Pages

Tampilkan postingan dengan label kopi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kopi. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 November 2012

Dari Sebuah Biji "Cherry"

Tak hanya para pengusaha kopi, Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, tapi juga komunitas, petani dan blogger Kopi  bertemu serta saling bertukar informasi dalam  Indonesian Coffee Festival (ICF) pertengahan bulan September lalu di Museum Puri Lukisan, Ubud, Gianyar, Bali. Ini perhelatan kedua setelah Aceh yang menjadi tuan rumah tahun lalu.

Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia dengan luas perkebunan kopi mencapai 1,3 juta hektar yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, Selawesi Selatan, hingga Papua. Wajar jika para pelaku kopi ingin Indonesia menjadi kiblat kopi dunia. Sekaligus kuliner dan gaya hidup.


Tak lagi kedai kopi konvensional di pinggir jalan, kopi merangsek dan menjamur di tempat ekslusif yang membuat pengunjung betah berlama-lama. Ya, secangkir kopi menjadi fenomena gaya hidup kaum urban. Kaum pria, wanita pun remaja. Duduk santai menikmati kopi racikan bersama teman. Ngobrol, santai dan berdiskusi juga bertemu kolega dan menjadi penentu keberhasilan projek dengan rekan bisnis. “Semua kalangan menggemari kopi, biasanya nongkrong atau bicara bisnis,” ujar pengelola Hans Kopi Semarang, Fajar Sidiq.

Budaya minum kopi pun menjadi identitas baru yang mengglobal dan bertransformasi seiring zaman. Berbeda dengan budaya minum kopi berabad-abad silam, atau ketika kedai kopi berlabel Starbucks muncul mengguncang dunia di kota seattle.
Data dari International Coffee Organization (ICO) menyebut, terjadi peningkatan konsumsi kopi sebesar 2,5 persen pertahun. Ini terjadi sejak dua tahun lalu. Hingga di tahun 2020 diperkirakan kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta ton.

Kondisi ini terjadi karena pergeseran gaya hidup masyarakat perkotaan yang mendorong pergeseran pola konsumsi kopi. Maka tak heran jika tren konsumsi pasar kopi dunia dalam kurun lima tahun terakhir ini  jauh lebih cepat dibanding produksi kopi dunia. Akibatnya, permintaan kopi di berbagai Negara cenderung meningkat.

Seperti di Brazil yang mengkonsumsi hingga 20 juta karung, mengalahkan Amerika yang tingkat konsumsinya mencapai 22 juta karung.
ICF mencatat, ada sekitar 100 miliar cangkir kopi atau sekitar 165,9 ton kopi yang diseduh setiap hari di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, jumlah kebutuhan kopi diperkirakan mencapai 121.107 ton per tahun.

Industri Kopi Indonesia
Berdasarkan data Indonesian Coffee Festival (ICF), Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga produsen kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Kolombia dengan total produksi 600 ribu ton per tahun. Sekitar 67% diekspor sedangkan sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.  Dimana jenis kopi robusta (85 persen) dan arabika (15 persen).

Di musim panen terakhir tahun ini, Indonesia akan menghasilkan 700 ribu ton biji kopi, jauh jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang hanya menghasilkan 400 hingga 500 ribu ton.  “Dulu Indonesia posisi kedua setelah Brasil (sekarang Vietnam). Sekarang di urutan 3 atau 4. Produksi kopi Indonesia secara keseluruhan saat ini berada sejajar dengan Kolombia,” ujar peneliti senior dari Pusat Penelitian Kopi dan Kokain Indonesia di Jember, Surip Mawardi.
Sebagai negara produsen, ekspor kopi merupakan sasaran utama dalam memasarkan produk kopi dengan kualitas dan aroma yang khas yang dihasilkan Indonesia. Peluangnya terbuka lebar mengingat kebutuhan kopi di beberapa Negara di dunia terus meningkat. Seperti negara konsumer tradisional Amerika, negara Eropa dan Jepang.

Namun pasar komoditas kopi dunia cenderung fluktuatif . Semua tergantung permintaan dan faktor eksternal seperti komoditas minyak mentah. “Di pasar luar negeri kopi robusta relatif stabil dua masa panen ini sedangkan arabika turun dibanding tahun lalu hingga harganya naik tiga kali lipat dibanding robusta (2011),”ujar Manager ekspor PT Taman Delta  Indonesia, Moelyono Soesilo.

