Pages

Tampilkan postingan dengan label geoheritage. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label geoheritage. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Januari 2016

Merawat Masa Lalu, Menyelamatkan Kota lama Semarang


Menjelang siang di sudut Jalan Kepodang, Semarang, raungan sepeda motor bercampur aduk dengan aroma makanan kaki lima. Terlihat pula beberapa pria dengan ayam aduannya. Tidak jauh dari situ berdiri sebuah gedung tua dengan kondisi merana dan bahkan nyaris hancur.

Belakangan diketahui bangunan merana itu adalah bekas kantor redaksi surat kabar De Locomotief, yang terbit pertama kali pada 1851, dan dikenal sebagai pendukung politik Etis. "Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan," kata Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang, kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee. 
Bekas kantor Surat Kabar De Locomotif yang dirobohkan /nonie

Menurut Rukardi, keberadaan bangunan bersejarah ini tidak tercatat dalam buku Semarai bangunan dan kawasan pusaka budaya kota Semarang (2006) yang diterbitkan pemerintah kota Semarang dan Universitas Diponegoro. “Saya tidak habis pikir, ada sebuah bangunan yang punya nilai sejarah yang sangat tinggi, seperti De Locomotief, itu bisa terlupakan,” Rukardi, pimpinan Komunitas pegiat sejarah, KPS, Semarang. 

Buku ini memuat sekitar 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya, kata Rukardi. "Bahkan sudah melalui proses penelitian, tapi faktual ternyata ada kesalahan, sehingga bangunan itu tidak tercatat sebagai bangunan cagar budaya," katanya.
Rukardi dan orang-orang yang peduli terhadap bangunan cagar budaya telah melaporkan masalah ini kepada Balai pelestarian cagar budaya setempat untuk ditindaklanjuti.

Nasib Pasar Peterongan
Bagaimanapun, kondisi merana yang dialami bangunan De Locomotief menambah daftar panjang bangunan tua bersejarah yang rusak atau dibiarkan terlantar di Semarang. Masyarakat pencinta sejarah di kota itu masih ingat ketika Pasar Peterongan, yang dibangun pada 1916, sebagian bangunannya telah dibongkar, Juli 2015 lalu.

Masalah ini telah dilaporkan ke Wali Kota Semarang, dan kemudian pembongkaran itu untuk sementara dihentikan, menyusul adanya penelitian terakhir yang mengukuhkan bahwa bangunan pasar itu termasuk bangunan cagar budaya.
Semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan.Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono. 
Pembongkaran Konstruksi beton Pasar Peterongan yang dibangun tahun 1916 menjadi polemik / Nonie
Anggota Badan pengelola kawasan kota lama Semarang, Albertus Kriswandhono, yang diberi tanggung jawab menyelesaikan masalah ini, mengharapkan ada kompromi antara kepentingan sejarah dan kebutuhan untuk memperbaiki pasar tersebut. 

Sejauh ini pedagang pasar ditempatkan di tempat lain selama persoalan ini belum dituntaskan, tapi menurut Kriswandhono hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. "Karena ujung dari proses ini adalah ketika cagar budaya ini tidak bisa menyejahterakan masyarakatnya, nggak usah ngomong soal cagar budaya," kata Albertus Kriswandhono.
Dengan kata lain, "semua dapat porsinya masing-masing. Masyarakat sejarah berkontribusi memberikan sejarah, tapi ketika sejarah ini mengakibatkan hanya berpikir satu matra saja yaitu tentang sejarah, ya, yang lain tidak bisa jalan," katanya.

Namun demikian, menurutnya, bisa saja nanti salah-satu opsi jalan keluarnya adalah menyediakan lahan baru untuk pembangunan pasar baru.

