Sepatu treking, tas punggung, jaket,
dan buku panduan menuju masa lalu yang belum sempat terbaca menemani perjalanan
saya. Sudah lama saya mengimpikan perjalanan yang mirip-mirip memasuki
"mesin waktu", ke masa lalu.
Jadi, gerimis pagi pun bukan halangan buat saya mengikuti
rombongan fieldtrip geo heritage “Jogja Riwayatmu Dulu“ untuk mengulik sejarah
pulau Jawa yang digagas Fakultas Geologi Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Yogyakarta dengan panitia Biennale XII.
Pukul 08.00, saya dan 20 orang dari berbagai kota
meninggalkan pusat kota Yogyakarta
dengan shuttle bus menuju Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto Berbah, Sleman.
Tepatnya, di bibir sungai Opak inilah pintu gerbang kami memulai petualangan ke
masa 60 juta tahun lalu.
Prasetyadi, ketua rombongan, mengajak kami menyusuri Sungai Opak yang
alirannya cukup deras karena hujan semalam. “Kita sudah berada di waktu sekitar
53-40 juta tahun yang lalu,” ucapnya.
Hah, secepat itu dan kami tak menyadari mesin waktu telah berputar. Sebelum
kami terperangah ucapannya, doktor
geologi dari UPN Veteran Yogyakarta itu meminta kami memperhatikan lokasi
tempat kami berdiri. Bongkahan batu besar berwarna hitam mengilat di bibir
sungai yang strukturnya menyerupai ban tal. Batu yang menjadi tumpuan kaki
sejak tadi inilah yang membawa kami ke masa itu.
Ya, menurutnya, batuan yang kami injak itu sebenarnya merupakan lava cair
bersuhu tinggi hasil erupsi gunung api yang membeku cepat karena air hingga
membentuk gumpalan menyerupai bantal.
Lava bantal (pillow lava) yang tersingkap oleh gerusan aliran Sungai Opak
tentu saja menjadi fenomena alam sangat menarik dan penting karena bukti ini
menunjukkan proses awal pembentukan gunung api purba pertama di Jawa. Batuan
seperti ini hanya bisa ditemui di beberapa tempat dibagian selatan Jawa,
seperti Bayat (Klaten), Pacitan (Jatim), dan Jampang (Jabar). “Gunung api purba
berada di bawah laut. Jadi yang kita injak ini dulunya dasar laut dan lava
bantal berfungsi sebagai penopangnya,“ imbuhnya.
Lava Bantal |
Ia juga menunjukkan fenomena alam lain di depan kami. Bebatuan
berlapis-lapis berwarna putih keabuabuan terang yang berada di sisi seberang
sungai hasil endapan debu vulkanis dari erupsi gunung api strato (kerucut).
Lapisan debu vulkanis yang sangat tebal ini menandai periode masa kejayaan
gunung api purba 36 juta tahun lalu.
Hanya dengan berdiri selama 30 menit, kami menyaksikan dua fase pembentukan
gunung api. Yakni fase keluar lava dan letusan debu vulkanik. Tapi jangan
salah, meskipun batuan itu berdekatan, jeda peristiwanya mencapai ribuan tahun.
***
RASA penasaran kami untuk melihat kehebatan letusan gunung api purba pada
saat itu ditunjukkan ketika Prasetyadi membawa kami ke daerah pertambangan di
Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan. Lokasinya tak jauh dari kompleks Candi
Ijo.
Di tempat ini kami menyaksikan hamparan bukit bebatuan putih berlapis
kehitaman karena cuaca. Ketinggiannya sekitar 60 meter. Puncak perbukitan ini
mencapai 300 meter dengan ketebalan 250 meter. Di beberapa sisi nampak
penambang tradisional melakukan aktivitas penambangan. Mereka ini masyarakat
sekitar. Hamparan perbukitan ini adalah bekas tumbukan debu vulkanis erupsi
super Semilir gunung api purba yang mahadahsyat sekitar 36-30 juta tahun lalu. Material,
hamparan, dan ketebalan erupsi mencapai puluhan kilometer.
Meski nampak kokoh, batuan ini tidak seberat yang dibayangkan. Ringan sekali
seperti batu apung dan mudah retak. Struktur batuan di bukit ini makin ke atas
semakin halus dan berwarna kuning kecokelatan.
Tentu saja bukan sembarang bukit. Ini bukti episode katastropik atau merusak
diri dari gunung api strato yang tadi diceritakan di lava bantal. Seperti
karakteristik gunung api pada umumnya, gunung api strato Semilir tak kuat
menahan tekanan magma yang semakin besar maka akan menghancurkan diri dengan
cara erupsi.
Untuk membuktikan ketebalan endapan debu vulkanik hasil erupsi super Semilir
ini, mesin waktu kami berpindah ke daerah Jurang Jero di perbatasan
Klaten-Gunung Kidul untuk melihat fenomena yang sama seperti di perbukitan Sambirejo.
Batuan sisa-sisa Semilir super vulkano ini bisa dilihat sampai ke Jawa Timur. Jarak puluhan kilometer yang memisahkan dua tempat ini menajadi bukti kedahsyatan erupsi Semilir waktu itu tak kalah dengan Danau Toba 74 juta tahun lalu.
Bebatuan yang kami saksikan ini tentu saja hanya sedikit dari bekas kaldera
Semilir. Menurut Prasetyadi, bentuknya mirip dengan Gunung Bromo yang memiliki
batuan serupa dengan bentuk ring yang masih jelas. Namun, di mana posisi
tepatnya gunung api purba waktu itu para geologis masih melacaknya karena yang
bisa kita ketahui hanya hasil aktivitasnya berupa tumpukan debu vulkanis yang
sangat tebal.
