Pages

Tampilkan postingan dengan label abrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label abrasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Desember 2017

Mangrove pun bisa Jadi Makanan dan Batik

Chumaeroh membantu Ulfatin membentangkan kain yang akan di cap dengan motif hewan laut mimi yang dikombinasi dengan motif mangrove jenis rizophora. Plat dicelupkan ke pewarna alami yang terbuat dari batang limbah mangrove.

Ini sudah menjadi keseharian perempuan di Desa tapak, Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Jawa Tengah selama empat tahun terakhir. Tepatnya sejak Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSeMat) memberikan edukasi dan pelatihan pengolahan mangrove sebagai sumber pangan dan ekonomi alternafit. Ada dua kelompok Pengolah jajanan Mangrove yakni Bina Citra Karya Wanita yang mengelola berbagai jenis makanan dengan produk Mas Jamang dan Kelompok pengrajin batik mangrove Srikandi Pantura.

Mufida, selaku koordinator Srikandi Pantura mengatakan, warga merasakan manfaat dari pemberdayaan tersebut. Tidak hanya memberikan ruang aktualisasi diri, mangrove mampu memberi nilai tambah bagi perempuan pesisir.

 “Potensi mangrove sangat besar di sini, di sisi lain ibu-ibu banyak yang tidak punya kegiatan. Kita dikumpulan di kasih pelatihan bantuan alat, tidak hanya ilmu yang kami dapat.”
Dalam pelatihan tersebut, perempuan yang tinggal di wilayah pesisir utara Semarang Barat ini diajarkan membuat dan mengolah mangrove menjadi aneka penganan. Ada kerupuk , stik, peyek, bolu, Klepon, cendol.

“Macam-macam. Sampai sekarang kita diajak anak-anak KeSeMat untuk melatih kemana-mana. Tenyata manfaat mangrove itu besar sekali, selain pencegah abrasi juga  mempunyai nilai tambah. Ibu-ibu jadi punya uang sendiri selain dikasih suami.”

Ardyan Syahputra, anggota KeSeMaT mengatakan, tidak hanya manfaat ekonomi, warga di pesisir otomatis juga turut serta menjaga kelestarian ekosistem mangrove di wilayahnya dengan selektif memilih bahan baku yang akan diolah menjadi makanan maupun pewarna batik.

Ya, mangrove tumbuhan pesisir yang digadang-gadang sebagai benteng alami penahan laju abrasi di wilayah pesisir memiliki manfaat lain. Tumbuhan yang dulu memprihatinkan, rusak dan habis dibabat untuk alih fungsi lahan, kini keberadaannya terus menjadi perhatian.

Mangrove for Our Life

Di bawah terik, puluhan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jawa Tengah antusias mempraktikkan pembibitan dan penyulaman  batang tanaman mangrove di pusat konservasi Mangrove Education Center of KeSEMaT (MECoK), Teluk Awur, Jepara. Jawa Tengah, Indonesia.

Ini hanya salah satu kampanye Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KeSEMaT). Mereka mengajak anak muda belajar tentang mangrove. Seperti identifikasi mangrove, pembibitan, penanaman, penyulaman hingga menjaga ekosistem tumbuhan pesisir ini.

Ardyan Syahputra, anggota KeSeMat mengatakan, selain Mangrove Cultivation, ada Mangrove Replant dan Mangrove Restoration. Dalam setahun sedikitnya 30 program untuk menggerakkan isu penyelamatan mangrove bagi masyarakat pesisir dan urban. Bagi KeSeMat, ini sangat penting untuk memberikan pemahaman pentingnya mangrove bagi kehidupan.

“Kita mendekatkan mangrove kepada warga di kota yang belum menyadari pentingnya mangrove. Mereka masih acuh dan belum peduli karena belum merasakan dampaknya.”

Kampanye mangrove menjadi bagian dari lima program kerja KeSeMat yakni penelitian, edukasi, kampanye. konservasi, dan  dokumentasi.
Komitmen mengenalkan mangrove sangat tinggi hingga KeSeMaT diakui hingga terlibat dalam pengambilan kebijakan konservasi mangrove di Indonesia. Cara kerja voluntari membuat mereka sangat bersemangat karena aktivitas sangat berguna untuk masyarakat,” jelas Arif Priyono, salah satu penggagas KeSeMat

Aksi yang dimulai tahun 2001, digagas 9 mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang yang khawatir sekitar kampus terkena abrasi. Mereka khawatir 10 tahun ke depan kampus mereka akan tenggelam tergerus abrasi.

