Pages

Tampilkan postingan dengan label pariwisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pariwisata. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Desember 2019

Rasa Trisno untuk Tanon

Akses masuk menuju Festival Lereng Telomoyo #2. Foto:Arnee
Suara kendang dan tetabuhan gamelan berirama rancak terdengar sayup-sayup seolah memanggil pengunjung gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 untuk bergegas memasuki Dusun Tanon. Sekitar 200 meter dari gerbang dusun, nampak lapangan yang disulap menjadi panggung utama dipenuhi segerombolan bocah beratribut pakaian tradisional.
Aksi bocah-bocah Dusun Tanon memainkan Tari Geculan Bocah. Foto:Arnee
Tubuhnya dibalut rompi merah. Kain jarik bermotif warna coklat menutup celana hitam. Ikat kepala menjadi pelengkap. Mimik wajah mereka jenaka berias mirip badut. Tubuh, tangan dan kaki mereka terus bergerak. Lincah mengikuti irama gamelan.

Ya, ini keceriaan anak-anak Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Getasan, Kabupaten Semarang memainkan Tari Geculan Bocah.

Tarian yang menceritakan tentang keseruan dan kelucuan bocah bermain ini pun membuat seratusan penonton yang mengelilingi panggung sesekali tersenyum. Bahkan tertawa menyaksikan polah tingkah mereka.

Tak hanya itu, pengunjung yang datang juga disuguhi kepiawaian ibu-ibu Dusun Tanon memainkan kesenian Lesung Jumengglung. Mereka memadukan suara alu dan lesung (alat pemecah padi). Bertalu-talu, bersahutan diiringi lantunan nyanyian kegembiraan.
Ibu-ibu Dusun Tanon menunjukkan kepiawaian memainkan Lesung Jumlenggung. Foto:Arnee
Pertunjukan itu menjadi rangkaian gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 yang berlangsung selama dua hari, pada 12-13 Oktober 2019 lalu. Festival yang dikemas menyuguhkan experience tourism kepada pengunjung untuk mengenalkan Desa Menari Tanon kepada masyarakat luas.

Gelaran ini juga dimeriahkan dengan aneka pertunjukan seni lainnya. Seperti Tari Topeng Ayu, Sebuah tarian transformasi dari Tari Topeng Ireng yang terinspirasi dari gerakan penyamaran zaman perjuangan.
Remaja putri berbalut kostum Tari Topeng Ayu. Foto:Arnee
Ada juga aneka dolanan tradisional yang nyaris sulit ditemui bisa bebas dimainkan pengunjung. Sebut saja permainan Suda Manda, dakon, cublak-cuplak suweng dan egrang bambu.
Pasar rakyat yang menjajakan berbagai makanan tradisional untuk dinikmati dan hasil bumi Dusun Tanon juga menyemarakkan gelaran kali ini.
Wisatawan memainkan permainan Suda Manda. Foto:Arnee
Pengunjung menjajal egrang bambu di gelaran Festival Lereng Telomoyo. Foto:Arnee
Sebenarnya, Festival Lereng Telomoyo ini hanya satu dari sekian banyak gelaran di Dusun Tanon. Pertunjukan lain juga kerap diselenggarakan pada perayaan hari besar seperti hari besar keagamaan, Festival Budaya Desa, Bersih dusun hingga kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI.

Daerah Tertinggal

Dusun Tanon berjarak sekitar 58 kilometer dari Ibu Kota Semarang. Terletak di Lereng Gunung Telomoyo. Mayoritas penduduk petani dan peternak sapi perah.

Jalur berliku memasuki dusun yang terletak di Lereng Gunung Telomoyo, sekitar 1,5 kilometer dari kawasan wisata Kopeng membuat Dusun Tanon dianggap daerah sepi.  Terbelakang dan kumuh. Bahkan menjadi salah satu daerah Tertinggal di Kabupaten Semarang.
Peta lokasi Desa Menari. Foto:Arnee
Tapi itu dulu.

Dusun ini perlahan berubah. Sejak Trisno, pemuda asal dusun ini ingin mengajak warga menghidupkan kampungnya menjadi produktif tanpa meninggalkan kearifan lokal.

