Pages

Tampilkan postingan dengan label climate change. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label climate change. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Desember 2019

Nelayan Karimunjawa Bergerak Melestarikan Penyu Langka

Jepara, JAWA TENGAH – Masih maraknya perdagangan telur dan konsumsi daging penyu membuat program konservasi satwa langka tersebut sulit dilakukan. Namun, dengan melibatkan nelayan setempat sebagai pelaku utama konservasi, seperti halnya di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, penyelamatan penyu dapat berjalan.

Program konservasi penyu di Karimunjawa dimulai sejak tahun 2003 ketika tim Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) melakukan pendataan keanekaragaman hayati di wilayah Taman Nasional Karimunjawa yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tahun 1999.
Saat melakukan pendataan, petugas BTNKJ menemukan bahwa masyarakat setempat memperdagangkan telur dan mengkonsumsi daging penyu.

“Kami lihat telur penyu di jual bebas di warung dan pasar. Telur dan daging penyu dimakan. Kami telusuri dari mana asal telur, tanya warga, nelayan dan cek ke lapangan berharap menjumpai penyu bertelur, bekas sarang penyu, sisa telur penyu bekas biawak. Semua didata,” jelas Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa, kepada Ekuatorial akhir September lalu.

Sutris, yang saat itu masih menjadi polisi hutan mengatakan, Karimunjawa merupakan kawasan penting bagi penyu karena menjadi lokasi pantai peneluran (nesting beach), tempat mencari makan (feeding place) dan berkembangbiak.

Berdasarkan karakter habitat, pantai peneluran, bekas sarang dan telur menetas, penyu sisik (Eretmochelys imbricata) lebih banyak ditemukan di kawasan konservasi Laut Karimunjawa.
Sementara, penyu lainnya, seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu lekang (Lepodichelys olivaceae), jumlahnya tidak signifikan.
“Iya, khususnya penyu sisik, nelayan sering menjumpai penyu remaja sedang mencari makan, dewasa bertelur, dan kawin. Tidak semua tempat bisa jadi ketiga aktivitas tersebut,” kata Sutris menambahkan mereka membutuhkan waktu tiga bulan untuk melakukan pendataan.

Odang (Red: bukan nama sebenarnya), salah satu warga Desa Kemujan, Karimunjawa mengatakan, nelayan Karimunjawa biasa menjual dan memakan telur penyu. Selain itu, daging penyu juga dimanfaatkan sebagai syarat ritual, misalnya sesaji acara selapanan (Red: memperingati hari kelahiran anak selang 35 hari).
“Dulu ngambil dan dijual ke tengkulak Rp1000 per butir. Dagingnya bikin tubuh hangat, bikin orang penasaran akhirnya makan. Sembelih juga kalau ada acara. Sekarang sudah tahu dan sadar karena ada sosialisasi kalau penyu dilindungi, tapi masih ada yang curi-curi,” jelas Odang yang mengaku pernah makan daging penyu sisik.

Khawatir dengan keberadaan penyu di Karimunjawa, terutama dengan ancaman perburuan, maka petugas BTNKJ pun berinisiatif melanjutkan aksi perlindungan penyu dengan merintis program konservasi penyu di tahun 2003.
“Awalnya dibiarkan menetas alami tapi ketika dicek telur-telur lenyap. Nelayan mencari ikan kemana-mana, istirahat dan berlindung dari cuaca buruk di pulau nemu sarang, diambil telurnya dibawa pulang di konsumsi. Sedih sekali kecolongan terus. Akhirnya, [nelayan] didekati pelan-pelan kalau nemu telur jangan diambil tapi lapor petugas diambil sama-sama untuk ditetaskan,” kata Sutris.
Ia mengatakan para nelayan dilibatkan dalam upaya konservasi penyu karena daya jelajah dan insting yang kuat untuk mengidentifikasi keberadaan sarang penyu serta karakter lokasi peneluran.

Sepuluh nelayan pun bergabung dalam Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa sejak tahun 2003 untuk upaya konservasi ini. Hingga kini, total ada 45 nelayan yang membantu petugas mengevakuasi telur penyu di pantai peneluran yang tersebar di 22 pulau di kawasan konservasi laut Karimunjawa.
“Karena satwa dilindungi kami fokus pada penetasan, kami yang menyelesaikan penetasan dengan bantuan nelayan. Tapi, tidak semua aktif karena keterlibatan ini tidak mengikat. Data BTNKJ, 63 nelayan telah melaporkan temuan sarang penyu, katanya.