Empat tahun kemudian, KeSeMaT menjadi unit kegiatan mahasiswa yang fokus pada isu penyelamatan mangrove dengan menciptakan 25 brand inovatif untuk mengemas kampanye penyelamatan mangrove.
“Konservasi, Jurnalistik, Konveksi dengan batik mangrove, dongeng cerita mangrove dengan boneka mangrove, riset, hingga membuat logo mangrover dunia.

Selain menghijaukan wilayah pesisir KeSeMaT juga memberdayakan masyarakat pesisir untuk meningkatkan potensi ekonomi melalui rehabilitasi mangrove sebagai sumber makanan dan ekonomi masyarakat pesisir.
“Mangrove bukan hanya ditanam sebagai penahan abrasi tapi dijadikan makanan, sirup mangrove, batik bakau. KeSeMaT Menggalakkan mangrove is life style.”

Komitmen selama 16 tahun KeSeMaT menerima banyak penghargaan. Diantaranya Coastal Award 2012 Kategori Akademisi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kategori Tunas Lestari Kehati di KEHATI Award 2015, dan Organisasi Terbaik Tingkat ASEAN - The Accomplished Youth Organizations (TAYO) ASEAN Award 2016 di Kamboja.

KeSeMat, menjadi organisasi anak muda yang berkomitmen menyelamatkan mangrove dan membuat mangrove sebagai gaya hidup.

Rabu, 14 Desember 2016

Bencana Itu Di Depan Mata

Dusun Tambaksari nampak dari kejauhan, terisolasi karena abrasi / nonie arnee
Ketika menyusuri Dusun Senik, Sayung, Demak bersama Nurohman, saya teringat ketika kali pertama menjejakkan kaki di dusun ini. Tepatnya, delapan tahun silam. Dusun ini sudah lama diterjang abrasi. Separuh rumah di dusun ini sudah ditinggal penghuninya karena rusak, tinggal puing-puing dan terendam termakan abrasi.

Meski begitu sebagian warga masih nampak beraktivitas senormal mungkin. Mereka masih mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan ekonomi masih hidup. Dan jalan utama dusun  masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Bahkan  saya masih bisa menyusuri jalan setapak menuju ujung dusun.

Tapi kini, di atas sampan, saya dan warga Dusun Senik itu  hanya bisa berbagai kenangan tentang dusunnya. Semua yang pernah saya lihat di Dusun Senik  delapan tahun silam tak lagi berbekas. Yang nampak hanya sisa-sisa bangunan dan rimbunan pohon mangrove yang menjadi habitat burung kuntul.

Ya, ternyata kemampuan beradaptasi warga tak sebanding dengan masifnya bencana di depan mata mereka sehingga membuat kehidupan ratusan kepala keluarga di Dusun Rejosari Senik tenggelam. Bencana abrasi tidak hanya membuat rumah-rumah hancur, tapi  juga terpuruknya perekonomian warga, hilangnya  mata pencaharian dan ikatan hubungan sosial.

Pemerintah menganggap relokasi menjadi pilihan terakhir dari ancaman abrasi hingga kemudian warga Senik dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung.
Tapi benarkah itu solusi terbaik? Saya kembali teringat pada Sumadi. Warga Tanggultlare, Jepara yang saya temui di bibir pesisir pantai utara Jepara. Ia berkisah beratnya beradaptasi di tempat baru karena di relokasi setelah desanya habis dilalap abrasi. Tak cukup sekali relokasi, keganasan abrasi membuat warga relokasi hingga tiga kali. Tapi itu delapan tahun silam. Entah sekarang.
Abrasi yang terjadi di kawasan Sayung, Desa Bedono selama 20 tahun terakhir diperkirakan yang terbesar di kawasan pantai utara Jawa bahkan di Indonesia. Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2 ribu hektar lebih yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5 kilometer dari garis pantai di tahun 1994 lalu.
Berbagai upaya dilakukan. Mulai dari penanaman dan pemeliharaan mangrove, pembuatan green belt, talut pemecah ombak dari beton, revitalisasi tambak untuk kegiatan budidaya ramah lingkungan. Hingga peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kawasan pesisir dengan membagi tiga zona utama yaitu area mangrove, area rehabilitasi dan area larang tangkap.

