"Dulu di
situ permukiman dan area tambak. Sisanya tinggal yang di sana itu,'' ujar Bobi
sambil menunjuk ke rimbunan pohonan.
Dari tepian pantai Morosari, Sayung, Demak, tempat yang ditunjuk pemuda 19 tahun itu mirip sebuah pulau kecil yang memanjang. Warnanya hijau pudar dan seperti tengan mengapung di atas air.
|
menuju Tambaksari |
''Sekarang, orang menyebutnya Pulau Burung. Nanti saya antar ke sana pakai
perahu,'' ujar Bobi lagi.
Siang itu, matahari tak begitu cerah. Langit tergayuti kabut. Angin hangat
begitu kencang menampari muka kami. Laut belum pasang dan ombak tampaknya
sedang bersahabat. Jadi, kami terima tawaran nelayan muda tersebut setelah
bertransaksi soal harga sewa sekaligus jasa panduan di lokasi yang kami tuju.
Bersama kawannya, dia merapatkan sebuah perahu kecil ke dermaga kayu di pantai
itu. Bentuknya seperti perahu ketinting bermesin diesel. Perahu itu sudah
berayun-ayun dengan bibir nyaris menyentuh permukaan air ketika dua nelayan itu
bergerak di atasnya. Sejenak kami berdua keder membayangkan kemungkinan perahu
itu tak bisa dimuati empat penumpang. Apalagi, kami tak bisa berharap diberi
pelampung.
Kami kembali memandangi hamparan air yang memisahkan Pantai Morosari dengan
Pulau Burung yang hendak kami tuju. Jaraknya tak jauh. Hanya sekira dua
kilometer. Dan di tengah perairan itu, kami melihat seorang nelayan tengah
mencari udang dengan alat menganco yang diseret di dalam air. Air hanya
menyentuh tubuhnya sebatas pusar. Artinya perairan yang bakal disisir perahu tidak
dalam. Apalagi kata Misbah, teman Bobi, area perairan yang bakal dilalui perahu
dulunya hunian yang telah ludas tergerus abrasi.
Kami jadi mantap menjejaki lantai perahu. Setidak-tidaknya, kalau di tengah
perjalanan perahu terbalik, paling-paling hanya badan dan pakaian kami yang
basah, juga kamera dan ponsel kami.
Perahu langsung bergoyang-goyang sehingga kami harus duduk di tempat-tempat
yang disarankan Bobi untuk menjaga keseimbangan. Diesel dinyalakan dan perahu
mulai bergerak. Cukup 15 menit, perahu sampai di tepian hamparan pasir yang
mirip sebuah tanjung kecil.
***
PULAU Burung itu sebenarnya sepetak hamparan tanah yang
tersisa dari proses abrasi yang menggerus Dusun Tambaksari, Desa Bedono,
Sayung, Demak, beberapa tahun lalu. Di reranting mangrove dan brayu, beberapa
jenis burung seperti kokokan laut, kuntul kerbau, atau blekok sawah itu
bertengger. Asyik bercereceh seolah-olah menciptakan sebuah orkestrasi bersama
deru angin laut.
Tak jauh dari habitat burung itu, enam rumah dan sebuah masjid, sebagian
didirikan di atas beton yang menancap ke tanah berlumpur sisa-sisa. Tinggal
enam dari 266 kepala keluarga yang masih bertahan. Dan seperti itulah rupanya
area yang kami lihat dari tepi Pantai Morosari seperti pulau kecil yang
terapung.
Untuk sampai ke wilayah pemukiman tersisa itu, dari tempat perahu ditambatkan
kami harus menyusuri hamparan pasir di tengah perairan. Di situ, pecahan kerang
putih yang disebut penduduk setempat disebut patang berserakan.
''Penduduk sering mengambili pecahan kerang itu untuk bikin manik-manik dan
perhiasan,'' tutur Misbah.
Di tengah hamparan pasir yang memanjang itu, kami seperti dikepung air.
Panorama di sekitar kami begitu eksotis: kapal-kapal yang terlihat begitu
kecil, jauh di utara; camar-camar dan burung kokokan laut yang beterbangan tak
jauh dari permukaan air untuk mencari ikan.
Berada di situ, di antara pecahan karang dan sesekali telapak kaki dibelai
tempiasan ombak, saya membayangkan, orang-orang berjalan-jalan menikmati
suasana pantai, atau mencari kerang yang berada di dalam pasir, dan ketika
menengok ke arah selatan, matanya bersirobok dengan hunian dan area tambak.
Beginilah dahsyatnya sebuah abrasi. Ia menenggelamkan apa saja yang tergerus.
