Pages

Tampilkan postingan dengan label wisatawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisatawan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Desember 2019

Revitalisasi Kota Lama Semarang, Pelestarian bangunan bersejarah dengan “Beautifikasi”


Kota Lama Semarang yang dulu nyaris terlantar, kini dibanjiri pelancong. Revitalisasi bertahap, mampu menghidupkan kawasan yang dikenal dengan sebutan Little Netherland. Namun, revitalisasi ini dikritik karena dianggap menghilangkan keautentikan sejarah.
======
Suasana Malam di Kota lama Semarang. Foto:Noni
Sudut-Sudut Kota Lama menjadi Objek Swafoto yang Menarik. Foto:Noni


Senja di langit Kota Lama Semarang berganti malam. Suasana di depan Gereja Blenduk justru semakin ramai dengan lalu lalang pejalan kaki dan kendaraan yang melintas di depan bangunan yang didirikan pada 1753, dan salah-satu ikon penting Semarang.
Tak hanya itu, segerombolan anak muda nampak asyik bergaya dan berfoto bersama di depan gereja yang berada di jalan utama Kawasan Kota Lama yang dulu disebut de Herenstaart ( sekarang Jalan Letjend Suprapto).
Pengamen jalanan menjadi hiburan para pelancong di Kawasan Kota Lama Semarang. Foto : Noni

Semakin malam Kawasan Kota Lama, semakin ramai dengan pelancong yang ingin menikmati suasana dan hiburan musik jalanan yang ada di sejumlah titik di bibir jalan.
Pemandangan seperti itu sebelumnya jarang terlihat di kawasan gereja Blenduk dan sudut-sudut lainnya. Saat beranjak malam, kala itu, orang-orang berpikir ulang untuk mengunjungi kawasan kota lama yang dianggap “rawan” dan gelap.

Tapi, Lima tahun terakhir ini perlahan berubah. "Sekarang makin ramai, makin terang jalan-jalannya," aku Dian Ariesyana, warga setempat, yang menyulap rumahnya di seberang Taman Srigunting sebagai tempat usaha. "Dan, aman. Kami senang, tentu saja..."," tambahnya.
Banyak gedung kuno di kawasan Kota Lama yang semula tidak terawat, direstorasi oleh pemiliknya dan disulap menjadi Kafe dan usaha lainnya sehingga kawasan ini menjadi lebih “hidup”.

Revitalisasi Bertahap

Sudah sejak lama ada kesadaran yang terus tumbuh untuk merawat sejarah dengan berikhtiar menyelamatkan ratusan gedung tua di kawasan Kota lama Semarang.

Toh, pekerjaan rumah untuk menyelamatkan semua bangunan tua bersejarah yang sebagian masuk kategori cagar budaya, serta kawasan Kota Lama Semarang secara menyeluruh, bukanlah seperti membalik tangan.

Upaya penyelamatan gedung-gedung tua di Semarang, yang sebagian masuk kategori dilindungi, dihadapkan pada masalah klasik, yaitu dana.

Revitalisasi tidak terlepas dari tangan dingin Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, yang sejak dua tahun lalu, menggenjot pembangunan fisik di kawasan itu, dengan guyuran dana pemerintah pusat hingga Rp160 miliar.

Sempat tersendat pada awalnya, proyek ambisius Hendi - panggilan akrabnya - mampu merevitalisasi sekitar 80% dari 116 bangunan cagar budaya dan memugar infrastruktur pendukungnya hingga September 2019 lalu. Tahun ini, revitalisasi memasuki tahap kedua.

Setelah terpilih sebagai Wali Kota Semarang pada 2012, Hendi meneken apa yang disebut Piagam Komitmen Kota Pusaka, yang intinya semacam komitmen untuk mengajak semua pihak menyelamatkan kawasan kota lama.
Suasana sore di Kota Lama pasca Revitalisasi Tahap Pertama. Foto:Noni

Langkah awal, dilakukan dengan memperbaiki salah-satu persoalan terbesar, yaitu rob dan banjir di kawasan kota lama, dengan memperbaiki sistem drainase perkotaan Kali Semarang.
Lainnya? "Kami terus memprovokasi para pemilik gedung (yang masuk kategori cagar budaya) untuk bersama-sama menjadikan Kota Lama sebagai ikon Semarang," kata Hendi, empat tahun silam.

