Pages

Tampilkan postingan dengan label bencana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bencana. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Januari 2019

Ketika Mata Air Sendang Tak Lagi Mengalir


Oleh: Noni Arnee
Semarang, JAWA TENGAH. Sendang-sendang di Sekaran, Kecamatan Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah kehilangan air akibat perluasan pembangunan di kawasan Gunungpati yang menyebabkan krisis air. Akibatnya, warga harus mencari sumber air baru untuk memenuhi pasokan air.

“Ini Sendang Kali Bendo, airnya sejak dulu digunakan orang-orang untuk mandi, mencuci, dan memasak,” kenang Said (70), warga Kelurahan Sekaran, Gunungpati, sambil menunjuk sendang berukuran sekitar 12 meter persegi yang tertutup rumpun bambu, tak terawat dan kotor, terhimpit di belakang bangunan rumah, ruko dan sumur artesis. Lokasi sendang tersebut hanya berjarak sepuluh meter dari Jalan Raya Sekaran.

Said mengatakan bahwa air Sendang Kali Bendo jernih dan melimpah, dengan kedalaman lima meter, bahkan bisa meluap ke bibir sendang dan muncul tuk Belik, atau sumber air yang lebih kecil. Sebelum tahun 2000, air dari sendang menjadi konsumsi warga Sekaran setiap hari.
“Biasanya pagi dan sore ngangsu (Red: menimba air) dua pikul air ember besar dari sendang untuk memasak. Kalau mandi dan mencuci langsung di sendang. Banyak yang pakai air sendang, kadang kalau mandi sampai antre,” kata Said menambahkan air sendang juga dimanfaatkan oleh Kampung Banaran, yang berbatasan dengan Desa Sekarang.

Namun, kondisi tersebut berubah setelah pohon beringin, preh, dan munggur, dengan diameter seukuran dua rentangan tangan orang dewasa di sekitar Sendang Kali Bendo ditebang. Akibatnya, kedalaman menyusut dari lima meter menjadi sekitar dua meter.
“Awal tahun 2000an, pohon ditebang warga untuk menghilangkan kesan mistis. Ya, kira-kira sekitar lima tahun setelah itu, di sekitarnya banyak bangunan baru. Air sendang makin menyusut,” kenang Said.

Jumari, warga Sekaran, mengatakan hal serupa terjadi pada Sendang Kuwok yang kini hanya menjadi tetenger (red: ciri, tanda khas) kampung dan lokasi berdekatan dengan saluran pembuangan limbah rumah tangga..
“Dulu, airnya limpah-limpah dan jernih. Tapi, sekitar tahun 2005 pohon beringin penopang sendang roboh tertiup angin. Lama-lama air sendang tinggal genangan. Sekarang hanya jadi tempat cari lumut untuk umpan ikan,” jelas Jumari.

Nuryanto, warga Sekaran lainnya menimpali Sendang Wideng yang berjarak sekitar 200 meter dari Sendang Kuwok juga tak terurus, terhimpit bangunan permukiman, kos-kosan dan tegalan, dan kini lebih mirip kolam ikan dengan air hijau pekat. “Akhirnya, sendang tidak dipakai dan dibiarkan begitu saja. Tak ada yang mengurus,” timpal Nuryanto.

Pakar air dari Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor Setyawati mengungkapkan sumber mata air yang tidak terjaga dengan baik dan hilangnya vegetasi di sekitarnya berpengaruh pada menurunnya kualitas sumber mata air. Ditambah lagi, alih fungsi lahan akibat masifnya pembangunan memberikan andil terhadap penurunan potensi keberlanjutan sumber air.
“Air sendang menyusut, mengering dan mati, tidak terawat karena tidak digunakan masyarakat. Atau sengaja di “matikan” dan hilang dengan alasan pembangunan jalan, perumahan atau alih fungsi lahan lainnya,” ungkap Dewi.

Beralih ke Sumber Air Baru
Akibat menyusutnya kedalaman air sendang, warga Sekaran, Gunungpati pun kemudian beralih dari mata air sendang pada sumber air baru untuk memenuhi kebutuhan air bersih. 
Mereka pun mulai membangun sumur-sumur dangkal di sekitar halaman rumah sejak akhir tahun 1990an. Kedalaman sumur-sumur tersebut berkisar antara 15-20 meter.
“Untuk kebutuhan air, akhirnya membuat sumur gali. Memang lebih praktis tapi mahal. Ya, mau gimana lagi karena air sendang sudah tidak mencukupi,” kata Said, warga Sekaran.

Meski demikian, ia mengatakan bahwa sumur dangkal tidak menyelesaikan persoalan karena seiring waktu debit air sumur dangkal juga akan menyusut, terutama saat musim kemarau. Tidak sedikit, lanjutnya, warga menggali hingga kedalaman 25-35 meter untuk memperoleh air.
“Untung-untungan juga bisa keluar airnya. Ada yang menggali tidak keluar air. Makanya ada rumah punya dua sumur gali. Kalau sudah tidak keluar air, bikin baru. Beda, dulu gampang air sekarang susah air,” lanjutnya.

