Pages

Tampilkan postingan dengan label jawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jawa. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Desember 2019

Nelayan Karimunjawa Bergerak Melestarikan Penyu Langka

Jepara, JAWA TENGAH – Masih maraknya perdagangan telur dan konsumsi daging penyu membuat program konservasi satwa langka tersebut sulit dilakukan. Namun, dengan melibatkan nelayan setempat sebagai pelaku utama konservasi, seperti halnya di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, penyelamatan penyu dapat berjalan.

Program konservasi penyu di Karimunjawa dimulai sejak tahun 2003 ketika tim Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) melakukan pendataan keanekaragaman hayati di wilayah Taman Nasional Karimunjawa yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 1999.
Saat melakukan pendataan, petugas BTNKJ menemukan bahwa masyarakat setempat memperdagangkan telur dan mengkonsumsi daging penyu.

“Kami lihat telur penyu di jual bebas di warung dan pasar. Telur dan daging penyu dimakan. Kami telusuri dari mana asal telur, tanya warga, nelayan dan cek ke lapangan berharap menjumpai penyu bertelur, bekas sarang penyu, sisa telur penyu bekas biawak. Semua didata,” jelas Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa, kepada Ekuatorial akhir September lalu.

Sutris, yang saat itu masih menjadi polisi hutan mengatakan, Karimunjawa merupakan kawasan penting bagi penyu karena menjadi lokasi pantai peneluran (nesting beach), tempat mencari makan (feeding place) dan berkembangbiak.

Berdasarkan karakter habitat, pantai peneluran, bekas sarang dan telur menetas, penyu sisik (Eretmochelys imbricata) lebih banyak ditemukan di kawasan konservasi Laut Karimunjawa.
Sementara, penyu lainnya, seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu lekang (Lepodichelys olivaceae), jumlahnya tidak signifikan.
“Iya, khususnya penyu sisik, nelayan sering menjumpai penyu remaja sedang mencari makan, dewasa bertelur, dan kawin. Tidak semua tempat bisa jadi ketiga aktivitas tersebut,” kata Sutris menambahkan mereka membutuhkan waktu tiga bulan untuk melakukan pendataan.

Odang (Red: bukan nama sebenarnya), salah satu warga Desa Kemujan, Karimunjawa mengatakan, nelayan Karimunjawa biasa menjual dan memakan telur penyu. Selain itu, daging penyu juga dimanfaatkan sebagai syarat ritual, misalnya sesaji acara selapanan (Red: memperingati hari kelahiran anak selang 35 hari).
“Dulu ngambil dan dijual ke tengkulak Rp1000 per butir. Dagingnya bikin tubuh hangat, bikin orang penasaran akhirnya makan. Sembelih juga kalau ada acara. Sekarang sudah tahu dan sadar karena ada sosialisasi kalau penyu dilindungi, tapi masih ada yang curi-curi,” jelas Odang yang mengaku pernah makan daging penyu sisik.

Khawatir dengan keberadaan penyu di Karimunjawa, terutama dengan ancaman perburuan, maka petugas BTNKJ pun berinisiatif melanjutkan aksi perlindungan penyu dengan merintis program konservasi penyu di tahun 2003.
“Awalnya dibiarkan menetas alami tapi ketika dicek telur-telur lenyap. Nelayan mencari ikan kemana-mana, istirahat dan berlindung dari cuaca buruk di pulau nemu sarang, diambil telurnya dibawa pulang di konsumsi. Sedih sekali kecolongan terus. Akhirnya, [nelayan] didekati pelan-pelan kalau nemu telur jangan diambil tapi lapor petugas diambil sama-sama untuk ditetaskan,” kata Sutris.
Ia mengatakan para nelayan dilibatkan dalam upaya konservasi penyu karena daya jelajah dan insting yang kuat untuk mengidentifikasi keberadaan sarang penyu serta karakter lokasi peneluran.

Sepuluh nelayan pun bergabung dalam Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa sejak tahun 2003 untuk upaya konservasi ini. Hingga kini, total ada 45 nelayan yang membantu petugas mengevakuasi telur penyu di pantai peneluran yang tersebar di 22 pulau di kawasan konservasi laut Karimunjawa.
“Karena satwa dilindungi kami fokus pada penetasan, kami yang menyelesaikan penetasan dengan bantuan nelayan. Tapi, tidak semua aktif karena keterlibatan ini tidak mengikat. Data BTNKJ, 63 nelayan telah melaporkan temuan sarang penyu, katanya.