Pelibatan pemilik gedung, memang, menjadi sangat penting, karena keberadaan gedung-gedung itu merupakan daya tarik kawasan itu. Masalahnya, dari 245 bangunan di kawasan itu, 177 dan 68 bangunan merupakan milik perorangan dan swasta.

Sudah menjadi rahasia umum, tidak semua pemilik bangunan mau merogoh kocek untuk merestorasi bangunan miliknya, karena memang tidak murah. Itulah sebabnya, mereka justru ingin gedungnya tidak termasuk yang dilindungi, sehingga mereka bisa menjualnya.

Pemerintah Kota Semarang sampai turun tangan dengan memberikan keringanan 50% Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada pemilik gedung lama yang mau memperbaiki dan merawatnya.
"Itu salah-satu insentif bagaimana kita untuk merevitalisasi kawasan kota lama," kata Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu.

Mereka juga menawarkan investor baru untuk mengelola gedung apabila mereka tidak mampu melestarikannya. "Kalau mereka tidak mau mampu, kita akan carikan investor," ujarnya.

Demi merangsang kesadaran para pemilik gedung tua, Pemkot Semarang bahkan membeli salah-satu gedung cagar budaya bernama Oudetrap di dekat Gereja Blenduk, dan disulap menjadi gedung serbaguna.

Dihadapkan kembali pada masalah dana, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi meminta uluran tangan pemerintah pusat agar terlibat mendanai revitalisasi Kota Lama karena kucuran dana APBD Jawa Tengah dan Kota Semarang, dianggap tidak cukup untuk membiayai proyek ambisius meremajakan kawasan tersebut.

"Ada anggaran Rp5 miliar, tapi itu hanya cukup untuk pembangunan satu ruas jalan. Lah, kapan selesainya," kata Hevearita.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akhirnya menggelontorkan total anggaran Rp183 miliar untuk merevitalisasi kawasan tersebut pada 2017.
"Penataan dilakukan agar kawasan lebih tertata, nyaman dan bisa menjadi tujuan wisata," kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono saat meninjau pengerjaan penataan kawasan Kota Lama Semarang, akhir Maret 2019 lalu.

Menteri PUPR meminta agar penyelesaian proyek itu tetap memperhatikan kebersihan kota dan berhati-hati agar tidak merusak situs budaya yang ada di Kota Lama. "Ini merupakan pekerjaan seni, sehingga perlu diperhatikan detil dan kerapihannya," ujar menteri.

Revitalisasi kawasan ini meliputi penataan prasarana dan sarana seperti utilitas saluran PDAM, kabel telepon, serta listrik. Kementerian PUPR juga memberikan fasilitas tambahan, diantaranya tempat duduk panjang, tempat sampah, lampu penerangan jalan utama dan trotoar.

Dalam rangkaian ini, pemerintah pusat juga melakukan perbaikan jalan, drainase, halte, hingga dua kolam retensi Berok dan Bubakan yang akan dipompa dan dialirkan menuju kali Semarang.
Sampai September 2019, tahap pertama revitalisasi sudah dinyatakan berakhir, dan ada sekitar 116 bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Semarang yang hampir 80% sudah direvitalisasi.
"Memang ada yang belum (direvitalisasi), karena ada yang kepemilikannya belum jelas.Masalah lainnya, bangunan cagar budaya masih menjadi sengketa," kata Hevearita.

Saat ini, dia mengklaim pemkot Semarang tengah menelusuri satu per satu tentang status hukum aset tersebut.