Ia melanjutkan bahwa awalnya nelayan menolak karena memilih menjual dan mengkonsumsi telur penyu ketimbang melaporkan hasil temuannya, sehingga BTNKJ pun menyiasati dengan mengalokasikan anggaran evakuasi sarang berupa uang ganti bahan bakar solar dengan pola pembayaran langsung.
“Nelayan berpikir praktis nemu 200 telur dijual laku Rp 200 ribu atau dikonsumsi. Kami tidak bisa ganti uang dengan menghitung sejumlah telur temuan, itu artinya membeli. Jadi, solusinya ganti solar,” jelasnya.

Besaran disesuaikan dengan jarak tempuh pengambilan telur, Rp150 ribu untuk jarak terdekat seperti Pulau Menjangan Besar dan Pulau Menjangan Kecil, Rp350 ribu untuk jarak menengah seperti Pulau Krakal dan Pulau Geleang, hingga Rp500 ribu untuk jarak jauh, seperti Pulau Katang yang memerlukan dua jam perjalanan.

Nelayan yang mengevakuasi telur penyu dari pantai peneluran pun dibekali pengetahuan dan ketrampilan khusus teknik pemindahan dan membawa telur dari sarang.
“Mindahin telur nggak sembarangan, butuh 2 jam lebih. Kalau nggak sabar, hati-hati dan telaten bisa gagal semua,” kata Matobi’in, Ketua Kelompok Pelestari Penyu Karimunjawa, yang bergabung sejak tahun 2004.

Ia pun mengaku mengkonsumsi telur dan daging penyu sebelum mengetahui bahwa hal tersebut dilarang oleh undang-undang.
“Dulu awam undang-undang belum tahu ada larangan, ya saya makan telur dan daging penyu, Itu biasa di sini. Kalau ke pulau nemu telur bawa pulang. Ambil penyu ukuran 50 sentimeter mudah. Laut juga rusak, cari ikan pakai potasium (racun ikan), jelasnya.

Seiring waktu, ia pun menyadari nelayan merupakan ujung tombak konservasi.
“Kalau penyu habis gimana nanti anak cucu tanya kok nggak ada penyu lagi. Dari situ timbul pikiran ikut melindungi. Sekarang penyu mulai banyak lagi. Saya mau melestarikan penyu agar anak cucu bisa melihat penyu di sini,” imbuhnya.

Sulitnya Penetasan Telur Penyu
Luasnya persebaran pantai peneluran penyu dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pelestarian penyu, khususnya penyu sisik yang masuk kategori sangat terancam punah menjadi tantangan besar program konservasi penyu di Taman Nasional Karimunjawa selama 15 tahun terakhir.

Susi Sumaryati, anggota tim konservasi penyu dan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BTNKJ, mengatakan tingkat keberhasilan model penetasan semi alami dipengaruhi oleh proses evakuasi telur, kualitas telur dan faktor alam atau cuaca.
Tim konservasi kemudian membangun Penetasan Semi Alami (PSA) di tahun 2004 dengan meminjam lahan milik warga setempat di Pulau Menjangan Besar, sebelum dipindahkan ke Legon Jaten yang berada di zona pemanfaatan Balai Taman Nasional Karimunjawa, pada tahun 2013.
PSA tersebut mengadopsi metode konservasi penyu yang telah diterapkan oleh Taman Nasional Meru Betiri dan Alas Purwo di Jawa Timur.

Namun, konservasi penyu di Karimunjawa memiliki tantangan berbeda, antara lain luasnya persebaran pantai peneluran, keterbatasan petugas, hingga memprediksi waktu bertelur dan menjaga hingga menetas.
“Kami tidak tahu kapan bertelur, kecuali identifikasi jejak baru. Bisa jadi dua hari atau seminggu baru ditemukan nelayan. Pagi nemu, siang diambil dan butuh perjalanan jauh. Cuaca buruk bisa lebih lama dan getaran di perahu lebih besar,” jelas Susi.

