Pages

Tampilkan postingan dengan label langka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label langka. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Desember 2019

Nelayan Karimunjawa Bergerak Melestarikan Penyu Langka

Jepara, JAWA TENGAH – Masih maraknya perdagangan telur dan konsumsi daging penyu membuat program konservasi satwa langka tersebut sulit dilakukan. Namun, dengan melibatkan nelayan setempat sebagai pelaku utama konservasi, seperti halnya di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, penyelamatan penyu dapat berjalan.

Program konservasi penyu di Karimunjawa dimulai sejak tahun 2003 ketika tim Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) melakukan pendataan keanekaragaman hayati di wilayah Taman Nasional Karimunjawa yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 1999.
Saat melakukan pendataan, petugas BTNKJ menemukan bahwa masyarakat setempat memperdagangkan telur dan mengkonsumsi daging penyu.

“Kami lihat telur penyu di jual bebas di warung dan pasar. Telur dan daging penyu dimakan. Kami telusuri dari mana asal telur, tanya warga, nelayan dan cek ke lapangan berharap menjumpai penyu bertelur, bekas sarang penyu, sisa telur penyu bekas biawak. Semua didata,” jelas Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa, kepada Ekuatorial akhir September lalu.

Sutris, yang saat itu masih menjadi polisi hutan mengatakan, Karimunjawa merupakan kawasan penting bagi penyu karena menjadi lokasi pantai peneluran (nesting beach), tempat mencari makan (feeding place) dan berkembangbiak.

Berdasarkan karakter habitat, pantai peneluran, bekas sarang dan telur menetas, penyu sisik (Eretmochelys imbricata) lebih banyak ditemukan di kawasan konservasi Laut Karimunjawa.
Sementara, penyu lainnya, seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu lekang (Lepodichelys olivaceae), jumlahnya tidak signifikan.
“Iya, khususnya penyu sisik, nelayan sering menjumpai penyu remaja sedang mencari makan, dewasa bertelur, dan kawin. Tidak semua tempat bisa jadi ketiga aktivitas tersebut,” kata Sutris menambahkan mereka membutuhkan waktu tiga bulan untuk melakukan pendataan.

Odang (Red: bukan nama sebenarnya), salah satu warga Desa Kemujan, Karimunjawa mengatakan, nelayan Karimunjawa biasa menjual dan memakan telur penyu. Selain itu, daging penyu juga dimanfaatkan sebagai syarat ritual, misalnya sesaji acara selapanan (Red: memperingati hari kelahiran anak selang 35 hari).
“Dulu ngambil dan dijual ke tengkulak Rp1000 per butir. Dagingnya bikin tubuh hangat, bikin orang penasaran akhirnya makan. Sembelih juga kalau ada acara. Sekarang sudah tahu dan sadar karena ada sosialisasi kalau penyu dilindungi, tapi masih ada yang curi-curi,” jelas Odang yang mengaku pernah makan daging penyu sisik.

Khawatir dengan keberadaan penyu di Karimunjawa, terutama dengan ancaman perburuan, maka petugas BTNKJ pun berinisiatif melanjutkan aksi perlindungan penyu dengan merintis program konservasi penyu di tahun 2003.
“Awalnya dibiarkan menetas alami tapi ketika dicek telur-telur lenyap. Nelayan mencari ikan kemana-mana, istirahat dan berlindung dari cuaca buruk di pulau nemu sarang, diambil telurnya dibawa pulang di konsumsi. Sedih sekali kecolongan terus. Akhirnya, [nelayan] didekati pelan-pelan kalau nemu telur jangan diambil tapi lapor petugas diambil sama-sama untuk ditetaskan,” kata Sutris.
Ia mengatakan para nelayan dilibatkan dalam upaya konservasi penyu karena daya jelajah dan insting yang kuat untuk mengidentifikasi keberadaan sarang penyu serta karakter lokasi peneluran.