“Kepikiran sejak masih jadi mahasiswa. Setelah saya amati, salah satu aspek memutus kebuntuan di kampung adalah pendidikan. Maka saya berusaha menyelesaikan kuliah dan pulang,” kenang Trisno.

Namun, Tapi tak semudah itu. Kepulangan Trisno justru tak disambut gembira kedua orangtuanya. Keinginan demi kemajuan desa ditentang kedua orangtua. Trisno “ditolak” kembali ke desa.
Sebagai seorang sarjana pertama Dusun Tanon, itu sebuah prestasi dan kebanggaan kedua orangtua yang ingin anaknya mempunyai pekerjaan lebih baik. “Tantangan awal justru dari keluarga. Saya balik kampung, kembali ke kandang. Orangtua berpikir kenapa sekolah tinggi kalau hanya mau jadi petani lagi. Awalnya ini membuat orangtua malu,”akunya.
Trisno, sang penggagas Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno mengatakan, tantangan terberat adalah menaklukkan fase pergulatan batin dan meyakinkan keluarga untuk membuktikan ucapannya. Trisno butuh waktu 5 tahun. Rasa trisno (baca : cinta-red) pada Tanon tak menggoyahkan tekad membangun tanah kelahirannya. “Padahal saya mencontohkan bahwa saya bertani / beternak bukan dengan cara mereka yang konvensional itu,” katanya.

Tahun 2006, selepas menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Surakarta, lelaki yang akrab disapa Kang Tris ini mulai merealisasikan gagasan-gagasannya. “Saya tekankan bahwa pendidikan itu penting dan saya berkomitmen mewakafkan diri. Artinya kegiatan saya ya kegiatan pelayanan untuk masyarakat Tanon. Saya tidak boleh keluar dan patah arang karena mereka akan mentertawaka saya.”

Menghidupkan Kampung

Trisno mencari cara agar gagasannya dapat diterima warga yang meremehkan dan menolak tawaran untuk mengubah wajah Tanon. Menurutnya, pola pikir dan tingkat pendidikan warga lah yang membuat ide-idenya tidak direspons dengan baik.
“Kebanyakan tidak lulus SD, di generasi saya paling banter SMP dan jarang berinteraksi dengan dunia luar,” lanjut Trisno.

Karena itu, ia mengawali dengan mendekati warga. Ia fokus pada program pendidikan non formal melalui pembelajaran berorganisasi dan aktif membuat forum diskusi warga. Trisno juga mengundang pihak lain seperti mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata untuk mendukung kegiatan desa dan berbagi pengalaman.

Metode ini dianggap ampuh untuk memantik partisipasi warga menggali dan mengembangkan potensi desa. Interaksi dengan pihak luar membawa dampak positif terhadap pola pikir dan pengetahuan warga.

Trisno mulai menggerakkan warga dengan modal Rp 200 ribu untuk membuat lincak (meja bambu) sebagai sarana warga berkumpul. Semangat kemandirian dihembuskan kepada warga. Menurutnya, partisipasi warga jadi kunci terpenting dalam perubahan. “Semangat gotong royong. Ibaratnya siapa yang punya bambu menyumbang bambu, yang punya tenaga menyumbang tenaga. Tidak bergantung pada bantuan.”

Hingga kemudian Trisno berhasil mencetuskan ide laboratorium sosial untuk pengembangan dan pemberdayaan warga Tanon. Artinya, kampung mereka yang kaya potensi dan kearifan lokal akan menjadi laboratorium hidup melalui konservasi desa.
“Kita mengkonservasi apa yang sudah ada. Konservasi masyarakat petani dan peternak, dolanan tradisional, dan kesenian lokal,” jelas ayah 3 anak ini.

“Bertani tidak harus mencangkul dan masuk kandang tetapi membantu mendapat akses. Penari Topeng Ireng tidak perlu ngamen di jalan karena bisa disaksikan pertunjukannya di dusun ini. Hal semacam itu menjadi potensi yang bisa dikembangkan di sini,” paparnya.

Setelah tiga tahun berjalan, Trisno kemudian mengenalkan konservasi desa dan membuka akses warga ke luar melalui pendekatan wisata berbasis konservasi. Wisata yang mengedepankan pada pelestarian atau perlindungan kekayaan lokal yang dimiliki Dusun Tanon.

