Tak hanya para pengusaha kopi, Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, tapi juga komunitas,
petani dan blogger Kopi bertemu serta saling
bertukar informasi dalam Indonesian Coffee
Festival (ICF) pertengahan bulan September lalu di Museum Puri Lukisan, Ubud,
Gianyar, Bali. Ini perhelatan kedua setelah Aceh yang menjadi tuan rumah tahun
lalu.
Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia dengan luas perkebunan kopi mencapai 1,3 juta hektar yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, Selawesi Selatan, hingga Papua. Wajar jika para pelaku kopi ingin Indonesia menjadi kiblat kopi dunia. Sekaligus kuliner dan gaya hidup.
Tak lagi kedai kopi konvensional di pinggir jalan, kopi merangsek dan menjamur di tempat ekslusif yang membuat pengunjung betah berlama-lama. Ya, secangkir kopi menjadi fenomena gaya hidup kaum urban. Kaum pria, wanita pun remaja. Duduk santai menikmati kopi racikan bersama teman. Ngobrol, santai dan berdiskusi juga bertemu kolega dan menjadi penentu keberhasilan projek dengan rekan bisnis. “Semua kalangan menggemari kopi, biasanya nongkrong atau bicara bisnis,” ujar pengelola Hans Kopi Semarang, Fajar Sidiq.
Di musim panen terakhir tahun ini, Indonesia akan menghasilkan 700 ribu ton biji kopi, jauh jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang hanya menghasilkan 400 hingga 500 ribu ton. “Dulu Indonesia posisi kedua setelah Brasil (sekarang Vietnam). Sekarang di urutan 3 atau 4. Produksi kopi Indonesia secara keseluruhan saat ini berada sejajar dengan Kolombia,” ujar peneliti senior dari Pusat Penelitian Kopi dan Kokain Indonesia di Jember, Surip Mawardi.
Sebagai negara produsen, ekspor kopi merupakan sasaran utama dalam memasarkan produk kopi dengan kualitas dan aroma yang khas yang dihasilkan Indonesia. Peluangnya terbuka lebar mengingat kebutuhan kopi di beberapa Negara di dunia terus meningkat. Seperti negara konsumer tradisional Amerika, negara Eropa dan Jepang.
Hingga kini terdapat 331 kelompok tani yang terdiri atas 8.265 petani yang tersebar di 13 kabupaten sentra kopi yakni Temanggung, Semarang, Wonosobo, Magelang, Kendal, Purworejo, Banjarnegara, Purbalingga, Pemalang, Pekalongan, Batang, Pati, dan Jepara.
Menurutnya, dalam pola kemitraan ini asosiasi perusahaan membayar premium Rp
500/kg. Artinya, setelah hasil panen kopi petani dijual ke kelompok tani, pihak
eksportir sanggup membeli kopi dari kelompok itu dengan selisih harga Rp
500/kg. Meski keterbatasan dana hingga kini masih menjadi kendala utama.
Pemasaran dua ribu petani yang tergabung dalam 15 kelompok tani di empat desa yakni Brongkol, Klurahan, Bedono dan Gemawang dilakukan melalui Gapoktan Gunung Kelir. “Kami juga kurang peralatan seperti pulper, huler dan pengering. Juga masih tergantung eksportir karena belum bisa menentukan harga. Inginnya Gapoktan bisa jadi eksportir dan menentukan harga sendiri,” ungkapnya.
Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia dengan luas perkebunan kopi mencapai 1,3 juta hektar yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, Selawesi Selatan, hingga Papua. Wajar jika para pelaku kopi ingin Indonesia menjadi kiblat kopi dunia. Sekaligus kuliner dan gaya hidup.
Tak lagi kedai kopi konvensional di pinggir jalan, kopi merangsek dan menjamur di tempat ekslusif yang membuat pengunjung betah berlama-lama. Ya, secangkir kopi menjadi fenomena gaya hidup kaum urban. Kaum pria, wanita pun remaja. Duduk santai menikmati kopi racikan bersama teman. Ngobrol, santai dan berdiskusi juga bertemu kolega dan menjadi penentu keberhasilan projek dengan rekan bisnis. “Semua kalangan menggemari kopi, biasanya nongkrong atau bicara bisnis,” ujar pengelola Hans Kopi Semarang, Fajar Sidiq.