Ia melanjutkan bahwa awalnya nelayan menolak karena memilih menjual dan mengkonsumsi telur penyu ketimbang melaporkan hasil temuannya, sehingga BTNKJ pun menyiasati dengan mengalokasikan anggaran evakuasi sarang berupa uang ganti bahan bakar solar dengan pola pembayaran langsung.
“Nelayan berpikir praktis nemu 200 telur dijual laku Rp 200 ribu atau dikonsumsi. Kami tidak bisa ganti uang dengan menghitung sejumlah telur temuan, itu artinya membeli. Jadi, solusinya ganti solar,” jelasnya.

Besaran disesuaikan dengan jarak tempuh pengambilan telur, Rp150 ribu untuk jarak terdekat seperti Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil, Rp350 ribu untuk jarak menengah seperti Pulau Krakal dan Pulau Geleang, hingga Rp500 ribu untuk jarak jauh, seperti Pulau Katang yang memerlukan dua jam perjalanan.

Nelayan yang mengevakuasi telur penyu dari pantai peneluran pun dibekali pengetahuan dan ketrampilan khusus teknik pemindahan dan membawa telur dari sarang.
“Mindahin telur nggak sembarangan, butuh 2 jam lebih. Kalau nggak sabar, hati-hati dan telaten bisa gagal semua,” kata Matobi’in, Ketua Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa, yang bergabung sejak tahun 2004.

Ia pun mengaku mengkonsumsi telur dan daging penyu sebelum mengetahui bahwa hal tersebut dilarang oleh undang-undang.
“Dulu awam undang-undang belum tahu ada larangan, ya saya makan telur dan daging penyu, Itu biasa di sini. Kalau ke pulau nemu telur bawa pulang. Ambil penyu ukuran 50 sentimeter mudah. Laut juga rusak, cari ikan pakai potasium (racun ikan), jelasnya.

Seiring waktu, ia pun menyadari nelayan merupakan ujung tombak konservasi.
“Kalau penyu habis gimana nanti anak cucu tanya kok nggak ada penyu lagi. Dari situ timbul pikiran ikut melindungi. Sekarang penyu mulai banyak lagi. Saya mau melestarikan penyu agar anak cucu bisa melihat penyu di sini,” imbuhnya.

Sulitnya Penetasan Telur Penyu
Luasnya persebaran pantai peneluran penyu dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pelestarian penyu, khususnya penyu sisik yang masuk kategori sangat terancam punah menjadi tantangan besar program konservasi penyu di Taman Nasional Karimunjawa selama 15 tahun terakhir.

Susi Sumaryati, anggota tim konservasi penyu dan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BTNKJ, mengatakan tingkat keberhasilan model penetasan semi alami dipengaruhi oleh proses evakuasi telur, kualitas telur dan faktor alam atau cuaca.
Tim konservasi kemudian membangun Penetasan Semi Alami (PSA) di tahun 2004 dengan meminjam lahan milik warga setempat di Pulau Menjangan Besar, sebelum dipindahkan ke Legon Jaten yang berada di zona pemanfaatan Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada tahun 2013.
PSA tersebut mengadopsi metode konservasi penyu yang telah diterapkan oleh Taman Nasional Meru Betiri dan Alas Purwo di Jawa Timur.

Namun, konservasi penyu di Karimunjawa memiliki tantangan berbeda, antara lain luasnya persebaran pantai peneluran, keterbatasan petugas, hingga memprediksi waktu bertelur dan menjaga hingga menetas.
“Kami tidak tahu kapan bertelur, kecuali identifikasi jejak baru. Bisa jadi dua hari atau seminggu baru ditemukan nelayan. Pagi nemu, siang diambil dan butuh perjalanan jauh. Cuaca buruk bisa lebih lama dan getaran di perahu lebih besar,” jelas Susi.

Kegagalan penetasan telur penyu di PSA Legon Janten, tambahnya, dipengaruhi oleh kelembaban, suhu sarang buatan dan tempat penyimpanan telur yang aman dari goncangan.
“Kami modifikasi ember cat berukuran 25 kilogram yang disterilkan semirip sarang asli. Bagian dinding dilubangi. Sepertiga bagian diisi pasir, [lalu] telur dipindah ke ember persis seperti ketika berada di dalam sarang dan ditutup pasir hingga dua lapis untuk mereduksi getaran,” jelas Susi.