Kisah sukses Sobokartti
Sejumlah anak muda tengah latihan tari tradisional di Sasana Sobokartti, sebuah bangunan cagar budaya di Semarang, yang didirikan pada 1929. Keberadaan Sobokartti berikut aktivitas di dalamnya adalah contoh sukses sebuah pelestarian bangunan kuno bersejarah.
Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan upaya konservasi gedung harus berkompromi dengan tuntutan zaman.  "Kami harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang. Misalnya, sekarang kalau pertunjukan membutuhkan lighting (lampu) yang bagus, ya nanti kami harus nambah," kata Tjahjono memberi contoh.
Gedung kesenian Sobokarti yang berhasil dikonservasi /nonie

Dia mengatakan, penambahan fasilitas seperti itu tidak menyalahi kaidah konservasi. "Itu sah-sah saja, nggak melanggar. Sekarang kalau harus punya kamar mandi yang representatif, misalnya dengan mengganti WC jongkok, ya nggak apa-apa."
Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru.Pemilik Galeri Semarang, Chris Darmawan. 

Di Semarang, juga berdiri galeri seni kontemporer Semarang di Jalan Srigunting, yang merupakan hasil konservasi gedung cagar budaya. Pemiliknya, Chris Darmawan menjelaskan, bagaimana dia melakukan konservasi:  "Sambil mengkonservasi, saya memfungsikan bangunan ini menurut fungsinya yang baru. Tujuannya berhasil dua-duanya. Dari segi bangunan, kita menyelamatkannya, tapi dengan membuat bangunan ini hidup dengan memberi fungsi yang baru," jelas Chris Darmawan.

Disulap menjadi galeri seni pada 2008, gedung tua ini dibangun pada 1918. Bangunan ini pernah ditempati sebagai kantor asuransi milik konglomerat Oei Tiong Ham dan berakhir menjadi pabrik sirop hingga 1998.
Salah satu sudut Galeri Semarang di Kawasan Kota Lama /nonie

Minta dicabut status cagar budaya
Seperti yang dialami gedung De Locomotief, sejumlah gedung cagar budaya milik per orangan di kawasan kota tua Semarang banyak terlantar, karena pemiliknya dihadapkan kendala dana. Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti sekaligus dosen arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta, mengatakan sebagian pemilik gedung tua bersejarah di kota lama Semarang, mengaku kesulitan untuk merawat bangunan miliknya. "Ada orang yang keberatan kalau bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Bahkan ada yang pernah minta status sebagai cagar budaya itu dihapus," kata Tjahjono.

Dia melanjutkan, pemilik gedung tua bersejarah itu kemudian mencontohkan dilema yang dialami, utamanya seandainya dia meninggal dunia.
Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu.Tjahjono Raharjo, ketua paguyuban Sasana Sobokartti.  "Misalnya saya meninggal, ahli waris saya ingin membagi harta warisannya, diantaranya rumah itu. Nah, status cagar budaya itu menyulitkan, karena bangunan itu tidak dapat dijual, sementara ahli-ahli waris itu 'kan tidak semuanya orang mampu. Dia butuh uang itu," ungkapnya. 

Akibat kekurangan dana, menurut pimpinan Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, Rukardi, ada sebagian pemilik menelantarkan gedung kuno bersejarah."Mendiamkan bangunan itu dengan harapan bangunan itu roboh dengan sendirinya dan kemudian mereka bisa membangun bangunan baru di atasnya," kata Rukardi.

Di sinilah muncul ide agar pemerintah Kota Semarang memberikan semacam insentif kepada pemilik gedung-gedung kuno sehingga dapat meringankan mereka."Mestinya tidak hanya dibebaskan dari pajak, tapi juga mendapatkan insentif," ujar Rukardi.

Perbaiki infrastruktur

Sekretaris Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang, Irwansyah, tengah menggodok sejumlah jalan keluar untuk menyelesaikan soal kendala dana tersebut. Nanti ada insentif dan disinsentif. PBB (Pajak bumi dan bangunan) juga sedang kita upayakan untuk mereka mendapatkan keringanan. Mungkin kalau itu digunakan untuk usaha, nanti ada keringanan pajak," kata Irwansyah saat dihubungi wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui saluran telepon. 

"Yang sudah kita lakukan, pemerintah kota membantu merecording documenting masing-masing bangunan cagar budaya, terus kita bisa mengarahkan kira-kira apa yang bisa dilakukan terhadap bangunan ini," ungkapnya.

