Jepara, JAWA
TENGAH – Masih
maraknya perdagangan telur dan konsumsi daging penyu membuat program konservasi
satwa langka tersebut sulit dilakukan. Namun, dengan melibatkan nelayan
setempat sebagai pelaku utama konservasi, seperti halnya di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara,
Jawa Tengah, penyelamatan
penyu dapat berjalan.
Program
konservasi penyu di Karimunjawa dimulai
sejak tahun 2003 ketika tim Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) melakukan pendataan keanekaragaman
hayati di wilayah
Taman Nasional Karimunjawa yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada
tahun 1999.
Saat
melakukan pendataan, petugas BTNKJ menemukan
bahwa masyarakat setempat memperdagangkan telur dan mengkonsumsi daging penyu.
“Kami lihat telur penyu di jual bebas di warung dan
pasar. Telur dan daging penyu dimakan. Kami telusuri dari mana asal telur,
tanya warga, nelayan dan cek ke lapangan berharap menjumpai penyu bertelur,
bekas sarang penyu, sisa telur penyu bekas biawak. Semua didata,” jelas Sutris Haryanta, Kepala Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa, kepada Ekuatorial
akhir September lalu.
Sutris,
yang saat itu masih menjadi polisi hutan mengatakan, Karimunjawa merupakan kawasan penting bagi penyu karena menjadi
lokasi pantai peneluran (nesting beach), tempat mencari makan (feeding place) dan berkembangbiak.
Berdasarkan karakter habitat, pantai peneluran, bekas
sarang dan telur menetas, penyu sisik (Eretmochelys imbricata) lebih banyak ditemukan di kawasan
konservasi Laut Karimunjawa.
Sementara,
penyu lainnya, seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu lekang (Lepodichelys olivaceae), jumlahnya tidak signifikan.
“Iya, khususnya penyu sisik, nelayan sering menjumpai penyu remaja sedang mencari
makan, dewasa bertelur, dan kawin. Tidak semua tempat bisa jadi ketiga
aktivitas tersebut,” kata Sutris menambahkan mereka membutuhkan waktu
tiga bulan untuk melakukan pendataan.
Odang (Red:
bukan nama sebenarnya), salah
satu warga Desa
Kemujan, Karimunjawa mengatakan, nelayan
Karimunjawa biasa menjual dan memakan telur penyu. Selain itu, daging penyu juga dimanfaatkan sebagai syarat ritual, misalnya
sesaji acara selapanan (Red:
memperingati hari kelahiran anak selang 35 hari).
“Dulu ngambil
dan dijual ke tengkulak Rp1000 per butir. Dagingnya bikin tubuh hangat, bikin
orang penasaran akhirnya makan. Sembelih juga kalau ada acara. Sekarang sudah
tahu dan sadar karena ada sosialisasi kalau penyu dilindungi, tapi masih ada
yang curi-curi,” jelas Odang yang mengaku pernah makan
daging penyu sisik.
Khawatir
dengan keberadaan penyu di Karimunjawa, terutama dengan ancaman perburuan, maka petugas BTNKJ pun berinisiatif melanjutkan aksi perlindungan
penyu dengan merintis program konservasi penyu di tahun 2003.
“Awalnya dibiarkan menetas alami tapi ketika dicek
telur-telur lenyap. Nelayan mencari ikan kemana-mana, istirahat dan berlindung
dari cuaca buruk di pulau nemu
sarang, diambil telurnya dibawa pulang di konsumsi. Sedih sekali kecolongan terus. Akhirnya, [nelayan]
didekati
pelan-pelan kalau nemu telur jangan
diambil tapi lapor petugas diambil sama-sama untuk ditetaskan,” kata Sutris.
Ia
mengatakan para nelayan dilibatkan dalam upaya konservasi penyu karena daya jelajah dan insting yang
kuat untuk mengidentifikasi keberadaan sarang penyu serta karakter lokasi
peneluran.
Sepuluh
nelayan pun bergabung dalam Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa sejak tahun
2003 untuk upaya konservasi ini. Hingga kini, total ada 45 nelayan yang
membantu petugas mengevakuasi telur penyu di pantai peneluran yang tersebar di
22 pulau di kawasan konservasi laut Karimunjawa.
