnya dari para petani di berbagai daerah di Jawa.
Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, Agung diandalkan meneruskan bisnis tembakau keluarga yang dirintis Yap Sing Tjay, sang kakek yang berasal dari Xiamen, Tiongkok. Sejak usia belia, aroma tembakau sudah akrab tercium hidungnya. Lebih-lebih Bram Mukti Agung, sang ayah, kerap mengajaknya berkeliling daerah untuk membeli tembakau dari para petani.
Ketika ayahnya memproduksi rokok, Agung kecil pun membantunya. “Kakek hanya jualan tembakau. Lalu Ayah mulai memproduksi rokok kretek cap Lelo-lelo Ledung. Bikinnya di gudang Weleri, Semarang, Pekalongan, dan Tegal. Saya masih kecil tapi sudah ikut bikin dan jualan berkeliling naik sepeda di Semarang,” katanya ketika ditemui koresponden Independen saat di Kafe Mukti, miliknya, akhir Maret 2017.
Bisnis tembakau pada masa-masa itu begitu menjanjikan. Hari-hari Agung banyak dihabiskan di daerah-daerah tembakau. Relasinya dari kalangan petani tembakau sangat banyak. Tak mengherankan saat musim panen banyak pabrik rokok memintanya membelikan tembakau dengan komisi 5 persen dari harga pembelian.
Ketika tak banyak memiliki stok tembakau dan kondisi semakin sulit, kini, ruangan di lantai dua toko disulap menjadi kafe. Selain menyediakan pelbagai minuman dan penganan ringan, pengunjung bisa membeli tembakau iris  dan menikmati tembakau lintingan berbagai jenis. Ada juga cerutu produksi Agung, ciri khas dagangnya.
Dia tetap melanjutkan usaha yang sudah dirintis kakeknya. Sebuah pilihan yang tak terelakkan ketika tak lagi kerap berkeliling ke daerah tembakau, karena tak banyak tembakau yang bisa dibeli. Di gudangnya di kawasan Weleri, tembakau tersisa sekitar 80 ton. “Ya, saya rasa banyak yang meninggalkan bisnis ini. Alih usaha. Ada yang stres, sakit. Ngeri ceritanya,” katanya.
Hal itu terjadi karena kondisi saat ini berbeda dibandingkan masa jaya jual beli tembakau periode 1997-2000. Mencari jalan bertahan dengan produksi sendiri harus terus dilakukan jika tak ingin gulung tikar. Seperti yang ia lakukan dengan memproduksi cerutu tahun ini. “Urusan merek dan perizinannya sudah beres. Paling tidak bisa untuk produksi dua atau tiga tahun,” cerita Agung.
Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/385/bertahan-dari-himpitan-regulasi-kretek/

Sabtu, 23 Januari 2016

Srintil, Harmoni dari Lereng Sumbing


Tembakau Srinthil dari Desa Tilir
Di timur lereng Sumbing, lahan berundak di sisi-sisi jalan beraspal Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah itu tak lagi hijau. Hanya tanah pasir berkerikil. Akhir Oktober itu, masa petik daun tembakau memang sudah lewat. 

Di permukiman penduduk, di halaman-halaman rumah, Srintil dipapar di atas anjang-ajang bambu. Srintil itu nama tembakau primadona. Sangat istimewa. Aroma khasnya menguar di situ. Lebih-lebih lagi, "Srintil tidak muncul setiap tahun." Itu kata Sutopo, petani tembakau di Legoksari.

Kenapa Srintil istimewa? Tembakau ini ada secara alamiah dan tak bisa dibudidayakan. Tanda kemunculannya baru saat proses fermentasi atau pengeraman daun tembakau petikan terakhir yang ditumbuhi jamur kuning. Setelah dirajang dan dijemur, bentuknya semakin terlihat. Rajangan daun "printhil-printhil" dipercaya masyarakat setempat sebagai anugerah Dewi Kemakmuran: Dewi Sri yang "nginthil" (ikut) menjadi berkah. Berkah itu berupa harga Srintil yang selangit. "Pada 2011 harganya mencapai Rp 900 ribu per kg. Itu puncak harga tertinggi tembakau srinthil," imbuhnya.