Sepuluh nelayan pun bergabung dalam Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa sejak tahun 2003 untuk upaya konservasi ini. Hingga kini, total ada 45 nelayan yang membantu petugas mengevakuasi telur penyu di pantai peneluran yang tersebar di 22 pulau di kawasan konservasi laut Karimunjawa.
“Karena satwa dilindungi kami fokus pada penetasan, kami yang menyelesaikan penetasan dengan bantuan nelayan. Tapi, tidak semua aktif karena keterlibatan ini tidak mengikat. Data BTNKJ, 63 nelayan telah melaporkan temuan sarang penyu, katanya.

Ia melanjutkan bahwa awalnya nelayan menolak karena memilih menjual dan mengkonsumsi telur penyu ketimbang melaporkan hasil temuannya, sehingga BTNKJ pun menyiasati dengan mengalokasikan anggaran evakuasi sarang berupa uang ganti bahan bakar solar dengan pola pembayaran langsung.
“Nelayan berpikir praktis nemu 200 telur dijual laku Rp 200 ribu atau dikonsumsi. Kami tidak bisa ganti uang dengan menghitung sejumlah telur temuan, itu artinya membeli. Jadi, solusinya ganti solar,” jelasnya.

Besaran disesuaikan dengan jarak tempuh pengambilan telur, Rp150 ribu untuk jarak terdekat seperti Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil, Rp350 ribu untuk jarak menengah seperti Pulau Krakal dan Pulau Geleang, hingga Rp500 ribu untuk jarak jauh, seperti Pulau Katang yang memerlukan dua jam perjalanan.

Nelayan yang mengevakuasi telur penyu dari pantai peneluran pun dibekali pengetahuan dan ketrampilan khusus teknik pemindahan dan membawa telur dari sarang.
“Mindahin telur nggak sembarangan, butuh 2 jam lebih. Kalau nggak sabar, hati-hati dan telaten bisa gagal semua,” kata Matobi’in, Ketua Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa, yang bergabung sejak tahun 2004.

Ia pun mengaku mengkonsumsi telur dan daging penyu sebelum mengetahui bahwa hal tersebut dilarang oleh undang-undang.
“Dulu awam undang-undang belum tahu ada larangan, ya saya makan telur dan daging penyu, Itu biasa di sini. Kalau ke pulau nemu telur bawa pulang. Ambil penyu ukuran 50 sentimeter mudah. Laut juga rusak, cari ikan pakai potasium (racun ikan), jelasnya.

Seiring waktu, ia pun menyadari nelayan merupakan ujung tombak konservasi.
“Kalau penyu habis gimana nanti anak cucu tanya kok nggak ada penyu lagi. Dari situ timbul pikiran ikut melindungi. Sekarang penyu mulai banyak lagi. Saya mau melestarikan penyu agar anak cucu bisa melihat penyu di sini,” imbuhnya.

Sulitnya Penetasan Telur Penyu
Luasnya persebaran pantai peneluran penyu dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pelestarian penyu, khususnya penyu sisik yang masuk kategori sangat terancam punah menjadi tantangan besar program konservasi penyu di Taman Nasional Karimunjawa selama 15 tahun terakhir.

Susi Sumaryati, anggota tim konservasi penyu dan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BTNKJ, mengatakan tingkat keberhasilan model penetasan semi alami dipengaruhi oleh proses evakuasi telur, kualitas telur dan faktor alam atau cuaca.
Tim konservasi kemudian membangun Penetasan Semi Alami (PSA) di tahun 2004 dengan meminjam lahan milik warga setempat di Pulau Menjangan Besar, sebelum dipindahkan ke Legon Jaten yang berada di zona pemanfaatan Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada tahun 2013.
PSA tersebut mengadopsi metode konservasi penyu yang telah diterapkan oleh Taman Nasional Meru Betiri dan Alas Purwo di Jawa Timur.

Namun, konservasi penyu di Karimunjawa memiliki tantangan berbeda, antara lain luasnya persebaran pantai peneluran, keterbatasan petugas, hingga memprediksi waktu bertelur dan menjaga hingga menetas.
“Kami tidak tahu kapan bertelur, kecuali identifikasi jejak baru. Bisa jadi dua hari atau seminggu baru ditemukan nelayan. Pagi nemu, siang diambil dan butuh perjalanan jauh. Cuaca buruk bisa lebih lama dan getaran di perahu lebih besar,” jelas Susi.