Jejak masa kejayaan gunung api purba juga kami temui di situs gunung api
Nglanggran di kawasan Piyungan Yogyakarta.
Tempat ini memang sudah dikenal sebagai objek wisata yang banyak dikunjungi
wisatawan. Di lokasi ini terdapat batu dengan ukuran superbesar dan bukit
menjulang tinggi berwarna kehitaman. Dalam istilah geologi, batu dan bukit yang
disebut bomb atau aglomerat ini adalah lontaran lava hasil erupsi gunung api
purba sekitar 36 juta tahun lalu. Situs Nglanggaran ini mempunyai peristiwa
yang sama dengan letusan Gunung Rakata yang muncul dari kaldera Gunung
Krakatau.
***
SIKLUS alam yang berganti ternyata juga memengaruhi peradaban
gunung api purba dan berganti dengan zaman baru tanpa gunung api. Untuk
membuktikan teori itu, mesin waktu kami berputar lebih cepat ke masa 16 juta
tahun lalu menuju kawasan Sambipitu Wonosari.
Platform atau paparan berbentuk bentang alam lanskap di Wonosari dengan
ketinggian hampir 300 di atas permukaan laut (dpl) ini merupakan bukti zaman
keemasan kehidupan laut yang bersih seperti koral, terumbu karang, berbagai
jenis fauna kecil, binatang laut, dan kerang-kerang kecil pada era itu. Bahkan
jika dianalogikan, dahulu wilayah ini sama dengan Great Barrier Reef di lautan
timur Australia.
Kami menemukan singkapan geologis berupa batu gamping yang mengandung fosil
terumbu dan berbagai jenis fauna kecil. Ini menunjukkan keberadaan daerah
selatan Yogyakarta belasan juta tahun lalu
merupakan dasar laut yang bersih. Terumbu hidup dengan baik di masa ini tanpa
debu vulkanik yang menandai habisnya periode gunung api di era ini. Gunung api
yang kami temui sebelumnya sudah tidak aktif lagi. Dan jika sekarang ini
menjadi daratan Gunung Kidul karena karst formasi Wonosari terangkat ke atas
oleh desakan lempeng Australia.
Umur pulau Jawa yang masih terekam peneliti memiliki batuan tertua berusia
96 jtua tahun lalu. Dan kami diajak menguak lembaran-lembaran sejarah yang dulu
merupakan gabungan dari dua lempeng benua yaitu mikrokontinen Jawa Timur dan
paparan Sunda.
Lantas, jika hasil erupsi super Semilir ini menjadi tulang punggung pulau
Jawa, lalu di manakah pondasi Pulau Jawa? Meskipun tidak terkait dengan gunung
api, bukti temuan ini juga sangat penting untuk menyatukan keping cerita
pembentukan Pulau Jawa.
Singkapan Geologis
Pertanyaan itu yang membuat mesin waktu kami kembali ke
belakang lagi dan bergeser ke wilayah perbukitan terisolasi di perbukitan Jiwo.
Tepatnya, dusun Gunung Gajah, Desa Watu Prau Jiwo Barat dan Dusun Sekar Bolo
Jiwo Timur, Bayat, Klaten untuk melihat singkapan geologis melalui susunan
batuan yang terbentuk sekitar 66 juta tahun lalu.
Di kawasan tersebut ditemukan beberapa situs bebatuan yang mewakili suatu
kejadian geologi ketika Pulau Jawa masih berupa daratan tanpa gunung api dengan
sungai-sungai di tepi laut dangkal.
Itu misalnya ditemukan pada batuan sedimen konglomerat yang usianya lebih
tua dari peristiwa gunung api purba dan batuan metamor yang menjadi penanda
masa awal pembentukan Pulau Jawa yang berbentuk lembaran tipis seperti filet.
Warnanya hitam dan mudah hancur. Letaknya persis di samping rumah salah seorang
warga berupa gundukan tanah setinggi tiga meter baru terkepras.
Salah seorang dari rombongan menguji dengan meneteskan asam klorida (HCL) di
batuan hingga muncul buih untuk membuktikan bahwa itu batuan karbonet. ”Tempat
ini adalah tempat wajib mahasiswa geologi dari berbagai universitas di Jawa
karena tempat ini istimewa,” kata Prasetyadi.
Ya, di kawasan ini, periode sejarah geologi Pulau Jawa bisa ditemukan
jejaknya untuk dipelajari.
Tempat ini berdekatan sekali dengan tiga periode yang sudah disebutkan. Di
sisi utara yang menjadi masa awal pembentukan Pulau Jawa yang ditandai dengan
bebatuan tertua berumur 60 juta tahun lalu. Kemudian masa sebelum kejayaan
gunung api purba dan perbukitan Pendul sisi selatan yang masuk kelompok Semilir
menandai masa kejayaan gunung api purba.
Sebuah cerita warisan geologi yang luar biasa komplet tentang perkembangan
sejarah Jawa yang terjadi 60 juta tahun yang bisa dinikmati hanya dalam sehari
tanpa mengalami jetleg ini tentu saja bisa mengajarkan kita untuk bijaksana
dalam menyikapi ancaman geologi yang sedang terjadi.
Dan siapa tahu geoheritage ini bisa dikemas menjadi wisata alternatif minat
khusus yang potensial, sekaligus mengedukasi masyarakat bahwa proses alam yang
utuh termasuk bencana kebumian di masa lampau tentu saja merupakan satu mata
rantai yang tak terputus dari peristiwa geologi sekarang seperti terjadinya
gampa dan letusan gunung berapi. Di luar itu, geoheritage sebenarnya adalah
upaya mitigasi bencana.
(Non)
Menapak di batu tertua di Jawa |