Menurutnya, dari sisi bisnis pasar kopi mempunyai prospek menggiurkan, namun potensi ini justru terganggu dengan pergeseran target pasar penikmat kopi. “Bagi eksportir justru khawatir karena produksi kopi sekarang ini justru lebih rendah dibandngkan dengan tingkat konsumsi. Mungkin saja tiga hingga lima tahun ke depan tidak bisa ekspor karena habis untuk konsumsi dalam  negeri.”

Moelyono menambahkan, kecenderungan harga kopi pun meningkat dan tren peningkatan konsumsi lebih besar dari negara produsen kopi itu sendiri. Karena itu diperkirakan empat tahun lagi akan terpotong karena produksinya lebih rendah daripada tingkat kosumsi. “Ada peningkatan konsumsi yang luar biasa hingga 1-1,2 persen atau 2 juta karung lebih. Dan itu menjadi tren dunia,” imbuhnya.

Kopi Jawa
Selain kelapa dan tebu, kopi merupakan salah satu komoditas ekspor perkebunan unggulan Jateng. Luas perkebunan kopi mencapai 41.108, 39 hektar yang meliputi perkebunan kopi jenis arabika 6.180,87 ha dan robusta 34.927,52 ha. Pasca kemerdekaan, sekitar 92% produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.

Hingga kini terdapat 331 kelompok tani yang terdiri atas 8.265 petani yang tersebar di 13 kabupaten sentra kopi yakni Temanggung, Semarang, Wonosobo, Magelang, Kendal, Purworejo, Banjarnegara, Purbalingga, Pemalang, Pekalongan, Batang, Pati, dan Jepara.
“Tanaman meningkat karena tiap tahun ada perluasan areal tanam. Pemerintah mulai membuaka lahan kopi robusta di pati, Purbalingga dan Batang,” Moelyono Soesilo yang juga sebagai wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Jateng.

Menurutnya, dengan luas areal tanaman kopi hingga 20 ribu ha yang meliputi perkebunan rakyat dan PTPN, Jateng mampu memproduksi rata-rata 20-24 ribu ton pertahun. Kopi ini dilempar ke pabrikan. “Jateng di tingkat nasional menduduki nomor empat setelah Lampung, Jatim, Medan.  Masih relatif kecil dengan hasil  1,5 persen dari total produksi nasional. Sedangkan Lampung 50 persen dan Medan (arabika) 20 persen.”

Padahal, kopi Jawa mempunyai kualitas lebih bagus tanpa nilai cacat karena treament petani cukup baik. Mereka mendapat pengetahuan dan edukasi merawat kebun hingga pasca panen melalui binaan kelompok tani. Petani berlaku sebagai mitra sehingga petani mengetahui dan tahu bagaimana menghasilkan mutu yang baik. Panen banyak dan harga bagus. “Mutu kopi Jawa tetap bagus di grade 2 atau 3 dibanding kopi Lampung,” lanjutnya.
Pemerintah mendukung program pengembangan kompetensi inti melalui klaster kopi di Jateng. Kegiatan yang didanai dari APBN dimulai 2008 hingga tahun 2014 berupa pelatihan, bantuan peralatan, studi banding, dan fasilitasi bantuan modal. 

Selain melakukan kemitraan dengan eksportir kopi, petani juga memproduksi kopi bubuk robusta, arabika dan luwak dari ternak sendiri  dengan merek kopi gunung kelir. Sejak tahun 2008 bekerjasama dengan PT Taman Delta Indonesia di Semarang. Panen raya yang dimulai bulan Juli hingga September dari areal kopi Gunung Kelir seluas 489 hektar dengan produktivitas 1,1 ton per ha. Kami kirim ke Semarang 60 ton,” jelas Hadi suprapto, ketua Gapoktan Gunung Kelir Kabupaten Semarang.

