Sebagai penikmat kopi, Herman Sudiyono (41), tak begitu
peduli dengan jenis kopi hitam yang dia nikmati setiap hari. Dia tak
memedulikan mereknya. Yang penting buatnya, racik, seduh, seruput. Dia bahkan minum kopi dalam porsi besar. “Aku
minum kopi sekaligus sebagai pelepas dahaga. Apalagi kalau siang, pakai gelas
besar bergagang,” ujar karyawan di salah satu sekolah swasta yang selalu
membuat sendiri kopi seduhannya.
Ya, secangkir kopi lagi untuk perjalanan
Secangkir kopi lagi sebelum aku
pergi
Dia memiliki kebiasaan ngopi sejak empat tahun terakhir
ini lantaran pekerjaannya sebagai teknisi 24 jam. Lalu dia jadi kecanduan. “Kalau
kerja lembur ya ditemani kopi. Setelah itu keterusan. Kalau di kantor sesiangan
bisa menghabiskan empat hingga lima gelas. Kalau malam hari dua gelas .”
Selain tak pilik-pilih mereka, Dia lebih suka kopi yang
praktis racikannya, terutama kopi pabrikan yang sudah dalam kemasan. “Bikinnya
sederhana, aku lebih suka kopi berampas dengan rasa sedang.”
Jika Herman punya prinsip ‘’yang penting ngopi’’, beda dengan Danar Dono.
Kebiasaan ngopi yang ‘’diwarisi’’dari ibunya dimulai sejak dirinya SMA.Saat itu
dia sering bergadang. “Coba-coba minum
kopi hitam, katanya khasiatnya bisa bikin melek.”
Hingga satu dekade ini ia sudah mencicipi berbagai macam
kopi. Karena penasaran, ia mencoba semua jenis kopi yang baru ditemuinya seperti
kopi Sumatera, Aceh, dan kopi impor dari Colombia dan Italia. “Kalau ke luar
kota pasti hunting kopi. Apalagi kalau ternyata ada varian baru, penasaran pengin coba rasanya entah enak atau
tidak. Rasanya semua punya keunikan sendiri. Meski aku lebih suka kopi Gayo karena pahitnya pas.”
Makanya tak heran jika ia
mengaku kesehariannya tak komplit tanpa kopi. “Ngantuk nggak bersemangat. Kalau kerja aku bisa ngopi hingga 5 cangkir.”
“Sehari tidak ngopi rasanya
tidak enak. Seperti ada sesuatu yang kurang. Tapi saya tidak sampai
termehek-mehek gara-gara kopi,”imbuh Herman.
Memang, banyak alasan seseorang
menikmati kopi. Salah satunya Jimmy Prasetyo (40) yang meminum kopi sebagai
pengganti minuman suplemen yang sebelumnya sering dikonsumsi untuk menjaga
mobilitasnya yang tinggi. “Kkalau di luar
kantor dari jam 8 pagi sampai 9 malam. Awalnya tidak suka kopi. Pertama coba minum
kopi encer tanpa gula,” ujar penggemar expresso yang meracik sendiri kopinya.
Bagi Agus Ariyanto, kebiasaan
ngopi hanya bersama kolega dan teman berubah setelah ia serius mendalami kopi hingga
kemudian mendirikan kedai kopi di Pati.“Awalnya coba membandingkan kopi yang
satu dengan kopi lain, berpindah dari kafe ke kafe yang lain untuk
membandingkan tastenya seperti apa. Dulu suka capuccino, sekarang lebih suka
yang strong seperti exspresso.
**
Bukan Tren Baru
Kebiasaan ngopi bukanlah tren
yang baru belakang ini saja muncul seiring dengan menjamurnya gerai dan kedai
kopi. Budaya itu sebenarnya sudah muncul di Arab, Eropa, Amerika dan belahan
dunia lain sejak pertengahan abad lalu.
Namun, berubahnya
budaya masyarakat dalam kebiasaan meminum kopi, dari pola konvensional (drip
coffee system) yang hanya butuh 8 gram/cup menjadi expresso dalam bentuk kopi
esktrak, yang butuh sedikitnya 15 gram/cup. Ini tentunya menjadi salah satu
faktor meningkatkan jumlah konsumsi kopi.
Data dari International
Coffee Organization (ICO) menyebutkan
tren peningkatan konsumsi kopi dunia
terjadi sejak dua tahun lalu dengan jumlah rata-rata sebesar 2,5 persen
pertahun. Dan tahun 2020 diprediksi kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta
ton.
Sedangkan data International
Coffee Festival (ICF), setiap harinya para pencinta kopi di dunia menyeduh
sekitar 100 miliar cangkir atau sekitar 165, 9 ton. Di Indonesia sendiri membutuhkan
kopi sekitar 121 ribu ton lebih per tahun.
Moelyono Soesilo (41), pengamat
kopi asal Semarang mengatakan awalnya kopi hanya dinikmati kalangan dewasa dan
tua. Namun sekarang terjadi pergeseran target pasar penikmat kopi ke anak
muda. Perkembangan mencolok terlihat
dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, banyak juga penikmat kopi yang bukan
hanya sekadar minum kopi saja. “Minum kopi sebagai sebuah seni karena tiap kopi itu punya ciri khas istimewa dalam setiap
penyajiannya. Baik di kedai kopi kenamaan maupun kelas pinggir jalan,” ujar wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri
Kopi Indonesia (AEKI) Jateng yang sudah 20 tahun mendalami bisnis kopi.
biji kopi |
Moelyono sendiri sudah melalang
buana ke sejumlah negara penghasil kopi dan mencicipi kenikmatan aroma dan cita
rasa kopi di luar negeri. Sebut saja Hawaii Kona, Colombia Supremo, Illy, Segafreto
dan Lavassa Italia. Atau kopi spesial dari Indonesia. “Saya bukan peminum kopi
jadi tidak masalah kalau sehari tidak minum kopi. Saya penikmat dan bisa membedakan aroma dan
rasa kopi itu berasal.Saya pernah menikmati kopi di sebuah warung kopi yang
dicampur dengan jagung. Rasanya biasa tapi
saya suka cara penyajiannya.”
“Kopi terbaik itu relatif
karena citarasa kopi tergantung penyajiannya. Saya biasa menggiling sendiri biji
kopinya, racik sesuai keinginan dan nikmati tanpa gula. Bahkan saya punya
standar untuk kopi yang akan saya minum,” imbuh Hardjanto Tjandra (40),
penikmat kopi yang juga pemilik The Blue Lotus Coffee House di Semarang ini.
Menurut pria yang juga menjadi
chief barista dan roaster ini, kini marak kedai kopi yang menawarkan cita rasa
kopi dengan meracik spesial. Banyak alat untuk meracik biji kopi dengan
berbagai macam cara untuk menghasilkan minuman kopi yang aroma, rasa dan after
tastenya lengkap.”
Maka,
tak heran jika penyanyi folk legendaris Bob Dylan saja menyelipkan kata
"kopi" dalam lirik lagunya. "One
more cup of coffee for the road
One more cup of coffee 'fore I go
To the valley
below".
Ya, secangkir kopi lagi untuk perjalanan
Ke lembah curam itu.
Noni Arnee
continued to "Kopi Lokal Juga Nikmat"