Pages

Tampilkan postingan dengan label anak muda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label anak muda. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Agustus 2020

Bertemu Di Udara, Cara Siswa Sekolah Dasar Tegalontar Belajar di Tengah Pandemi


“Bagaimana kabar anak-anakku tersayang siswa siswi kelas 6 di SDN 01 Tegalontar. Mudah-mudahan kalian tetap sehat dan semangat ya. Kalian pasti sudah menunggu kehadiran bu guru yang siap menemani kalian belajar. Akbar, Risqi, Aqeela, Manda, Kaila. Hari ini ibu guru akan menyampaikan pelajaran kesukaanmu.”

Sri Windarni, membuka kelas mata pelajaran matematika. Intonasi dan irama suaranya pelan agar mudah dipahami siswa. Dia menyapa dan menyebut satu persatu beberapa nama siswa di kelas 6 yang diampunya. Sebelum pelajaran dimulai, tak lupa juga mengingatkan para siswa untuk menyimak materi yang akan disampaikan di kelas pagi itu.

Minggu pertama tahun ajaran baru 2020/2021, para guru tetap aktif mengajar di kelas, meski sekolah masih ditutup. Pandemi Covid-19 berdampak pada larangan belajar di sekolah dan keharusan menerapkan pembelajaran jarak jauh sesuai instruksi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tentu saja guru kelas 6 ini tidak berhadapan langsung dengan anak-anak yang disapanya. Dengan berpakaian dinas batik Korpri, dia duduk menghadap mikrofon. Kedua telinganya tertutup headset. Dan tangannya memegang beberapa lembar kertas berisi materi pelajaran hari itu.

Di waktu yang bersamaan, siswa yang disapa seperti Risqi dan kelima siswa lainnya yang tergabung dalam kelompok 3, duduk melingkar lesehan di atas tikar. Mereka saling berjarak satu sama lainnya. Semua bermasker. Di hadapan mereka alat tulis lengkap dan sebuah radio analog kecil berwarna hitam. Dari perangkat radio itulah suara gurunya, Sri Windarni berasal. Kadang terdengar jelas, kadang menghilang.

Seminggu sebelum tahun ajaran dimulai, Sri Windarni sudah berinteraksi dengan siswanya melalui udara dalam program Kelas Mengajar di Radio Komunitas. Bak penyiar profesional menyapa para pendengarnya. Begitu juga dengan ketiga guru lainnya yakni Ucih Ursih, Kisnaeni dan Sri Haryati. Mereka guru kelas 5 dan kelas 6 Sekolah Dasar Negeri 01 Tegalontar, Sragi, Kabupaten Pekalongan yang bertugas sebagai “penyiar”.

Sebelum siaran, mereka harus berkoordinasi dengan anak didiknya. Termasuk mengingatkan untuk menyimak radio sehingga mereka tidak ketinggalan pelajaran.

“Sebelum siaran kami ngoprak-oprak, memberitahu dan mengingatkan anak-anak. Sudah jam ini, siap-siap. Di kelas ada grup masing-masing, yang punya Whatsapp memberitahu, getok tular sehingga anak yang lain juga bisa tahu,” kata Sri Windarni.

Tak mudah bagi para guru berada di ruang siaran milik Radio Komunitas PPK FM Sragi, Pekalongan, demi menjangkau anak didiknya.

“Sama sekali buta tentang radio, bagaimana menjadi seorang penyiar. Apalagi dengan alat-alat itu. Awalnya kurang fokus, mikrofon kurang mendekat atau posisi ke di bawah mulut jadi hasilnya suara kurang jelas.” Sri Windarni menceritakan pengalaman siaran kepada Noni Arnee, jurnalis lepas untuk BBC Indonesia yang menemuinya usai mengajar.

Guru kelas 6 mengaku, awalnya tak percaya diri ketika berada di ruang siaran. Ada kekhawatiran siswanya tak mampu memahami materi pembelajaran yang disampaikan karena tak punya keahlian.

“Suara saya lucu, medok (logat) Jawa nampak sekali. Ciri khas Sragi. Katanya tidak apa-apa, itu menunjukan kelokalan kita sebagai orang Pekalongan. Kalau siaran menyampaikan materi pelan, maksudnya agar anak bisa mengikuti semua instruksi,” lanjutnya.