Sejumlah bangunan yang sudah didokumentasikan dan dikaji diantaranya adalah Gedung Marba, bangunan pasar Johar, Pasar Jatingaleh, Restoran Ikan bakar Cianjur, Hotel Dibya Puri, serta Hotel Candi Baru.  Tetapi arsitek dan pegiat pelestarian bangunan cagar budaya, 
Albertus Kriswandhono mengatakan, langkah penting yang harus dilakukan pemerintah kota Semarang adalah memperbaiki infrastruktur:
"Jalan, lampu, listrik, air, itu saja yang Anda perbaiki, tidak banjir, tidak rob, selokannya jalan lancar, itu saja yang diperbaiki, Nah, untuk bekerja di sana, ada aturannya, bertanyalah kepada badan pengelola ini," kata Albertus Kriswandhono. 
Gedung cagar budaya Lawang Sewu difungsikan sebagai museum kereta api / Nonie

Keterangan resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Para pencinta sejarah di Semarang meminta agar pemerintah Kota Semarang dan otoritas terkait terus memperbaharui proses dokumentasi dan pengkajian sehingga dapat melacak dan menyelamatkan bangunan-bangunan kuno bersejarah. (Heyder Affan / Noni Arnee, BBC Indonesia)



Rabu, 26 September 2012

Memutar Mesin Waktu Peradaban Jawa

Sepatu treking, tas punggung, jaket, dan buku panduan menuju masa lalu yang belum sempat terbaca menemani perjalanan saya. Sudah lama saya mengimpikan perjalanan yang mirip-mirip memasuki "mesin waktu", ke masa lalu.


Jadi, gerimis pagi pun bukan halangan buat saya mengikuti rombongan fieldtrip geo heritage “Jogja Riwayatmu Dulu“ untuk mengulik sejarah pulau Jawa yang digagas Fakultas Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta dengan panitia Biennale XII.
Pukul 08.00, saya dan 20 orang dari berbagai kota meninggalkan pusat kota Yogyakarta dengan shuttle bus menuju Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto Berbah, Sleman. Tepatnya, di bibir sungai Opak inilah pintu gerbang kami memulai petualangan ke masa 60 juta tahun lalu.


Prasetyadi, ketua rombongan, mengajak kami menyusuri Sungai Opak yang alirannya cukup deras karena hujan semalam. “Kita sudah berada di waktu sekitar 53-40 juta tahun yang lalu,” ucapnya.

Hah, secepat itu dan kami tak menyadari mesin waktu telah berputar. Sebelum kami terperangah ucapannya, doktor geologi dari UPN Veteran Yogyakarta itu meminta kami memperhatikan lokasi tempat kami berdiri. Bongkahan batu besar berwarna hitam mengilat di bibir sungai yang strukturnya menyerupai ban tal. Batu yang menjadi tumpuan kaki sejak tadi inilah yang membawa kami ke masa itu.

Ya, menurutnya, batuan yang kami injak itu sebenarnya merupakan lava cair bersuhu tinggi hasil erupsi gunung api yang membeku cepat karena air hingga membentuk gumpalan menyerupai bantal.

Lava bantal (pillow lava) yang tersingkap oleh gerusan aliran Sungai Opak tentu saja menjadi fenomena alam sangat menarik dan penting karena bukti ini menunjukkan proses awal pembentukan gunung api purba pertama di Jawa. Batuan seperti ini hanya bisa ditemui di beberapa tempat dibagian selatan Jawa, seperti Bayat (Klaten), Pacitan (Jatim), dan Jampang (Jabar). “Gunung api purba berada di bawah laut. Jadi yang kita injak ini dulunya dasar laut dan lava bantal berfungsi sebagai penopangnya,“ imbuhnya.

Lava Bantal

 Ia juga menunjukkan fenomena alam lain di depan kami. Bebatuan berlapis-lapis berwarna putih keabuabuan terang yang berada di sisi seberang sungai hasil endapan debu vulkanis dari erupsi gunung api strato (kerucut). Lapisan debu vulkanis yang sangat tebal ini menandai periode masa kejayaan gunung api purba 36 juta tahun lalu.