Selama tahap pertama revitalisasi, pemkot Semarang menitikberatkan kepada upaya pemugaran gedung-gedung cagar budaya di kawasan itu, dengan melibatkan pemiliknya dan investor baru.
Harapannya, gedung-gedung itu dapat "disulap" menjadi bernilai ekonomi, seperti dijadikan kafe, restoran, atau galeri seni serta ruang pameran dan kegiatan budaya.

"Kota lama kita revitalisasi harus dengan rohnya juga. Rohnya apa? Ya, aktivitas ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat yang ada di dalamnya," kata Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Pada 2015 lalu, keterangan resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Keautentikan Sejarah Kota lama Dipertanyakan

Rukardi, Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah, KPS, Semarang, menghargai upaya revitalisasi Kota Lama Semarang, namun dia mengatakan "banyak catatan" dalam prosesnya. Terlebih proses revitalisasi dalam azas pelestarian. “Ada beberapa bangunan yang direnovasi, namun kemudian bentuknya berubah dan berbeda dari aslinya.

Pegiat sejarah menganggap ornamen seperti pembatas jalan, lampu-lampu dan gardu telepon sebagai "salah konteks". Bahkan kalangan pegiat sejarah di Semarang menyebut proses revitalisasi sebagai "beautifikasi".
Air Mancur di Jalan Let Jen Suprapto Kota Lama Semarang. Foto:Noni

"Konservasi (bangunan cagar budaya) itu 'kan mengembalikan sesuai dengan aslinya, tapi yang terjadi, justru lebih banyak polesannya. Misalnya gardu telepon (warna merah) yang sangat British, meskipun itu ada fungsinya untuk charger, yang sangat aneh di situ. Chargernya bisa dipakai, lah gardu telepon buat apa? Pajangan saja? Ini tidak tepat," cetus Rukardi.
Red Box yang difungsikan untuk charger. Foto:Noni


Pendapat senada juga diutarakan pegiat Kota Tua Semarang, Tjahjono Rahardjo, yang mengaku khawatir dengan berbagai aksesori, seperti lampu jalan, pembatas jalan, serta elemen yang tidak terkait kota lama. "Seperti telepon boks merah atau pancuran air yang kita temukan di Inggris. Untuk apa kita masukkan ke situ? Semua ada sejarah, lah kita kok tiba-tiba muncul di kota lama, dari mana? Itu ada sejarahnya."?" katanya.

Pemasangan lampu mirip dengan lampu-lampu jalan di era Victoria di Inggris yang terlalu banyak dan mencolok dianggap 'menganggu' dan mengesampingkan keindahan bangunan cagar budaya. Kehadiran aksesoris seperti itu, justru mengalahkan keberadaan bangunan cagar budaya yang relatif baik.

“Semestinya sebagian lampu dapat digunakan untuk menyorot bangunan cagar budaya. Pantulan gedung itu akan menerangi jalan, itu akan indah sekali bangunannya. Bangunannya kelihatan menonjol, jalan juga terang," katanya. "
Yang terjadi, keberadaan bangunan kalah oleh kehadiran lampu-lampu jalan.

Lebih lanjut, Rukardi menganggap pemugaran beberapa gedung cagar budaya tidak sesuai kaidah konservasi. Salah satu contoh, gedung eks percetakan peninggalan kolonial Belanda yang sekarang difungsikan sebagai rumah makan Pringsewu. Bangunan ini pernah terbakar dan bangunan dalamnya sudah hancur, walau bangunan depan dan atapnya masih terlihat.

“Setelah diperbaiki, bangunan yang semula asimetris, terutama bagian atapnya, itu menjadi simetris. Saya punya dokumentasinya. Apakah ini yang dimaksud konservasi? Tentu saja tidak, karena pengertian konservasi itu mengembalikan sesuai aslinya," papar Rukardi.