Kegagalan penetasan telur penyu di PSA Legon Janten, tambahnya, dipengaruhi oleh kelembaban, suhu sarang buatan dan tempat penyimpanan telur yang aman dari goncangan.
“Kami modifikasi ember cat berukuran 25 kilogram yang disterilkan semirip sarang asli. Bagian dinding dilubangi. Sepertiga bagian diisi pasir, [lalu] telur dipindah ke ember persis seperti ketika berada di dalam sarang dan ditutup pasir hingga dua lapis untuk mereduksi getaran,” jelas Susi.

Ia menambahkan setiap ember diberi tanda berdasarkan jumlah, waktu dan lokasi penemuan telur. Dalam satu sarang, lanjutnya, menampung dua hingga tiga ember berisikan 50-70 telur.
Selain melakukan penetasan semi alami, tim konservasi penyu juga berupaya menyelamatkan penyu hasil sitaan atau terjaring nelayan, serta merawat penyu terdampar untuk dilepasliarkan.
“Kami [pernah] evakuasi penyu sisik yang dipelihara warga selama satu tahun dan diberi makan nasi. [Penyu tersebut] ditaruh di pantai tidak mau ke laut karena terkontaminasi air tawar. Dilatih beradaptasi perekaman terhadap laut. Kami beri nama “Marinem” dengan tagging ID 3372,” jelas Susi.

Berdasarkan data BTNKJ tahun 2003-18, sebanyak 121 ekor penyu sudah ditagging dan 698 sarang penyu dengan total 87.396 telur ditemukan. Dari temuan tersebut, hanya 43.671 telur berhasil menetas.
Sementara, pada tahun 2018, sebanyak 72 sarang dengan 8.046 telur ditemukan, dengan 3.240 telur berhasil ditetaskan.
“Ada peningkatan tiap tahun, makin banyak sarang yang ditemukan. Ini pertanda baik. Tapi, tingkat penetasan masih 45-50 persen karena semua laporan temuan telur apapun kondisinya digabungkan. Itu data riil, harus jujur ada kegagalan,” tandas Susi menambahkan mereka menargetkan adanya peningkatan populasi penyu hingga dua persen pada tahun 2019.

Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
Meski penetasan penyu masih belum memperlihatkan peningkatan, namun perilaku masyarakat setempat sudah menunjukkan adanya perubahan terhadap konservasi penyu di Karimunjawa.

Sutris Haryanta, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Karimunjawa mengatakan mereka melakukan pendekatan persuasif terhadap nelayan setempat selama 15 tahun belakangan untuk bisa berpartisipasi dalam konservasi penyu.
“Nelayan hanya dibekali ember bisa evakuasi sendiri. Kami sangat percaya dan bergantung dengan nelayan sebagai patroller. Persuasif-lah yang sembelih penyu diingatkan, riskan kalau frontal. Tegas tapi perhitungan jangan sampai yang dibangun 15 tahun hancur, [hingga saat ini] belum ada law enforment. Dulu tahu-nya enak dimakan, dianggap hama. Sekarang bersedia lapor itu bentuk partisipasi luar biasa meski ada yang ngumpet nemu telur direbus, jelas Sutris.

Selain itu, mulai Agustus 2006, tim BTNKJ juga mendekati pedagang yang menjual suvenir berbahan karapas (Red : cangkang) penyu seperti gelang, cincin dan hiasan dinding di kawasan wisata Karimunjawa.
“Karapas penyu sisik bagus sekali dijadikan suvenir. Kami datangi pengrajin dan pedagang, mendata stok suvenir berbahan penyu. Dalam enam bulan masih tersisa disita, dimusnahkan dan kami ganti suvenir lain yang bisa dijual. Hasilnya, di tahun 2007 nyaris tidak ada souvenir dari karapas penyu,” ungkap Sutris.

I Made Jaya Ratha, pemerhati dan peneliti penyu, mengatakan bahwa edukasi masyarakat dan pemangku kebijakan menjadi kunci upaya konservasi penyu.
“Mati-matian menyelamatkan dan melindungi, ternyata di sisi lain masih dimakan, terumbu karang, lumbung pakan rusak, pariwisata tidak ramah lingkungan, laut banyak sampah, atau hanya jaga pantainya saja. Ya, tidak bisa maksimal,” tandas I Made. (non)

Minggu, 13 Januari 2019

Ketika Mata Air Sendang Tak Lagi Mengalir


Oleh: Noni Arnee
Semarang, JAWA TENGAH. Sendang-sendang di Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah kehilangan air akibat perluasan pembangunan di kawasan Gunungpati yang menyebabkan krisis air. Akibatnya, warga harus mencari sumber air baru untuk memenuhi pasokan air.