Budaya minum
kopi pun menjadi identitas baru yang mengglobal dan bertransformasi seiring zaman. Berbeda dengan budaya minum kopi
berabad-abad silam, atau ketika kedai kopi berlabel Starbucks muncul mengguncang
dunia di kota seattle.
Data dari International
Coffee Organization (ICO) menyebut, terjadi peningkatan konsumsi kopi sebesar
2,5 persen pertahun. Ini terjadi sejak dua tahun lalu. Hingga di tahun 2020
diperkirakan kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta ton.
Kondisi ini
terjadi karena pergeseran gaya hidup masyarakat perkotaan yang mendorong pergeseran
pola konsumsi kopi. Maka tak heran jika tren konsumsi pasar kopi dunia dalam kurun
lima tahun terakhir ini jauh lebih cepat
dibanding produksi kopi dunia. Akibatnya, permintaan kopi di berbagai Negara cenderung
meningkat.
Seperti di Brazil yang
mengkonsumsi hingga 20 juta karung, mengalahkan Amerika yang tingkat
konsumsinya mencapai 22 juta karung.
ICF mencatat, ada sekitar 100 miliar cangkir kopi atau sekitar 165,9 ton
kopi yang diseduh setiap hari di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, jumlah
kebutuhan kopi diperkirakan mencapai 121.107 ton per tahun.
Industri Kopi Indonesia
Berdasarkan data Indonesian Coffee Festival (ICF), Indonesia saat ini berada
di peringkat ketiga produsen kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Kolombia
dengan total produksi 600 ribu ton per tahun. Sekitar 67% diekspor sedangkan
sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dimana jenis kopi robusta
(85 persen) dan arabika (15 persen). Di musim panen terakhir tahun ini, Indonesia akan menghasilkan 700 ribu ton biji kopi, jauh jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang hanya menghasilkan 400 hingga 500 ribu ton. “Dulu Indonesia posisi kedua setelah Brasil (sekarang Vietnam). Sekarang di urutan 3 atau 4. Produksi kopi Indonesia secara keseluruhan saat ini berada sejajar dengan Kolombia,” ujar peneliti senior dari Pusat Penelitian Kopi dan Kokain Indonesia di Jember, Surip Mawardi.
Sebagai negara produsen, ekspor kopi merupakan sasaran utama dalam memasarkan produk kopi dengan kualitas dan aroma yang khas yang dihasilkan Indonesia. Peluangnya terbuka lebar mengingat kebutuhan kopi di beberapa Negara di dunia terus meningkat. Seperti negara konsumer tradisional Amerika, negara Eropa dan Jepang.
Namun pasar komoditas kopi dunia cenderung fluktuatif .
Semua tergantung permintaan dan faktor eksternal seperti komoditas minyak
mentah. “Di pasar luar negeri kopi robusta relatif stabil dua masa panen ini sedangkan
arabika turun dibanding tahun lalu hingga harganya naik tiga kali lipat
dibanding robusta (2011),”ujar Manager ekspor PT Taman Delta Indonesia, Moelyono Soesilo.
Menurutnya, dari sisi bisnis pasar kopi mempunyai prospek
menggiurkan, namun potensi ini justru terganggu dengan pergeseran target pasar
penikmat kopi. “Bagi eksportir justru khawatir karena produksi kopi sekarang
ini justru lebih rendah dibandngkan dengan tingkat konsumsi. Mungkin saja tiga
hingga lima tahun ke depan tidak bisa ekspor karena habis untuk konsumsi
dalam negeri.”
Moelyono menambahkan, kecenderungan harga kopi pun meningkat
dan tren peningkatan konsumsi lebih besar dari negara produsen kopi itu
sendiri. Karena itu diperkirakan empat tahun lagi akan terpotong karena produksinya
lebih rendah daripada tingkat kosumsi. “Ada peningkatan konsumsi yang luar
biasa hingga 1-1,2 persen atau 2 juta karung lebih. Dan itu menjadi tren
dunia,” imbuhnya.