Trisno menegaskan, Tanon tidak “menjual” objek wisata misalnya keindahan lereng Gunung Telomoyo, melainkan daya tarik aktivitas kehidupan keseharian warga Tanon.
“Wisata sebagai pintu masuk untuk membuka akses masyarakat agar terbuka berinteraksi dengan pihak luar, menambah pengetahuan dan berkembang, tanpa melupakan aktivitas lokal. Paket-paket wisata di sini adalah aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertani, beternak, menari, bermain dolanan tradisional, dan pasar rakyat.”
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan tradisional dan hasil bumi Dusun tanon. Foto:Arnee
Untuk menjaga konsep ini tetap berjalan, semua elemen warga diajak berperan dengan menjadi bagian dari semua aktivitas yang “dijual”. Menjadi penari, pemain musik, pemandu wisata, berjualan di pasar rakyat, membuka homestay.

“Ada orang-orang kunci bertanggung jawab misal koordinator pasar rakyat, kesenian tradisional, homestay, pemandu wisata dan outbound. Jadi tiap kegiatan bisa berjalan. Lambat laun saya sebagai figur akan lepas.”

Desa Menari

Agar mudah dikenal, Trisno bersama masyarakat kemudian membranding Tanon menjadi “Desa Menari”. Menari karena warga Tanon mempunyai warisan kesenian tradisional yang dilestarikan. Hingga kini tercatat 18 kelompok seni tari di Desa Ngrawan. 6 kelompok tari diantaranya berada di Dusun Tanon.
Panggung utama Festival Lereng Telomoyo di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Selain itu, “menari” yang menjadi slogan Dusun Tanon merupakan akronim dari “Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori”.
“Menari mampu menyatukan warga dan pengunjung yang datang ke Tanon bisa merasakan harmoni atau keselarasan, melalui interaksi dengan warga dan alam di sekitarnya. Merasakan semangat dan aktivitas pedesaan akan menjadi pengalaman yang menginspirasi,” lanjut Trisno.

Upaya pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat dengan mengelola potensi sumber daya alam dan kearifan lokal untuk mengembangkan ekonomi warga Tanon diapreasiasi Pemerintah Kabupaten Semarang. Tahun 2015, Dusun Tanon dinobatkan sebagai desa wisata dengan SK Bupati Nomor 01 Tahun 2015.

Data Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah menyebutkan, Dusun Tanon menjadi satu dari 229 desa wisata tersebar di 35 kabupaten kota Jawa Tengah. Dusun Tanon juga membawa Desa Ngrawan meraih predikat Sejahtera Mandiri di tahun 2016 dari Kementerian Sosial RI.
Prasasti pengukuhan Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno menambahkan, sebagai desa wisata, Desa wisata Menari mampu menjadi magnet wisatawan hingga mampu meningkatkan ekonomi warga untuk mendapatkan penghasilan alternatif selain dari pencaharian utama di bidang pertanian dan peternakan.

"Pengunjung antara 1500 – 3000 setiap tahunnya. Warga punya penghasilan tambahan 10-15 persen di luar pekerjaan utama. Pendapatan ini untuk warga dan pengembangan desa,” tambah Trisno.
Namun, Trisno menegaskan bahwa Jumlah bukan target dan tolok ukur keberhasilan Desa Menari. Nilai-nilai dari filosofi “menari” lah yang menjadi fokus untuk disebarkan kepada orang lain.

Kampung Pun Berseri

Atas kerja kerasnya menghidupkan Dusun Tanon, Trisno terpilih menjadi salah satu penerima apresiasi SATU (Semangat Astra Terpadu) Indonesia Award tahun 2015, kategori lingkungan dari PT Astra International Tbk.
Setahun kemudian, Trisno dipercaya menjadi penerima SATU Indonesia Award untuk mengelola Kampung Berseri Astra (KBA). Berkat Trisno, Desa Menari Tanon menjadi Kampung Berseri Astra pertama di Jawa Tengah.

Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program yaitu Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan.

Melalui program Kampung Berseri Astra, masyarakat dan perusahaan dapat berkolaborasi bersama mewujudkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas dan produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Kehadiran Astra di Desa wisata Menari Tanon dengan empat pilar tersebut disinergikan sehingga mempercepat perkembangan konservasi desa yang dikelola warga.
Desa Menari Tanon menjadi desa binaan ASTRA sebagai KBA pertama di Jateng. Foto;Arnee
Trisno menjelaskan, di bidang pendidikan, diimplementasikan melalui program Beasiswa Astra Lestari kepada 36 anak Dusun Tanon untuk menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Selain itu, warga juga mendapat pendidikan informal melalui ketrampilan berbicara dengan baik.