Hanya dengan berdiri selama 30 menit, kami menyaksikan dua fase pembentukan gunung api. Yakni fase keluar lava dan letusan debu vulkanik. Tapi jangan salah, meskipun batuan itu berdekatan, jeda peristiwanya mencapai ribuan tahun.


***
RASA penasaran kami untuk melihat kehebatan letusan gunung api purba pada saat itu ditunjukkan ketika Prasetyadi membawa kami ke daerah pertambangan di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan. Lokasinya tak jauh dari kompleks Candi Ijo.


Di tempat ini kami menyaksikan hamparan bukit bebatuan putih berlapis kehitaman karena cuaca. Ketinggiannya sekitar 60 meter. Puncak perbukitan ini mencapai 300 meter dengan ketebalan 250 meter. Di beberapa sisi nampak penambang tradisional melakukan aktivitas penambangan. Mereka ini masyarakat sekitar. Hamparan perbukitan ini adalah bekas tumbukan debu vulkanis erupsi super Semilir gunung api purba yang mahadahsyat sekitar 36-30 juta tahun lalu. Material, hamparan, dan ketebalan erupsi mencapai puluhan kilometer.


Meski nampak kokoh, batuan ini tidak seberat yang dibayangkan. Ringan sekali seperti batu apung dan mudah retak. Struktur batuan di bukit ini makin ke atas semakin halus dan berwarna kuning kecokelatan.
Tentu saja bukan sembarang bukit. Ini bukti episode katastropik atau merusak diri dari gunung api strato yang tadi diceritakan di lava bantal. Seperti karakteristik gunung api pada umumnya, gunung api strato Semilir tak kuat menahan tekanan magma yang semakin besar maka akan menghancurkan diri dengan cara erupsi.




Untuk membuktikan ketebalan endapan debu vulkanik hasil erupsi super Semilir ini, mesin waktu kami berpindah ke daerah Jurang Jero di perbatasan Klaten-Gunung Kidul untuk melihat fenomena yang sama seperti di perbukitan Sambirejo.

Batuan sisa-sisa Semilir super vulkano ini bisa dilihat sampai ke Jawa Timur. Jarak puluhan kilometer yang memisahkan dua tempat ini menajadi bukti kedahsyatan erupsi Semilir waktu itu tak kalah dengan Danau Toba 74 juta tahun lalu.


Bebatuan yang kami saksikan ini tentu saja hanya sedikit dari bekas kaldera Semilir. Menurut Prasetyadi, bentuknya mirip dengan Gunung Bromo yang memiliki batuan serupa dengan bentuk ring yang masih jelas. Namun, di mana posisi tepatnya gunung api purba waktu itu para geologis masih melacaknya karena yang bisa kita ketahui hanya hasil aktivitasnya berupa tumpukan debu vulkanis yang sangat tebal.


Jejak masa kejayaan gunung api purba juga kami temui di situs gunung api Nglanggran di kawasan Piyungan Yogyakarta. Tempat ini memang sudah dikenal sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan. Di lokasi ini terdapat batu dengan ukuran superbesar dan bukit menjulang tinggi berwarna kehitaman. Dalam istilah geologi, batu dan bukit yang disebut bomb atau aglomerat ini adalah lontaran lava hasil erupsi gunung api purba sekitar 36 juta tahun lalu. Situs Nglanggaran ini mempunyai peristiwa yang sama dengan letusan Gunung Rakata yang muncul dari kaldera Gunung Krakatau. 


***
SIKLUS alam yang berganti ternyata juga memengaruhi peradaban gunung api purba dan berganti dengan zaman baru tanpa gunung api. Untuk membuktikan teori itu, mesin waktu kami berputar lebih cepat ke masa 16 juta tahun lalu menuju kawasan Sambipitu Wonosari. 


Platform atau paparan berbentuk bentang alam lanskap di Wonosari dengan ketinggian hampir 300 di atas permukaan laut (dpl) ini merupakan bukti zaman keemasan kehidupan laut yang bersih seperti koral, terumbu karang, berbagai jenis fauna kecil, binatang laut, dan kerang-kerang kecil pada era itu. Bahkan jika dianalogikan, dahulu wilayah ini sama dengan Great Barrier Reef di lautan timur Australia. 