Kegagalan penetasan telur penyu di PSA Legon Janten, tambahnya, dipengaruhi oleh kelembaban, suhu sarang buatan dan tempat penyimpanan telur yang aman dari goncangan.
“Kami modifikasi ember cat berukuran 25 kilogram yang disterilkan semirip sarang asli. Bagian dinding dilubangi. Sepertiga bagian diisi pasir, [lalu] telur dipindah ke ember persis seperti ketika berada di dalam sarang dan ditutup pasir hingga dua lapis untuk mereduksi getaran,” jelas Susi.

Ia menambahkan setiap ember diberi tanda berdasarkan jumlah, waktu dan lokasi penemuan telur. Dalam satu sarang, lanjutnya, menampung dua hingga tiga ember berisikan 50-70 telur.
Selain melakukan penetasan semi alami, tim konservasi penyu juga berupaya menyelamatkan penyu hasil sitaan atau terjaring nelayan, serta merawat penyu terdampar untuk dilepasliarkan.
“Kami [pernah] evakuasi penyu sisik yang dipelihara warga selama satu tahun dan diberi makan nasi. [Penyu tersebut] ditaruh di pantai tidak mau ke laut karena terkontaminasi air tawar. Dilatih beradaptasi perekaman terhadap laut. Kami beri nama “Marinem” dengan tagging ID 3372,” jelas Susi.

Berdasarkan data BTNKJ tahun 2003-18, sebanyak 121 ekor penyu sudah ditagging dan 698 sarang penyu dengan total 87.396 telur ditemukan. Dari temuan tersebut, hanya 43.671 telur berhasil menetas.
Sementara, pada tahun 2018, sebanyak 72 sarang dengan 8.046 telur ditemukan, dengan 3.240 telur berhasil ditetaskan.
“Ada peningkatan tiap tahun, makin banyak sarang yang ditemukan. Ini pertanda baik. Tapi, tingkat penetasan masih 45-50 persen karena semua laporan temuan telur apapun kondisinya digabungkan. Itu data riil, harus jujur ada kegagalan,” tandas Susi menambahkan mereka menargetkan adanya peningkatan populasi penyu hingga dua persen pada tahun 2019.

Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
Meski penetasan penyu masih belum memperlihatkan peningkatan, namun perilaku masyarakat setempat sudah menunjukkan adanya perubahan terhadap konservasi penyu di Karimunjawa.

Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa mengatakan mereka melakukan pendekatan persuasif terhadap nelayan setempat selama 15 tahun belakangan untuk bisa berpartisipasi dalam konservasi penyu.
“Nelayan hanya dibekali ember bisa evakuasi sendiri. Kami sangat percaya dan bergantung dengan nelayan sebagai patroller. Persuasif-lah yang sembelih penyu diingatkan, riskan kalau frontal. Tegas tapi perhitungan jangan sampai yang dibangun 15 tahun hancur, [hingga saat ini] belum ada law enforment. Dulu tahu-nya enak dimakan, dianggap hama. Sekarang bersedia lapor itu bentuk partisipasi luar biasa meski ada yang ngumpet nemu telur direbus, jelas Sutris.

Selain itu, mulai Agustus 2006, tim BTNKJ juga mendekati pedagang yang menjual suvenir berbahan karapas (Red : cangkang) penyu seperti gelang, cincin dan hiasan dinding di kawasan wisata Karimunjawa.
“Karapas penyu sisik bagus sekali dijadikan suvenir. Kami datangi pengrajin dan pedagang, mendata stok suvenir berbahan penyu. Dalam enam bulan masih tersisa disita, dimusnahkan dan kami ganti suvenir lain yang bisa dijual. Hasilnya, di tahun 2007 nyaris tidak ada souvenir dari karapas penyu,” ungkap Sutris.