Ia menambahkan setiap ember diberi tanda berdasarkan jumlah, waktu dan lokasi penemuan telur. Dalam satu sarang, lanjutnya, menampung dua hingga tiga ember berisikan 50-70 telur.
Selain melakukan penetasan semi alami, tim konservasi penyu juga berupaya menyelamatkan penyu hasil sitaan atau terjaring nelayan, serta merawat penyu terdampar untuk dilepasliarkan.
“Kami [pernah] evakuasi penyu sisik yang dipelihara warga selama satu tahun dan diberi makan nasi. [Penyu tersebut] ditaruh di pantai tidak mau ke laut karena terkontaminasi air tawar. Dilatih beradaptasi perekaman terhadap laut. Kami beri nama “Marinem” dengan tagging ID 3372,” jelas Susi.

Berdasarkan data BTNKJ tahun 2003-18, sebanyak 121 ekor penyu sudah ditagging dan 698 sarang penyu dengan total 87.396 telur ditemukan. Dari temuan tersebut, hanya 43.671 telur berhasil menetas.
Sementara, pada tahun 2018, sebanyak 72 sarang dengan 8.046 telur ditemukan, dengan 3.240 telur berhasil ditetaskan.
“Ada peningkatan tiap tahun, makin banyak sarang yang ditemukan. Ini pertanda baik. Tapi, tingkat penetasan masih 45-50 persen karena semua laporan temuan telur apapun kondisinya digabungkan. Itu data riil, harus jujur ada kegagalan,” tandas Susi menambahkan mereka menargetkan adanya peningkatan populasi penyu hingga dua persen pada tahun 2019.

Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
Meski penetasan penyu masih belum memperlihatkan peningkatan, namun perilaku masyarakat setempat sudah menunjukkan adanya perubahan terhadap konservasi penyu di Karimunjawa.

Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa mengatakan mereka melakukan pendekatan persuasif terhadap nelayan setempat selama 15 tahun belakangan untuk bisa berpartisipasi dalam konservasi penyu.
“Nelayan hanya dibekali ember bisa evakuasi sendiri. Kami sangat percaya dan bergantung dengan nelayan sebagai patroller. Persuasif-lah yang sembelih penyu diingatkan, riskan kalau frontal. Tegas tapi perhitungan jangan sampai yang dibangun 15 tahun hancur, [hingga saat ini] belum ada law enforment. Dulu tahu-nya enak dimakan, dianggap hama. Sekarang bersedia lapor itu bentuk partisipasi luar biasa meski ada yang ngumpet nemu telur direbus, jelas Sutris.

Selain itu, mulai Agustus 2006, tim BTNKJ juga mendekati pedagang yang menjual suvenir berbahan karapas (Red : cangkang) penyu seperti gelang, cincin dan hiasan dinding di kawasan wisata Karimunjawa.
“Karapas penyu sisik bagus sekali dijadikan suvenir. Kami datangi pengrajin dan pedagang, mendata stok suvenir berbahan penyu. Dalam enam bulan masih tersisa disita, dimusnahkan dan kami ganti suvenir lain yang bisa dijual. Hasilnya, di tahun 2007 nyaris tidak ada souvenir dari karapas penyu,” ungkap Sutris.

I Made Jaya Ratha, pemerhati dan peneliti penyu, mengatakan bahwa edukasi masyarakat dan pemangku kebijakan menjadi kunci upaya konservasi penyu.
“Mati-matian menyelamatkan dan melindungi, ternyata di sisi lain masih dimakan, terumbu karang, lumbung pakan rusak, pariwisata tidak ramah lingkungan, laut banyak sampah, atau hanya jaga pantainya saja. Ya, tidak bisa maksimal,” tandas I Made. (non)

Senin, 05 November 2012

Dari Sebuah Biji "Cherry"

Tak hanya para pengusaha kopi, Asosiasi Kopi Spesial Indonesia, tapi juga komunitas, petani dan blogger Kopi  bertemu serta saling bertukar informasi dalam  Indonesian Coffee Festival (ICF) pertengahan bulan September lalu di Museum Puri Lukisan, Ubud, Gianyar, Bali. Ini perhelatan kedua setelah Aceh yang menjadi tuan rumah tahun lalu.

Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia dengan luas perkebunan kopi mencapai 1,3 juta hektar yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, Selawesi Selatan, hingga Papua. Wajar jika para pelaku kopi ingin Indonesia menjadi kiblat kopi dunia. Sekaligus kuliner dan gaya hidup.


Tak lagi kedai kopi konvensional di pinggir jalan, kopi merangsek dan menjamur di tempat ekslusif yang membuat pengunjung betah berlama-lama. Ya, secangkir kopi menjadi fenomena gaya hidup kaum urban. Kaum pria, wanita pun remaja. Duduk santai menikmati kopi racikan bersama teman. Ngobrol, santai dan berdiskusi juga bertemu kolega dan menjadi penentu keberhasilan projek dengan rekan bisnis. “Semua kalangan menggemari kopi, biasanya nongkrong atau bicara bisnis,” ujar pengelola Hans Kopi Semarang, Fajar Sidiq.

Budaya minum kopi pun menjadi identitas baru yang mengglobal dan bertransformasi seiring zaman. Berbeda dengan budaya minum kopi berabad-abad silam, atau ketika kedai kopi berlabel Starbucks muncul mengguncang dunia di kota seattle.
Data dari International Coffee Organization (ICO) menyebut, terjadi peningkatan konsumsi kopi sebesar 2,5 persen pertahun. Ini terjadi sejak dua tahun lalu. Hingga di tahun 2020 diperkirakan kebutuhan kopi dunia mencapai 10,3 juta ton.

Kondisi ini terjadi karena pergeseran gaya hidup masyarakat perkotaan yang mendorong pergeseran pola konsumsi kopi. Maka tak heran jika tren konsumsi pasar kopi dunia dalam kurun lima tahun terakhir ini  jauh lebih cepat dibanding produksi kopi dunia. Akibatnya, permintaan kopi di berbagai Negara cenderung meningkat.

Seperti di Brazil yang mengkonsumsi hingga 20 juta karung, mengalahkan Amerika yang tingkat konsumsinya mencapai 22 juta karung.
ICF mencatat, ada sekitar 100 miliar cangkir kopi atau sekitar 165,9 ton kopi yang diseduh setiap hari di seluruh dunia. Sedangkan di Indonesia, jumlah kebutuhan kopi diperkirakan mencapai 121.107 ton per tahun.

Industri Kopi Indonesia
Berdasarkan data Indonesian Coffee Festival (ICF), Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga produsen kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Kolombia dengan total produksi 600 ribu ton per tahun. Sekitar 67% diekspor sedangkan sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.  Dimana jenis kopi robusta (85 persen) dan arabika (15 persen).

Di musim panen terakhir tahun ini, Indonesia akan menghasilkan 700 ribu ton biji kopi, jauh jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang hanya menghasilkan 400 hingga 500 ribu ton.  “Dulu Indonesia posisi kedua setelah Brasil (sekarang Vietnam). Sekarang di urutan 3 atau 4. Produksi kopi Indonesia secara keseluruhan saat ini berada sejajar dengan Kolombia,” ujar peneliti senior dari Pusat Penelitian Kopi dan Kokain Indonesia di Jember, Surip Mawardi.
Sebagai negara produsen, ekspor kopi merupakan sasaran utama dalam memasarkan produk kopi dengan kualitas dan aroma yang khas yang dihasilkan Indonesia. Peluangnya terbuka lebar mengingat kebutuhan kopi di beberapa Negara di dunia terus meningkat. Seperti negara konsumer tradisional Amerika, negara Eropa dan Jepang.

Namun pasar komoditas kopi dunia cenderung fluktuatif . Semua tergantung permintaan dan faktor eksternal seperti komoditas minyak mentah. “Di pasar luar negeri kopi robusta relatif stabil dua masa panen ini sedangkan arabika turun dibanding tahun lalu hingga harganya naik tiga kali lipat dibanding robusta (2011),”ujar Manager ekspor PT Taman Delta  Indonesia, Moelyono Soesilo.

Menurutnya, dari sisi bisnis pasar kopi mempunyai prospek menggiurkan, namun potensi ini justru terganggu dengan pergeseran target pasar penikmat kopi. “Bagi eksportir justru khawatir karena produksi kopi sekarang ini justru lebih rendah dibandngkan dengan tingkat konsumsi. Mungkin saja tiga hingga lima tahun ke depan tidak bisa ekspor karena habis untuk konsumsi dalam  negeri.”