Kisnaeni guru matematikan kelas 5A juga merasakan perbedaan mencolok. Dia harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini. Mengganti pola sebelumnya karena dari jumlah 25 siswanya, tak lebih dari 10 anak yang berkomunikasi melalui Whatsapp Group sebagai sarana belajar jarak jauh.

“Pertama kaget, lah kita disuruh siaran radio, kita bukan penyiar, kita nggak bisa. Dengan dikasih semangat akhirnya bisa. Dari beberapa minggu yang lalu kita coba siaran lewat radio. Anak respons mendengarkan bahkan ada yang menanti,”jelasnya.

Materi siaran disesuaikan kurikulum 2013 yang disajikan dengan pendekatan tematik-integratif. Guru siaran setiap hari, termasuk materi tambahan di luar tematik yakni Matematika pada Hari Jumat dan Hari Sabtu khusus Agama dan Budi Pekerti serta muatan lokal.

“Kita tiap hari satu pembelajaran. Biasanya 2-3 muatan pelajaran (mupel), tapi dengan siaran radio tidak target harus selesai semua. Semampu kita siaran, misal dalam menyampaikan hanya 1 mupel, ya tidak apa-apa,” lanjutnya.

Sri Haryati, guru kelas 6 lainnya menambahkan, tidak hanya siaran, guru juga mengunjungi rumah atau lokasi rombel untuk memantau proses pembelajaran siswa. Mulai dari mengabsen satu persatu siswa hingga mendampingi siswa bersama orangtua selama proses belajar di radio berlangsung, sehingga pembelajaran dapat berjalan baik dan efektif.

 “Kita kerja tim, bagi tugas. Ada banyak guru, 19 guru. 12 rombel. Kita di sini siaran untuk kelas 5 dan 6 dulu. Guru kelas 1-4 membantu di lapangan. Cek apakah anak-anak mendengarkan radio,”tambahnya.

Kelas Mengajar di Radio Komunitas (KejarRakom) adalah sebuah metode pembelajaran menggunakan media alternatif radio siaran. Guru dilatih memberikan materi pelajaran melalui siaran di radio. Metode ini diinisiasi sebagai respons dan solusi mengatasi keterbatasan akses dan infrastrutur para siswa dan orangtua.

Pasalnya, dari 289 siswa SD Negeri 01 Tegalontar, hanya 145 siswa yang mampu mengakses fasilitas daring. Selebihnya tidak mempunyai perangkat yang memadai maupun akses internet.

Kejar Rakom juga ditujukan sebagai bentuk pemenuhan hak pendidikan anak, khususnya di masa pandemi yang selama ini harus belajar jarak jauh dan terbentur dengan berbagai keterbatasan.

 “Lah yang sisanya mau diapain, pertanyaannya kan gitu. Saya bingung ketika saya tanya beberapa orangtua kenapa tidak bisa mengikuti, punya hp tapi bukan hp android, hp android punya tapi tidak ada aplikasi, pulsa habis. Beberapa wilayah sinyal tidak bagus. Caranya bagaimana? Ketika dari rumah ke sekolah ada anak-anak menyapa, “Halo pak guru berangkat sekolah ini ?” jadi trenyuh, nyesek,” ungkap Yoso, Kepala sekolah SD Negeri 01 Tegalontar.

Akhirnya, datang tawaran belajar melalui radio siaran yang difasilitasi Radio Komunitas PPK FM Sragi. Pihak sekolah menyiapkan guru dan materi, sedangkan rakom menyiapkan peralatan teknisnya.

Butuh waktu sekitar satu bulan untuk menyusun materi, orangtua siswa dan mempersiapkan para guru mengajar melalui radio. Kejar Rakom ini hanya berdurasi dua jam setiap hari yang dimulai pada pukul 10 WIB. Materi pembelajaran disiarkan ulang pada pukul 16 WIB.

“Guru mengajar sudah biasa tapi ini tidak ada murid di depannya dan harus bisa ngomong. Kita coba dan ternyata bisa. Satu minggu sebelum masuk, kita sudah memberitahu orangtua meski masih libur. Ketika mulai sekolah sudah siap. Kita jalan lebih awal, curi start. Saya datangi ketua kelas, meminta memberitahukan ke anak-anak bahwa Hari Senin ada siaran radio khusus kelas 5 dan 6. Kondisi seperti ini kita tidak diam saja, kita tidak tidur. Kita harus melakukan sesuatu agar bisa belajar betul-betul di rumah. Itu yang saya banggakan.”