Menurutnya, dalam pola kemitraan ini asosiasi perusahaan membayar premium Rp 500/kg. Artinya, setelah hasil panen kopi petani dijual ke kelompok tani, pihak eksportir sanggup membeli kopi dari kelompok itu dengan selisih harga Rp 500/kg. Meski keterbatasan dana hingga kini masih menjadi kendala utama.
Pemasaran dua ribu petani yang tergabung dalam 15 kelompok tani di empat desa yakni Brongkol, Klurahan, Bedono dan Gemawang  dilakukan melalui Gapoktan Gunung Kelir. “Kami juga kurang peralatan seperti pulper, huler dan pengering. Juga masih tergantung eksportir karena belum bisa menentukan harga. Inginnya Gapoktan bisa jadi eksportir dan menentukan harga sendiri,” ungkapnya.
Sedangkan pasar utama ekspor kopi dari Jateng saat ini adalah Jepang, Amerika, Itlatia, Jerman, dan Dubai. Serta pasar potensial Korea dan China.

Moelyono menambahkan, sembilan eksportir kopi di Jateng mampu memasok kopi dengan nilai total ekspor mencapai 23 juta ton(2011). Namun kondisi tahun 2012 ini berbeda, hingga semester 1 tahun 2012 realisasinya baru mencapai tujuh juta dolar. Turun drastis karena efek cuaca tahun dua tahun lalu yang menyebabkan hasil panen menurun. “Perkiraan akan normal pada panen tahun depan  dengan catatan bulan September ini sudah mulai hujan. Kalau tidak maka akan jeblok lagi. Turun lagi.”

Beralih
Tren pertumbuhan konsumsi kopi dalam negeri yang terus naik 6-8 persen pertahun membuat eksportir kopi makin terjepit sehingga mulai membidik pasar lokal.
“Padahal pasar lokal kurang dilirik tapi konsumsi dalam negeri tahun lalu mencapai 3,5 juta karung. Prediksi naik karena anak muda yang gemar minum kopi bertambah,” ujar lelaki yang sudah 20 tahun berkecimpung dalam bisnis kopi. 

Menurutnya, menggarap pasar lokal dinilai lebih menguntungkan daripada pasar luar negeri yang harganya jauh lebih mahal 20-30 persen daripada harga ekspor. “Harga kopi luar  negeri 2.040 dolar amerika sedangkan kopi dalam negeri 2.250 dolar per-ton.”

Karena itu untuk menghadapi permasalahan ini, pemerintah perlu melakukan intensifikasi produk kopi di Indonesia yang saat ini produksinya rata-rata hanya 1-1,2 ton per hektar. “Vietnam bisa mencapai 2,8 ton per ha. Semua itu tergantung pada treatment. Apalagi dua tahun lalu Vietnam mengembangkan varietas baru dengan produktivitas mencapai 6 ton per ha.”

Sementara itu, PT Taman Delta Indonesia sejak setahun terakhir merintis produksi kopi asal Jateng. Ada tiga varian yakni Java Mocha, Java Arabika dan Java Blend.“Java mocha seperti kopi dari Ethiopia. Padahal itu kopi dari Kabupaten Semarang. Kami mencoba mengenalkan produk lokal untuk mengembalikan kejayaan kopi dari Jawa,” lanjut lelaki mencicipi hampir semua jenis kopi dari belahan dunia ini.

Kopi ini sudah merambah restoran dan  kafe dan pusat oleh-oleh khas Semarang.” Beberapa kafe di Semarang dan resto mengambil kopi dari Illy, Lavasta, Segafreto Italia dan Swiss. Mereka impor padahal sebenarnya banyak kopi lokal kualitasnya bagus. Produk kita harga dan kualitasnya juga kompetitif.”
“Kami mengenalkan konsep freash roast, order baru diracik untuk mendapatkan bubuk kopi dengan kondisi optimal,”imbuh Hardjano Tjandra, pemilik The Blue Lotus Coffe House Semarang.

Menurutnya, hasil panen kopi tiap tahun juga membedakan rasa. Ini bisa terdeteksi dari bijinya. Karena itu panen tiap tahun perlakuan terhadap biji kopi beda. “Kopi terbaik itu relatif karena tiap kopi itu punya ciri khas istimewa. Jadi harus mempunyai pengetahuan untuk menghasilkan produk kopi yang optimal,” imbuh Chief Barista ini.