Moechammad Sholeh, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum Kelurahan Sekaran, Gunungpati mengungkap kualitas air sumur dangkal di Sekaran relatif tidak bagus. “Air sumur gali sedalam 20 meter saja airnya masih keruh seperti ada karatnya, kuning-kuning,”ungkap Soleh.
Secara umum, Nuryanto mengatakan  warga Sekaran kini memanfaatkan sumber air tanah lewat sumur artesis untuk memenuhi kebutuhan ar.
“Warga pakai sumur bor dari pemerintah. Tapi, kebutuhan air meningkat terus. Jadi warga bikin sumur baru yang dikelola swadaya. Kalau punya uang, bikin sumur bor sendiri,” kata Nuryanto.
Moechammad Sholeh mengakui sumur artesis memang membawa kemudahan bagi warga untuk mengakses air bersih. Hal ini mendorong peningkatan pengguna air bawah tanah (ABT).

Berdasarkan data Kelurahan Sekaran dan Pemerintah Kota Semarang tahun 2018, ada sepuluh titik pengguna ABT yang dikomersialkan dengan tarif Rp 2500 per meter kubik, dengan total konsumsi mencapai 20ribu meter kubil per hari.
“Kedalamannya (sumur ABT milik warga) berkisar antara 70-100 meter. Rata-rata pemakaian per titik 2 ribu meter kubik perhari disalurkan ke warga. Kalau untuk pemakaian pribadi memang belum terdata.”

Soleh mengatakan bahwa setiap rumah memiliki ABT, terutama rumah yang disewakan kepada mahasiswa.
“PDAM hingga kini belum masuk ke Sekaran. Kami tidak bisa melarang ABT karena tidak ada alternatif lain. Apa boleh buat. Ini kebutuhan,” jelas Soleh menambahkan setidaknya 400 rumah kost yang ada di Sekaran hingga tahun 2016.

Upaya Konservasi
Kepala Unit Pengelola Teknis Pengembang Konservasi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Amin Retnoningsih mengatakan pihak universitas ikut bertanggungjawab terhadap degradasi lingkungan di Gunungpati, yang merupakan daerah penyangga Kota Semarang.

Namun, Amin mengatakan butuh upaya terus menerus dan waktu untuk memperbaikinya termasuk mengambalikan sumber-sumber mata air dan mengatasi persoalan krisis air pada masa datang.
“Alih fungsi lahan hijau menjadi pemukiman tentu mengurangi kawasan hijau untuk mengikat air,” kata Amin.

Lima tahun dikukuhkan sebagai Universitas Konservasi pada 12 Maret 2010, Unnes mengeluarkan Masterplan Unnes 2015-2025 sebagai bagian dari strategi dan program pengembangan konservasi.
Rencana besar konservasi Unnes tersebut mencakup pembangunan embung berkapasitas lima ribu meter kubik, rumah kebun Unnes seluas 2,2 hektar yang ditanami 100 jenis pohon, sumur resapan, biopori dan penanaman pohon, di dalam area kampus .
“Embung berfungsi menampung air hujan dan air limpasan. Mahasiswa wajib menanam pohon setiap tahun, di dalam kampus maupun di kawasan Gunungpati. Menanam pohon sebanyak-banyaknya itu salah satu yang paling mudah dilakukan,” jelas Amin menambahkan sekitar 110 ribu pohon, seperti mahoni, akasia, sengon, glodogan tiang, kersen, Sawo Kecik durian, rambutan, mangga, dan belimbing, yang ditanam sejak delapan tahun terakhir.

Moechammad Sholeh, Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum Kelurahan Sekaran, Gunungpati menandaskan pihak Keluarahan Sekaran bekerja sama dengan Unnes, tidak hanya menghijaukan lahan kosong, sepanjang jalan dan halaman rumah warga. Kerja sama tersebut juga mengajak warga membangun sumur resapan dan biopori.
“Dulu lahan di Sekaran banyak pohon-pohon besar kemudian ditebang untuk rumah dan usaha. Wilayah Sekaran nyaris habis untuk rumah semua. Sekarang warga diajak menanam lagi.  Izin bangunan disertai persyaratan pembuatan sumur resapan atau biopori. Ada pernyataan bermaterai. Kalau tidak begitu lama-lama sumber air habis dan kita yang bingung,” tandas Soleh.

Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengakui banyak lahan hijau di Gunungpati yang kini berubah menjadi perumahan dan pengembangan bisnis berdampak pada degradasi lingkungan. Salah satunya dengan hilangnya tangkapan air tanah yang menyebabkan krisis air bersih.
“Lahan-lahan resapan dijadikan permukiman baru. Ini memang tidak bisa dihindari karena Kota Semarang merupakan kota metropolitan. Pemkot akan memperbanyak ruang terbuka hijau dan warga dihimbau menanam pohon,” jelas Hevearita.

Amin berharap warga memahami bahwa penanaman pohon untuk memperbaiki fungsi utama kawasan sebagai daerah resapan air tidak bisa bersifat instan. Tapi, ia mengatakan penanaman pohon sudah menunjukkan perubahan dalam lima tahun, meskipun belum signifikan.
“Semua pihak bisa terus berusaha menjaga siklus hidrologi dan penyedia air sehingga ke depan akan banyak tumbuh pohon-pohon besar dan muncul lagi mata air yang menjadi bagian dari ekosistem kawasan penyangga,” harapnya.