“Karena satwa dilindungi kami fokus pada penetasan,
kami yang menyelesaikan penetasan dengan bantuan nelayan. Tapi, tidak semua aktif karena keterlibatan ini tidak
mengikat. Data BTNKJ, 63 nelayan telah melaporkan temuan sarang penyu,” katanya.
Ia
melanjutkan bahwa awalnya nelayan menolak karena memilih menjual dan
mengkonsumsi telur penyu ketimbang melaporkan hasil temuannya, sehingga BTNKJ
pun menyiasati dengan mengalokasikan anggaran evakuasi sarang berupa uang ganti
bahan bakar solar dengan pola pembayaran langsung.
“Nelayan berpikir praktis nemu 200 telur dijual laku Rp 200 ribu atau dikonsumsi. Kami tidak
bisa ganti uang dengan menghitung sejumlah telur temuan, itu artinya membeli.
Jadi, solusinya ganti solar,” jelasnya.
Besaran
disesuaikan dengan jarak tempuh pengambilan telur, Rp150 ribu untuk jarak
terdekat seperti Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil, Rp350 ribu
untuk jarak menengah seperti Pulau Krakal dan Pulau Geleang, hingga Rp500 ribu
untuk jarak jauh, seperti Pulau Katang yang memerlukan dua jam perjalanan.
Nelayan yang mengevakuasi telur penyu dari pantai
peneluran pun dibekali
pengetahuan dan ketrampilan khusus teknik pemindahan dan membawa telur dari
sarang.
“Mindahin telur nggak sembarangan, butuh 2 jam lebih.
Kalau nggak sabar, hati-hati dan telaten bisa gagal semua,” kata Matobi’in, Ketua Kelompok
Pelestari Penyu Karimunjawa, yang bergabung sejak tahun 2004.
Ia
pun mengaku mengkonsumsi telur dan daging penyu sebelum mengetahui bahwa hal tersebut dilarang oleh
undang-undang.
“Dulu awam undang-undang belum tahu ada larangan, ya
saya makan telur dan daging penyu, Itu biasa di sini. Kalau ke pulau nemu telur bawa pulang. Ambil penyu
ukuran 50 sentimeter
mudah. Laut juga rusak, cari ikan pakai potasium (racun ikan),”
jelasnya.
Seiring
waktu, ia pun menyadari
nelayan merupakan ujung tombak konservasi.
“Kalau penyu habis gimana
nanti anak cucu tanya kok nggak ada
penyu lagi. Dari situ timbul pikiran ikut melindungi. Sekarang penyu mulai
banyak lagi. Saya mau melestarikan penyu agar anak cucu bisa melihat penyu di
sini,” imbuhnya.
Sulitnya Penetasan Telur Penyu
Luasnya persebaran pantai peneluran penyu dan
rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pelestarian penyu, khususnya penyu sisik yang masuk kategori sangat
terancam punah menjadi tantangan besar program konservasi penyu di Taman
Nasional Karimunjawa selama 15 tahun terakhir.
Susi Sumaryati,
anggota tim konservasi penyu dan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BTNKJ, mengatakan tingkat
keberhasilan model penetasan semi alami dipengaruhi oleh proses evakuasi telur, kualitas telur dan faktor alam
atau cuaca.
Tim
konservasi kemudian membangun Penetasan Semi Alami (PSA) di tahun 2004 dengan meminjam lahan
milik warga setempat di Pulau Menjangan Besar, sebelum dipindahkan ke Legon
Jaten yang berada di zona pemanfaatan Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada
tahun 2013.
PSA
tersebut mengadopsi metode konservasi penyu yang telah diterapkan oleh Taman
Nasional Meru Betiri dan Alas Purwo di Jawa Timur.
Namun, konservasi
penyu di Karimunjawa memiliki
tantangan berbeda, antara lain luasnya persebaran pantai
peneluran, keterbatasan petugas, hingga memprediksi waktu bertelur dan menjaga
hingga menetas.
“Kami tidak tahu kapan bertelur, kecuali identifikasi jejak baru. Bisa jadi dua hari atau seminggu baru ditemukan nelayan. Pagi nemu, siang diambil dan butuh perjalanan
jauh. Cuaca buruk bisa lebih lama dan getaran di perahu lebih besar,” jelas
Susi.
Kegagalan penetasan telur penyu di PSA Legon Janten, tambahnya, dipengaruhi oleh kelembaban, suhu sarang
buatan dan tempat penyimpanan telur yang aman dari goncangan.