I Made Jaya Ratha, pemerhati dan peneliti penyu, mengatakan bahwa edukasi masyarakat dan pemangku kebijakan menjadi kunci upaya konservasi penyu.
“Mati-matian menyelamatkan dan melindungi, ternyata di sisi lain masih dimakan, terumbu karang, lumbung pakan rusak, pariwisata tidak ramah lingkungan, laut banyak sampah, atau hanya jaga pantainya saja. Ya, tidak bisa maksimal,” tandas I Made. (non)

Kamis, 12 April 2012

Bertemu Kumbo di Schmutzer





” Wah, seperti di film Jurastic Park!” anak laki-laki disebelah saya menyipitkan matanya dari terik matahari sambil tengadah di pintu gerbang berbentuk kubah kuning keemasan yang menjulang tinggi dihadapannya.
Selain wahana dan koleksi primata, pintu gerbang yang mengingatkan pengunjung pada pintu gerbang taman jurastik di film garapan Steven Spielberg ini memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pusat primata terbesar di dunia yang lokasinya menyatu dengan komplek  Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta Selatan. 

Pusat Primata Schmutzer bukanlah kebun binatang biasa, karena di tempat ini pengunjung dipastikan mendapat pengetahuan lengkap tentang primata di dunia termasuk gorila hitam Afrika yang notabenenya bukan primata asli Indonesia, tapi dipercaya pemeliharaannya di tempat ini  untuk ditangkarkan dan diteliti keberadaannya.

Karena itu, saya pun tak sabar memasuki gerbang besar dengan tangga berundak yang kiri kanannya penuh dengan pohon akar menjuntai yang dijaga patung gorila berukuran empat kali tubuh orang dewasa. Patung itu sangat mirip sekali dengan wujud gorila asli yang berada diantara panel-panel berisi informasi lengkap tentang primata dunia.

Tapi, beda ketika memasuki dan menyaksikan aneka satwa di Taman Margasatwa Ragunan alias kebun binatang Ragunan yang bebas membawa bekal makanan. Jangan harap bisa membawa tas ransel penuh makanan karena di sebelah loket pintu masuk ke Pusat Primata Schmutzer, terpampang jelas  tulisan besar berisi larangan membawa makanan, minuman, rokok dan korek api, tas berukuran besar, jaket, senjata api, senjata tajam, bahkan mainan anak sekalipun. Barang bawaan  harus di titipkan di loker yang tersedia dan dapat diambil kembali ketika keluar. Dan jangan pernah coba-coba nekad menyelipkan barang-barang larangan itu karena petugas khusus akan memeriksa satu persatu pengunjung yang masuk. Sebanyak  68 kamera pemantau juga tersebar di setiap sudut untuk melindungi satwa dari tangan jahil para pengunjung. 
Wajar saja, pemberlakukan keamanan yang cukup ketat ini bertujuan untuk menghindari ulah iseng pengunjung yang memberi makan binatang.  Lokasi ini juga sangat dijaga kebersihannya. Bahkan cukup banyak petugas yang bersliweran memperhatikan para pengunjung.

***
Ketika memasuki kubah raksasa itu, tubuh saya sesekali harus menyibak akar-akar yang menjuntai.  Tumbuhan akar yang ada di sekeliling dan tiap sudut bangunan utama seakan membawa saya seperti berada di hutan. Gorilla Walk sudah menanti saya didepan sana. Dinamakan demikian karena begitu memasuki gerbang, pengunjung akan menyusuri jembatan khusus di atas kandang gorila yang biasa disebut enklosur (kandang yang dibuat mirip  habitat asli binatang). Dari jembatan inilah saya  leluasa melihat aktivitas gorila dari ketinggian tanpa harus terbang ke Afrika..hehee

Tepatnya, cukup harus  membayar tiket masuk seharga lima  ribu rupiah untuk dewasa di luar tiket masuk Taman Margasatwa Ragunan seharga Rp 4.500 (plus asuransi). Saya dapat menjelajah tempat seluas 6,2 hektar  yang dibuka setiap hari, pukul 09.00-16.00WIB,

Di sepanjang jembatan ini juga tersedia kursi untuk melihat pemandangan ke bawah, beberapa ubin dari kuningan  berukiran wajah-wajah primata dan panel yang di pajang berderet foto aneka jenis spesies primata disertai keterangan tentang asal,  nama, habitat, makanan hingga status mereka yang sebagian besar terancam punah. Gorila-gorila yang ada di pusat primata ini juga dinamai seperti  Komu dan Kumbo.