Moelyono menambahkan, kecenderungan harga kopi pun meningkat dan tren peningkatan konsumsi lebih besar dari negara produsen kopi itu sendiri. Karena itu diperkirakan empat tahun lagi akan terpotong karena produksinya lebih rendah daripada tingkat kosumsi. “Ada peningkatan konsumsi yang luar biasa hingga 1-1,2 persen atau 2 juta karung lebih. Dan itu menjadi tren dunia,” imbuhnya.

Kopi Jawa
Selain kelapa dan tebu, kopi merupakan salah satu komoditas ekspor perkebunan unggulan Jateng. Luas perkebunan kopi mencapai 41.108, 39 hektar yang meliputi perkebunan kopi jenis arabika 6.180,87 ha dan robusta 34.927,52 ha. Pasca kemerdekaan, sekitar 92% produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.

Hingga kini terdapat 331 kelompok tani yang terdiri atas 8.265 petani yang tersebar di 13 kabupaten sentra kopi yakni Temanggung, Semarang, Wonosobo, Magelang, Kendal, Purworejo, Banjarnegara, Purbalingga, Pemalang, Pekalongan, Batang, Pati, dan Jepara.
“Tanaman meningkat karena tiap tahun ada perluasan areal tanam. Pemerintah mulai membuaka lahan kopi robusta di pati, Purbalingga dan Batang,” Moelyono Soesilo yang juga sebagai wakil ketua Asosiasi Ekportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Jateng.

Menurutnya, dengan luas areal tanaman kopi hingga 20 ribu ha yang meliputi perkebunan rakyat dan PTPN, Jateng mampu memproduksi rata-rata 20-24 ribu ton pertahun. Kopi ini dilempar ke pabrikan. “Jateng di tingkat nasional menduduki nomor empat setelah Lampung, Jatim, Medan.  Masih relatif kecil dengan hasil  1,5 persen dari total produksi nasional. Sedangkan Lampung 50 persen dan Medan (arabika) 20 persen.”

Padahal, kopi Jawa mempunyai kualitas lebih bagus tanpa nilai cacat karena treament petani cukup baik. Mereka mendapat pengetahuan dan edukasi merawat kebun hingga pasca panen melalui binaan kelompok tani. Petani berlaku sebagai mitra sehingga petani mengetahui dan tahu bagaimana menghasilkan mutu yang baik. Panen banyak dan harga bagus. “Mutu kopi Jawa tetap bagus di grade 2 atau 3 dibanding kopi Lampung,” lanjutnya.
Pemerintah mendukung program pengembangan kompetensi inti melalui klaster kopi di Jateng. Kegiatan yang didanai dari APBN dimulai 2008 hingga tahun 2014 berupa pelatihan, bantuan peralatan, studi banding, dan fasilitasi bantuan modal. 

Selain melakukan kemitraan dengan eksportir kopi, petani juga memproduksi kopi bubuk robusta, arabika dan luwak dari ternak sendiri  dengan merek kopi gunung kelir. Sejak tahun 2008 bekerjasama dengan PT Taman Delta Indonesia di Semarang. Panen raya yang dimulai bulan Juli hingga September dari areal kopi Gunung Kelir seluas 489 hektar dengan produktivitas 1,1 ton per ha. Kami kirim ke Semarang 60 ton,” jelas Hadi suprapto, ketua Gapoktan Gunung Kelir Kabupaten Semarang.

Menurutnya, dalam pola kemitraan ini asosiasi perusahaan membayar premium Rp 500/kg. Artinya, setelah hasil panen kopi petani dijual ke kelompok tani, pihak eksportir sanggup membeli kopi dari kelompok itu dengan selisih harga Rp 500/kg. Meski keterbatasan dana hingga kini masih menjadi kendala utama.
Pemasaran dua ribu petani yang tergabung dalam 15 kelompok tani di empat desa yakni Brongkol, Klurahan, Bedono dan Gemawang  dilakukan melalui Gapoktan Gunung Kelir. “Kami juga kurang peralatan seperti pulper, huler dan pengering. Juga masih tergantung eksportir karena belum bisa menentukan harga. Inginnya Gapoktan bisa jadi eksportir dan menentukan harga sendiri,” ungkapnya.
Sedangkan pasar utama ekspor kopi dari Jateng saat ini adalah Jepang, Amerika, Itlatia, Jerman, dan Dubai. Serta pasar potensial Korea dan China.