Sedangkan penerapan pilar program kewirausahaan digulirkan dalam bentuk berbagai pilihan paket wisata dan pasar rakyat. “Wisatawan bisa memilih paket wisata yang diinginkan untuk merasakan pengalaman aktivitas keseharian sebagai petani menanam padi, memerah susu sapi, belajar menari hingga outbond. Kami juga menyediakan homestay yang ingin live-in,” jelasnya.
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan dan hasil bumi Dusun Tanon. Foto:Arnee
Di bidang kesehatan, Astra memfasilitasi pemeriksaan kesehatan gratis warga Dusun Tanon. Tidak hanya mendirikan posko pelayanan kesehatan Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) dan fisioterapi tapi juga menyiapkan kader kesehatan untuk 'jemput bola' sehingga warga lebih mudah cek kesehatan.
Posko pelayanan kesehatan gratis di Dusun Tanon. Foto: Arnee



Petugas kesehatan di posko pelayanan kesehatan sedang melayani warga yang ingin memeriksa kesehatan anaknya. Foto:Arnee
Astra juga membantu di pilar lingkungan dengan penataan zonasi dan pembenahan lokasi outbound, konservasi mata air serta memfasilitasi perbaikan sarana prasarana rumah warga yang disiapkan menjadi homestay dan  disewakan dengan tarif Rp 50 ribu/malam.

Penanda homestay di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Sebagai desa wisata, konsep Desa Menari Tanon menghadirkan kehidupan desa dengan membangun narasi yang baik, sehingga harmoni Desa Menari dapat menjadi inspirasi dan menerbar kebaikan yang akan menjadi memori bagi warga dan pengunjung Dusun Tanon.

Keberhasilan Trisno mengangkat potensi wisata di kampungnya tak lepas dari totalitas, dedikasi, serta kecintaannya sebagai putra Dusun Tanon. Begitu juga rasa memiliki yang tertanam dalam jiwa seluruh warga Tanon yang menjadi bagian dari proses program yang dijalankan.

Trisno puas dengan pencapaian warga Dusun Tanon. Dan ia punya harapan besar.

“Saya cukup bahagia dengan perkembangan Tanon, meskipun saya ingin membuat terobosan baru. Semoga semangat ini tidak hanya milik warga Tanon tapi juga menular ke desa lain dan seluruh masyarakat di negeri ini,”harapnya.

Sebagai desa wisata, Desa Menari Tanon menjadi Ikon Kebanggaan warga dan masyarakat Jawa tengah. Itu artinya juga menjadi ikon kebanggan Indonesia.

Ya, karena #KitaSATUIndonesia dan #IndonesiaBicaraBaik akan menghasilkan peradaban yang baik pula. Seperti yang dilakukan Trisno bersama warga Dusun Tanon.


Jumat, 27 Desember 2019

Revitalisasi Kota Lama Semarang, Pelestarian bangunan bersejarah dengan “Beautifikasi”


Kota Lama Semarang yang dulu nyaris terlantar, kini dibanjiri pelancong. Revitalisasi bertahap, mampu menghidupkan kawasan yang dikenal dengan sebutan Little Netherland. Namun, revitalisasi ini dikritik karena dianggap menghilangkan keautentikan sejarah.
======
Suasana Malam di Kota lama Semarang. Foto:Noni
Sudut-Sudut Kota Lama menjadi Objek Swafoto yang Menarik. Foto:Noni


Senja di langit Kota Lama Semarang berganti malam. Suasana di depan Gereja Blenduk justru semakin ramai dengan lalu lalang pejalan kaki dan kendaraan yang melintas di depan bangunan yang didirikan pada 1753, dan salah-satu ikon penting Semarang.
Tak hanya itu, segerombolan anak muda nampak asyik bergaya dan berfoto bersama di depan gereja yang berada di jalan utama Kawasan Kota Lama yang dulu disebut de Herenstaart ( sekarang Jalan Letjend Suprapto).
Pengamen jalanan menjadi hiburan para pelancong di Kawasan Kota Lama Semarang. Foto : Noni

Semakin malam Kawasan Kota Lama, semakin ramai dengan pelancong yang ingin menikmati suasana dan hiburan musik jalanan yang ada di sejumlah titik di bibir jalan.
Pemandangan seperti itu sebelumnya jarang terlihat di kawasan gereja Blenduk dan sudut-sudut lainnya. Saat beranjak malam, kala itu, orang-orang berpikir ulang untuk mengunjungi kawasan kota lama yang dianggap “rawan” dan gelap.