Ya, sebelum abrasi itu, hamparan pasir tempat kaki kami menapak dulunya adalah
sebuah pantai.
''Belum lama dari sekarang, hamparan pasir ini menjelujur sampai ke tepi kafe
itu,'' cerita Misbah. Kafe yang dia maksud adalah sebuah resto seafood yang masih kokoh berdiri di kawasan lokawisata Pantai
Morosari, di dekat dermaga sebelum kami menumpang perahu tadi. Saya
memperkirakan hamparan pasir ini sepanjang dua kilometer. Tapi kini, yang
tersisa tinggal sekitar 200 meter.
***
DARI hamparan pasir itu, kami pergi ke makam Syekh Abdullah
Mudzakir terlebih dahulu sebelum menelusuri Dusun Tambaksari. Kami harus
mencebur ke air sedalam lutut sebelum naik ke jembatan beton selebar satu meter
yang menghubungkan area pemukiman dengan kompleks makam tersebut. Di situ kami
berpapasan dengan beberapa peziarah yang baru keluar dari area makam. Beberapa
saat kami berada di makam sebelum menapaki jembatan beton, dilanjutkan pada
titian bambu, lalu menyusuri satu-satunya jalan setapak di Dusun Tambaksari.
Penelusuran kami diiringi celoteh burung-burung. Kami harus berhati-hati ketika
melangkah di jalanan dari batu koral. Begitu juga ketika sampai di jalan beton
yang dibangun swadaya oleh enam kepala keluarga yang tersisa. Jalannya licin
karena mulai ditumbuhi lumut. Jalan itu tersangga oleh tumpukan batu koral, mangrove
dan pohon brayu di tepi-tepinya. Sepi sekali ketika itu, seolah-olah
rumah-rumah di situ tak berpenghuni. Siang hari seperti itu, para kepala
keluarga pasti tengah mencari ikan dengan perahu ketinting. Sebab, itulah
pekerjaan utama mereka.
Kami berpapasan dengan seorang anak perempuan kecil berseragam sekolah. Sang
ibu yang keluar dari rumah menyambutnya. Kami bercakap-cakap sebentar dan dari
percakapan itu, kami tersadar, anak kecil tadi baru saja menyusuri jalan
setapak sejauh sekitar satu kilometer dari sekolahnya di Dusun Pandansari.
Betul, itu bukan jarak yang panjang. Tapi jangan membayangkan sebuah jalan
beton seperti yang tengah kami susuri. Sebab, hanya sekitar 300 meter, jalan
beton itu terputus oleh gerusan air. Yang ada lebih tampak sebagai tumpukan
batu koral tak beraturan. Bahkan, bila air pasang, anak itu pasti harus
menjinjing sepatunya. Dan arena sekarang dia kelas dua SD, setidaknya dia
sudah melakoni itu selama dua tahun.
Kami menuju rumah Pak Muhamad Fauzan (55), tetua dusun dan juru kunci Makam
Syekh Abdullah Mudzakir. Kami melewati sebuah masjid, satu-satunya masjid di
situ yang seolah-olah mengapung di atas kubangan lumpur. Dan pada satu kubangan
lumpur lainnya, di antara mangrove dan brayu, sebuah dinding berlumut bekas
rumah masih kokoh berdiri. Itu bekas rumah sang Syekh yang dibiarkan sebagai
sejenis ''monumen abrasi''.
Pak Fauzan bercerita banyak pada kami mengenai kisah Dusun Tambaksari sebelum
dan sesudah abrasi. Tentu saja, dia juga banyak bercerita mengenai sang Syekh yang
tak lain adalah kakek buyutnya sendiri. Tapi yang menurut kami paling penting
dicatat adalah keyakinannya, juga keyakinan semua kepala keluarga yang tersisa
di situ, bahwa ''Kami tak akan meninggalkan dusun ini. Sebab, rumah-rumah kami
ini serupa benteng terakhir. Kalau kami pergi, pasti wilayah ini habis tergerus
abrasi.''
Ya, Dusun Tambaksari atau Pulau Burung adalah jejak sebuah tragedi. Perjalanan
ke tempat seperti itu mungkin tak memberi kita pesona dan ketakjuban sebuah
lokawisata. Tapi tragedi pun bisa membuat kita belajar. Setidaknya, tempat itu
bisa menjadi wahana wisata edukasi. Kita bisa belajar mengenai keganasan abrasi
atau burung-burung di situ. Itu sebabnya, tak seorang pun, baik penduduk
setempat maupun pelancong diperbolehkan menangkap atau membunuh burung di situ.
Sebuah kearifan yang pantas juga menjadi bahan studi.
|
Jalan utama diantara pohon brayu |