Bagi saya, bertemu Srinthil adalah keberuntungan. Bagi warga Legoksari, tak sekadar keuntungan. Ia adalah proses, perjuangan, keberhasilan, kebanggaan. Juga kearifan lokal bagaimana menjaga harmoni. Srintil adalah juga konsep hidup para petani tembakau di situ. 
"Saat panen tembakau, tatalah hati kita, jangan saling bertengkar. Kalau ada maslaah, ayo dirembuk. Sabar. Jangan sampai memendam kemarahan, sebab nanti daun tembakau yang baik bisa jadi buruk. Ya, agar harganya mahal. Rezeki kita lancar."

Kata Sutopo, itu pesan turun-temurun. Para petani tahu betul memaknai pesan itu dengan pola tanam tebakau yang "pranata mangsa". Semua ada waktunya sendiri-sendiri. Ada proses menyiapkan pupuk kandang, mengolah lahan, membuat lubang tanam, menanam, merawat, hingga memanen. Semua berdasarkan waktunya yang tepat. Dan semua proses itu dibangun berdasarkan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. 
"Ya, kami bergotong royong dari penanaman, petik sampai pengepakan. Yang punya lahan dua hektare atau hanya setengah hektare, sama. Tidak iri-irian. Dengan sukarela dan senang hati membantu petik daun meski jaraknya jauh. Tidak pernah mengeluh."

Kesederhanaan, keikhlasan juga menjadi irama hidup para petani. "Kalau tembakau bagus, jangan dipuji. Yang jelek, jangan disia-siakan. Daun jelek belum tentu jadi jelek. Bergantung atas perawatannya. Kalau ikhlas, itu enak. Semua lancar." 

Kearifan lokal yang turun-temurun itu tak hanya berbuah panen yang bagus, tapi juga sebuah kisah tentang harmoni, kisah keselarasan dari Lereng Sumbing.

Senin, 05 November 2012

Dari Sebuah Biji "Cherry"

Tak hanya para pengusaha kopi, Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, tapi juga komunitas, petani dan blogger Kopi  bertemu serta saling bertukar informasi dalam  Indonesian Coffee Festival (ICF) pertengahan bulan September lalu di Museum Puri Lukisan, Ubud, Gianyar, Bali. Ini perhelatan kedua setelah Aceh yang menjadi tuan rumah tahun lalu.

Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia dengan luas perkebunan kopi mencapai 1,3 juta hektar yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, Selawesi Selatan, hingga Papua. Wajar jika para pelaku kopi ingin Indonesia menjadi kiblat kopi dunia. Sekaligus kuliner dan gaya hidup.


Tak lagi kedai kopi konvensional di pinggir jalan, kopi merangsek dan menjamur di tempat ekslusif yang membuat pengunjung betah berlama-lama. Ya, secangkir kopi menjadi fenomena gaya hidup kaum urban. Kaum pria, wanita pun remaja. Duduk santai menikmati kopi racikan bersama teman. Ngobrol, santai dan berdiskusi juga bertemu kolega dan menjadi penentu keberhasilan projek dengan rekan bisnis. “Semua kalangan menggemari kopi, biasanya nongkrong atau bicara bisnis,” ujar pengelola Hans Kopi Semarang, Fajar Sidiq.

Budaya minum kopi pun menjadi identitas baru yang mengglobal dan bertransformasi seiring zaman. Berbeda dengan budaya minum kopi berabad-abad silam, atau ketika kedai kopi berlabel Starbucks muncul mengguncang dunia di kota seattle.
Data dari International Coffee Organization (ICO) menyebut, terjadi peningkatan konsumsi kopi sebesar 2,5 persen pertahun. Ini terjadi sejak dua tahun lalu. Hingga di tahun 2020 diperkirakan kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta ton.

Kondisi ini terjadi karena pergeseran gaya hidup masyarakat perkotaan yang mendorong pergeseran pola konsumsi kopi. Maka tak heran jika tren konsumsi pasar kopi dunia dalam kurun lima tahun terakhir ini  jauh lebih cepat dibanding produksi kopi dunia. Akibatnya, permintaan kopi di berbagai Negara cenderung meningkat.

Seperti di Brazil yang mengkonsumsi hingga 20 juta karung, mengalahkan Amerika yang tingkat konsumsinya mencapai 22 juta karung.
ICF mencatat, ada sekitar 100 miliar cangkir kopi atau sekitar 165,9 ton kopi yang diseduh setiap hari di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, jumlah kebutuhan kopi diperkirakan mencapai 121.107 ton per tahun.

Industri Kopi Indonesia
Berdasarkan data Indonesian Coffee Festival (ICF), Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga produsen kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Kolombia dengan total produksi 600 ribu ton per tahun. Sekitar 67% diekspor sedangkan sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.  Dimana jenis kopi robusta (85 persen) dan arabika (15 persen).