Tapi, Lima tahun terakhir ini perlahan berubah. "Sekarang makin ramai, makin terang jalan-jalannya," aku Dian Ariesyana, warga setempat, yang menyulap rumahnya di seberang Taman Srigunting sebagai tempat usaha. "Dan, aman. Kami senang, tentu saja..."," tambahnya.
Banyak gedung kuno di kawasan Kota Lama yang semula tidak terawat, direstorasi oleh pemiliknya dan disulap menjadi Kafe dan usaha lainnya sehingga kawasan ini menjadi lebih “hidup”.

Revitalisasi Bertahap

Sudah sejak lama ada kesadaran yang terus tumbuh untuk merawat sejarah dengan berikhtiar menyelamatkan ratusan gedung tua di kawasan Kota lama Semarang.

Toh, pekerjaan rumah untuk menyelamatkan semua bangunan tua bersejarah yang sebagian masuk kategori cagar budaya, serta kawasan Kota Lama Semarang secara menyeluruh, bukanlah seperti membalik tangan.

Upaya penyelamatan gedung-gedung tua di Semarang, yang sebagian masuk kategori dilindungi, dihadapkan pada masalah klasik, yaitu dana.

Revitalisasi tidak terlepas dari tangan dingin Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, yang sejak dua tahun lalu, menggenjot pembangunan fisik di kawasan itu, dengan guyuran dana pemerintah pusat hingga Rp160 miliar.

Sempat tersendat pada awalnya, proyek ambisius Hendi - panggilan akrabnya - mampu merevitalisasi sekitar 80% dari 116 bangunan cagar budaya dan memugar infrastruktur pendukungnya hingga September 2019 lalu. Tahun ini, revitalisasi memasuki tahap kedua.

Setelah terpilih sebagai Wali Kota Semarang pada 2012, Hendi meneken apa yang disebut Piagam Komitmen Kota Pusaka, yang intinya semacam komitmen untuk mengajak semua pihak menyelamatkan kawasan kota lama.
Suasana sore di Kota Lama pasca Revitalisasi Tahap Pertama. Foto:Noni

Langkah awal, dilakukan dengan memperbaiki salah-satu persoalan terbesar, yaitu rob dan banjir di kawasan kota lama, dengan memperbaiki sistem drainase perkotaan Kali Semarang.
Lainnya? "Kami terus memprovokasi para pemilik gedung (yang masuk kategori cagar budaya) untuk bersama-sama menjadikan Kota Lama sebagai ikon Semarang," kata Hendi, empat tahun silam.

Pelibatan pemilik gedung, memang, menjadi sangat penting, karena keberadaan gedung-gedung itu merupakan daya tarik kawasan itu. Masalahnya, dari 245 bangunan di kawasan itu, 177 dan 68 bangunan merupakan milik perorangan dan swasta.

Sudah menjadi rahasia umum, tidak semua pemilik bangunan mau merogoh kocek untuk merestorasi bangunan miliknya, karena memang tidak murah. Itulah sebabnya, mereka justru ingin gedungnya tidak termasuk yang dilindungi, sehingga mereka bisa menjualnya.

Pemerintah Kota Semarang sampai turun tangan dengan memberikan keringanan 50% Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada pemilik gedung lama yang mau memperbaiki dan merawatnya.
"Itu salah-satu insentif bagaimana kita untuk merevitalisasi kawasan kota lama," kata Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu.

Mereka juga menawarkan investor baru untuk mengelola gedung apabila mereka tidak mampu melestarikannya. "Kalau mereka tidak mau mampu, kita akan carikan investor," ujarnya.

Demi merangsang kesadaran para pemilik gedung tua, Pemkot Semarang bahkan membeli salah-satu gedung cagar budaya bernama Oudetrap di dekat Gereja Blenduk, dan disulap menjadi gedung serbaguna.