Contoh lain, Gedung Eks Van Dorp yang kini berfungsi sebagai Museum 3D DMZ di Jalan Branjangan, Kota Lama Semarang yang kini dicat warna-warni tidak sesuai dengan Perda RTBL tahun 2003 tentang kota lama.
"Ini cermin ketidaktegasan dari BP2L maupun pemkot Semarang dalam menegaskkan aturan yang berlaku. Salah-satu pasal dalam perda itu menyebutkan soal warna cat bangunan cagar budaya yang sudah ditentukan warna-warnanya, yaitu warna-warna pastel, soft," akunya.
Gedung Eks Van Dorp yang kini menjadi Museum 3D DMZ. Foto: Noni

Padahal, menurutnya, itu adalah gedung yang sangat penting. "Itu bekas salah-satu percetakan swasta pertama terbesar di Hindia Belanda. Kemudian kalau kita lihat interiornya, sudah sama-sekali hilang bentuk aslinya," katanya.

Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan selama ini pihaknya terbuka menerima masukan dari siapapun terkait proyek revitalisasi itu. "Kita juga sudah mengakomodir dan melakukan sosialisasi pada awalnya. Kalau perencanaan itu, ada pada pemerintah pusat, karena uangnya dari pusat."

Namun diakuinya ada diskusi antara pemkot Semarang dan Kementerian PUPR, misalnya, tentang disainnya. "Kalau ada hal-hal yang memang perlu didiskusikan, pemkot juga ikut terlibat. Pak Wali Kota juga memberikan masukan-masukan sebelum dibangun," ujarnya.

Dia memberikan contoh pihaknya memberikan masukan tentang kehadiran pembatas antara trotoar dan jalan raya.
"Pasti setiap pembangunan tidak akan memuaskan semua pihak," katanya. "Kalau kita nanti yang enggak senang sedikit daripada yang banyak, lebih baik mendengatkan yang banyak."

Diakui oleh Rukadi, bagi orang awam kebanyakan, perubahan Kota Lama Semarang sangat mencolok dan keren. Instagramable. Seharusnya upaya revitalisasi itu bisa menghargai keautentikan sejarah.

''Tapi kalau dari sisi konservasi, kalau menurut teman-teman, itu merupakan proses beautifikasi, terlalu banyak pupurnya," kata Rukardi menekankan.

Sementara, pegiat kota lama Semarang, Tjahjono Rahardjo juga mempertanyakan motivasi pemerintah dalam merestorasi kawasan Kota Lama Semarang. Untuk tujuan wisata atau menjadi kota pusaka.

"Mau dibawa ke warisan budaya dunia seperti yang selalu didengung-dengungkan atau menjadi daerah tujuan wisata? Ini dua hal yang berbeda," ujarnya, setengah bertanya.
Menurutnya, Kalau berniat menjadikannya sebagai warisan budaya dunia UNESCO, seharusnya tidak ada kata-kata 'turisme'. Dikatakan status World Heritage ini, menurutnya, adalah komitmen. Kalau sudah ditetapkan sebagai World Heritage, makan harus berkomitmen menjaga otensitasnya, keaslian bangunannya.

"Karena kebingungan itu, yang terjadi seperti sekarang ini. Kota lama ini menjadi seperti Dufan atau Disneyland, padahal itu tidak yang diminta oleh UNESCO," katanya.
Gedung Monod Huis di Jalan Kepodang yang sudah di revitalisasi. Foto :Noni


Untungnya, lanjutnya, bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Semarang, relatif tidak banyak berubah.  Ada sejulah bangunan milik pribadi yang dikonservasi sesuai kaidah dengan mempertahankan keasliannya. Misalnya, Gedung Monod Huis, Oudetrap, De Indische Llioyd milik Oei Tiong Ham Concern yang kini menjadi Semarang Contemporary Art Gallery

"Jadi pelestarian bangunan (di kawasan Kota Tua Semarang), masih dalam koridor," akunya.