Namun, ia mengakui bahwa upaya konservasi di luar area kampus belum maksimal karena keterbatasan kewenangan Unnes.
“Kami edukasi agar warga bersedia menanam. Seluruh bibit pohon kami sediakan. Masalahnya masyarakat mintanya pohon buah karena mengharapkan hasil. Jadi sering tidak sesuai antara persediaan dan permintaan,” keluh Amin.

Jumari, warga Sekaran mengakui menginginkan pohon bernilai ekonomis. “Maunya bukan menanam pohon iyup-iyupan (Red: pohon peneduh) saja. Tapi pohon yang hasilnya bisa dipanen seperti jambu, rambutan dan durian,” harap Jumari.

Menurut Dewi Liesnoor Setyawati, butuh peran semua pihak untuk memperbaiki lingkungan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya air berkelanjutan. Tidak hanya aturan tapi butuh andil masyarakat dan kearifan lokal setempat sebagai strategi konservasi yang efektif. “Seperti keberlanjutan mata air sendang dan mata air lainnya yang kecil-kecil, harapannya pemerintah lokal desa dan warga bisa mengambil peran,” saran Dewi. EKUATORIAL.

Rabu, 14 Desember 2016

Bencana Itu Di Depan Mata

Dusun Tambaksari nampak dari kejauhan, terisolasi karena abrasi / nonie arnee
Ketika menyusuri Dusun Senik, Sayung, Demak bersama Nurohman, saya teringat ketika kali pertama menjejakkan kaki di dusun ini. Tepatnya, delapan tahun silam. Dusun ini sudah lama diterjang abrasi. Separuh rumah di dusun ini sudah ditinggal penghuninya karena rusak, tinggal puing-puing dan terendam termakan abrasi.

Meski begitu sebagian warga masih nampak beraktivitas senormal mungkin. Mereka masih mencari ikan di laut sebagai mata pencaharian utama. Kegiatan ekonomi masih hidup. Dan jalan utama dusun  masih bisa dilalui kendaraan roda empat. Bahkan  saya masih bisa menyusuri jalan setapak menuju ujung dusun.

Tapi kini, di atas sampan, saya dan warga Dusun Senik itu  hanya bisa berbagai kenangan tentang dusunnya. Semua yang pernah saya lihat di Dusun Senik  delapan tahun silam tak lagi berbekas. Yang nampak hanya sisa-sisa bangunan dan rimbunan pohon mangrove yang menjadi habitat burung kuntul.

Ya, ternyata kemampuan beradaptasi warga tak sebanding dengan masifnya bencana di depan mata mereka sehingga membuat kehidupan ratusan kepala keluarga di Dusun Rejosari Senik tenggelam. Bencana abrasi tidak hanya membuat rumah-rumah hancur, tapi  juga terpuruknya perekonomian warga, hilangnya  mata pencaharian dan ikatan hubungan sosial.

Pemerintah menganggap relokasi menjadi pilihan terakhir dari ancaman abrasi hingga kemudian warga Senik dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung.
Tapi benarkah itu solusi terbaik? Saya kembali teringat pada Sumadi. Warga Tanggultlare, Jepara yang saya temui di bibir pesisir pantai utara Jepara. Ia berkisah beratnya beradaptasi di tempat baru karena di relokasi setelah desanya habis dilalap abrasi. Tak cukup sekali relokasi, keganasan abrasi membuat warga relokasi hingga tiga kali. Tapi itu delapan tahun silam. Entah sekarang.
Abrasi yang terjadi di kawasan Sayung, Desa Bedono selama 20 tahun terakhir diperkirakan yang terbesar di kawasan pantai utara Jawa bahkan di Indonesia. Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2 ribu hektar lebih yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5 kilometer dari garis pantai di tahun 1994 lalu.
Berbagai upaya dilakukan. Mulai dari penanaman dan pemeliharaan mangrove, pembuatan green belt, talut pemecah ombak dari beton, revitalisasi tambak untuk kegiatan budidaya ramah lingkungan. Hingga peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kawasan pesisir dengan membagi tiga zona utama yaitu area mangrove, area rehabilitasi dan area larang tangkap.

Pemerintah  juga tak mau dianggap hanya berdiam diri. Sembari menunggu hasil revitalisasi ekosistem mangrove yang dianggap menjadi solusi terbaik. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memprioritaskan penanganan pesisir di pantura Jawa khususnya Demak dengan merealisasikan pilot project restorasi pesisir melalui Program Membangun Bersama Alam, melalui pembangunan struktur pelindung pantai konstruksi pemerangkap sedimen berstruktur hybrid yang terbuat dari kumpulan ranting dan kayu.
Teknologi ramah lingkungan pemasangan alat pemecah ombak berbasis alam yang disebut  hybrid engineering hasil adopsi dari Belanda ini diyakini mampu mengurangi laju abrasi dan menstabilkan garis pantai dengan membalikkan proses hilangnya sedimen.