“Ini Sendang Kali Bendo, airnya sejak dulu digunakan orang-orang untuk mandi, mencuci, dan memasak,” kenang Said (70), warga Kelurahan Sekaran, Gunungpati, sambil menunjuk sendang berukuran sekitar 12 meter persegi yang tertutup rumpun bambu, tak terawat dan kotor, terhimpit di belakang bangunan rumah, ruko dan sumur artesis. Lokasi sendang tersebut hanya berjarak sepuluh meter dari Jalan Raya Sekaran.

Said mengatakan bahwa air Sendang Kali Bendo jernih dan melimpah, dengan kedalaman lima meter, bahkan bisa meluap ke bibir sendang dan muncul tuk Belik, atau sumber air yang lebih kecil. Sebelum tahun 2000, air dari sendang menjadi konsumsi warga Sekaran setiap hari.
“Biasanya pagi dan sore ngangsu (Red: menimba air) dua pikul air ember besar dari sendang untuk memasak. Kalau mandi dan mencuci langsung di sendang. Banyak yang pakai air sendang, kadang kalau mandi sampai antre,” kata Said menambahkan air sendang juga dimanfaatkan oleh Kampung Banaran, yang berbatasan dengan Desa Sekarang.

Namun, kondisi tersebut berubah setelah pohon beringin, preh, dan munggur, dengan diameter seukuran dua rentangan tangan orang dewasa di sekitar Sendang Kali Bendo ditebang. Akibatnya, kedalaman menyusut dari lima meter menjadi sekitar dua meter.
“Awal tahun 2000an, pohon ditebang warga untuk menghilangkan kesan mistis. Ya, kira-kira sekitar lima tahun setelah itu, di sekitarnya banyak bangunan baru. Air sendang makin menyusut,” kenang Said.

Jumari, warga Sekaran, mengatakan hal serupa terjadi pada Sendang Kuwok yang kini hanya menjadi tetenger (red: ciri, tanda khas) kampung dan lokasi berdekatan dengan saluran pembuangan limbah rumah tangga..
“Dulu, airnya limpah-limpah dan jernih. Tapi, sekitar tahun 2005 pohon beringin penopang sendang roboh tertiup angin. Lama-lama air sendang tinggal genangan. Sekarang hanya jadi tempat cari lumut untuk umpan ikan,” jelas Jumari.

Nuryanto, warga Sekaran lainnya menimpali Sendang Wideng yang berjarak sekitar 200 meter dari Sendang Kuwok juga tak terurus, terhimpit bangunan permukiman, kos-kosan dan tegalan, dan kini lebih mirip kolam ikan dengan air hijau pekat. “Akhirnya, sendang tidak dipakai dan dibiarkan begitu saja. Tak ada yang mengurus,” timpal Nuryanto.

Pakar air dari Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor Setyawati mengungkapkan sumber mata air yang tidak terjaga dengan baik dan hilangnya vegetasi di sekitarnya berpengaruh pada menurunnya kualitas sumber mata air. Ditambah lagi, alih fungsi lahan akibat masifnya pembangunan memberikan andil terhadap penurunan potensi keberlanjutan sumber air.
“Air sendang menyusut, mengering dan mati, tidak terawat karena tidak digunakan masyarakat. Atau sengaja di “matikan” dan hilang dengan alasan pembangunan jalan, perumahan atau alih fungsi lahan lainnya,” ungkap Dewi.

Beralih ke Sumber Air Baru
Akibat menyusutnya kedalaman air sendang, warga Sekaran, Gunungpati pun kemudian beralih dari mata air sendang pada sumber air baru untuk memenuhi kebutuhan air bersih. 
Mereka pun mulai membangun sumur-sumur dangkal di sekitar halaman rumah sejak akhir tahun 1990an. Kedalaman sumur-sumur tersebut berkisar antara 15-20 meter.
“Untuk kebutuhan air, akhirnya membuat sumur gali. Memang lebih praktis tapi mahal. Ya, mau gimana lagi karena air sendang sudah tidak mencukupi,” kata Said, warga Sekaran.