Noted : Semua karya dalam bentuk teks dan foto adalah milik pribadi penulis. Dilarang menduplikasi, menyalin dan mengambil tulisan dan atau foto tanpa menyebutkan sumbernya / copyright

Rabu, 10 Oktober 2012

Jangan Lupa “Selingkuh” Dulu…



Setelah check-in di hotel kita langsung ke Restoran S Mas Budi. Kita “selingkuh“dulu.“ Pernyataan Mas Dewanto yang menjadi pemandu kami selama di Wamena sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, baru saja kendaraan yang kami tumpangi keluar dari Bandar Udara Wamena, dia sudah menawarkan sesuatu yang membuat Saya dan rombongan menyerngitkan dahi.

Dia terbahak melihat raut wajah saya yang penuh tanda tanya dan curiga. “Jangan khawatir, maksudnya kami mengajak makan siang di restoran Mas Budi. Ada makanan khas Lembah Baliem yang wajib dinikmati kalau datang ke sini.“

Makanan khas? Ternyata yang dimaksud adalah menu makanan bernama “udang selingkuh“ (cherax albertisii).
Makanan ini sangat terkenal. Di sejumlah restoran, hidangan udang selingkuh menjadi hidangan utama yang paling diburu para wisatawan yang datang ke Wamena.

Disebut demikian karena menu khas santapan di Wamena ini mempunyai bentuk badan seperti udang, tapi bercapit layaknya seekor kepiting. Kulitnya juga lebih keras dibanding udang biasa. Masyarakat di Wamena menyebut udang jenis lobster air tawar ini dengan nama udang selingkuh karena dianggap sebagai hasil “perselingkuhan“ antara udang dan kepiting.

Tidak hanya dilihat dari bentuk dan ukurannya yang lebih besar. Udang jenis ini begitu spesial karena hanya hidup di air tawar di Sungai Baliem dan disalah satu bagian di Australia.

** 
Dan hidangan udang selingkuh goreng saus mentegapun siap di meja untuk disantap. “Rasanya lezat.
Dagingnya lebih kenyal dan manis,“ kata salah seorang rombongan kami.
Tidak hanya di masak saus mentega, udang selingkuh juga lezat dengan berbagai pilihan dan selera seperti saus asam manis, rica-rica, atau disajikan dengan woku (masakan Menado). Dinikmati dengan nasi putih yang hangat bersama sayuran seperti cap cay, ca cangkung dan ca bunga pepaya yang berasal dari perkebunan organik di Wamena.. Hidangan inipun lebih lengkap lagi dengan sajian minuman jus terong Belanda yang segar.



Di restoran Mas Budi, seporsi udang selingkuh dipatok dengan harga Rp 90 ribu, cukup untuk dua orang dewasa.
Jumlah isi dalam setiap porsi tergantung dari ukuran udangnya. Jika udangnya besar, satu porsi hanya berisi dua ekor saja. Tapi belum tentu juga hidangan ini bisa ditemui sewaktu-waktu.

Udang selingkuh sulit didapat karena bergantung pada musim. Maklum udang selingkuh hingga kini memang tidak dibudidaya secara khusus di Wamena. Sejumlah restoran besar yang ada di kota ini masih dan hanya mengandalkan dari hasil tangkapan penduduk lokal yang berburu secara tradisional di Sungai Baliem. Mereka biasanya menjual langsung ke restoran dengan harga berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta per kantong plastik. Berapa kilogram beratnya memang tidak bisa dipastikan, karena penduduk lokal ini memakai ukuran kantong plastik untuk menjual udang selingkuh tangkapannya. Harga udang mentah memang bisa membumbung tinggi jika pasokan udang terbatas.

Selain Restoran Mas Budi, menu udang selingkuh dapat dicari disejumlah restoran seperti di Restoran Baliem Pilamo, Kafe Pilamo atau Blambangan.

Yang jelas jangan datang pada saat musim penghujan (banjir) karena udang selingkuh akan hilang dari peredaran di restoran alias stok kosong. Dan kami cukup beruntung bisa menikmatinya meski ukurannya lebih kecil dari biasanya.