Dihadapkan kembali pada masalah dana, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi meminta uluran tangan pemerintah pusat agar terlibat mendanai revitalisasi Kota Lama karena kucuran dana APBD Jawa Tengah dan Kota Semarang, dianggap tidak cukup untuk membiayai proyek ambisius meremajakan kawasan tersebut.

"Ada anggaran Rp5 miliar, tapi itu hanya cukup untuk pembangunan satu ruas jalan. Lah, kapan selesainya," kata Hevearita.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akhirnya menggelontorkan total anggaran Rp183 miliar untuk merevitalisasi kawasan tersebut pada 2017.
"Penataan dilakukan agar kawasan lebih tertata, nyaman dan bisa menjadi tujuan wisata," kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono saat meninjau pengerjaan penataan kawasan Kota Lama Semarang, akhir Maret 2019 lalu.

Menteri PUPR meminta agar penyelesaian proyek itu tetap memperhatikan kebersihan kota dan berhati-hati agar tidak merusak situs budaya yang ada di Kota Lama. "Ini merupakan pekerjaan seni, sehingga perlu diperhatikan detil dan kerapihannya," ujar menteri.

Revitalisasi kawasan ini meliputi penataan prasarana dan sarana seperti utilitas saluran PDAM, kabel telepon, serta listrik. Kementerian PUPR juga memberikan fasilitas tambahan, diantaranya tempat duduk panjang, tempat sampah, lampu penerangan jalan utama dan trotoar.

Dalam rangkaian ini, pemerintah pusat juga melakukan perbaikan jalan, drainase, halte, hingga dua kolam retensi Berok dan Bubakan yang akan dipompa dan dialirkan menuju kali Semarang.
Sampai September 2019, tahap pertama revitalisasi sudah dinyatakan berakhir, dan ada sekitar 116 bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Semarang yang hampir 80% sudah direvitalisasi.
"Memang ada yang belum (direvitalisasi), karena ada yang kepemilikannya belum jelas.Masalah lainnya, bangunan cagar budaya masih menjadi sengketa," kata Hevearita.

Saat ini, dia mengklaim pemkot Semarang tengah menelusuri satu per satu tentang status hukum aset tersebut.

Selama tahap pertama revitalisasi, pemkot Semarang menitikberatkan kepada upaya pemugaran gedung-gedung cagar budaya di kawasan itu, dengan melibatkan pemiliknya dan investor baru.
Harapannya, gedung-gedung itu dapat "disulap" menjadi bernilai ekonomi, seperti dijadikan kafe, restoran, atau galeri seni serta ruang pameran dan kegiatan budaya.

"Kota lama kita revitalisasi harus dengan rohnya juga. Rohnya apa? Ya, aktivitas ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat yang ada di dalamnya," kata Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Pada 2015 lalu, keterangan resmi menyebutkan di Semarang ada 103 bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan pada awal 1990-an. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan ada 300-an bangunan yang perlu dikaji untuk ditetapkan menjadi cagar budaya.

Keautentikan Sejarah Kota lama Dipertanyakan

Rukardi, Koordinator Komunitas Pegiat Sejarah, KPS, Semarang, menghargai upaya revitalisasi Kota Lama Semarang, namun dia mengatakan "banyak catatan" dalam prosesnya. Terlebih proses revitalisasi dalam azas pelestarian. “Ada beberapa bangunan yang direnovasi, namun kemudian bentuknya berubah dan berbeda dari aslinya.

Pegiat sejarah menganggap ornamen seperti pembatas jalan, lampu-lampu dan gardu telepon sebagai "salah konteks". Bahkan kalangan pegiat sejarah di Semarang menyebut proses revitalisasi sebagai "beautifikasi".
Air Mancur di Jalan Let Jen Suprapto Kota Lama Semarang. Foto:Noni

"Konservasi (bangunan cagar budaya) itu 'kan mengembalikan sesuai dengan aslinya, tapi yang terjadi, justru lebih banyak polesannya. Misalnya gardu telepon (warna merah) yang sangat British, meskipun itu ada fungsinya untuk charger, yang sangat aneh di situ. Chargernya bisa dipakai, lah gardu telepon buat apa? Pajangan saja? Ini tidak tepat," cetus Rukardi.
Red Box yang difungsikan untuk charger. Foto:Noni


Pendapat senada juga diutarakan pegiat Kota Tua Semarang, Tjahjono Rahardjo, yang mengaku khawatir dengan berbagai aksesori, seperti lampu jalan, pembatas jalan, serta elemen yang tidak terkait kota lama. "Seperti telepon boks merah atau pancuran air yang kita temukan di Inggris. Untuk apa kita masukkan ke situ? Semua ada sejarah, lah kita kok tiba-tiba muncul di kota lama, dari mana? Itu ada sejarahnya."?" katanya.