Meski demikian, ia mengatakan bahwa sumur dangkal tidak menyelesaikan persoalan karena seiring waktu debit air sumur dangkal juga akan menyusut, terutama saat musim kemarau. Tidak sedikit, lanjutnya, warga menggali hingga kedalaman 25-35 meter untuk memperoleh air.
“Untung-untungan juga bisa keluar airnya. Ada yang menggali tidak keluar air. Makanya ada rumah punya dua sumur gali. Kalau sudah tidak keluar air, bikin baru. Beda, dulu gampang air sekarang susah air,” lanjutnya.

Moechammad Sholeh, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum Kelurahan Sekaran, Gunungpati mengungkap kualitas air sumur dangkal di Sekaran relatif tidak bagus. “Air sumur gali sedalam 20 meter saja airnya masih keruh seperti ada karatnya, kuning-kuning,”ungkap Soleh.
Secara umum, Nuryanto mengatakan  warga Sekaran kini memanfaatkan sumber air tanah lewat sumur artesis untuk memenuhi kebutuhan ar.
“Warga pakai sumur bor dari pemerintah. Tapi, kebutuhan air meningkat terus. Jadi warga bikin sumur baru yang dikelola swadaya. Kalau punya uang, bikin sumur bor sendiri,” kata Nuryanto.
Moechammad Sholeh mengakui sumur artesis memang membawa kemudahan bagi warga untuk mengakses air bersih. Hal ini mendorong peningkatan pengguna air bawah tanah (ABT).

Berdasarkan data Kelurahan Sekaran dan Pemerintah Kota Semarang tahun 2018, ada sepuluh titik pengguna ABT yang dikomersialkan dengan tarif Rp 2500 per meter kubik, dengan total konsumsi mencapai 20ribu meter kubil per hari.
“Kedalamannya (sumur ABT milik warga) berkisar antara 70-100 meter. Rata-rata pemakaian per titik 2 ribu meter kubik perhari disalurkan ke warga. Kalau untuk pemakaian pribadi memang belum terdata.”

Soleh mengatakan bahwa setiap rumah memiliki ABT, terutama rumah yang disewakan kepada mahasiswa.
“PDAM hingga kini belum masuk ke Sekaran. Kami tidak bisa melarang ABT karena tidak ada alternatif lain. Apa boleh buat. Ini kebutuhan,” jelas Soleh menambahkan setidaknya 400 rumah kost yang ada di Sekaran hingga tahun 2016.

Upaya Konservasi
Kepala Unit Pengelola Teknis Pengembang Konservasi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Amin Retnoningsih mengatakan pihak universitas ikut bertanggungjawab terhadap degradasi lingkungan di Gunungpati, yang merupakan daerah penyangga Kota Semarang.

Namun, Amin mengatakan butuh upaya terus menerus dan waktu untuk memperbaikinya termasuk mengambalikan sumber-sumber mata air dan mengatasi persoalan krisis air pada masa datang.
“Alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman tentu mengurangi kawasan hijau untuk mengikat air,” kata Amin.

Lima tahun dikukuhkan sebagai Universitas Konservasi pada 12 Maret 2010, Unnes mengeluarkan Masterplan Unnes 2015-2025 sebagai bagian dari strategi dan program pengembangan konservasi.
Rencana besar konservasi Unnes tersebut mencakup pembangunan embung berkapasitas lima ribu meter kubik, rumah kebun Unnes seluas 2,2 hektar yang ditanami 100 jenis pohon, sumur resapan, biopori dan penanaman pohon, di dalam area kampus .
“Embung berfungsi menampung air hujan dan air limpasan. Mahasiswa wajib menanam pohon setiap tahun, di dalam kampus maupun di kawasan Gunungpati. Menanam pohon sebanyak-banyaknya itu salah satu yang paling mudah dilakukan,” jelas Amin menambahkan sekitar 110 ribu pohon, seperti mahoni, akasia, sengon, glodogan tiang, kersen, Sawo Kecik durian, rambutan, mangga, dan belimbing, yang ditanam sejak delapan tahun terakhir.