Ya, rasa lelah setelah menunggu pesawat delay hingga beberapa jam sebelum menempuh perjalanan dari Jayapura ke Wamena seakan terbayar dengan kenikmatan udang selingkuh yang istimewa ini.
(non)


Senin, 01 Oktober 2012

Kedamaian Misterius di Ratu Boko

Petualangan sejarah bisa diawali dari ketidaksengajaan. Seperti yang dilakukan penyanyi kondang Trie Utami ketika melakukan pemotretan di sebuah situs purbakala dan merangkumnya dalam sebuah buku fotografi “Abhayagiri Keraton Ratu Boko-Matahariku Rembulan”

Buku  “based on” sejarah ini bercerita misteri dan pesona Candi Ratu Boko melalui penyajian prosa dan fotografi yang dikemas unik dan eksotis sehingga mampu menggugah rasa penasaran untuk mengulik sejarah situs purbakala yang berada di selatan Candi Prambanan ini.

Buku inilah yang menuntun Saya menuju perjalanan menikmati kesejukan dan keindahan senja di Ratu Boko, sebuah situs  bernilai sejarah tinggi di bukit Boko.

***
Meski tak setenar  Candi Borobudur atau Prambanan, situs Ratu Boko memiliki keunikan tersendiri. Tidak hanya pesona panorama dari ketinggian tapi juga arsitektur berbeda ditiap bangunan yang hingga kini menyimpan tanda tanya.

Situs  Ratu Boko terletak diatas bukit Boko, sekitar 18 kilometer timur Kota Yogyakarta diantara  desa Dawung dan Sambirejo. Lokasinya mudah dijangkau, hanya berjarak lebih kurang tiga kilometer arah selatan Candi Prambanan. Selain menggunakan kendaraan pribadi, paket wisata Prambanan Boko dengan fasilitas shuttle bus menjadi alternatif transportasi yang bisa dipilih menuju ke tempat ini. Atau  menggunakan ojek dari terminal Prambanan.

Suara rekaman dari pengeras suara bercerita tentang sejarah situs Ratu Boko menggema disekeliling membuat Saya tak sabar memasuki “kediaman” Rakai Panangkaran ini. Saya langsung membeli tiket seharga Rp 10 ribu. Berbeda ketika berkunjung di Candi Borobudur atau Prambanan, pengelola rupanya cukup jeli menangkap peluang dari wisatawan dengan mengenakan charge lima ribu rupiah untuk sebuah kamera yang saya bawa.

Dari petunjuk pintu masuk di samping batu berundak, Saya berjalan sepanjang 100 meter menuju bangunan.  Disisi kanan nampak lima ekor rusa tengah asyik merumput menjadi “among tamu” wisatawan memasuki gerbang utama.



Situs Ratu Boko terdiri atas beberapa kelompok bangunan yang  saat ini hanya berupa reruntuhan. Sepintas memang tidak menarik, tapi sebagai sebuah bangunan peninggalan, situs Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Bukan candi atau kuil, sesuai namanya situs ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal.

Situs diatas areal seluas 250ribu meter persegi  yang terletak diketingian 196 meter di atas permukaan laut terbagi menjadi empat, yaitu bagian tengah yang terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan Paseban. Bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-Balai, tiga candi, kolam, dan kompleks Keputren. Sementara disisi timur terdapat kompleks gua, Stupa Budha, dan kolam. Sedangkan bagian barat hanya berupa perbukitan.

Dua buah gapura tinggi nan megah didepan Saya ini menjadi pintu gerbang utama. Gapura pertama memiliki tiga pintu gerbang yang saling berdekatan, bagian tengah yang besar berada diantara dua gerbang pengapit yang membujur dari utara ke selatan. Di gerbang ini terdapat tulisan 'Panabwara'. Berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, ini adalah tulisan dari  Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana untuk melegitimasi kekuatan. Sedangkan  gapura kedua yang berada di belakangnya memiliki lima pintu, sama seperti sebelumnya tapi diapit empat gerbang.