Program sertifikasi produk untuk menghadapi pasar kopi tahun 2015 tengah disiapkan. Apalagi jika kopi ini akan diekspor ke Eropa. “Ketika bicara black coffee pasti Indonesia karena kopi terbaik ada di sini.”
Ya, dari 10 kopi terbaik dunia, tiga diantaranya  ada di Indonesia yakni Mandheiling, Java Arabika dan Kalosi Toraja. 

Jadi, pekerjaan rumah sekarang ini adalah memotivasi dan mengubah mindset petani untuk inovasi dan menunjukkan bahwa Jawa  mempunyai biji kopi terbaik di dunia. Seperti pada masa sebelum Perang Dunia II, saat Jawa Tengah mempunyai jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi dan rempah-rempah ke Semarang yang kemudian diangkut dengan kapal laut menuju Eropa untuk dinikmati menjadi minuman kopi yang paling dicari. 

Noni Arnee

Sabtu, 27 Oktober 2012

Kopi itu Tercium Hingga Starbucks



Satu minuman kopi favorit  di kedai kopi modern asal Amerika Starbucks  berasal dari Pegunungan Tengah Papua? bahkan  citarasanyapun  menandingi Jamaica Blue Mountain Coffee, kopi  Jamaica yang disebut sebagai one of the best coffee in the world yang pernah saya nikmati beberapa waktu lalu.

Pertanyaan itu terjawab ketika saya diajak mengunjungi kebun kopi seluas enam hektar milik Anthon Kurisi, salah satu petani kopi di kampung Asologaima, Distrik Muliama, Kabupaten Jayawijaya, yang berjarak sekitar satu jam dari kota Wamena untuk melihat sejuh mana pengelolaan perkebunan kopi tersebut.

Kampung Asologaima adalah satu  dari sekian banyak perkebunan kopi yang tersebar di beberapa distrik seperti Distrik Asotipo, Distrik Yamo, Distrik Mewoluk, wilayah Tingginambut dan distrik Ilu.

Kebun kopi di kawasan ini menghasilkan salah satu kopi terbaik di dunia karena biji kopi jenis arabika ini berasal dari perkebunan alami yang ditanam di ketinggian 1600meter dari permukaan laut. Ini merupakan  perkebunan paling tinggi dibandingkan kebun-kebun kopi lain yang rata-rata ditanam di ketinggian 1200mdpl. 
Akhirnya nemu foto ini di internet, hehe...

Menurut Anthon, ketinggian inilah yang  menghasilkan tingkat keasaman yang relatif rendah sehingga menghasilkan citarasa tinggi. Apalagi, penanaman kopi di Kabupaten Jayawijaya umumnya juga masih dikelola secara tradisional oleh mayarakat setempat,  dengan peralatan sederhana dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia untuk merangsang pertumbuhan maupun meningkatkan produktivitas. “ Ada perda larangan penggunaan pestisida,” jelas Anthon.

Jadi, wajar saja kopi asal Pegunungan Tengan Papua yang biasa disebut kopi Wamena mempunyai rasa yang khas dan layak disebut sebagai “kopi organik”. Bahkan, saking tradisionalnya, perkebunan seluas enam hektar ini juga unik karena masih seperti hutan dan heterogenous,tidak hanya pohon kopi saja yang ditanam di perkebunan.

Ini yang membuat kopi organik yang berasal dari dataran tinggi Wamena ini mempunyai kualitas tinggi dan  sangat diminati pasar luar neger.  Melalui koperasi,  biji kopi organik dikirim ke Starbucks Corporation. Ekspor perdananya dilakukan 2008 lalu.

Memang, pengembangan tanaman kopi di Pegunungan Tengah Papua baru berjalan dalam satu dekade terakhir ini. Awalnya strategi  pemanfaatan potensi kopi digulirkan pemerintah setempat  sebagai upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan masyarakat karena tidak adanya alternatif pandapatan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Lorentz.  