Pemasangan lampu mirip dengan lampu-lampu jalan di era Victoria di Inggris yang terlalu banyak dan mencolok dianggap 'menganggu' dan mengesampingkan keindahan bangunan cagar budaya. Kehadiran aksesoris seperti itu, justru mengalahkan keberadaan bangunan cagar budaya yang relatif baik.

“Semestinya sebagian lampu dapat digunakan untuk menyorot bangunan cagar budaya. Pantulan gedung itu akan menerangi jalan, itu akan indah sekali bangunannya. Bangunannya kelihatan menonjol, jalan juga terang," katanya. "
Yang terjadi, keberadaan bangunan kalah oleh kehadiran lampu-lampu jalan.

Lebih lanjut, Rukardi menganggap pemugaran beberapa gedung cagar budaya tidak sesuai kaidah konservasi. Salah satu contoh, gedung eks percetakan peninggalan kolonial Belanda yang sekarang difungsikan sebagai rumah makan Pringsewu. Bangunan ini pernah terbakar dan bangunan dalamnya sudah hancur, walau bangunan depan dan atapnya masih terlihat.

“Setelah diperbaiki, bangunan yang semula asimetris, terutama bagian atapnya, itu menjadi simetris. Saya punya dokumentasinya. Apakah ini yang dimaksud konservasi? Tentu saja tidak, karena pengertian konservasi itu mengembalikan sesuai aslinya," papar Rukardi.

Contoh lain, Gedung Eks Van Dorp yang kini berfungsi sebagai Museum 3D DMZ di Jalan Branjangan, Kota Lama Semarang yang kini dicat warna-warni tidak sesuai dengan Perda RTBL tahun 2003 tentang kota lama.
"Ini cermin ketidaktegasan dari BP2L maupun pemkot Semarang dalam menegaskkan aturan yang berlaku. Salah-satu pasal dalam perda itu menyebutkan soal warna cat bangunan cagar budaya yang sudah ditentukan warna-warnanya, yaitu warna-warna pastel, soft," akunya.
Gedung Eks Van Dorp yang kini menjadi Museum 3D DMZ. Foto: Noni

Padahal, menurutnya, itu adalah gedung yang sangat penting. "Itu bekas salah-satu percetakan swasta pertama terbesar di Hindia Belanda. Kemudian kalau kita lihat interiornya, sudah sama-sekali hilang bentuk aslinya," katanya.

Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan selama ini pihaknya terbuka menerima masukan dari siapapun terkait proyek revitalisasi itu. "Kita juga sudah mengakomodir dan melakukan sosialisasi pada awalnya. Kalau perencanaan itu, ada pada pemerintah pusat, karena uangnya dari pusat."

Namun diakuinya ada diskusi antara pemkot Semarang dan Kementerian PUPR, misalnya, tentang disainnya. "Kalau ada hal-hal yang memang perlu didiskusikan, pemkot juga ikut terlibat. Pak Wali Kota juga memberikan masukan-masukan sebelum dibangun," ujarnya.

Dia memberikan contoh pihaknya memberikan masukan tentang kehadiran pembatas antara trotoar dan jalan raya.
"Pasti setiap pembangunan tidak akan memuaskan semua pihak," katanya. "Kalau kita nanti yang enggak senang sedikit daripada yang banyak, lebih baik mendengatkan yang banyak."

Diakui oleh Rukadi, bagi orang awam kebanyakan, perubahan Kota Lama Semarang sangat mencolok dan keren. Instagramable. Seharusnya upaya revitalisasi itu bisa menghargai keautentikan sejarah.

''Tapi kalau dari sisi konservasi, kalau menurut teman-teman, itu merupakan proses beautifikasi, terlalu banyak pupurnya," kata Rukardi menekankan.

