Pages

Rabu, 05 Januari 2022

Perempuan itu (Bukan) Liyan

22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Hari yang menurut Wikipedia sebagai  peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Beragam cara diekspresikan untuk “menjunjung” ibu hingga uforia membebastugaskankan kewajiban ibu dari tugas domestiknya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Jujur saja, saya tergelitik melihat perbedaan perempuan dan laki-laki dengan mempertanyakan, “Apakah gender tumbuh sebagai ekses dari jenis kelamin dan menjadi suatu pemaksaan kebudayaan yang arbitrer terhadap suatu penentu jenis kelamin?.”

Kewajiban domestik yang disematkan ibu. Siapa yang menganggap itu sebagai kewajiban? Apa peran itu hanya untuk perempuan? Mungkin saja sebagain besar akan menjawab “iya”. Lantas, dimanakah posisi laki-laki dalam ranah domestik?

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada Kabinet Kerja, Yuddy Chrisnandi seolah semakin memeruncing pertanyaan saya dengan mengamini kekhawatiran Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap masa depan generasi bangsa dengan memangkas dua jam kerja Pekerja Negeri Sipil (PNS) perempuan yang memiliki balita hingga anak usia SD.

Betapa mulianya menteri bergelar  Doktor memikirkan nasib perempuan agar tidak melupakan anak dengan menjembatani antara kewajiban sebagai pelayan publik dan kewajiban sebagai seorang ibu yang harus memberikan belaian kasih sayang kepada anaknya sehingga meminta seluruh kantor/ instansi penyelenggaraan pemerintahan di pusat hingga daerah dapat menerapkan aturan ini.

Perbedaan fungsi laki-laki dan perempuan seolah semakin menjadi penegas ranah domestik. Seperti halnya ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya di konferensi perempuan di Istanbul yang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak bisa ditempatkan pada pijakan yang sama karena  bertentangan dengan alam. Tidak semua pekerjaan yang dilakukan laki-laki, boleh dilakukan perempuan karena bertentangan dengan 'sifat halus' perempuan.

“Ibu” merupakan hasil konstruksi sosial dari seorang perempuan yang umumnya sudah berkeluarga. Motherhood biologis dilembagakan di bawah patriarki lebih merupakan konstruksi budaya untuk opresi karena meruncing kendali laki-laki pada perempuan karena tidak membedakan antara motherhood biologis sebagai hubungan privat reproduksi perempuan dan sebagai “institusi”. Padahal istilah mothering mengacu pada hubungan di dalam individu saat merawat dan menyayangi yang lain. Dan seseorang semestinya tidak perlu menjadi ibu biologis untuk menjadi ibu sosial.

Di dalam patriarki, seks juga lebih bersifat politis. Dalam buku “Sexual politics”(1970),  Kate Millett menyatakan, ideologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Laki-laki maskulin dan dominan sedangkan perempuan subordinat/feminin. Dan kondisi ini di”legalkan” melalui institusi.

Opresi terhadap perempuan menjadi semakin mendarah daging dalam sistem seks/gender. Suatu rangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk transformasi seksualitas biologis menjadi produk  kegiatan manusia yang dijadikan dasar membangun identitas dan perilaku “maskulin” dan “feminin” dalam masyarakat patriarkal. Normalitas seseorang bergantung pada kemampuannya menunjukkan identitas dan perilaku gender yang secara kultural dihubungkan kepada jenis kelamin seseorang.

Menurut Simone De Beauvoir, perempuan berbeda, terpisah dari laki-laki dan inferior terhadap laki-laki karena anatomi perempuan yang menempatkan perempuan sebagai manusia dan warga negara kelas dua (The Second Sex ). Perempuan dianggap sebagai “Liyan” / “the other”.(Rosemarie Putnam Tong,2010)

Negara yang sudah merasa memberikan perlindungan kepada perempuan, ternyata  justru semakin mengopresi perempuan dengan segala aturan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap perempuan melalui intervensi regulasi dan konstruksi dominan di masyarakat. Padahal setiap perempuan membentuk eksistensinya sendiri yang mungkin berbeda dengan perempuan lain.

Manusia sudah semestinya membebaskan perempuan sebagai produk konstruksi kebudayaan atau hasil dari pengaturan ilmiah. Sebenarnya tidak ada satupun pembatas yang “memenjarakan” perempuan karena perempuan ditentukan nasibnya sendiri dan pada saat yang sama bebas dari patriarki. Perempuan harus menggariskan nasibnya sendiri dengan melepaskan beban yang menghambat kemajuan mereka menuju Diri/Selfhood yang autentik. Sehingga tidak ada seorangpun atau sesuatu yang dapat menghambat perempuan untuk maju di ranah sastra, agama, politik, kerja, pendidikan, motherhood, dan seksualitas.

Bisa jadi kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti dengan mempercepat jam kerja PNS masuk lebih awal sehingga dapat pulang lebih cepat adalah  alasan yang lebih rasional bagi perempuan dan laki-laki yang dianggapnya sebagai ibu dan ayah bagi anak, masyarakat dan negara.

Menteri Susi lebih melihat eksistensi perempuan ketimbang psikologis atau gender dengan menentang mitos dan citra perempuan. Dimana  menuju proses trandensi, perempuan dapat bekerja. Perempuan dapat menjadi anggota intelektual. Perempuan bekerja untuk mencapai transformasi sosialis masyarakat. Dan untuk mentrandensi batasan-batasan, perempuan dapat menolak internalisasi ke-Liyanannya dan ke-Dirian laki-laki.  

Sudah semestinya setiap individu bertanggungjawab atas keputusannya. Seperti keputusan menjadi manusia yang melahirkan manusia lain (disebut ibu). Atau keputusan manusia yang membuat manusia lain itu lahir (disebut ayah). Jadi, sudah saatnya berhenti dari pemikiran dikotomis dan tak ada lagi alasan bolos kerja karena mengurus anak, lembur karena sudah ada yang menjaga anak di rumah, atau memangkas jam kerja pekerja perempuan, bukan?* (Noni Arnee)

Tidak ada komentar: