Pages

Tampilkan postingan dengan label lembah baliem. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lembah baliem. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Oktober 2012

Kopi itu Tercium Hingga Starbucks



Satu minuman kopi favorit  di kedai kopi modern asal Amerika Starbucks  berasal dari Pegunungan Tengah Papua? bahkan  citarasanyapun  menandingi Jamaica Blue Mountain Coffee, kopi  Jamaica yang disebut sebagai one of the best coffee in the world yang pernah saya nikmati beberapa waktu lalu.

Pertanyaan itu terjawab ketika saya diajak mengunjungi kebun kopi seluas enam hektar milik Anthon Kurisi, salah satu petani kopi di kampung Asologaima, Distrik Muliama, Kabupaten Jayawijaya, yang berjarak sekitar satu jam dari kota Wamena untuk melihat sejuh mana pengelolaan perkebunan kopi tersebut.

Kampung Asologaima adalah satu  dari sekian banyak perkebunan kopi yang tersebar di beberapa distrik seperti Distrik Asotipo, Distrik Yamo, Distrik Mewoluk, wilayah Tingginambut dan distrik Ilu.

Kebun kopi di kawasan ini menghasilkan salah satu kopi terbaik di dunia karena biji kopi jenis arabika ini berasal dari perkebunan alami yang ditanam di ketinggian 1600meter dari permukaan laut. Ini merupakan  perkebunan paling tinggi dibandingkan kebun-kebun kopi lain yang rata-rata ditanam di ketinggian 1200mdpl. 
Akhirnya nemu foto ini di internet, hehe...

Menurut Anthon, ketinggian inilah yang  menghasilkan tingkat keasaman yang relatif rendah sehingga menghasilkan citarasa tinggi. Apalagi, penanaman kopi di Kabupaten Jayawijaya umumnya juga masih dikelola secara tradisional oleh mayarakat setempat,  dengan peralatan sederhana dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia untuk merangsang pertumbuhan maupun meningkatkan produktivitas. “ Ada perda larangan penggunaan pestisida,” jelas Anthon.

Jadi, wajar saja kopi asal Pegunungan Tengan Papua yang biasa disebut kopi Wamena mempunyai rasa yang khas dan layak disebut sebagai “kopi organik”. Bahkan, saking tradisionalnya, perkebunan seluas enam hektar ini juga unik karena masih seperti hutan dan heterogenous,tidak hanya pohon kopi saja yang ditanam di perkebunan.

Ini yang membuat kopi organik yang berasal dari dataran tinggi Wamena ini mempunyai kualitas tinggi dan  sangat diminati pasar luar neger.  Melalui koperasi,  biji kopi organik dikirim ke Starbucks Corporation. Ekspor perdananya dilakukan 2008 lalu.

Memang, pengembangan tanaman kopi di Pegunungan Tengah Papua baru berjalan dalam satu dekade terakhir ini. Awalnya strategi  pemanfaatan potensi kopi digulirkan pemerintah setempat  sebagai upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan masyarakat karena tidak adanya alternatif pandapatan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Lorentz.  

Dengan melihat potensi penduduk lokal sebagai peladang ubi jalar yang handal, cara bercocok tanam kopi dimulai awal tahun 1990an. Hingga kini terus berkembang dengan adanya  pendampingan dari sejumlah pihak seperti World Wild Fund (WWF), United States Agency for International Development (USAID) dan Agribusiness Market and Support Activity (Amarta) mengenai program Papua Agriculture Development Alliance (PADA) untuk meningkatkan produksi dan kualitas kopi arabika di Lembah Baliem. Bahkan  tahun ini pemerintah daerah mencanangkan program Gerakan tanam kopi (Gertak). “Harapannya berkembang dengan semakin meluasnya areal tanaman kopi di beberapa distrik,” imbuh Leader Project Manager Program Lorenz WWF Indonesia, Wamena, Petrus Alberth Dewantoro Talubun. 
Akhirnya nemu biji kopi Wamena di pasar
Tapi sungguh sangat disayangkan, kopi produk organik dengan rasa sangat khas bila  diseduh menghasilkan rasa yang bukan saja intensely aromatic alias harum semerbak, tidak terlalu kental, tidak terlalu pahit dan juga meninggalkan after taste rasa asam yang lembut ini kurang membumi di Wamena.
Saya cukup kesulitan mencari kopi Wamena saat berada di sana. Mungkin saja karena telah diborong oleh pengepul. Atau masyarakat Wamena yang tidak ”doyan ngopi”  meski mereka tinggal di dataran tinggi yang dingin. 