Selain kelas 5 dan kelas 6 dianggap mempunyai daya nalar lebih tinggi, pertimbangan prioritas lebih pada mempersiapkan mereka untuk menghadapi jenjang lebih tinggi di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).  Sedangkan kelas 1-4 masih menggunakan metode home schooling.

“Kita nggak ngerti masa depan seperti apa. Apa yang terjadi kalau materi yang kita sampaikan tidak maksimal. Yang salah siapa? Saya berikir kita siapkan mereka. Saya tidak mentargetkan untuk tuntas, yang terpenting hak anak untuk belajar tetap terpenuhi. Guru tetap mengajar. Tidak sekadar memberikan materi, ada hubungan emosi. Apalagi dari orangtua dampingi,” papar Yoso.

Yoso berharap inisiasi ini akan diikuti 32 SD/MI lain di wilayah Sragi yang memiliki keterbatasan fasilitas daring sehingga siswa dapat belajar dan terhubung dengan guru. Jika pandemi Covid-19 berakhir, Kelas Mengajar di Radio Komunitas ini tetap dilanjutkan sebagai bagian dari program Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

Kelas di Udara

Kelas Mengajar di Radio Komunitas (KejarRakom) tak lepas dari peran Sunarto, pengelola Radio Komunitas PPK Sragi 107,7 MHz untuk membantu menjembatani proses belajar siswa dengan para guru yang terdampak pandemi Covid-19. Dia menawarkan sekolah untuk mengajar melalui radio komunitas yang sudah mengudara sejak tahun 2007 ini.

“Belum menemukan jalan keluar terhadap sistem belajar mengajar, ngobrol kecil. Saya cari solusi dan menawarkan para guru pindah belajar ke sini mengajar di studio. Murid-murid belajar di rumah dengan mendengarkan radio. Akhirnya kita coba dulu. Kegiatan sangat beda, di radio guru sedikit berimajinasi seolah-olah siswa ada di depannya, bahan yang diajarkan seperti biasa.”

Dia membantu mematangkan kesiapan guru dan menyiapkan teknis siarannya. Dalam sehari, guru siaran bergantian berdasarkan kelas dan mapel yang diampu. Siaran dimulai dari kelas 5, kemudian bergantian untuk materi kelas 6.

Kelas Mengajar di Radio Komunitas dirasakan manfaatnya oleh orangtua siswa. Seperti Netty Indarwati, orangtua siswa kelas 6, yang merasa terbantu dengan penggunaan media alternatif radio.

“Senang, sebagai ibu rumah tangga anak tidak hanya Aqeela. Sebelumnya saya harus mengajari sendiri, cuman dikasih tugas ngerjain sendiri. Itu tidak efektif banget. Berharap metode belajar radio tetap dilanjutkan dengan diselingi home visit sehingga anak-anak bisa menanyakan pembelajaran kembali,” ujar Netty.

Begitu juga dengan Kusnaeni. Sebelumnya, Risqi, sang anak kerap mengaku jenuh karena belajar dengan menggunakan teknologi melalui aplikasi Whatsapp dirasa tidak efektif.

“Dikasih tugas terus dikumpulkan ternyata anak bosan, jenuh, ingin ke sekolah, ketemu guru. Kadang bosan, lebih baik sekolah kalau belajar di rumah sulit. Kadang saya sebagai orangtua bingung, kalau tanya jawabnya saya ga bisa itu agak susah. Kadang dikerjakan bersama, dikerjakan kelompok yang dekat-dekat. Iya dipantau ditungguin, nemenin belajar. Mau gimana lagi.”

Hubungan emosional dengan guru juga terbangun melalui pembelajaran lewat radio.

“Pake WA kadang kendala beli kuota. Ya senang ketimbang dulu pakai WA dikasih tugas halaman sekian dikerjain sekian-sekian. Si anak lebih mendengarkan gurunya. Ya mending enakan sekarang, berarti si anak bisa dengeri suara gurunya, dikasih materi, ada penjelasan. Kadang dikasih yel-yel sama bu guru untuk menambah semangat,”imbuh Kusnaeni.

Efektifvitas metode Kelas Mengajar di Radio Komunitas pun dilirik anggota Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) di wilayah lain dan akan diujicobakan di Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan Wamena.

Di Jawa tengah sendiri terdapat 35 radio komunitas yang tergabung dalam JRKI, dari total 457 radio komunitas seluruh Indonesia yang tersebar di 20 propinsi.

Keterbatasan Fasilitas

Hasil evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan menyebut, dari 518 Sekolah Dasar di Kabupaten Pekalongan, hanya 50 % yang menerapkan pembelajaran daring.

“Tidak semua mempunyai fasilitas. 50 persen belum ada yang melakukan dengan daring, makanya kami minta sekolah aktif menginstruksikan guru home visit meski tidak setiap hari,“ jelas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan, Sumarwati.

Selain itu, pihaknya berinisiatif bekerjasama dengan tiga radio siaran. Radio Kota Santri milik Pemkab Pekalongan dan dua radio komersial yakni Radio KSM dan Radio Soneta untuk membantu siswa pelajar di jenjang kelas 1 hingga kelas 9. Baru diujicobakan sebulan karena terkendala alokasi anggaran.

“Sesuai kelas, sesuai mapel ari kelas 1-6, kelas 7-9, pembelajaran dengan menghadirkan guru-guru. Respon bagus. Tidak hanya sekadar mendengaran tapi ada tugasnya. Radio komersil supaya terakses di semua daerah. Lebih terjangkau di beberapa wilayah. Butuh anggaran, kemarin di perubahan kita usulkan untuk mendahului anggaran.Ini rencana kita mengusulkan dalam perubahan anggaran,”ungkapnya.

Karena itu pihaknya menyambut baik jika ada radio komunitas yang bersedia membantu pembelajaran jarak jauh karena metode ini cukup efektif.

Media Alternatif Pembelajaran

Secara teknis, tingkatan pendidikan SMP hingga perguruan Tinggi memang relatif lebih siap dan tidak kesulitan dalam pembelajaran daring di bandingkan Sekolah Dasar.

Farid Ahmadi, Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, mengatakan, di masa pandemi guru dan sekolah justru lebih kreatif dan inovatif mencari dan mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi sekolah. Contohya, Kelas Mengajar di Radio Komunitas di SD Negeri 01 Tegalontar yang menggandeng komunitas lokal untuk mengatasi keterbatasan fasilitas akses dan infrastruktur.

Sebenarnya, banyak alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dengan memanfaatkan teknologi pembelajaran sederhana hingga canggih seperti Sekolah Dasar negeri dan swasta di perkotaan yang mulai membangun management e-learning system dengan mengintergrasikan pembelajaran dan materi dalam satu platform.

“Platform-platfom semakin banyak dan makin bisa jadi alternatif guru untuk mengembangkan metode pembelajaran. Mulai ajaran baru ini melakukan kombinasi e-learning, video conference, konten pembelajaran, kuis, video pembelajaran di unggah di YouTube, penugasan siswa hingga assesment pembelajaran melalui satu platform e-learning. Relatif efektif asal didukung fasilitas. Guru mengajar dengan berbagai multimedia melakukan pembelajaran secara online,” lanjutnya.

Kondisi sangat berbeda dengan SD di pedesaan yang minim fasilitas. Namun bukan berarti mereka tidak dapat memanfaatkan berbagai alternatif media pembelajaran untuk pembelajaran jarak jauh.

“Sekolah Dasar sebagaian besar berada di desa. Kendala koneksi internet, punya 2 anak yang masih SD, tidak memiliki handphone. Kalau dipaksakan pembelajaran daring banyak mengalami kesulitan.” jelas Farid.

Upaya lain menurut Farid, bisa dilakukan dengan konsep home schooling. Guru berkunjung ke rumah (home visit). Ada juga model daring sederhana melalui Whatsapp Grup.