Disini juga tertulis kepanjangan dari akronim GORILA, yang berisi trivia tentang Gorila,  yang menjelaskan bahwa gorila di Pusat Primata Schmutzer adalah jenis yang hidup di hutan dataran rendah di Afrika dan  sering disebut King Kong. Cirinya   berambut  keperakan (silver black) di punggungnya. Gorila merupakan salah satu kera terbesar di dunia yang habitatnya terancam hilang karena perburuan ilegal untuk dikonsumsi dagingnya, dan penyakit seperti Ebola.

***
Untuk melihat gorila dari jarak dekat, saya turun dari  Gorilla Walk, dan mendekati enklosur. Di kandang terbuka ini  terdapat empat gorila jantan yang  didatangkan dari Kebun Binatang Howlettes dan Port Lympne, Inggris.

Dan sepeminum teh  saya duduk di kursi taman disekitar enklosur yang sejuk, saya melihat benda hitam bergerak-gerak dan berjalan dengan kedua kaki dan tangannya. Tepat di depan saya Kumbo  berhenti dan duduk seperti sedang memperhatikan sesuatu. Saya sempat terperanggah karena bisa menyaksikan gorila seberat 200 kilogam lebih yang biasa hidup di hutan dataran rendah di Afrika dengan  jarak pandang 10 meter tanpa  harus masuk keluar hutan. Luar biasa..

Puas menyaksikan tingkah laku Kumbo dari enklosur gorila, saya berjalan mengelilingi kawasan ini. Ada beberapa kandang primata lain seperti Ungko, Owa Jawa, Wau-wau, Kera Hitam Sulawesi, Digo, Boti, Kelawat, dan Siamang. Kandang-kandang ini ada yang berupa kerangkeng besi, ada juga yang berupa kerangkeng besi dengan kaca. Enklosur Simpanse, primata tercerdas dikolam dengan ”pulau” ditengahnya. Kemudian terowongan Orangutan yang   mengelilingi enklosur Orangutan yang dapat dilihat dari balik kaca, hingga tembus ke jembatan kanopi dimana kita bisa berjalan di atas jembatan yang dipasang di atas pohon. Di tempat ini juga terdapat fasilitas lainnya seperti  jembatan cantilever dan playground.

Fasilitas untuk satwa di Pusat Primata Schmutzer yang awalnya dikelola The Gibbon Foundation, pimpinan Dr. Willie Smits ini memang dibuat se-alami mungkin seperti habitat aslinya dengan koleksi hewan primata sekitar 25 spesies dari lima famili  ordo primata di dunia yang berasal dari dalam dan luar negeri. Hampir semua primata yang terdapat di lokasi ini merupakan primata yang dilindungi dan  beberapa diantaranya merupakan hasil sitaan atau serahan dari masyarakat.

Saya tak perlu khawatir berada dan mengelilingi kawasan ini karena di banyak sudut di tempat ini tersedia kursi taman untuk istirahat. Suasanapun dijamin teduh dengan 84 jenis pepohonan yang ditanam di kawasan ini. Serasa di hutan tapi tetap nyaman. Jika haus saya cukup minum di pancuran air minum ”niagara” gratis yang tersedia di banyak titik. Tinggal pencet saja air minum seperti air mancur akan keluar otomatis dan saya tinggal menikmati kesegarannya. Namun sayang, ada beberapa fasilitas air minum ini tak bisa digunakan karena rusak.

Pusat primata ini tidak hanya mengoleksi hewan primata, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan konservasi lingkungan hidup. Karena itu belum lengkap rasanya berkeliling jika tidak menyambangi museum dan gedung theater yang memutar film dokumenter tentang kehidupan primata. Lokasinya menyatu di sebelah kiri pintu gerbang kubah. Di sini dipamerkan berbagai miniatur primata lengkap dengan penjelasannya yang bisa menjadi wahana edukasi anak. Juga souvenir khas yang bisa dibeli seperti t-shirt bergambar gorila atau satwa lain dan mug.