Sementara, pegiat kota lama Semarang, Tjahjono Rahardjo juga mempertanyakan motivasi pemerintah dalam merestorasi kawasan Kota Lama Semarang. Untuk tujuan wisata atau menjadi kota pusaka.

"Mau dibawa ke warisan budaya dunia seperti yang selalu didengung-dengungkan atau menjadi daerah tujuan wisata? Ini dua hal yang berbeda," ujarnya, setengah bertanya.
Menurutnya, Kalau berniat menjadikannya sebagai warisan budaya dunia UNESCO, seharusnya tidak ada kata-kata 'turisme'. Dikatakan status World Heritage ini, menurutnya, adalah komitmen. Kalau sudah ditetapkan sebagai World Heritage, makan harus berkomitmen menjaga otensitasnya, keaslian bangunannya.

"Karena kebingungan itu, yang terjadi seperti sekarang ini. Kota lama ini menjadi seperti Dufan atau Disneyland, padahal itu tidak yang diminta oleh UNESCO," katanya.
Gedung Monod Huis di Jalan Kepodang yang sudah di revitalisasi. Foto :Noni


Untungnya, lanjutnya, bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Semarang, relatif tidak banyak berubah.  Ada sejulah bangunan milik pribadi yang dikonservasi sesuai kaidah dengan mempertahankan keasliannya. Misalnya, Gedung Monod Huis, Oudetrap, De Indische Llioyd milik Oei Tiong Ham Concern yang kini menjadi Semarang Contemporary Art Gallery

"Jadi pelestarian bangunan (di kawasan Kota Tua Semarang), masih dalam koridor," akunya.

Noted : Semua karya dalam bentuk teks dan foto adalah milik pribadi penulis. Dilarang menduplikasi, menyalin dan mengambil tulisan dan atau foto tanpa menyebutkan sumbernya / copyright

Jumat, 22 Januari 2016

Menjaga “Surga” di Bibir Pasifik


Angin selatan di bulan Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic. 

Sembari melepas lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen, tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih banyak dikelola warga asing.  
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie
Menurutnya, usaha yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat.  Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya, ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja Ampat. 

“Mereka punya kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati.  Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”

Gagasan Steve sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu  merupakan salah satu pulau strategis dan  terindah di Raja Ampat yang dikelilingi gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari resort-resort  di Mansuar, dari Waiwo dan dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.

Ya, industri pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat tidak ingin hanya menjadi penonton.

Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat. 
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie


Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Di sini, penyelam dapat menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty (dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto
Kampung yang dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya. “Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial  Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie
 
Perempuan Arborek membuat kerajinan tangan /nonie
Kondisi ini jauh berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai alat tradisional. Dulu harganya Rp.  50 ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala itu.

Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.

“Dulu banyak yang cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya bersemangat. 

Sejak tahun 2003, pemda setempat juga  mulai menginisiasi kampung wisata. Ada lima kampung yang dibina pemerintah kabupaten menjadi desa wisata untuk mengangkat potensi dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kelima Kampung Wisata adalah Arborek, Sawinggrai, Yenbuba, Yenwoubnor, dan Sawandarek. Mereka mengawali dengan membangun home stay dan membentuk kelompok sadar wisata.
“Pemerintah mulai memperhatikan kampung, Ada penyuluhan antara masyarakat dan pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengerti, bertahap, tidak sekaligus. Kami mencari ikan sekadar untuk makan, cuman cari ikan hidup seperti kerapu. Dijual juga. Masyarakat kerja sambil monitoring laut dan masyarakat berhenti cari hiu,” Pak Mambraw menjelaskan awal mula kampungnya menjadi rintisan kampung wisata.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie

Bibir pantai Kampung Arborek /nonie
Dan mereka tak lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat.  Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan tangan. 

Jadi tak hanya transit, wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas, anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli ikan segar hasil tangkapan.”

Pak Mambraw menambahkan, warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan. Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa homestay. 

“Sejak banyak wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.

Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita tentang perubahan yang terjadi di kampungnya. 

“Kita merasa ada perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang uang gampang.” 
Pintu masuk Kampung Yenbuba
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Pak Marcell mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”

“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang jetty.

Kini, setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)