Kopi Jawa
Selain kelapa dan tebu, kopi
merupakan salah satu komoditas ekspor perkebunan unggulan Jateng. Luas
perkebunan kopi mencapai 41.108, 39 hektar yang meliputi perkebunan kopi jenis
arabika 6.180,87 ha dan robusta 34.927,52 ha. Pasca kemerdekaan, sekitar 92%
produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.Hingga kini terdapat 331 kelompok tani yang terdiri atas 8.265 petani yang tersebar di 13 kabupaten sentra kopi yakni Temanggung, Semarang, Wonosobo, Magelang, Kendal, Purworejo, Banjarnegara, Purbalingga, Pemalang, Pekalongan, Batang, Pati, dan Jepara.
“Tanaman meningkat karena tiap tahun ada perluasan areal
tanam. Pemerintah mulai membuaka lahan kopi robusta di pati, Purbalingga dan Batang,”
Moelyono Soesilo yang juga sebagai wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri
Kopi Indonesia (AEKI) Jateng.
Menurutnya, dengan luas areal tanaman kopi hingga 20 ribu
ha yang meliputi perkebunan rakyat dan PTPN, Jateng mampu memproduksi rata-rata
20-24 ribu ton pertahun. Kopi ini dilempar ke pabrikan. “Jateng di tingkat nasional
menduduki nomor empat setelah Lampung, Jatim, Medan. Masih relatif kecil dengan hasil 1,5 persen dari total produksi nasional.
Sedangkan Lampung 50 persen dan Medan (arabika) 20 persen.”
Padahal, kopi Jawa mempunyai kualitas lebih
bagus tanpa nilai cacat karena treament petani cukup baik. Mereka mendapat
pengetahuan dan edukasi merawat kebun hingga pasca panen melalui binaan
kelompok tani. Petani berlaku sebagai mitra sehingga petani mengetahui dan tahu
bagaimana menghasilkan mutu yang baik. Panen banyak dan harga bagus. “Mutu kopi
Jawa tetap bagus di grade 2 atau 3 dibanding kopi Lampung,” lanjutnya.
Pemerintah
mendukung program
pengembangan kompetensi inti melalui klaster
kopi di Jateng. Kegiatan yang didanai dari APBN dimulai
2008 hingga tahun 2014 berupa pelatihan, bantuan peralatan, studi banding, dan
fasilitasi bantuan modal.
Selain melakukan
kemitraan dengan eksportir kopi, petani juga memproduksi kopi bubuk robusta, arabika
dan luwak dari ternak sendiri dengan
merek kopi gunung kelir. Sejak tahun 2008 bekerjasama dengan PT Taman Delta Indonesia di Semarang. “Panen raya yang dimulai bulan Juli hingga September dari areal kopi Gunung
Kelir seluas 489
hektar dengan produktivitas 1,1 ton per ha. Kami kirim ke Semarang 60 ton,” jelas Hadi suprapto, ketua
Gapoktan Gunung Kelir
Kabupaten Semarang.
Pemasaran dua ribu petani yang tergabung dalam 15 kelompok tani di empat desa yakni Brongkol, Klurahan, Bedono dan Gemawang dilakukan melalui Gapoktan Gunung Kelir. “Kami juga kurang peralatan seperti pulper, huler dan pengering. Juga masih tergantung eksportir karena belum bisa menentukan harga. Inginnya Gapoktan bisa jadi eksportir dan menentukan harga sendiri,” ungkapnya.
Sedangkan pasar utama ekspor kopi dari Jateng saat ini adalah
Jepang, Amerika, Itlatia, Jerman, dan Dubai. Serta pasar potensial Korea dan China.