“Semua instruksi guru pembelajaran anak disampaikan melalui WAG orangtua. Satu kelas di bagi 5 kelompok sehingga jumlah siswanya tidak terlalu banyak berada di satu rumah atau satu lokasi dan guru-guru ditugaskan keliling dengan protokoler kesehatan melakukan pembelajaran. Awalnya guru di sekolah daerah tertinggal yang tidak memiliki fasilitas internet menginisiasi dengan melakukan hal seperti itu,” imbuhnya.

Farid menambahkan, upaya-upaya ini dapat berjalan dengan baik jika didukung kebijakan yang sesuai kebutuhan tiap daerah.

“Format pembelajaran daring tidak bisa diatur pusat karena kondisi tiap daerah beda. Seperti SD saya rasa kebijakan ada di level daerah saja karena yang tahu kondisi sekolah. SD belum optimal tapi sekarang mulai bergerak mempersiapkan menuju kesana,”tambahnya.

Hanya saja, pembelajaran daring dengan berbagai kelebihan justru mengesampingkan pendidikan karakter yang masih mutlak diajarkan di semua tingkatan pendidikan.

“Kelemahan daring tidak bisa melakukan pendampingan pendidikan karakter. Dalam kondisi seperti ini ya mau tidak mau. Kedepannya tetap harus ada kombinasi pembelajaran daring dan luring sehingga ada penguasaan teknologi dan tetap ada muatan pendidikan karakter,”tandasnya.

Published with editing on BBC News Indonesia, link https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53562848

#Covid19 #pendidikan #belajar #Radiokomunitas #viruscorona

Jumat, 26 Oktober 2012

Cinta Kopi Setengah Mati

Sebagai penikmat kopi, Herman Sudiyono (41), tak begitu peduli dengan jenis kopi hitam yang dia nikmati setiap hari. Dia tak memedulikan mereknya. Yang penting buatnya, racik, seduh, seruput.  Dia bahkan minum kopi dalam porsi besar. “Aku minum kopi sekaligus sebagai pelepas dahaga. Apalagi kalau siang, pakai gelas besar bergagang,” ujar karyawan di salah satu sekolah swasta yang selalu membuat sendiri kopi seduhannya.


Dia memiliki kebiasaan ngopi sejak empat tahun terakhir ini lantaran pekerjaannya sebagai teknisi 24 jam. Lalu dia jadi kecanduan. “Kalau kerja lembur ya ditemani kopi. Setelah itu keterusan. Kalau di kantor sesiangan bisa menghabiskan empat hingga lima gelas. Kalau malam hari dua gelas .”

Selain tak pilik-pilih mereka, Dia lebih suka kopi yang praktis racikannya, terutama kopi pabrikan yang sudah dalam kemasan. “Bikinnya sederhana, aku lebih suka kopi berampas dengan rasa sedang.”
Jika Herman punya prinsip  ‘’yang penting ngopi’’, beda dengan Danar Dono. Kebiasaan ngopi yang ‘’diwarisi’’dari ibunya dimulai sejak dirinya SMA.Saat itu dia sering bergadang.  “Coba-coba minum kopi hitam, katanya khasiatnya bisa bikin melek.”

Hingga satu dekade ini ia sudah mencicipi berbagai macam kopi. Karena penasaran, ia mencoba semua jenis kopi yang baru ditemuinya seperti kopi Sumatera, Aceh, dan kopi impor dari Colombia dan Italia. “Kalau ke luar kota pasti hunting kopi. Apalagi kalau ternyata ada varian baru,  penasaran pengin coba rasanya entah enak atau tidak. Rasanya semua punya keunikan sendiri. Meski  aku lebih suka kopi Gayo karena pahitnya pas.”

Makanya tak heran jika ia mengaku kesehariannya tak komplit tanpa kopi. “Ngantuk nggak bersemangat. Kalau kerja aku bisa ngopi hingga 5 cangkir.”
“Sehari tidak ngopi rasanya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang kurang. Tapi saya tidak sampai termehek-mehek gara-gara kopi,”imbuh Herman.

Memang, banyak alasan seseorang menikmati kopi. Salah satunya Jimmy Prasetyo (40) yang meminum kopi sebagai pengganti minuman suplemen yang sebelumnya sering dikonsumsi untuk menjaga mobilitasnya yang tinggi. “Kkalau  di luar kantor dari jam 8 pagi sampai 9 malam. Awalnya tidak suka kopi. Pertama coba minum kopi encer tanpa gula,” ujar penggemar expresso yang meracik sendiri kopinya.