“Kami modifikasi ember cat berukuran 25 kilogram yang
disterilkan semirip sarang asli. Bagian dinding dilubangi. Sepertiga bagian
diisi pasir, [lalu] telur dipindah
ke ember persis seperti ketika berada di dalam sarang dan ditutup pasir hingga
dua lapis untuk mereduksi getaran,” jelas Susi.
Ia
menambahkan setiap ember diberi tanda berdasarkan jumlah, waktu dan lokasi
penemuan telur. Dalam satu sarang, lanjutnya, menampung dua hingga tiga ember
berisikan 50-70 telur.
Selain
melakukan penetasan semi alami, tim konservasi penyu juga berupaya
menyelamatkan penyu hasil sitaan atau terjaring nelayan, serta merawat penyu
terdampar untuk dilepasliarkan.
“Kami [pernah] evakuasi penyu
sisik yang dipelihara warga selama satu tahun dan diberi makan nasi. [Penyu tersebut] ditaruh di
pantai tidak mau ke laut karena terkontaminasi air tawar. Dilatih beradaptasi
perekaman terhadap laut. Kami beri nama “Marinem” dengan tagging ID 3372,”
jelas Susi.
Berdasarkan
data BTNKJ tahun 2003-18, sebanyak 121 ekor penyu sudah ditagging dan 698 sarang penyu dengan total 87.396 telur ditemukan.
Dari temuan tersebut, hanya 43.671 telur berhasil menetas.
Sementara,
pada tahun 2018, sebanyak 72 sarang dengan 8.046 telur ditemukan, dengan 3.240
telur berhasil ditetaskan.
“Ada peningkatan tiap tahun, makin banyak sarang yang
ditemukan. Ini pertanda baik. Tapi, tingkat
penetasan masih 45-50 persen karena semua
laporan temuan telur apapun kondisinya digabungkan. Itu data riil, harus jujur
ada kegagalan,” tandas Susi
menambahkan mereka menargetkan adanya peningkatan populasi penyu hingga dua
persen pada tahun 2019.
Meningkatkan
Kesadaran Masyarakat
Meski
penetasan penyu masih belum memperlihatkan peningkatan, namun perilaku
masyarakat setempat sudah menunjukkan adanya perubahan terhadap konservasi
penyu di Karimunjawa.
Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman
Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa
mengatakan mereka melakukan pendekatan persuasif terhadap nelayan setempat
selama 15 tahun belakangan untuk bisa berpartisipasi dalam konservasi penyu.
“Nelayan hanya dibekali ember bisa evakuasi sendiri.
Kami sangat percaya dan bergantung dengan nelayan sebagai patroller. Persuasif-lah yang
sembelih penyu diingatkan, riskan kalau frontal. Tegas tapi perhitungan jangan
sampai yang dibangun 15 tahun hancur, [hingga saat ini] belum ada law enforment. Dulu tahu-nya enak dimakan,
dianggap hama. Sekarang bersedia lapor itu bentuk partisipasi luar biasa meski
ada yang ngumpet nemu telur direbus,” jelas
Sutris.
Selain
itu, mulai Agustus 2006, tim BTNKJ juga mendekati pedagang yang menjual suvenir berbahan karapas (Red :
cangkang) penyu seperti gelang, cincin dan hiasan dinding di kawasan wisata
Karimunjawa.
“Karapas penyu sisik bagus sekali dijadikan suvenir.
Kami datangi pengrajin dan pedagang, mendata stok suvenir berbahan penyu. Dalam
enam bulan masih tersisa disita, dimusnahkan dan kami
ganti suvenir lain yang
bisa dijual. Hasilnya, di tahun 2007 nyaris tidak ada souvenir dari karapas
penyu,” ungkap Sutris.
I
Made Jaya Ratha, pemerhati dan peneliti penyu, mengatakan bahwa edukasi
masyarakat dan pemangku kebijakan menjadi kunci upaya konservasi penyu.
“Mati-matian
menyelamatkan dan melindungi, ternyata di sisi lain masih dimakan, terumbu
karang,
lumbung pakan rusak, pariwisata tidak ramah lingkungan, laut banyak sampah,
atau hanya jaga pantainya saja. Ya, tidak bisa maksimal,” tandas I
Made. (non)