Tapi, jika ditilik ke belakang, faktor alam hanya menyumbang kecil munculnya abrasi. Naiknya permukaan air laut yang masif itu justru lebih lebih besar disebabkan oleh ulah manusia. Tidak hanya  karena masifnya penyedotan air tanah yang menyebabkan land subsidence hingga 13 sentimeter per tahun tapi juga karena pembangunan yang tak ramah lingkungan. Bangunan yang menjorok ke pantai dan proyek reklamasi jelas nyata memberi andil terbesar bencana abrasi.
Abrasi sudah terjadi puluhan tahun. Bencana itu sebenarnya ada di depan mata kita dan sudah seharusnya hal itu tidak dianggap sebagai hal biasa.
Selama pembangunan tidak berpihak dengan alam, maka ada dampak yang akan selalu muncul. Dan selama pemerintah selaku pemegang otoritas tidak tegas memberi regulasi dengan mengedepankan pembangunan berperspektif lingkungan, maka pada akhirnya itu justru menjadi bumerang.
Alam akan selalu mencari keseimbangan. Dan seperti kata pepatah bijak “Ketika alam sudah mulai tidak bersahabat, maka manusia harus siap menerima derita.” Tapi apakah adil jika yang akan menui derita justru orang-orang yang selama ini hidup harmonis berdampingan dengan alam?

Minggu, 23 November 2014

Orang-Orang yang Memanen Kabut (1)

Kekeringan melanda sebagian wilayah Indonesia. Mata air hilang atau menyusut, kini merekapun memanen kabut. Cerita dari desa-desa seputaran Semarang, tentang bertahan dari cuaca yang kerontang, sembari mempertahankan semangat hidup agar tak cepat redup.
Kasilah terus menganyam jaring penutup bulir-bulir padi yang mulai menguning. Sesekali bambu panjang berhias plastik di ujungnya dijulurkan menghalau burung-burung pemakan padi. Kali ini musim kering terlalu panjang, dan sawah mulai mengering, tapi perempuan itu tak patah semangat. Pada dua petak sawah miliknya itulah, nenek berusia 64 tahun dan bercucu 12 ini menggantungkan hidup.
“Ya, sawah ini harus diurus. Hasilnya untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari,” ujarnya. Rembang petang di tengah bulan September itu, tetap memberinya harapan sampai panen akhir bulan nanti, meski harus kerepotan dengan wereng, tenggerek, dan burung yang menjadi “musuhnya” sepanjang hari.
Hama-hama ini rakus memakan bulir padi bunting. Walaupun bersemangat menunggui sawahnya tiap hari, Karsilah tahu hasil panennya makin tak bisa diandalkan memberi makan sekeluarga. Pasalnya, padi yang tumbuh bagus dan gemuk seringkali berakhir dengan meranggas karena kekurangan air dan habis disantap hama. Hujan yang dinanti tak kunjung turun.
Apalagi selama ini pasokan air untuk sawahnya hanya berasal dari saluran irigasi yang dialiri air limbah rumah tangga dari komplek perumahan tak jauh dari areal persawahan. “Kalau tidak dijaga bisa habis semua, dan tidak bisa panen. Sebenarnya tetap bisa panen, tapi tidak seperti dulu, dapat 10 karung sudah untung karena banyak yang gabuk. Yang mentes (bernas) hanya sedikit, padahal modal beli jaring saja bisa sampai satu juta,” tutur Karsilah.
Menurut dia, sejak banyaknya sawah yang berubah jadi perumahan atau toko, hama padi menjadi berkali lipat dan menghabisi bulir-bulir padi yang ditanamnya. “Dulu di sisi sana sampai ujung itu sawah semua,” katanya menunjuk ujung jalan. “Sekarang habis jadi perumahan, tinggal sekitar 14 petak ini saja. Mungkin rumah-rumah itu penyebabnya sampai banyak burung makan padi, harus pasang jaring dan dikerudungi dengan kain,” katanya, dan telunjuknya menunjuk lagi ke beberapa arah berusaha meyakinkan Ekuatorial, bahwa sawah di desanya dulu memang jauh lebih luas.

Tidak hanya sawah Kasilah yang kerontang. Puluhan hektare lahan areal persawahan tanaman di Desa Meteseh, Kecamatan Tembalang, Semarang, Jawa Tengah dibiarkan mangkrak oleh pemiliknya. Semak merambat di hamparan sawah yang sebagian besar tak terurus. Tak lagi berharap hujan. “Pemiliknya Sudah nggak pernah ke sini, sawahnya nggak pernah ditengok lagi sejak ada rencana proyek pembangunan perumahan,” ujar Karjo,34, warga Desa Meteseh.
Sama halnya dengan Kampung Deliksari dan Kalialang, Sukorejo, Gunungpati, Semarang. Mata air Sendang Gayam yang selama ini menghidupi 900 kepala keluarga tak lagi bisa memenuhi kebutuhan air bersih. Debit air terus menyusut. “Alirannya kecil jadi harus giliran dan hanya boleh mengambil dua pikul per minggu. Itu pun harus jalan dua kilometer melintasi bukit. Kalau dropping air kan hanya sementara,” jelas Marsudi, salah seorang warga Deliksari.

Darurat Kekeringan
Kota Semarang adalah satu dari 12 kabupaten kota di Jawa Tengah yang menetapkan status darurat bencana kekeringan. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 384 desa di 91 kecamatan dan 24 kabupaten di Jateng mengalami bencana kekeringan, diantaranya Kabupaten Rembang, Pemalang, Klaten, Kendal, Demak, Kebumen, Magelang, Purworejo, Blora, Wonogiri dan Kabupaten Grobogan.
“Hampir 60 persen dari 35 kabupaten-kota di Jawa Tengah rawan kekeringan. Itu yang terparah dari 24 kabupaten kota rawan kekeringan di Jateng akibat kemarau panjang,” ujar Direktur Penanganan Darurat BNPB J. Tambunan, di Semarang baru-baru ini.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, Sarwa Pramana mengatakan, upaya tanggap darurat untuk memenuhi suplai air bersih telah dilakukan dengan dropping air, pengadaan pipanisasi, membangun instalasi persediaan air, dan pembuatan sumur untuk mengurangi wilayah-wilayah terdampak kekeringan secara bertahap. “Kami menyiapkan 3.000 tangki air bersih, menyusul bertambahnya wilayah yang mengalami kekeringan.”
Kepala Seksi Ekploitasi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jateng, Arus Horizon, menyebutkan debit air di sejumlah bendungan besar di wilayahnya menurun, khususnya Waduk Kedungombo yang mengairi lahan pertanian di Grobogan, Demak, Pati, Kudus, hingga Jepara.
Bahkan, diprediksi ketersedian air tak dapat mencukupi kebutuhan musim tanam awal Nopember mendatang. Padahal tahun lalu, Kedungombo surplus. “Kedungombo bahkan perlu penanganan karena penguapan tinggi akibat cuaca ekstrim. Ketinggian air terus menurun. Sebenarnya sekitar lima juta meter kubik air di situ sudah menguap,” paparnya.

Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang memprediksi musim kemarau terjadi hingga bulan November mendatang dengan suhu mencapai 34 derajat celcius. Sebagian besar terjadi di wilayah pantura timur seperti Rembang, Pati, Blora, Demak, Semarang. “Mundurnya musim kemarau disebabkan El Nino kategori lemah yang mengakibatkan kemarau basah. Hujan baru mulai turun pada minggu ketiga November nanti,” jelas Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Jawa Tengah, Reni Kraningtyas.
Menurutnya, El Nino yang mempengaruhi tingkat kemarau di Jawa Tengah kurang signifikan karena kondisi laut Jawa yang sama-sama hangat dan mudah memunculkan awan. Akibatnya, hujan sesekali turun di beberapa wilayah Jawa Tengah namun dengan intensitas tidak normal.
Ketua Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia di Jawa Tengah Riyono mengatakan kekeringan terjadi karena kerusakan lingkungan. “Rusaknya sistem irigasi, resapan tanah di lahan produktif hampir tidak ada, dan tidak berfungsinya embung untuk resapan air. Belum lagi penggundulan hutan atau alih fungsi lahan. Ini akumulasi.”

Menurutnya, persoalan ini seolah menjadi cerita klise karena terjadi tiap tahun tanpa terobosan untuk beradaptasi. Ia memberi contoh kekeringan besar yang terjadi tahun 2007, ketika sekitar 118 ribu ha atau 50% sawah gagal panen yang mengancam persediaan beras di Jawa Tengah. “Panen tingkat Jawa Tengah sekarang cederung konstan di angka 4 sampai 6 ton gabah kering panen tiap ha, padahal potensinya bisa hingga 8 ton/ha. Tak hanya itu, lahan pertanian terus menyusut. Data nasional rata-rata 100 ribu ha lahan hilang, di Jateng perkiraan sekitar 5-10 ribu ha,” ujarnya.
Riyono menambahkan, tingkat kekeringan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kerusakan lingkungan yang masif mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam dan rumitnya mengatur pola tanam petani. “Dampak nyata, kesulitan mencari sumber air karena debit air di waduk dan irigasi makin menyusut, tanaman mudah terserang hama dan ancaman puso karena anomali cuaca.”
Karena itu, pemerintah perlu mensosialisasikan pada petani perlunya mengantisipasi cuaca perubahan musim yang ekstreem serta perlindungan kepada petani akibat gagal panen. Menurut Kepala Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Jawa Tengah, Siti Narwanti mengatakan, selain fenomena alam, kegagalan panen disebabkan petani kurang menerapkan pola tanam terencana.

Data BPTPH menyebutkan, di akhir Agustus saja sedikitnya 9.691 ha lahan pertanian padi di 20 kabupaten/kota mengalami kekeringan dan 319 ha puso. Jika diakumulasikan dari Januari hingga pertengahan Agustus ini, kekeringan mencapai 118.081 ha dan 10.700 ha puso. Luasan terbanyak terjadi di wilayah Cilacap dan Grobogan. “Kemungkinan terus bertambah karena kemarau mundur. Tapi harapannya tidak mengganggu target produksi padi di lahan seluas 1,6 juta ha karena beberapa wilayah seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Brebes masih panen.”

Memanen Kabut
Kondisi lingkungan dan alam yang terus berubah tak membuat para petani di Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah menyerah. Daerah “kantong” yang selalu bermasalah dengan pasokan air, panen tetap melimpah.
Kegetiran puluhan tahun menjelang panen padi dan jagung pun hilang sejak empat tahun terakhir ini. Persoalan teratasi dengan keberadaan Tyto Alba. Salah satu jenis burung hantu yang kini jadi “penunggu” areal persawahan seluas 225 ha milik warga.
“Yang tersisa hanya tangkai bulir jagung saja karena diserbu hama tikus. Panen jarang berhasil. Semua usaha adaptasi dilakukan untuk mengubah nasib 900 kepala keluarga yang bergantung pada hasil pertanian. Termasuk program peningkatan produksi pertanian, seperti kincir angin dan 800 sumur pantek untuk irigasi dan pertanian SRI,” jelas Soetedjo, 54, Kepala Desa Tlogoweru.

Mujiono Sukarman, 43, lelaki asal Desa Blitar, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang menciptakan teknologi tepat guna pompa air tanpa listrik. Ide itu muncul dari kegelisahannya terhadap ketersediaan air bersih di desa dengan kontur perbukitan. “Setiap musim kemarau kami selalu kesulitan air bersih. Tiap hari antre di sumber mata air di desa. Saya mencari cara agar air sumur bisa naik dan mengalir ke pipa-pipa milik warga.”

Kekeringan dan kesulitan air juga dialami petani sayur di dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Dataran tinggi dengan ketinggian 1.600 mdpl selalu menghadapi masalah kekeringan permanen.
“Ketika musim kemarau kami tidak bisa menanam, tapi dengan bantuan alat pemanen kabut (fog harvesting) kekurangan air dapat diatasi dan kami bisa panen. Bagian utama alat pemanen itu adalah paranet atau jala plastik yang memilki rongga cukup kecil, yang akan memerangkap kabut yang berbentuk gas itu, lalu mengubahnya menjadi air. Di Desa Kemitir, paranet sepanjang 8 meter dan selebar 1 meter itu dibagi dua masing-masing 4 meter lalu dibentangkan pada ketinggian 2-3 meter di atas tanah, dengan penyanggu bambu. Sepanjang malam dan subuh, air yang terperangkap di jala itu akan menetes dan ditampung dalam sebuah pipa atau bambu yang terbuka bagian atasnya, lalu dari dalam penampung akan mengalir lewat selang plastik ke dalam ember besar.

Pemanen kabut juga bisa dikombinasikan dengan alat fertigasi tetes atau irigasi tetes, dimana jumlah air yang keluar dari selang itu dapat diatur dan disebarkan ke sebanyak mungkin tanaman yang ingin diberi air. Ternyata setiap alat panen kabut di desa Kemitir mampu menangkap kabut dan menghasilkan 25 liter air per hari untuk keperluan pertanian. “Ini teknologi sederhana dan potensi kabut di sini sangat tinggi meski di siang hari,” kata Puji Utomo, Kepala Desa Kemitir yang dibantu tim dari Program Kreatifitas Mahasiswa Universitas Gajah Mada untuk membuat dan memasang pemanen kabutnya.

Faktor Manusia
Guru besar hidrologi dari Lembaga Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Negeri Semarang, Dewi Liesnoor Setyowati, mengatakan selain perubahan alam karena faktor lingkungan dan manusia, kondisi fisik sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Semarang dan Jawa Tengah memang memprihatinkan. Ia menyebut nama beberapa DAS seperti Kreo, Babon, Sungai Bringin, Sungai Silandak, Sungai Blorong, Sungai Bodri dan Pemali Jratun yang kondisinya tergolong kritis.
Dewi juga mengatakan, perubahan alih fungsi lahan dan kerusakan lingkungan menjadi faktor dominan berkurangnya debit air tanah hingga mengakibatkan ketersediaan air terus menyusut di ambang batas normal. Ketidakseimbangan inilah yang berdampak pada perubahan iklim. “Jumlah air di bumi pada dasarnya tidak mengalami perubahan. Permasalahan air terjadi karena adanya gangguan pada siklus hidrologi akibat aktivitas manusia. Dampaknya ya akan terjadi krisis air,” ujarnya.
Ia menambahkan, perubahan lahan menjadi pemukiman yang terjadi sejak 20 tahun lalu tidak diikuti dengan sistem drainase memadai sehingga berpengaruh besar terhadap siklus hidrologi. .“Yang terpenting mengubah perilaku manusia. Agar prediksi Kota Semarang mengalami krisis air bersih di tahun 2025 itu tidak terjadi,” ungkapnya. Namun Dewi menambahkan bahwa usaha memanen air hujan di sejumlah titik rawan kekeringan dapat dipakai sebagai cara untuk mengantisipasi kurangnya pasokan sumber air, karena upaya konservasi lahan butuh waktu lama.
Nonie Arnee (Semarang)

 http://ekuatorial.com/climate-change/orang-orang-yang-memanen-kabut#!/map=4847&story=post-8968&loc=-6.991859181483679,110.445556640625,7

Rabu, 26 September 2012

Memutar Mesin Waktu Peradaban Jawa

Sepatu treking, tas punggung, jaket, dan buku panduan menuju masa lalu yang belum sempat terbaca menemani perjalanan saya. Sudah lama saya mengimpikan perjalanan yang mirip-mirip memasuki "mesin waktu", ke masa lalu.


Jadi, gerimis pagi pun bukan halangan buat saya mengikuti rombongan fieldtrip geo heritage “Jogja Riwayatmu Dulu“ untuk mengulik sejarah pulau Jawa yang digagas Fakultas Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta dengan panitia Biennale XII.
Pukul 08.00, saya dan 20 orang dari berbagai kota meninggalkan pusat kota Yogyakarta dengan shuttle bus menuju Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto Berbah, Sleman. Tepatnya, di bibir sungai Opak inilah pintu gerbang kami memulai petualangan ke masa 60 juta tahun lalu.


Prasetyadi, ketua rombongan, mengajak kami menyusuri Sungai Opak yang alirannya cukup deras karena hujan semalam. “Kita sudah berada di waktu sekitar 53-40 juta tahun yang lalu,” ucapnya.

Hah, secepat itu dan kami tak menyadari mesin waktu telah berputar. Sebelum kami terperangah ucapannya, doktor geologi dari UPN Veteran Yogyakarta itu meminta kami memperhatikan lokasi tempat kami berdiri. Bongkahan batu besar berwarna hitam mengilat di bibir sungai yang strukturnya menyerupai ban tal. Batu yang menjadi tumpuan kaki sejak tadi inilah yang membawa kami ke masa itu.

Ya, menurutnya, batuan yang kami injak itu sebenarnya merupakan lava cair bersuhu tinggi hasil erupsi gunung api yang membeku cepat karena air hingga membentuk gumpalan menyerupai bantal.

Lava bantal (pillow lava) yang tersingkap oleh gerusan aliran Sungai Opak tentu saja menjadi fenomena alam sangat menarik dan penting karena bukti ini menunjukkan proses awal pembentukan gunung api purba pertama di Jawa. Batuan seperti ini hanya bisa ditemui di beberapa tempat dibagian selatan Jawa, seperti Bayat (Klaten), Pacitan (Jatim), dan Jampang (Jabar). “Gunung api purba berada di bawah laut. Jadi yang kita injak ini dulunya dasar laut dan lava bantal berfungsi sebagai penopangnya,“ imbuhnya.

Lava Bantal

 Ia juga menunjukkan fenomena alam lain di depan kami. Bebatuan berlapis-lapis berwarna putih keabuabuan terang yang berada di sisi seberang sungai hasil endapan debu vulkanis dari erupsi gunung api strato (kerucut). Lapisan debu vulkanis yang sangat tebal ini menandai periode masa kejayaan gunung api purba 36 juta tahun lalu.


Hanya dengan berdiri selama 30 menit, kami menyaksikan dua fase pembentukan gunung api. Yakni fase keluar lava dan letusan debu vulkanik. Tapi jangan salah, meskipun batuan itu berdekatan, jeda peristiwanya mencapai ribuan tahun.


***
RASA penasaran kami untuk melihat kehebatan letusan gunung api purba pada saat itu ditunjukkan ketika Prasetyadi membawa kami ke daerah pertambangan di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan. Lokasinya tak jauh dari kompleks Candi Ijo.


Di tempat ini kami menyaksikan hamparan bukit bebatuan putih berlapis kehitaman karena cuaca. Ketinggiannya sekitar 60 meter. Puncak perbukitan ini mencapai 300 meter dengan ketebalan 250 meter. Di beberapa sisi nampak penambang tradisional melakukan aktivitas penambangan. Mereka ini masyarakat sekitar. Hamparan perbukitan ini adalah bekas tumbukan debu vulkanis erupsi super Semilir gunung api purba yang mahadahsyat sekitar 36-30 juta tahun lalu. Material, hamparan, dan ketebalan erupsi mencapai puluhan kilometer.


Meski nampak kokoh, batuan ini tidak seberat yang dibayangkan. Ringan sekali seperti batu apung dan mudah retak. Struktur batuan di bukit ini makin ke atas semakin halus dan berwarna kuning kecokelatan.
Tentu saja bukan sembarang bukit. Ini bukti episode katastropik atau merusak diri dari gunung api strato yang tadi diceritakan di lava bantal. Seperti karakteristik gunung api pada umumnya, gunung api strato Semilir tak kuat menahan tekanan magma yang semakin besar maka akan menghancurkan diri dengan cara erupsi.




Untuk membuktikan ketebalan endapan debu vulkanik hasil erupsi super Semilir ini, mesin waktu kami berpindah ke daerah Jurang Jero di perbatasan Klaten-Gunung Kidul untuk melihat fenomena yang sama seperti di perbukitan Sambirejo.

Batuan sisa-sisa Semilir super vulkano ini bisa dilihat sampai ke Jawa Timur. Jarak puluhan kilometer yang memisahkan dua tempat ini menajadi bukti kedahsyatan erupsi Semilir waktu itu tak kalah dengan Danau Toba 74 juta tahun lalu.


Bebatuan yang kami saksikan ini tentu saja hanya sedikit dari bekas kaldera Semilir. Menurut Prasetyadi, bentuknya mirip dengan Gunung Bromo yang memiliki batuan serupa dengan bentuk ring yang masih jelas. Namun, di mana posisi tepatnya gunung api purba waktu itu para geologis masih melacaknya karena yang bisa kita ketahui hanya hasil aktivitasnya berupa tumpukan debu vulkanis yang sangat tebal.