Moelyono menambahkan, sembilan eksportir kopi di Jateng mampu memasok kopi dengan nilai total ekspor mencapai 23 juta ton(2011). Namun kondisi tahun 2012 ini berbeda, hingga semester 1 tahun 2012 realisasinya baru mencapai tujuh juta dolar. Turun drastis karena efek cuaca tahun dua tahun lalu yang menyebabkan hasil panen menurun. “Perkiraan akan normal pada panen tahun depan  dengan catatan bulan September ini sudah mulai hujan. Kalau tidak maka akan jeblok lagi. Turun lagi.”

Beralih
Tren pertumbuhan konsumsi kopi dalam negeri yang terus naik 6-8 persen pertahun membuat eksportir kopi makin terjepit sehingga mulai membidik pasar lokal.
“Padahal pasar lokal kurang dilirik tapi konsumsi dalam negeri tahun lalu mencapai 3,5 juta karung. Prediksi naik karena anak muda yang gemar minum kopi bertambah,” ujar lelaki yang sudah 20 tahun berkecimpung dalam bisnis kopi. 

Menurutnya, menggarap pasar lokal dinilai lebih menguntungkan daripada pasar luar negeri yang harganya jauh lebih mahal 20-30 persen daripada harga ekspor. “Harga kopi luar  negeri 2.040 dolar amerika sedangkan kopi dalam negeri 2.250 dolar per-ton.”

Karena itu untuk menghadapi permasalahan ini, pemerintah perlu melakukan intensifikasi produk kopi di Indonesia yang saat ini produksinya rata-rata hanya 1-1,2 ton per hektar. “Vietnam bisa mencapai 2,8 ton per ha. Semua itu tergantung pada treatment. Apalagi dua tahun lalu Vietnam mengembangkan varietas baru dengan produktivitas mencapai 6 ton per ha.”

Sementara itu, PT Taman Delta Indonesia sejak setahun terakhir merintis produksi kopi asal Jateng. Ada tiga varian yakni Java Mocha, Java Arabika dan Java Blend.“Java mocha seperti kopi dari Ethiopia. Padahal itu kopi dari Kabupaten Semarang. Kami mencoba mengenalkan produk lokal untuk mengembalikan kejayaan kopi dari Jawa,” lanjut lelaki mencicipi hampir semua jenis kopi dari belahan dunia ini.

Kopi ini sudah merambah restoran dan  kafe dan pusat oleh-oleh khas Semarang.” Beberapa kafe di Semarang dan resto mengambil kopi dari Illy, Lavasta, Segafreto Italia dan Swiss. Mereka impor padahal sebenarnya banyak kopi lokal kualitasnya bagus. Produk kita harga dan kualitasnya juga kompetitif.”
“Kami mengenalkan konsep freash roast, order baru diracik untuk mendapatkan bubuk kopi dengan kondisi optimal,”imbuh Hardjano Tjandra, pemilik The Blue Lotus Coffe House Semarang.

Menurutnya, hasil panen kopi tiap tahun juga membedakan rasa. Ini bisa terdeteksi dari bijinya. Karena itu panen tiap tahun perlakuan terhadap biji kopi beda. “Kopi terbaik itu relatif karena tiap kopi itu punya ciri khas istimewa. Jadi harus mempunyai pengetahuan untuk menghasilkan produk kopi yang optimal,” imbuh Chief Barista ini.

Program sertifikasi produk untuk menghadapi pasar kopi tahun 2015 tengah disiapkan. Apalagi jika kopi ini akan diekspor ke Eropa. “Ketika bicara black coffee pasti Indonesia karena kopi terbaik ada di sini.”
Ya, dari 10 kopi terbaik dunia, tiga diantaranya  ada di Indonesia yakni Mandheiling, Java Arabika dan Kalosi Toraja. 

Jadi, pekerjaan rumah sekarang ini adalah memotivasi dan mengubah mindset petani untuk inovasi dan menunjukkan bahwa Jawa  mempunyai biji kopi terbaik di dunia. Seperti pada masa sebelum Perang Dunia II, saat Jawa Tengah mempunyai jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi dan rempah-rempah ke Semarang yang kemudian diangkut dengan kapal laut menuju Eropa untuk dinikmati menjadi minuman kopi yang paling dicari. 

Noni Arnee