Kami menemukan singkapan geologis berupa batu gamping yang mengandung fosil terumbu dan berbagai jenis fauna kecil. Ini menunjukkan keberadaan daerah selatan Yogyakarta belasan juta tahun lalu merupakan dasar laut yang bersih. Terumbu hidup dengan baik di masa ini tanpa debu vulkanik yang menandai habisnya periode gunung api di era ini. Gunung api yang kami temui sebelumnya sudah tidak aktif lagi. Dan jika sekarang ini menjadi daratan Gunung Kidul karena karst formasi Wonosari terangkat ke atas oleh desakan lempeng Australia. 


Umur pulau Jawa yang masih terekam peneliti memiliki batuan tertua berusia 96 jtua tahun lalu. Dan kami diajak menguak lembaran-lembaran sejarah yang dulu merupakan gabungan dari dua lempeng benua yaitu mikrokontinen Jawa Timur dan paparan Sunda. 


Lantas, jika hasil erupsi super Semilir ini menjadi tulang punggung pulau Jawa, lalu di manakah pondasi Pulau Jawa? Meskipun tidak terkait dengan gunung api, bukti temuan ini juga sangat penting untuk menyatukan keping cerita pembentukan Pulau Jawa. 


Singkapan Geologis
Pertanyaan itu yang membuat mesin waktu kami kembali ke belakang lagi dan bergeser ke wilayah perbukitan terisolasi di perbukitan Jiwo. Tepatnya, dusun Gunung Gajah, Desa Watu Prau Jiwo Barat dan Dusun Sekar Bolo Jiwo Timur, Bayat, Klaten untuk melihat singkapan geologis melalui susunan batuan yang terbentuk sekitar 66 juta tahun lalu. 


Di kawasan tersebut ditemukan beberapa situs bebatuan yang mewakili suatu kejadian geologi ketika Pulau Jawa masih berupa daratan tanpa gunung api dengan sungai-sungai di tepi laut dangkal.
Itu misalnya ditemukan pada batuan sedimen konglomerat yang usianya lebih tua dari peristiwa gunung api purba dan batuan metamor yang menjadi penanda masa awal pembentukan Pulau Jawa yang berbentuk lembaran tipis seperti filet. Warnanya hitam dan mudah hancur. Letaknya persis di samping rumah salah seorang warga berupa gundukan tanah setinggi tiga meter baru terkepras. 




Salah seorang dari rombongan menguji dengan meneteskan asam klorida (HCL) di batuan hingga muncul buih untuk membuktikan bahwa itu batuan karbonet. ”Tempat ini adalah tempat wajib mahasiswa geologi dari berbagai universitas di Jawa karena tempat ini istimewa,” kata Prasetyadi. 


Ya, di kawasan ini, periode sejarah geologi Pulau Jawa bisa ditemukan jejaknya untuk dipelajari.
Tempat ini berdekatan sekali dengan tiga periode yang sudah disebutkan. Di sisi utara yang menjadi masa awal pembentukan Pulau Jawa yang ditandai dengan bebatuan tertua berumur 60 juta tahun lalu. Kemudian masa sebelum kejayaan gunung api purba dan perbukitan Pendul sisi selatan yang masuk kelompok Semilir menandai masa kejayaan gunung api purba. 


Sebuah cerita warisan geologi yang luar biasa komplet tentang perkembangan sejarah Jawa yang terjadi 60 juta tahun yang bisa dinikmati hanya dalam sehari tanpa mengalami jetleg ini tentu saja bisa mengajarkan kita untuk bijaksana dalam menyikapi ancaman geologi yang sedang terjadi. 


Dan siapa tahu geoheritage ini bisa dikemas menjadi wisata alternatif minat khusus yang potensial, sekaligus mengedukasi masyarakat bahwa proses alam yang utuh termasuk bencana kebumian di masa lampau tentu saja merupakan satu mata rantai yang tak terputus dari peristiwa geologi sekarang seperti terjadinya gampa dan letusan gunung berapi. Di luar itu, geoheritage sebenarnya adalah upaya mitigasi bencana.

(Non)

Menapak di batu tertua di Jawa