Di musim panen terakhir tahun ini, Indonesia akan menghasilkan 700 ribu ton biji kopi, jauh jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang hanya menghasilkan 400 hingga 500 ribu ton.  “Dulu Indonesia posisi kedua setelah Brasil (sekarang Vietnam). Sekarang di urutan 3 atau 4. Produksi kopi Indonesia secara keseluruhan saat ini berada sejajar dengan Kolombia,” ujar peneliti senior dari Pusat Penelitian Kopi dan Kokain Indonesia di Jember, Surip Mawardi.
Sebagai negara produsen, ekspor kopi merupakan sasaran utama dalam memasarkan produk kopi dengan kualitas dan aroma yang khas yang dihasilkan Indonesia. Peluangnya terbuka lebar mengingat kebutuhan kopi di beberapa Negara di dunia terus meningkat. Seperti negara konsumer tradisional Amerika, negara Eropa dan Jepang.

Namun pasar komoditas kopi dunia cenderung fluktuatif . Semua tergantung permintaan dan faktor eksternal seperti komoditas minyak mentah. “Di pasar luar negeri kopi robusta relatif stabil dua masa panen ini sedangkan arabika turun dibanding tahun lalu hingga harganya naik tiga kali lipat dibanding robusta (2011),”ujar Manager ekspor PT Taman Delta  Indonesia, Moelyono Soesilo.

Menurutnya, dari sisi bisnis pasar kopi mempunyai prospek menggiurkan, namun potensi ini justru terganggu dengan pergeseran target pasar penikmat kopi. “Bagi eksportir justru khawatir karena produksi kopi sekarang ini justru lebih rendah dibandngkan dengan tingkat konsumsi. Mungkin saja tiga hingga lima tahun ke depan tidak bisa ekspor karena habis untuk konsumsi dalam  negeri.”

Moelyono menambahkan, kecenderungan harga kopi pun meningkat dan tren peningkatan konsumsi lebih besar dari negara produsen kopi itu sendiri. Karena itu diperkirakan empat tahun lagi akan terpotong karena produksinya lebih rendah daripada tingkat kosumsi. “Ada peningkatan konsumsi yang luar biasa hingga 1-1,2 persen atau 2 juta karung lebih. Dan itu menjadi tren dunia,” imbuhnya.

Kopi Jawa
Selain kelapa dan tebu, kopi merupakan salah satu komoditas ekspor perkebunan unggulan Jateng. Luas perkebunan kopi mencapai 41.108, 39 hektar yang meliputi perkebunan kopi jenis arabika 6.180,87 ha dan robusta 34.927,52 ha. Pasca kemerdekaan, sekitar 92% produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.

Hingga kini terdapat 331 kelompok tani yang terdiri atas 8.265 petani yang tersebar di 13 kabupaten sentra kopi yakni Temanggung, Semarang, Wonosobo, Magelang, Kendal, Purworejo, Banjarnegara, Purbalingga, Pemalang, Pekalongan, Batang, Pati, dan Jepara.
“Tanaman meningkat karena tiap tahun ada perluasan areal tanam. Pemerintah mulai membuaka lahan kopi robusta di pati, Purbalingga dan Batang,” Moelyono Soesilo yang juga sebagai wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Jateng.

Menurutnya, dengan luas areal tanaman kopi hingga 20 ribu ha yang meliputi perkebunan rakyat dan PTPN, Jateng mampu memproduksi rata-rata 20-24 ribu ton pertahun. Kopi ini dilempar ke pabrikan. “Jateng di tingkat nasional menduduki nomor empat setelah Lampung, Jatim, Medan.  Masih relatif kecil dengan hasil  1,5 persen dari total produksi nasional. Sedangkan Lampung 50 persen dan Medan (arabika) 20 persen.”

Padahal, kopi Jawa mempunyai kualitas lebih bagus tanpa nilai cacat karena treament petani cukup baik. Mereka mendapat pengetahuan dan edukasi merawat kebun hingga pasca panen melalui binaan kelompok tani. Petani berlaku sebagai mitra sehingga petani mengetahui dan tahu bagaimana menghasilkan mutu yang baik. Panen banyak dan harga bagus. “Mutu kopi Jawa tetap bagus di grade 2 atau 3 dibanding kopi Lampung,” lanjutnya.
Pemerintah mendukung program pengembangan kompetensi inti melalui klaster kopi di Jateng. Kegiatan yang didanai dari APBN dimulai 2008 hingga tahun 2014 berupa pelatihan, bantuan peralatan, studi banding, dan fasilitasi bantuan modal. 