Oh ya, seperti halnya manusia gorila disini juga makan sehari tiga kali. Jadi jika berkunjung pada jam memberi makan pada pukul 09.00, 12.00 dan pukul 15.00WIB pengunjung dapat menyaksikan petugas memberi makan primata ini di sekitaran enklosur.

Yang menarik, ditempat ini banyak sekali poster maupun karikatur ajakan dan  cermin besar bertuliskan, “ayo, jadi sahabat primata!”, yang berarti ajakan kepada diri kita ketika berdiri di atas cermin tersebut untuk berpartisipasi melestarikan hewan yang terancam punah ini.

--> Puck, Sang Bunda Primata

Kesederhanaan terpancar dari raut wajah bulat perempuan berambut putih belah tengah itu. Meski kanan kirinya diapit gorila dan orangutan, senyumnya nampak sumringah dengan bayi dalam gendongan. Bahkan dibalik rerimbunan pohon, sesekali ia terlihat  tengah mencium bayi orangutan berbulu coklat itu dengan kasih sayang.

Yang jelas perempuan itu bukan pawang gorila atau induk orangutan yang menjadi tontonan dan bagian dari atraksi, meski  ketika berada di Pusat Primata Schmutzer wajahnya nongol dibeberapa sudut areal Schmutzer dan museum. Perempuan yang tergambar dalam bentuk lukisan dan foto terpampang dalam berbagai ukuran  adalah nyonya Pauline. Siapa dia?

Ya, Pusat Primata Schmutzer ini memang tak bisa lepas dari perempuan bernama Pauline Adeline Antoinette Veersteegh. Ia adalah penggagas dan penyandang dana pembangunan pusat primata terbesar di dunia selain pusat primata yang ada di Leipzig, Jerman. Atas usaha dan tekadnya Pusat Primata Schmutzer berdiri megah di komplek Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan.

Puck Schmutzer , sapaan akrab perempuan kelahiran Wonorejo, Jawatengah ini selain punya jika seni yang tinggi dengan koleksi lukisannya, ia seorang penyayang binatang dan dermawan yang mempunyai kepedulian sangat besar pada kelestarian satwa liar yang hampir punah.

Istri pengusaha  Drs. IAM Ignace Schmutzer sering malah melintang keberbagai belahan dunia untuk misi sosial, pelestarian satwa dan lingkungan. Meski berkewarganegaraan Belanda karena dipersunting Schmutzer, tak menyurutkan keprihatinan dan kepeduliannya pada upaya konservasi terhadap primata yang terancam punah di tempat kelahirannya, Indonesia.

Melalui The Gibbon Foundation, Ia mewariskan seluruh harta warisannya untuk pembangunan dan pengelolaan Pusat Primata Schmutzer  yang diresmikan almarhum Presiden Soeharto tahun 2002 lalu dengan menghabiskan dana hingga Rp 44 miliar. Pengelolaannya kemudian  berpindah tangan ke Pemda DKI Jakarta. Puck kemudian mendapat julukan ibu primata.

Atas kecintaannya pada Indonesia, perempuan yang abu jenazahnya ditabur di atas jejak kaki harimau sumatera di kawasan Taman Nasional Berbak, Jambi ini berharap hibah yang diberikan dapat membantu masyarakat Indonesia untuk lebih menghargai dan peduli pada keindahan satwa liar Indonesia, khususnya satwa yang berada dalam ambang kepunahan seperti primata.

Sebuah gagasan besar dan mulia untuk pengembangan dan pelestarian primata yang berawal dari ingatan Puck akan sebuah petuah sederhana tapi luar biasa dari kedua orangtuanya. Ya, sebuah petuah yang juga diperuntukkan bagi kita untuk selalu menghargai dan mencintai semua ciptaan Tuhan, termasuk manusia dan satwa.
Noni Arnee


Rubrik Jalan-Jalan Harian Suara Merdeka