Jejak masa kejayaan gunung api purba juga kami temui di situs gunung api Nglanggran di kawasan Piyungan Yogyakarta. Tempat ini memang sudah dikenal sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan. Di lokasi ini terdapat batu dengan ukuran superbesar dan bukit menjulang tinggi berwarna kehitaman. Dalam istilah geologi, batu dan bukit yang disebut bomb atau aglomerat ini adalah lontaran lava hasil erupsi gunung api purba sekitar 36 juta tahun lalu. Situs Nglanggaran ini mempunyai peristiwa yang sama dengan letusan Gunung Rakata yang muncul dari kaldera Gunung Krakatau. 


***
SIKLUS alam yang berganti ternyata juga memengaruhi peradaban gunung api purba dan berganti dengan zaman baru tanpa gunung api. Untuk membuktikan teori itu, mesin waktu kami berputar lebih cepat ke masa 16 juta tahun lalu menuju kawasan Sambipitu Wonosari. 


Platform atau paparan berbentuk bentang alam lanskap di Wonosari dengan ketinggian hampir 300 di atas permukaan laut (dpl) ini merupakan bukti zaman keemasan kehidupan laut yang bersih seperti koral, terumbu karang, berbagai jenis fauna kecil, binatang laut, dan kerang-kerang kecil pada era itu. Bahkan jika dianalogikan, dahulu wilayah ini sama dengan Great Barrier Reef di lautan timur Australia. 


Kami menemukan singkapan geologis berupa batu gamping yang mengandung fosil terumbu dan berbagai jenis fauna kecil. Ini menunjukkan keberadaan daerah selatan Yogyakarta belasan juta tahun lalu merupakan dasar laut yang bersih. Terumbu hidup dengan baik di masa ini tanpa debu vulkanik yang menandai habisnya periode gunung api di era ini. Gunung api yang kami temui sebelumnya sudah tidak aktif lagi. Dan jika sekarang ini menjadi daratan Gunung Kidul karena karst formasi Wonosari terangkat ke atas oleh desakan lempeng Australia. 


Umur pulau Jawa yang masih terekam peneliti memiliki batuan tertua berusia 96 jtua tahun lalu. Dan kami diajak menguak lembaran-lembaran sejarah yang dulu merupakan gabungan dari dua lempeng benua yaitu mikrokontinen Jawa Timur dan paparan Sunda. 


Lantas, jika hasil erupsi super Semilir ini menjadi tulang punggung pulau Jawa, lalu di manakah pondasi Pulau Jawa? Meskipun tidak terkait dengan gunung api, bukti temuan ini juga sangat penting untuk menyatukan keping cerita pembentukan Pulau Jawa. 


Singkapan Geologis
Pertanyaan itu yang membuat mesin waktu kami kembali ke belakang lagi dan bergeser ke wilayah perbukitan terisolasi di perbukitan Jiwo. Tepatnya, dusun Gunung Gajah, Desa Watu Prau Jiwo Barat dan Dusun Sekar Bolo Jiwo Timur, Bayat, Klaten untuk melihat singkapan geologis melalui susunan batuan yang terbentuk sekitar 66 juta tahun lalu. 


Di kawasan tersebut ditemukan beberapa situs bebatuan yang mewakili suatu kejadian geologi ketika Pulau Jawa masih berupa daratan tanpa gunung api dengan sungai-sungai di tepi laut dangkal.
Itu misalnya ditemukan pada batuan sedimen konglomerat yang usianya lebih tua dari peristiwa gunung api purba dan batuan metamor yang menjadi penanda masa awal pembentukan Pulau Jawa yang berbentuk lembaran tipis seperti filet. Warnanya hitam dan mudah hancur. Letaknya persis di samping rumah salah seorang warga berupa gundukan tanah setinggi tiga meter baru terkepras. 




Salah seorang dari rombongan menguji dengan meneteskan asam klorida (HCL) di batuan hingga muncul buih untuk membuktikan bahwa itu batuan karbonet. ”Tempat ini adalah tempat wajib mahasiswa geologi dari berbagai universitas di Jawa karena tempat ini istimewa,” kata Prasetyadi. 


Ya, di kawasan ini, periode sejarah geologi Pulau Jawa bisa ditemukan jejaknya untuk dipelajari.
Tempat ini berdekatan sekali dengan tiga periode yang sudah disebutkan. Di sisi utara yang menjadi masa awal pembentukan Pulau Jawa yang ditandai dengan bebatuan tertua berumur 60 juta tahun lalu. Kemudian masa sebelum kejayaan gunung api purba dan perbukitan Pendul sisi selatan yang masuk kelompok Semilir menandai masa kejayaan gunung api purba. 


Sebuah cerita warisan geologi yang luar biasa komplet tentang perkembangan sejarah Jawa yang terjadi 60 juta tahun yang bisa dinikmati hanya dalam sehari tanpa mengalami jetleg ini tentu saja bisa mengajarkan kita untuk bijaksana dalam menyikapi ancaman geologi yang sedang terjadi. 


Dan siapa tahu geoheritage ini bisa dikemas menjadi wisata alternatif minat khusus yang potensial, sekaligus mengedukasi masyarakat bahwa proses alam yang utuh termasuk bencana kebumian di masa lampau tentu saja merupakan satu mata rantai yang tak terputus dari peristiwa geologi sekarang seperti terjadinya gampa dan letusan gunung berapi. Di luar itu, geoheritage sebenarnya adalah upaya mitigasi bencana.

(Non)

Menapak di batu tertua di Jawa