Selain melakukan kemitraan dengan eksportir kopi, petani juga memproduksi kopi bubuk robusta, arabika dan luwak dari ternak sendiri  dengan merek kopi gunung kelir. Sejak tahun 2008 bekerjasama dengan PT Taman Delta Indonesia di Semarang. Panen raya yang dimulai bulan Juli hingga September dari areal kopi Gunung Kelir seluas 489 hektar dengan produktivitas 1,1 ton per ha. Kami kirim ke Semarang 60 ton,” jelas Hadi suprapto, ketua Gapoktan Gunung Kelir Kabupaten Semarang.

Menurutnya, dalam pola kemitraan ini asosiasi perusahaan membayar premium Rp 500/kg. Artinya, setelah hasil panen kopi petani dijual ke kelompok tani, pihak eksportir sanggup membeli kopi dari kelompok itu dengan selisih harga Rp 500/kg. Meski keterbatasan dana hingga kini masih menjadi kendala utama.
Pemasaran dua ribu petani yang tergabung dalam 15 kelompok tani di empat desa yakni Brongkol, Klurahan, Bedono dan Gemawang  dilakukan melalui Gapoktan Gunung Kelir. “Kami juga kurang peralatan seperti pulper, huler dan pengering. Juga masih tergantung eksportir karena belum bisa menentukan harga. Inginnya Gapoktan bisa jadi eksportir dan menentukan harga sendiri,” ungkapnya.
Sedangkan pasar utama ekspor kopi dari Jateng saat ini adalah Jepang, Amerika, Itlatia, Jerman, dan Dubai. Serta pasar potensial Korea dan China.

Moelyono menambahkan, sembilan eksportir kopi di Jateng mampu memasok kopi dengan nilai total ekspor mencapai 23 juta ton(2011). Namun kondisi tahun 2012 ini berbeda, hingga semester 1 tahun 2012 realisasinya baru mencapai tujuh juta dolar. Turun drastis karena efek cuaca tahun dua tahun lalu yang menyebabkan hasil panen menurun. “Perkiraan akan normal pada panen tahun depan  dengan catatan bulan September ini sudah mulai hujan. Kalau tidak maka akan jeblok lagi. Turun lagi.”

Beralih
Tren pertumbuhan konsumsi kopi dalam negeri yang terus naik 6-8 persen pertahun membuat eksportir kopi makin terjepit sehingga mulai membidik pasar lokal.
“Padahal pasar lokal kurang dilirik tapi konsumsi dalam negeri tahun lalu mencapai 3,5 juta karung. Prediksi naik karena anak muda yang gemar minum kopi bertambah,” ujar lelaki yang sudah 20 tahun berkecimpung dalam bisnis kopi. 

Menurutnya, menggarap pasar lokal dinilai lebih menguntungkan daripada pasar luar negeri yang harganya jauh lebih mahal 20-30 persen daripada harga ekspor. “Harga kopi luar  negeri 2.040 dolar amerika sedangkan kopi dalam negeri 2.250 dolar per-ton.”

Karena itu untuk menghadapi permasalahan ini, pemerintah perlu melakukan intensifikasi produk kopi di Indonesia yang saat ini produksinya rata-rata hanya 1-1,2 ton per hektar. “Vietnam bisa mencapai 2,8 ton per ha. Semua itu tergantung pada treatment. Apalagi dua tahun lalu Vietnam mengembangkan varietas baru dengan produktivitas mencapai 6 ton per ha.”

Sementara itu, PT Taman Delta Indonesia sejak setahun terakhir merintis produksi kopi asal Jateng. Ada tiga varian yakni Java Mocha, Java Arabika dan Java Blend.“Java mocha seperti kopi dari Ethiopia. Padahal itu kopi dari Kabupaten Semarang. Kami mencoba mengenalkan produk lokal untuk mengembalikan kejayaan kopi dari Jawa,” lanjut lelaki mencicipi hampir semua jenis kopi dari belahan dunia ini.