Moechammad Sholeh, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum Kelurahan Sekaran, Gunungpati menandaskan pihak Keluarahan Sekaran bekerja sama dengan Unnes, tidak hanya menghijaukan lahan kosong, sepanjang jalan dan halaman rumah warga. Kerja sama tersebut juga mengajak warga membangun sumur resapan dan biopori.
“Dulu lahan di Sekaran banyak pohon-pohon besar kemudian ditebang untuk rumah dan usaha. Wilayah Sekaran nyaris habis untuk rumah semua. Sekarang warga diajak menanam lagi.  Izin bangunan disertai persyaratan pembuatan sumur resapan atau biopori. Ada pernyataan bermaterai. Kalau tidak begitu lama-lama sumber air habis dan kita yang bingung,” tandas Soleh.

Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengakui banyak lahan hijau di Gunungpati yang kini berubah menjadi perumahan dan pengembangan bisnis berdampak pada degradasi lingkungan. Salah satunya dengan hilangnya tangkapan air tanah yang menyebabkan krisis air bersih.
“Lahan-lahan resapan dijadikan permukiman baru. Ini memang tidak bisa dihindari karena Kota Semarang merupakan kota metropolitan. Pemkot akan memperbanyak ruang terbuka hijau dan warga dihimbau menanam pohon,” jelas Hevearita.

Amin berharap warga memahami bahwa penanaman pohon untuk memperbaiki fungsi utama kawasan sebagai daerah resapan air tidak bisa bersifat instan. Tapi, ia mengatakan penanaman pohon sudah menunjukkan perubahan dalam lima tahun, meskipun belum signifikan.
“Semua pihak bisa terus berusaha menjaga siklus hidrologi dan penyedia air sehingga ke depan akan banyak tumbuh pohon-pohon besar dan muncul lagi mata air yang menjadi bagian dari ekosistem kawasan penyangga,” harapnya.

Namun, ia mengakui bahwa upaya konservasi di luar area kampus belum maksimal karena keterbatasan kewenangan Unnes.
“Kami edukasi agar warga bersedia menanam. Seluruh bibit pohon kami sediakan. Masalahnya masyarakat mintanya pohon buah karena mengharapkan hasil. Jadi sering tidak sesuai antara persediaan dan permintaan,” keluh Amin.

Jumari, warga Sekaran mengakui menginginkan pohon bernilai ekonomis. “Maunya bukan menanam pohon iyup-iyupan (Red: pohon peneduh) saja. Tapi pohon yang hasilnya bisa dipanen seperti jambu, rambutan dan durian,” harap Jumari.

Menurut Dewi Liesnoor Setyawati, butuh peran semua pihak untuk memperbaiki lingkungan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya air berkelanjutan. Tidak hanya aturan tapi butuh andil masyarakat dan kearifan lokal setempat sebagai strategi konservasi yang efektif. “Seperti keberlanjutan mata air sendang dan mata air lainnya yang kecil-kecil, harapannya pemerintah lokal desa dan warga bisa mengambil peran,” saran Dewi. EKUATORIAL.

Kamis, 07 Desember 2017

Mangrove pun bisa Jadi Makanan dan Batik

Chumaeroh membantu Ulfatin membentangkan kain yang akan di cap dengan motif hewan laut mimi yang dikombinasi dengan motif mangrove jenis rizophora. Plat dicelupkan ke pewarna alami yang terbuat dari batang limbah mangrove.

Ini sudah menjadi keseharian perempuan di Desa tapak, Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Jawa Tengah selama empat tahun terakhir. Tepatnya sejak Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSeMat) memberikan edukasi dan pelatihan pengolahan mangrove sebagai sumber pangan dan ekonomi alternafit. Ada dua kelompok Pengolah jajanan Mangrove yakni Bina Citra Karya Wanita yang mengelola berbagai jenis makanan dengan produk Mas Jamang dan Kelompok pengrajin batik mangrove Srikandi Pantura.

Mufida, selaku koordinator Srikandi Pantura mengatakan, warga merasakan manfaat dari pemberdayaan tersebut. Tidak hanya memberikan ruang aktualisasi diri, mangrove mampu memberi nilai tambah bagi perempuan pesisir.

 “Potensi mangrove sangat besar di sini, di sisi lain ibu-ibu banyak yang tidak punya kegiatan. Kita dikumpulan di kasih pelatihan bantuan alat, tidak hanya ilmu yang kami dapat.”
Dalam pelatihan tersebut, perempuan yang tinggal di wilayah pesisir utara Semarang Barat ini diajarkan membuat dan mengolah mangrove menjadi aneka penganan. Ada kerupuk , stik, peyek, bolu, Klepon, cendol.