Bagi Agus Ariyanto, kebiasaan ngopi hanya bersama kolega dan teman berubah setelah ia serius mendalami kopi hingga kemudian mendirikan kedai kopi di Pati.“Awalnya coba membandingkan kopi yang satu dengan kopi lain, berpindah dari kafe ke kafe yang lain untuk membandingkan tastenya seperti apa. Dulu suka capuccino, sekarang lebih suka yang strong seperti exspresso.
**

Bukan Tren Baru
Kebiasaan ngopi bukanlah tren yang baru belakang ini saja muncul seiring dengan menjamurnya gerai dan kedai kopi. Budaya itu sebenarnya sudah muncul di Arab, Eropa, Amerika dan belahan dunia lain sejak pertengahan abad lalu.

Namun, berubahnya budaya masyarakat dalam kebiasaan meminum kopi, dari pola konvensional (drip coffee system) yang hanya butuh 8 gram/cup menjadi expresso dalam bentuk kopi esktrak, yang butuh sedikitnya 15 gram/cup. Ini tentunya menjadi salah satu faktor meningkatkan jumlah konsumsi kopi.

Data dari  International Coffee Organization  (ICO) menyebutkan tren peningkatan  konsumsi kopi dunia terjadi sejak dua tahun lalu dengan jumlah rata-rata sebesar 2,5 persen pertahun. Dan tahun 2020 diprediksi kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta ton.

Sedangkan data International Coffee Festival (ICF), setiap harinya para pencinta kopi di dunia menyeduh sekitar 100 miliar cangkir atau sekitar 165, 9 ton. Di Indonesia sendiri membutuhkan kopi sekitar 121 ribu ton lebih per tahun.

Moelyono Soesilo (41), pengamat kopi asal Semarang mengatakan awalnya kopi hanya dinikmati kalangan dewasa dan tua. Namun sekarang terjadi pergeseran target pasar penikmat kopi ke anak muda.  Perkembangan mencolok terlihat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, banyak juga penikmat kopi yang bukan hanya sekadar minum kopi saja. “Minum kopi sebagai sebuah seni karena tiap kopi itu punya ciri khas istimewa dalam setiap penyajiannya. Baik di kedai kopi kenamaan maupun kelas pinggir jalan,” ujar  wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Jateng yang sudah 20 tahun mendalami bisnis kopi. 

biji kopi
Moelyono sendiri sudah melalang buana ke sejumlah negara penghasil kopi dan mencicipi kenikmatan aroma dan cita rasa kopi di luar negeri. Sebut saja Hawaii Kona, Colombia Supremo, Illy, Segafreto dan Lavassa Italia. Atau kopi spesial dari Indonesia. “Saya bukan peminum kopi jadi tidak masalah kalau sehari tidak minum kopi.  Saya penikmat dan bisa membedakan aroma dan rasa kopi itu berasal.Saya pernah menikmati kopi di sebuah warung kopi yang dicampur dengan  jagung. Rasanya biasa tapi saya suka cara penyajiannya.” 

“Kopi terbaik itu relatif karena citarasa kopi tergantung penyajiannya. Saya biasa menggiling sendiri biji kopinya, racik sesuai keinginan dan nikmati tanpa gula. Bahkan saya punya standar untuk kopi yang akan saya minum,” imbuh Hardjanto Tjandra (40), penikmat kopi yang juga pemilik The Blue Lotus Coffee House di Semarang ini.

Menurut pria yang juga menjadi chief barista dan roaster ini, kini marak kedai kopi yang menawarkan cita rasa kopi dengan meracik spesial. Banyak alat untuk meracik biji kopi dengan berbagai macam cara untuk menghasilkan minuman kopi yang aroma, rasa dan after tastenya lengkap.”

Maka, tak heran jika penyanyi folk legendaris Bob Dylan saja menyelipkan kata "kopi" dalam lirik lagunya. "One more cup of coffee for the road
One more cup of coffee 'fore I go
 To the valley below".

Ya, secangkir kopi lagi untuk perjalanan
Secangkir kopi lagi sebelum aku pergi
Ke lembah curam itu.

Noni Arnee 

continued to "Kopi Lokal Juga Nikmat"