Moelyono menambahkan, sembilan eksportir kopi di Jateng
mampu memasok kopi dengan nilai total ekspor mencapai 23 juta ton(2011). Namun
kondisi tahun 2012 ini berbeda, hingga semester 1 tahun 2012 realisasinya baru
mencapai tujuh juta dolar. Turun drastis karena efek cuaca tahun dua tahun lalu
yang menyebabkan hasil panen menurun. “Perkiraan akan normal pada panen tahun
depan dengan catatan bulan September ini
sudah mulai hujan. Kalau tidak maka akan jeblok lagi. Turun lagi.”
Beralih
Tren pertumbuhan konsumsi kopi dalam negeri yang terus
naik 6-8 persen pertahun membuat eksportir kopi makin terjepit sehingga mulai membidik
pasar lokal.
“Padahal pasar lokal kurang dilirik tapi konsumsi dalam
negeri tahun lalu mencapai 3,5 juta karung. Prediksi naik karena anak muda yang
gemar minum kopi bertambah,” ujar lelaki yang sudah 20 tahun berkecimpung dalam
bisnis kopi.
Menurutnya, menggarap pasar lokal dinilai lebih
menguntungkan daripada pasar luar negeri yang harganya jauh lebih mahal 20-30
persen daripada harga ekspor. “Harga kopi luar
negeri 2.040 dolar amerika sedangkan kopi dalam negeri 2.250 dolar per-ton.”
Karena itu untuk menghadapi permasalahan ini, pemerintah perlu
melakukan intensifikasi produk kopi di Indonesia yang saat ini produksinya
rata-rata hanya 1-1,2 ton per hektar. “Vietnam bisa mencapai 2,8 ton per ha.
Semua itu tergantung pada treatment. Apalagi dua tahun lalu Vietnam
mengembangkan varietas baru dengan produktivitas mencapai 6 ton per ha.”
Sementara itu, PT Taman Delta Indonesia sejak setahun
terakhir merintis produksi kopi asal Jateng. Ada tiga varian yakni Java Mocha,
Java Arabika dan Java Blend.“Java mocha seperti kopi dari Ethiopia. Padahal itu
kopi dari Kabupaten Semarang. Kami mencoba mengenalkan produk lokal untuk mengembalikan
kejayaan kopi dari Jawa,” lanjut lelaki mencicipi hampir semua jenis kopi dari
belahan dunia ini.
Kopi ini sudah merambah restoran dan kafe dan pusat oleh-oleh khas Semarang.”
Beberapa kafe di Semarang dan resto mengambil kopi dari Illy, Lavasta,
Segafreto Italia dan Swiss. Mereka impor padahal sebenarnya banyak kopi lokal
kualitasnya bagus. Produk kita harga dan kualitasnya juga kompetitif.”
“Kami mengenalkan konsep freash roast, order baru diracik
untuk mendapatkan bubuk kopi dengan kondisi optimal,”imbuh Hardjano Tjandra,
pemilik The Blue Lotus Coffe House Semarang.
Menurutnya, hasil panen kopi tiap tahun juga membedakan
rasa. Ini bisa terdeteksi dari bijinya. Karena itu panen tiap tahun perlakuan
terhadap biji kopi beda. “Kopi terbaik itu relatif karena tiap kopi itu punya
ciri khas istimewa. Jadi harus mempunyai pengetahuan untuk menghasilkan produk
kopi yang optimal,” imbuh Chief Barista ini.
Program sertifikasi produk untuk menghadapi pasar kopi
tahun 2015 tengah disiapkan. Apalagi jika kopi ini akan diekspor ke Eropa. “Ketika
bicara black coffee pasti Indonesia
karena kopi terbaik ada di sini.”
Ya, dari 10 kopi terbaik dunia, tiga diantaranya ada di Indonesia yakni Mandheiling, Java
Arabika dan Kalosi Toraja.
Jadi, pekerjaan rumah sekarang ini adalah memotivasi dan
mengubah mindset petani untuk inovasi dan menunjukkan bahwa Jawa mempunyai biji kopi terbaik di dunia. Seperti
pada masa sebelum Perang Dunia II, saat Jawa
Tengah mempunyai jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi dan rempah-rempah ke Semarang yang kemudian diangkut dengan kapal laut menuju Eropa untuk dinikmati menjadi minuman kopi yang paling dicari.
Noni Arnee