“Macam-macam. Sampai sekarang kita diajak anak-anak KeSeMat untuk melatih kemana-mana. Tenyata manfaat mangrove itu besar sekali, selain pencegah abrasi juga  mempunyai nilai tambah. Ibu-ibu jadi punya uang sendiri selain dikasih suami.”

Ardyan Syahputra, anggota KeSeMaT mengatakan, tidak hanya manfaat ekonomi, warga di pesisir otomatis juga turut serta menjaga kelestarian ekosistem mangrove di wilayahnya dengan selektif memilih bahan baku yang akan diolah menjadi makanan maupun pewarna batik.

Ya, mangrove tumbuhan pesisir yang digadang-gadang sebagai benteng alami penahan laju abrasi di wilayah pesisir memiliki manfaat lain. Tumbuhan yang dulu memprihatinkan, rusak dan habis dibabat untuk alih fungsi lahan, kini keberadaannya terus menjadi perhatian.

Mangrove for Our Life

Di bawah terik, puluhan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah antusias mempraktikkan pembibitan dan penyulaman  batang tanaman mangrove di pusat konservasi Mangrove Education Center of KeSEMaT (MECoK), Teluk Awur, Jepara. Jawa Tengah, Indonesia.

Ini hanya salah satu kampanye Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSEMaT). Mereka mengajak anak muda belajar tentang mangrove. Seperti identifikasi mangrove, pembibitan, penanaman, penyulaman hingga menjaga ekosistem tumbuhan pesisir ini.

Ardyan Syahputra, anggota KeSeMat mengatakan, selain Mangrove Cultivation, ada Mangrove Replant dan Mangrove Restoration. Dalam setahun sedikitnya 30 program untuk menggerakkan isu penyelamatan mangrove bagi masyarakat pesisir dan urban. Bagi KeSeMat, ini sangat penting untuk memberikan pemahaman pentingnya mangrove bagi kehidupan.

“Kita mendekatkan mangrove kepada warga di kota yang belum menyadari pentingnya mangrove. Mereka masih acuh dan belum peduli karena belum merasakan dampaknya.”

Kampanye mangrove menjadi bagian dari lima program kerja KeSeMat yakni penelitian, edukasi, kampanye. konservasi, dan  dokumentasi.
Komitmen mengenalkan mangrove sangat tinggi hingga KeSeMaT diakui hingga terlibat dalam pengambilan kebijakan konservasi mangrove di Indonesia. Cara kerja voluntari membuat mereka sangat bersemangat karena aktivitas sangat berguna untuk masyarakat,” jelas Arif Priyono, salah satu penggagas KeSeMat

Aksi yang dimulai tahun 2001, digagas 9 mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang yang khawatir sekitar kampus terkena abrasi. Mereka khawatir 10 tahun ke depan kampus mereka akan tenggelam tergerus abrasi.

Empat tahun kemudian, KeSeMaT menjadi unit kegiatan mahasiswa yang fokus pada isu penyelamatan mangrove dengan menciptakan 25 brand inovatif untuk mengemas kampanye penyelamatan mangrove.
“Konservasi, Jurnalistik, Konveksi dengan batik mangrove, dongeng cerita mangrove dengan boneka mangrove, riset, hingga membuat logo mangrover dunia.

Selain menghijaukan wilayah pesisir KeSeMaT juga memberdayakan masyarakat pesisir untuk meningkatkan potensi ekonomi melalui rehabilitasi mangrove sebagai sumber makanan dan ekonomi masyarakat pesisir.
“Mangrove bukan hanya ditanam sebagai penahan abrasi tapi dijadikan makanan, sirup mangrove, batik bakau. KeSeMaT Menggalakkan mangrove is life style.”

Komitmen selama 16 tahun KeSeMaT menerima banyak penghargaan. Diantaranya Coastal Award 2012 Kategori Akademisi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kategori Tunas Lestari Kehati di KEHATI Award 2015, dan Organisasi Terbaik Tingkat ASEAN - The Accomplished Youth Organizations (TAYO) ASEAN Award 2016 di Kamboja.

KeSeMat, menjadi organisasi anak muda yang berkomitmen menyelamatkan mangrove dan membuat mangrove sebagai gaya hidup.