gapura utama


Menoleh kearah kanan, bangunan Candi Pembakaran nampak tengah direnovasi. Candi itu berbentuk bujur sangkar dan memiliki dua teras digunakan untuk pembakaran jenasah. Tak jauh dari situ terdapat sebuah batu berumpak dan sumur. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana (air suci yang diberikan mantra) diyakini masyarakat setempat  dapat membawa keberuntungan. Kini, airnya masih digunakan umat Hindu untuk Upacara Tawur agung karena dipercaya dapat mensucikan diri kembali dan mengembalikan harmoni bumi isinya. Kalau ingin melihat prosesi upacara pengambilan air ini biasanya pengunjung datang kesini sehari sebelum Nyepi. Sedangkan disebelah barat gerbang utama terdapat sebuah benteng yang terbuat dari batu kapur (Temple of Limestone).

Setelah puas berkeliling, penyusuran saya lanjutkan ke bagian kedua disisi tenggara. Disini  terdapat sisa peninggalan berupa Pendopo (Ruang Pertemuan) dengan panjang 20 meter yang dikelilingi pagar dengan tangga di tiga gerbang beratap disebelah utara, selatan, dan barat.

Mungkin saja dari sini Rakai Panangkaran memantau aktivitas permaisuri dan putrinya. Pasalnya, dari atas Pendopo ini, pemandangan komplek pemandian yang berada di sisi timur dapat terlihat jelas meski dikelilingi pagar tinggi.  Ada tiga kolam yang terpisahkan gerbang. Dua di antaranya memanjang dari utara sampai selatan, dan satu kolam lainnya terdiri dari delapan kolam bundar.

Di teras ini, juga terlihat sisa-sisa bangunan diantara reruntuhan gerbang dan landaian yang disebut Paseban (Ruang Resepsi) yang membujur dari utara ke selatan dan Keputren (tempat tinggal putri).
Sebenarnya, masih banyak sisa reruntuhan di Ratu Boko yang bisa ditelusuri. Seperti Gua disisi timur. Gua Wadon (Female Cave) dan Gua Lanang (Male Cave) yang didepannya terdapat sisa sebuah kolam dan temuan tiga stupa yang merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha.



***
Sebagai sebuah peninggalan bersejarah, Ratu Boko meninggalkan banyak temuan. Keramik, artefak lima fragmen prasasti berhuruf Pranagari dan berbahasa Sansekerta, tiga prasasti berhuruf Jawa Kuno dalam bentuk Syair Sansekerta, Arca Hindu (Durga, Ganesha, Garuda, lingga, dan yoni), dan Buddha (tiga Dhyani Buddha yang belum selesai) serta prasasti Siwagraha yang menceritakan peperangan antara Raja Balaputradewa dan Rakai Pikatan.

Namun, begitu banyak dan beragamnya sisa kepingan sejarah ditempat ini masih sulit direkatkan hingga sekarang, karena tidak ada prasasti yang secara eksplisit menterjemahkan fungsi setiap bangunan. Persepsi dan temuan tetap membuat sejarah Boko sulit terpecahkan.

Beberapa temuan hanya mencatat Ratu Boko dibangun abad ke-8 Masehi. Ini berdasarkan prasasti Abhayagiri Vihara beraksara pranagari ditahun 746-784 Masehi yang menyebutkan bahwa Raja Tejapurnama Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaranlah (keturunan Wangsa Syailendra) yang membangun tempat ini. Menurut para pakar, Abhayagiri Vihara (berarti biara di bukit yang penuh kedamaian)  didirikan untuk tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual.
Temuan ini mengingatkan Saya pada tulisan Trie Utami yang menuliskan pesona Abhayagiri atau bukit yang penuh kedamaian dan menyimpan kisah luhur yang di dalamnya tersembunyi sebuah kisah  Rakai Panangkaran yang mengajarkan "Boddhicitta", sebuah ajaran yang dibawa Atisha sampai ke Tibet dan masih diajarkan Dalai Lama kepada para bhiksu hingga kini. 