Dengan melihat potensi penduduk lokal sebagai peladang ubi jalar yang handal, cara bercocok tanam kopi dimulai awal tahun 1990an. Hingga kini terus berkembang dengan adanya  pendampingan dari sejumlah pihak seperti World Wild Fund (WWF), United States Agency for International Development (USAID) dan Agribusiness Market and Support Activity (Amarta) mengenai program Papua Agriculture Development Alliance (PADA) untuk meningkatkan produksi dan kualitas kopi arabika di Lembah Baliem. Bahkan  tahun ini pemerintah daerah mencanangkan program Gerakan tanam kopi (Gertak). “Harapannya berkembang dengan semakin meluasnya areal tanaman kopi di beberapa distrik,” imbuh Leader Project Manager Program Lorenz WWF Indonesia, Wamena, Petrus Alberth Dewantoro Talubun. 
Akhirnya nemu biji kopi Wamena di pasar
Tapi sungguh sangat disayangkan, kopi produk organik dengan rasa sangat khas bila  diseduh menghasilkan rasa yang bukan saja intensely aromatic alias harum semerbak, tidak terlalu kental, tidak terlalu pahit dan juga meninggalkan after taste rasa asam yang lembut ini kurang membumi di Wamena.
Saya cukup kesulitan mencari kopi Wamena saat berada di sana. Mungkin saja karena telah diborong oleh pengepul. Atau masyarakat Wamena yang tidak ”doyan ngopi”  meski mereka tinggal di dataran tinggi yang dingin. 

Noni Arnee

Jumat, 26 Oktober 2012

Cinta Kopi Setengah Mati

Sebagai penikmat kopi, Herman Sudiyono (41), tak begitu peduli dengan jenis kopi hitam yang dia nikmati setiap hari. Dia tak memedulikan mereknya. Yang penting buatnya, racik, seduh, seruput.  Dia bahkan minum kopi dalam porsi besar. “Aku minum kopi sekaligus sebagai pelepas dahaga. Apalagi kalau siang, pakai gelas besar bergagang,” ujar karyawan di salah satu sekolah swasta yang selalu membuat sendiri kopi seduhannya.


Dia memiliki kebiasaan ngopi sejak empat tahun terakhir ini lantaran pekerjaannya sebagai teknisi 24 jam. Lalu dia jadi kecanduan. “Kalau kerja lembur ya ditemani kopi. Setelah itu keterusan. Kalau di kantor sesiangan bisa menghabiskan empat hingga lima gelas. Kalau malam hari dua gelas .”

Selain tak pilik-pilih mereka, Dia lebih suka kopi yang praktis racikannya, terutama kopi pabrikan yang sudah dalam kemasan. “Bikinnya sederhana, aku lebih suka kopi berampas dengan rasa sedang.”
Jika Herman punya prinsip  ‘’yang penting ngopi’’, beda dengan Danar Dono. Kebiasaan ngopi yang ‘’diwarisi’’dari ibunya dimulai sejak dirinya SMA.Saat itu dia sering bergadang.  “Coba-coba minum kopi hitam, katanya khasiatnya bisa bikin melek.”

Hingga satu dekade ini ia sudah mencicipi berbagai macam kopi. Karena penasaran, ia mencoba semua jenis kopi yang baru ditemuinya seperti kopi Sumatera, Aceh, dan kopi impor dari Colombia dan Italia. “Kalau ke luar kota pasti hunting kopi. Apalagi kalau ternyata ada varian baru,  penasaran pengin coba rasanya entah enak atau tidak. Rasanya semua punya keunikan sendiri. Meski  aku lebih suka kopi Gayo karena pahitnya pas.”

Makanya tak heran jika ia mengaku kesehariannya tak komplit tanpa kopi. “Ngantuk nggak bersemangat. Kalau kerja aku bisa ngopi hingga 5 cangkir.”
“Sehari tidak ngopi rasanya tidak enak. Seperti ada sesuatu yang kurang. Tapi saya tidak sampai termehek-mehek gara-gara kopi,”imbuh Herman.

Memang, banyak alasan seseorang menikmati kopi. Salah satunya Jimmy Prasetyo (40) yang meminum kopi sebagai pengganti minuman suplemen yang sebelumnya sering dikonsumsi untuk menjaga mobilitasnya yang tinggi. “Kkalau  di luar kantor dari jam 8 pagi sampai 9 malam. Awalnya tidak suka kopi. Pertama coba minum kopi encer tanpa gula,” ujar penggemar expresso yang meracik sendiri kopinya.