Kopi ini sudah merambah restoran dan  kafe dan pusat oleh-oleh khas Semarang.” Beberapa kafe di Semarang dan resto mengambil kopi dari Illy, Lavasta, Segafreto Italia dan Swiss. Mereka impor padahal sebenarnya banyak kopi lokal kualitasnya bagus. Produk kita harga dan kualitasnya juga kompetitif.”
“Kami mengenalkan konsep freash roast, order baru diracik untuk mendapatkan bubuk kopi dengan kondisi optimal,”imbuh Hardjano Tjandra, pemilik The Blue Lotus Coffe House Semarang.

Menurutnya, hasil panen kopi tiap tahun juga membedakan rasa. Ini bisa terdeteksi dari bijinya. Karena itu panen tiap tahun perlakuan terhadap biji kopi beda. “Kopi terbaik itu relatif karena tiap kopi itu punya ciri khas istimewa. Jadi harus mempunyai pengetahuan untuk menghasilkan produk kopi yang optimal,” imbuh Chief Barista ini.

Program sertifikasi produk untuk menghadapi pasar kopi tahun 2015 tengah disiapkan. Apalagi jika kopi ini akan diekspor ke Eropa. “Ketika bicara black coffee pasti Indonesia karena kopi terbaik ada di sini.”
Ya, dari 10 kopi terbaik dunia, tiga diantaranya  ada di Indonesia yakni Mandheiling, Java Arabika dan Kalosi Toraja. 

Jadi, pekerjaan rumah sekarang ini adalah memotivasi dan mengubah mindset petani untuk inovasi dan menunjukkan bahwa Jawa  mempunyai biji kopi terbaik di dunia. Seperti pada masa sebelum Perang Dunia II, saat Jawa Tengah mempunyai jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi dan rempah-rempah ke Semarang yang kemudian diangkut dengan kapal laut menuju Eropa untuk dinikmati menjadi minuman kopi yang paling dicari. 

Noni Arnee

Jumat, 26 Oktober 2012

Cinta Kopi Setengah Mati

Sebagai penikmat kopi, Herman Sudiyono (41), tak begitu peduli dengan jenis kopi hitam yang dia nikmati setiap hari. Dia tak memedulikan mereknya. Yang penting buatnya, racik, seduh, seruput.  Dia bahkan minum kopi dalam porsi besar. “Aku minum kopi sekaligus sebagai pelepas dahaga. Apalagi kalau siang, pakai gelas besar bergagang,” ujar karyawan di salah satu sekolah swasta yang selalu membuat sendiri kopi seduhannya.


Dia memiliki kebiasaan ngopi sejak empat tahun terakhir ini lantaran pekerjaannya sebagai teknisi 24 jam. Lalu dia jadi kecanduan. “Kalau kerja lembur ya ditemani kopi. Setelah itu keterusan. Kalau di kantor sesiangan bisa menghabiskan empat hingga lima gelas. Kalau malam hari dua gelas .”

Selain tak pilik-pilih mereka, Dia lebih suka kopi yang praktis racikannya, terutama kopi pabrikan yang sudah dalam kemasan. “Bikinnya sederhana, aku lebih suka kopi berampas dengan rasa sedang.”
Jika Herman punya prinsip  ‘’yang penting ngopi’’, beda dengan Danar Dono. Kebiasaan ngopi yang ‘’diwarisi’’dari ibunya dimulai sejak dirinya SMA.Saat itu dia sering bergadang.  “Coba-coba minum kopi hitam, katanya khasiatnya bisa bikin melek.”

Hingga satu dekade ini ia sudah mencicipi berbagai macam kopi. Karena penasaran, ia mencoba semua jenis kopi yang baru ditemuinya seperti kopi Sumatera, Aceh, dan kopi impor dari Colombia dan Italia. “Kalau ke luar kota pasti hunting kopi. Apalagi kalau ternyata ada varian baru,  penasaran pengin coba rasanya entah enak atau tidak. Rasanya semua punya keunikan sendiri. Meski  aku lebih suka kopi Gayo karena pahitnya pas.”

Makanya tak heran jika ia mengaku kesehariannya tak komplit tanpa kopi. “Ngantuk nggak bersemangat. Kalau kerja aku bisa ngopi hingga 5 cangkir.”
“Sehari tidak ngopi rasanya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang kurang. Tapi saya tidak sampai termehek-mehek gara-gara kopi,”imbuh Herman.