Pemerintah  juga tak mau dianggap hanya berdiam diri. Sembari menunggu hasil revitalisasi ekosistem mangrove yang dianggap menjadi solusi terbaik. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memprioritaskan penanganan pesisir di pantura Jawa khususnya Demak dengan merealisasikan pilot project restorasi pesisir melalui Program Membangun Bersama Alam, melalui pembangunan struktur pelindung pantai konstruksi pemerangkap sedimen berstruktur hybrid yang terbuat dari kumpulan ranting dan kayu.
Teknologi ramah lingkungan pemasangan alat pemecah ombak berbasis alam yang disebut  hybrid engineering hasil adopsi dari Belanda ini diyakini mampu mengurangi laju abrasi dan menstabilkan garis pantai dengan membalikkan proses hilangnya sedimen.

Tapi, jika ditilik ke belakang, faktor alam hanya menyumbang kecil munculnya abrasi. Naiknya permukaan air laut yang masif itu justru lebih lebih besar disebabkan oleh ulah manusia. Tidak hanya  karena masifnya penyedotan air tanah yang menyebabkan land subsidence hingga 13 sentimeter per tahun tapi juga karena pembangunan yang tak ramah lingkungan. Bangunan yang menjorok ke pantai dan proyek reklamasi jelas nyata memberi andil terbesar bencana abrasi.
Abrasi sudah terjadi puluhan tahun. Bencana itu sebenarnya ada di depan mata kita dan sudah seharusnya hal itu tidak dianggap sebagai hal biasa.
Selama pembangunan tidak berpihak dengan alam, maka ada dampak yang akan selalu muncul. Dan selama pemerintah selaku pemegang otoritas tidak tegas memberi regulasi dengan mengedepankan pembangunan berperspektif lingkungan, maka pada akhirnya itu justru menjadi bumerang.
Alam akan selalu mencari keseimbangan. Dan seperti kata pepatah bijak “Ketika alam sudah mulai tidak bersahabat, maka manusia harus siap menerima derita.” Tapi apakah adil jika yang akan menui derita justru orang-orang yang selama ini hidup harmonis berdampingan dengan alam?

Kamis, 25 Oktober 2012

Menuju Pulau Burung

jalur yang harus dilalui


Tak sulit menuju Pulau Burung. Hanya dengan petunjuk seadanya, kami menemukan desa yang hanya dihuni 6 kepala keluarga ini. Dari Semarang kami menuju jalur pantura, tepatnya di jalan raya Semarang-Demak km 10. Kami dapat melihat dengan jelas papan petunjuk menuju obyek wisata Pantai Morosari. Dengan memasuki gerbang perkampungan jalan aspal berlubang sejauh 4 kilometer dari jalan raya, kami sudah berada di loket obyek wisata dengan tiket masuk Rp. 3 ribu per-orang dan parkir kendaraan seharga Rp. 7 ribu.

Dari Pantai Morosari, Pulau Burung dapat terlihat dengan jelas. Untuk menjangkaunya kami sengaja menyewa sampan bermotor milik nelayan yang disewakan untuk pengunjung. Tawar menawar harga bisa dilakukan, meski biasanya para nelayan mematok harga Rp.20 ribu/orang untuk sekali antar.

Namun, jika tak ingin merogoh kantong, sebenarnya kami juga bisa melalui jalur lain menuju Dusun Tambaksari, yakni dengan cara menyusuri Desa Pandansari dan Dusun Senik, yang letaknya berada di sisi timur Pantai Morosari. Jarak tempuh tentunya lebih lama karena harus berjalan kaki melewati jalan setapak sepanjang lebih kurang 1 kilometer dengan koral tajam yang hanya cukup untuk melintas satu orang saja. Melewati jalur ini juga harus ekstra hati-hati karena licin. Ditambah lagi dengan hempasan air laut yang tiba-tiba bisa naik ke permukaan. Yang pasti dijalur ini kami harus berhitung dengan waktu jika tak ingin terjebak dalam rob.

Meski cukup menguras energi, semua itu terbayarkan dengan pengalaman menyaksikan keganasan air laut mengikis daratan Sayung dan sensasi petualangan menyusuri jalan lorong ditengah rimbunan bakau yang diiringi deburan ombak serta sesahutan burung kokokan laut.

non

Benteng Terakhir dari Gerusan Abrasi



"Dulu di situ permukiman dan area tambak. Sisanya tinggal yang di sana itu,'' ujar Bobi sambil menunjuk ke rimbunan pohonan. 
Dari tepian pantai Morosari, Sayung, Demak, tempat yang ditunjuk pemuda 19 tahun itu mirip sebuah pulau kecil yang memanjang. Warnanya hijau pudar dan seperti tengan mengapung di atas air.
menuju Tambaksari
''Sekarang, orang menyebutnya Pulau Burung. Nanti saya antar ke sana pakai perahu,'' ujar Bobi lagi.
Siang itu, matahari tak begitu cerah. Langit tergayuti kabut. Angin hangat begitu kencang menampari muka kami. Laut belum pasang dan ombak tampaknya sedang bersahabat. Jadi, kami terima tawaran nelayan muda tersebut setelah bertransaksi soal harga sewa sekaligus jasa panduan di lokasi yang kami tuju.

Bersama kawannya, dia merapatkan sebuah perahu kecil ke dermaga kayu di pantai itu. Bentuknya seperti perahu ketinting bermesin diesel. Perahu itu sudah berayun-ayun dengan bibir nyaris menyentuh permukaan air ketika dua nelayan itu bergerak di atasnya. Sejenak kami berdua keder membayangkan kemungkinan perahu itu tak bisa dimuati empat penumpang. Apalagi, kami tak bisa berharap diberi pelampung.

Kami kembali memandangi hamparan air yang memisahkan Pantai Morosari dengan Pulau Burung yang hendak kami tuju. Jaraknya tak jauh. Hanya sekira dua kilometer. Dan di tengah perairan itu, kami melihat seorang nelayan tengah mencari udang dengan alat menganco yang diseret di dalam air. Air hanya menyentuh tubuhnya sebatas pusar. Artinya perairan yang bakal disisir perahu tidak dalam. Apalagi kata Misbah, teman Bobi, area perairan yang bakal dilalui perahu dulunya hunian yang telah ludas tergerus abrasi.

Kami jadi mantap menjejaki lantai perahu. Setidak-tidaknya, kalau di tengah perjalanan perahu terbalik, paling-paling hanya badan dan pakaian kami yang basah, juga kamera dan ponsel kami.

Perahu langsung bergoyang-goyang sehingga kami harus duduk di tempat-tempat yang disarankan Bobi untuk menjaga keseimbangan. Diesel dinyalakan dan perahu mulai bergerak. Cukup 15 menit, perahu sampai di tepian hamparan pasir yang mirip sebuah tanjung kecil.

***
PULAU Burung itu sebenarnya sepetak hamparan tanah yang tersisa dari proses abrasi yang menggerus Dusun Tambaksari, Desa Bedono, Sayung, Demak, beberapa tahun lalu. Di reranting mangrove dan brayu, beberapa jenis burung seperti kokokan laut, kuntul kerbau, atau blekok sawah itu bertengger. Asyik bercereceh seolah-olah menciptakan sebuah orkestrasi bersama deru angin laut.

Tak jauh dari habitat burung itu, enam rumah dan sebuah masjid, sebagian didirikan di atas beton yang menancap ke tanah berlumpur sisa-sisa. Tinggal enam dari 266 kepala keluarga yang masih bertahan. Dan seperti itulah rupanya area yang kami lihat dari tepi Pantai Morosari seperti pulau kecil yang terapung.

Untuk sampai ke wilayah pemukiman tersisa itu, dari tempat perahu ditambatkan kami harus menyusuri hamparan pasir di tengah perairan. Di situ, pecahan kerang putih yang disebut penduduk setempat disebut patang berserakan.
''Penduduk sering mengambili pecahan kerang itu untuk bikin manik-manik dan perhiasan,'' tutur Misbah.

Di tengah hamparan pasir yang memanjang itu, kami seperti dikepung air. Panorama di sekitar kami begitu eksotis: kapal-kapal yang terlihat begitu kecil, jauh di utara; camar-camar dan burung kokokan laut yang beterbangan tak jauh dari permukaan air untuk mencari ikan.

Berada di situ, di antara pecahan karang dan sesekali telapak kaki dibelai tempiasan ombak, saya membayangkan, orang-orang berjalan-jalan menikmati suasana pantai, atau mencari kerang yang berada di dalam pasir, dan ketika menengok ke arah selatan, matanya bersirobok dengan hunian dan area tambak. Beginilah dahsyatnya sebuah abrasi. Ia menenggelamkan apa saja yang tergerus. Ya, sebelum abrasi itu, hamparan pasir tempat kaki kami menapak dulunya adalah sebuah pantai.

''Belum lama dari sekarang, hamparan pasir ini menjelujur sampai ke tepi kafe itu,'' cerita Misbah. Kafe yang dia maksud adalah sebuah resto seafood yang masih kokoh berdiri di kawasan lokawisata Pantai Morosari, di dekat dermaga sebelum kami menumpang perahu tadi. Saya memperkirakan hamparan pasir ini sepanjang dua kilometer. Tapi kini, yang tersisa tinggal sekitar 200 meter.

***
DARI hamparan pasir itu, kami pergi ke makam Syekh Abdullah Mudzakir terlebih dahulu sebelum menelusuri Dusun Tambaksari. Kami harus mencebur ke air sedalam lutut sebelum naik ke jembatan beton selebar satu meter yang menghubungkan area pemukiman dengan kompleks makam tersebut. Di situ kami berpapasan dengan beberapa peziarah yang baru keluar dari area makam. Beberapa saat kami berada di makam sebelum menapaki jembatan beton, dilanjutkan pada titian bambu, lalu menyusuri satu-satunya jalan setapak di Dusun Tambaksari.




Penelusuran kami diiringi celoteh burung-burung. Kami harus berhati-hati ketika melangkah di jalanan dari batu koral. Begitu juga ketika sampai di jalan beton yang dibangun swadaya oleh enam kepala keluarga yang tersisa. Jalannya licin karena mulai ditumbuhi lumut. Jalan itu tersangga oleh tumpukan batu koral, mangrove dan pohon brayu di tepi-tepinya. Sepi sekali ketika itu, seolah-olah rumah-rumah di situ tak berpenghuni. Siang hari seperti itu, para kepala keluarga pasti tengah mencari ikan dengan perahu ketinting. Sebab, itulah pekerjaan utama mereka.

Kami berpapasan dengan seorang anak perempuan kecil berseragam sekolah. Sang ibu yang keluar dari rumah menyambutnya. Kami bercakap-cakap sebentar dan dari percakapan itu, kami tersadar, anak kecil tadi baru saja menyusuri jalan setapak sejauh sekitar satu kilometer dari sekolahnya di Dusun Pandansari. Betul, itu bukan jarak yang panjang. Tapi jangan membayangkan sebuah jalan beton seperti yang tengah kami susuri. Sebab, hanya sekitar 300 meter, jalan beton itu terputus oleh gerusan air. Yang ada lebih tampak sebagai tumpukan batu koral tak beraturan. Bahkan, bila air pasang, anak itu pasti harus menjinjing sepatunya. Dan  arena sekarang dia kelas dua SD, setidaknya dia sudah melakoni itu selama dua tahun.

Kami menuju rumah Pak Muhamad Fauzan (55), tetua dusun dan juru kunci Makam Syekh Abdullah Mudzakir. Kami melewati sebuah masjid, satu-satunya masjid di situ yang seolah-olah mengapung di atas kubangan lumpur. Dan pada satu kubangan lumpur lainnya, di antara mangrove dan brayu, sebuah dinding berlumut bekas rumah masih kokoh berdiri. Itu bekas rumah sang Syekh yang dibiarkan sebagai sejenis ''monumen abrasi''.

Pak Fauzan bercerita banyak pada kami mengenai kisah Dusun Tambaksari sebelum dan sesudah abrasi. Tentu saja, dia juga banyak bercerita mengenai sang Syekh yang tak lain adalah kakek buyutnya sendiri. Tapi yang menurut kami paling penting dicatat adalah keyakinannya, juga keyakinan semua kepala keluarga yang tersisa di situ, bahwa ''Kami tak akan meninggalkan dusun ini. Sebab, rumah-rumah kami ini serupa benteng terakhir. Kalau kami pergi, pasti wilayah ini habis tergerus abrasi.''

Ya, Dusun Tambaksari atau Pulau Burung adalah jejak sebuah tragedi. Perjalanan ke tempat seperti itu mungkin tak memberi kita pesona dan ketakjuban sebuah lokawisata. Tapi tragedi pun bisa membuat kita belajar. Setidaknya, tempat itu bisa menjadi wahana wisata edukasi. Kita bisa belajar mengenai keganasan abrasi atau burung-burung di situ. Itu sebabnya, tak seorang pun, baik penduduk setempat maupun pelancong diperbolehkan menangkap atau membunuh burung di situ. Sebuah kearifan yang pantas juga menjadi bahan studi.


Jalan utama diantara pohon brayu