Noni Arnee

Rabu, 10 Oktober 2012

Jangan Lupa “Selingkuh” Dulu…



Setelah check-in di hotel kita langsung ke Restoran S Mas Budi. Kita “selingkuh“dulu.“ Pernyataan Mas Dewanto yang menjadi pemandu kami selama di Wamena sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, baru saja kendaraan yang kami tumpangi keluar dari Bandar Udara Wamena, dia sudah menawarkan sesuatu yang membuat Saya dan rombongan menyerngitkan dahi.

Dia terbahak melihat raut wajah saya yang penuh tanda tanya dan curiga. “Jangan khawatir, maksudnya kami mengajak makan siang di restoran Mas Budi. Ada makanan khas Lembah Baliem yang wajib dinikmati kalau datang ke sini.“

Makanan khas? Ternyata yang dimaksud adalah menu makanan bernama “udang selingkuh“ (cherax albertisii).
Makanan ini sangat terkenal. Di sejumlah restoran, hidangan udang selingkuh menjadi hidangan utama yang paling diburu para wisatawan yang datang ke Wamena.

Disebut demikian karena menu khas santapan di Wamena ini mempunyai bentuk badan seperti udang, tapi bercapit layaknya seekor kepiting. Kulitnya juga lebih keras dibanding udang biasa. Masyarakat di Wamena menyebut udang jenis lobster air tawar ini dengan nama udang selingkuh karena dianggap sebagai hasil “perselingkuhan“ antara udang dan kepiting.

Tidak hanya dilihat dari bentuk dan ukurannya yang lebih besar. Udang jenis ini begitu spesial karena hanya hidup di air tawar di Sungai Baliem dan disalah satu bagian di Australia.

** 
Dan hidangan udang selingkuh goreng saus mentegapun siap di meja untuk disantap. “Rasanya lezat.
Dagingnya lebih kenyal dan manis,“ kata salah seorang rombongan kami.
Tidak hanya di masak saus mentega, udang selingkuh juga lezat dengan berbagai pilihan dan selera seperti saus asam manis, rica-rica, atau disajikan dengan woku (masakan Menado). Dinikmati dengan nasi putih yang hangat bersama sayuran seperti cap cay, ca cangkung dan ca bunga pepaya yang berasal dari perkebunan organik di Wamena.. Hidangan inipun lebih lengkap lagi dengan sajian minuman jus terong Belanda yang segar.



Di restoran Mas Budi, seporsi udang selingkuh dipatok dengan harga Rp 90 ribu, cukup untuk dua orang dewasa.
Jumlah isi dalam setiap porsi tergantung dari ukuran udangnya. Jika udangnya besar, satu porsi hanya berisi dua ekor saja. Tapi belum tentu juga hidangan ini bisa ditemui sewaktu-waktu.

Udang selingkuh sulit didapat karena bergantung pada musim. Maklum udang selingkuh hingga kini memang tidak dibudidaya secara khusus di Wamena. Sejumlah restoran besar yang ada di kota ini masih dan hanya mengandalkan dari hasil tangkapan penduduk lokal yang berburu secara tradisional di Sungai Baliem. Mereka biasanya menjual langsung ke restoran dengan harga berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta per kantong plastik. Berapa kilogram beratnya memang tidak bisa dipastikan, karena penduduk lokal ini memakai ukuran kantong plastik untuk menjual udang selingkuh tangkapannya. Harga udang mentah memang bisa membumbung tinggi jika pasokan udang terbatas.

Selain Restoran Mas Budi, menu udang selingkuh dapat dicari disejumlah restoran seperti di Restoran Baliem Pilamo, Kafe Pilamo atau Blambangan.

Yang jelas jangan datang pada saat musim penghujan (banjir) karena udang selingkuh akan hilang dari peredaran di restoran alias stok kosong. Dan kami cukup beruntung bisa menikmatinya meski ukurannya lebih kecil dari biasanya.

Ya, rasa lelah setelah menunggu pesawat delay hingga beberapa jam sebelum menempuh perjalanan dari Jayapura ke Wamena seakan terbayar dengan kenikmatan udang selingkuh yang istimewa ini.
(non)