Meski periode berikutnya, Abhayagiri Vihara difungsikan sebagai Keraton Walaing oleh Rakai Walaing Pu Khumbayoni yang beragama Hindu. Tidak mengherankan bila unsur Hindu dan Budha bercampur di bangunan ini.

Arkeolog asal Belanda, HJ De Graaf yang menemukan Situs Ratu Boko pertama kali di abad ke-17. Van Boeckholtz menemukan kembali reruntuhan bangunan kuno ini tahun 1790 hingga  seratus tahun kemudian, FDK Bosch mengadakan penelitian dan mempublikasikan dalam tulisan berjudul Keraton Van Ratoe Boko
Kata keraton berasal dari kata Ke-Ratu-an yang artinya istana atau tempat tinggal raja, sedangkan Boko berarti bangau. Namun hal ini juga tak menjelaskan siapa sebenarnya raja Bangau, apakah penguasa pada zaman itu, atau ini merupakan  istana Ratu Boko, ayah Lara Jonggrang, atau nama burung dalam arti sebenarnya yang dahulu sering hinggap di kawasan perbukitan Ratu Boko? Entahlah…

Yang jelas, senja di bukit Boko yang dipadu Panorama Kota Yogyakarta dan Candi Prambanan ini tak kalah menakjubkan dengan cerita yang melingkupinya.

****



Momen Abadi dibalik Eksotika
Sore itu, sesosok perempuan bergaun ungu menapaki tangga berundak menuju Situs Ratu Boko. Tangan kanannya memegang buntut gaunnya yang menjuntai panjang. Sesekali ia melempar senyuman kepada laki-laki berjas hitam disampingnya. Sementara beberapa orang mengiringi dibelakang  dengan membawa peralatan fotografi dan baju ganti.

Tak lama kemudian dibagian tenggara Situs Ratu Boko, tepatnya di komplek Pemandian, sejoli itu tanpa canggung tengah beradu mesra didepan jepretan kamera sang fotografer dan pengarah gaya.
Rupanya mereka tengah melakukan sesi pemotretan untuk foto  Pre-wedding. Suasana old-fashion begitu kental terasa. “Saya suka karena pemandangannya bagus dan bangunannya unik, makanya kami ingin mengabadikan foto pre-wedding disini,” jelas mereka beralasan.

Meskipun kini tinggal reruntuhan, eksotika Situs Ratu Boko yang memberikan kesan special dan romantis mistis ternyata tidak hanya mengundang pesona untuk dinikmati, tapi juga diabadikan dalam momen tak terlupakan seperti yang dilakukan sepasang calon pengantin asal Yogyakarta itu.

pre-wed


Tidak hanya sesi pemotretan Pre-wedding saja, Objek Wisata Ratu Boko menyediakan berbagai fasilitas pendukung di  Plaza Andrawina.  Selain restoran, tempat ini juga multifungsi untuk berbagai kegiatan seperti gathering, ulangtahun, pesta pernikahan, malam keakraban, atau temu relasi. Panggung terbuka berkapasitas 500 orang ini juga berfungsi sebagai gardu pandang untuk menikmati panorama alam nan indah Kota Yogyakarta yang dibelah sungai Opak dan Candi Prambanan dengan gunung Merapi  sebagai latar belakangnya.

Pengelolaan objek wisata Situs Ratu Boko memang cukup diacungi jempol dengan menawarkan berbagai paket wisata edukasi kepada wisatawan. Diantaranya paket petualangan budaya dengan merasakan Boko Camping di bumi perkemahan terasering dan Boko Trekking dini hari untuk menyaksikan out standing views of silk sunrise di bukit Boko.
Sementara wisatawan yang berminat khusus pada arkeologi, pengelola juga menyediakan beberapa alternatif kegiatan berunsur edukasi seperti  paket Boko eskavasi (penggalian), restorasi (perbaikan) dan konservasi (perawatan).

Memang, gabungan pemandangan alam dan peninggalan masa lampau membuat Situs Ratu Boko layak masuk daftar tempat wisata yang patut dikunjungi.
(Non)