Memang, banyak alasan seseorang menikmati kopi. Salah satunya Jimmy Prasetyo (40) yang meminum kopi sebagai pengganti minuman suplemen yang sebelumnya sering dikonsumsi untuk menjaga mobilitasnya yang tinggi. “Kkalau  di luar kantor dari jam 8 pagi sampai 9 malam. Awalnya tidak suka kopi. Pertama coba minum kopi encer tanpa gula,” ujar penggemar expresso yang meracik sendiri kopinya.

Bagi Agus Ariyanto, kebiasaan ngopi hanya bersama kolega dan teman berubah setelah ia serius mendalami kopi hingga kemudian mendirikan kedai kopi di Pati.“Awalnya coba membandingkan kopi yang satu dengan kopi lain, berpindah dari kafe ke kafe yang lain untuk membandingkan tastenya seperti apa. Dulu suka capuccino, sekarang lebih suka yang strong seperti exspresso.
**

Bukan Tren Baru
Kebiasaan ngopi bukanlah tren yang baru belakang ini saja muncul seiring dengan menjamurnya gerai dan kedai kopi. Budaya itu sebenarnya sudah muncul di Arab, Eropa, Amerika dan belahan dunia lain sejak pertengahan abad lalu.

Namun, berubahnya budaya masyarakat dalam kebiasaan meminum kopi, dari pola konvensional (drip coffee system) yang hanya butuh 8 gram/cup menjadi expresso dalam bentuk kopi esktrak, yang butuh sedikitnya 15 gram/cup. Ini tentunya menjadi salah satu faktor meningkatkan jumlah konsumsi kopi.

Data dari  International Coffee Organization  (ICO) menyebutkan tren peningkatan  konsumsi kopi dunia terjadi sejak dua tahun lalu dengan jumlah rata-rata sebesar 2,5 persen pertahun. Dan tahun 2020 diprediksi kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta ton.

Sedangkan data International Coffee Festival (ICF), setiap harinya para pencinta kopi di dunia menyeduh sekitar 100 miliar cangkir atau sekitar 165, 9 ton. Di Indonesia sendiri membutuhkan kopi sekitar 121 ribu ton lebih per tahun.

Moelyono Soesilo (41), pengamat kopi asal Semarang mengatakan awalnya kopi hanya dinikmati kalangan dewasa dan tua. Namun sekarang terjadi pergeseran target pasar penikmat kopi ke anak muda.  Perkembangan mencolok terlihat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, banyak juga penikmat kopi yang bukan hanya sekadar minum kopi saja. “Minum kopi sebagai sebuah seni karena tiap kopi itu punya ciri khas istimewa dalam setiap penyajiannya. Baik di kedai kopi kenamaan maupun kelas pinggir jalan,” ujar  wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Jateng yang sudah 20 tahun mendalami bisnis kopi. 

biji kopi
Moelyono sendiri sudah melalang buana ke sejumlah negara penghasil kopi dan mencicipi kenikmatan aroma dan cita rasa kopi di luar negeri. Sebut saja Hawaii Kona, Colombia Supremo, Illy, Segafreto dan Lavassa Italia. Atau kopi spesial dari Indonesia. “Saya bukan peminum kopi jadi tidak masalah kalau sehari tidak minum kopi.  Saya penikmat dan bisa membedakan aroma dan rasa kopi itu berasal.Saya pernah menikmati kopi di sebuah warung kopi yang dicampur dengan  jagung. Rasanya biasa tapi saya suka cara penyajiannya.” 

“Kopi terbaik itu relatif karena citarasa kopi tergantung penyajiannya. Saya biasa menggiling sendiri biji kopinya, racik sesuai keinginan dan nikmati tanpa gula. Bahkan saya punya standar untuk kopi yang akan saya minum,” imbuh Hardjanto Tjandra (40), penikmat kopi yang juga pemilik The Blue Lotus Coffee House di Semarang ini.

Menurut pria yang juga menjadi chief barista dan roaster ini, kini marak kedai kopi yang menawarkan cita rasa kopi dengan meracik spesial. Banyak alat untuk meracik biji kopi dengan berbagai macam cara untuk menghasilkan minuman kopi yang aroma, rasa dan after tastenya lengkap.”

Maka, tak heran jika penyanyi folk legendaris Bob Dylan saja menyelipkan kata "kopi" dalam lirik lagunya. "One more cup of coffee for the road
One more cup of coffee 'fore I go
 To the valley below".

Ya, secangkir kopi lagi untuk perjalanan
Secangkir kopi lagi sebelum aku pergi
Ke lembah curam itu.

Noni Arnee 

continued to "Kopi Lokal Juga Nikmat"