Bagi Agus Ariyanto, kebiasaan ngopi hanya bersama kolega dan teman berubah setelah ia serius mendalami kopi hingga kemudian mendirikan kedai kopi di Pati.“Awalnya coba membandingkan kopi yang satu dengan kopi lain, berpindah dari kafe ke kafe yang lain untuk membandingkan tastenya seperti apa. Dulu suka capuccino, sekarang lebih suka yang strong seperti exspresso.
**

Bukan Tren Baru
Kebiasaan ngopi bukanlah tren yang baru belakang ini saja muncul seiring dengan menjamurnya gerai dan kedai kopi. Budaya itu sebenarnya sudah muncul di Arab, Eropa, Amerika dan belahan dunia lain sejak pertengahan abad lalu.

Namun, berubahnya budaya masyarakat dalam kebiasaan meminum kopi, dari pola konvensional (drip coffee system) yang hanya butuh 8 gram/cup menjadi expresso dalam bentuk kopi esktrak, yang butuh sedikitnya 15 gram/cup. Ini tentunya menjadi salah satu faktor meningkatkan jumlah konsumsi kopi.

Data dari  International Coffee Organization  (ICO) menyebutkan tren peningkatan  konsumsi kopi dunia terjadi sejak dua tahun lalu dengan jumlah rata-rata sebesar 2,5 persen pertahun. Dan tahun 2020 diprediksi kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta ton.

Sedangkan data International Coffee Festival (ICF), setiap harinya para pencinta kopi di dunia menyeduh sekitar 100 miliar cangkir atau sekitar 165, 9 ton. Di Indonesia sendiri membutuhkan kopi sekitar 121 ribu ton lebih per tahun.

Moelyono Soesilo (41), pengamat kopi asal Semarang mengatakan awalnya kopi hanya dinikmati kalangan dewasa dan tua. Namun sekarang terjadi pergeseran target pasar penikmat kopi ke anak muda.  Perkembangan mencolok terlihat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, banyak juga penikmat kopi yang bukan hanya sekadar minum kopi saja. “Minum kopi sebagai sebuah seni karena tiap kopi itu punya ciri khas istimewa dalam setiap penyajiannya. Baik di kedai kopi kenamaan maupun kelas pinggir jalan,” ujar  wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Jateng yang sudah 20 tahun mendalami bisnis kopi. 

biji kopi
Moelyono sendiri sudah melalang buana ke sejumlah negara penghasil kopi dan mencicipi kenikmatan aroma dan cita rasa kopi di luar negeri. Sebut saja Hawaii Kona, Colombia Supremo, Illy, Segafreto dan Lavassa Italia. Atau kopi spesial dari Indonesia. “Saya bukan peminum kopi jadi tidak masalah kalau sehari tidak minum kopi.  Saya penikmat dan bisa membedakan aroma dan rasa kopi itu berasal.Saya pernah menikmati kopi di sebuah warung kopi yang dicampur dengan  jagung. Rasanya biasa tapi saya suka cara penyajiannya.” 

“Kopi terbaik itu relatif karena citarasa kopi tergantung penyajiannya. Saya biasa menggiling sendiri biji kopinya, racik sesuai keinginan dan nikmati tanpa gula. Bahkan saya punya standar untuk kopi yang akan saya minum,” imbuh Hardjanto Tjandra (40), penikmat kopi yang juga pemilik The Blue Lotus Coffee House di Semarang ini.

Menurut pria yang juga menjadi chief barista dan roaster ini, kini marak kedai kopi yang menawarkan cita rasa kopi dengan meracik spesial. Banyak alat untuk meracik biji kopi dengan berbagai macam cara untuk menghasilkan minuman kopi yang aroma, rasa dan after tastenya lengkap.”

Maka, tak heran jika penyanyi folk legendaris Bob Dylan saja menyelipkan kata "kopi" dalam lirik lagunya. "One more cup of coffee for the road
One more cup of coffee 'fore I go
 To the valley below".

Ya, secangkir kopi lagi untuk perjalanan
Secangkir kopi lagi sebelum aku pergi
Ke lembah curam itu.

Noni Arnee 

continued to "Kopi Lokal Juga Nikmat"