Pages

Tampilkan postingan dengan label wisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisata. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Januari 2016

Menjaga “Surga” di Bibir Pasifik


Angin selatan di bulan Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic. 

Sembari melepas lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen, tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih banyak dikelola warga asing.  
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie
Menurutnya, usaha yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat.  Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya, ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja Ampat. 

“Mereka punya kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati.  Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”

Gagasan Steve sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu  merupakan salah satu pulau strategis dan  terindah di Raja Ampat yang dikelilingi gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari resort-resort  di Mansuar, dari Waiwo dan dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.

Ya, industri pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat tidak ingin hanya menjadi penonton.

Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat. 
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie


Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Di sini, penyelam dapat menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty (dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto
Kampung yang dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya. “Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial  Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie
 
Perempuan Arborek membuat kerajinan tangan /nonie
Kondisi ini jauh berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai alat tradisional. Dulu harganya Rp.  50 ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala itu.

Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.

“Dulu banyak yang cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya bersemangat. 

Sejak tahun 2003, pemda setempat juga  mulai menginisiasi kampung wisata. Ada lima kampung yang dibina pemerintah kabupaten menjadi desa wisata untuk mengangkat potensi dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kelima Kampung Wisata adalah Arborek, Sawinggrai, Yenbuba, Yenwoubnor, dan Sawandarek. Mereka mengawali dengan membangun home stay dan membentuk kelompok sadar wisata.
“Pemerintah mulai memperhatikan kampung, Ada penyuluhan antara masyarakat dan pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengerti, bertahap, tidak sekaligus. Kami mencari ikan sekadar untuk makan, cuman cari ikan hidup seperti kerapu. Dijual juga. Masyarakat kerja sambil monitoring laut dan masyarakat berhenti cari hiu,” Pak Mambraw menjelaskan awal mula kampungnya menjadi rintisan kampung wisata.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie

Bibir pantai Kampung Arborek /nonie
Dan mereka tak lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat.  Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan tangan. 

Jadi tak hanya transit, wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas, anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli ikan segar hasil tangkapan.”

Pak Mambraw menambahkan, warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan. Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa homestay. 

“Sejak banyak wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.

Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita tentang perubahan yang terjadi di kampungnya. 

“Kita merasa ada perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang uang gampang.” 
Pintu masuk Kampung Yenbuba
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Pak Marcell mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”

“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang jetty.

Kini, setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)

Minggu, 28 Juni 2015

Fenghuang, Mesin Waktu di Kota Perbatasan


Dalam teks religius Book of the Dead (Kitab Kematian) Mesir kuno yang ditulis 200SM, Sang Phoenix berkata, "Aku adalah penjaga catatan takdir, buku tentang hal yang telah terjadi dan akan terjadi."
Ungkapan burung phoenix yang melambangkan perjalanan waktu dan simbol kehidupan abadi hingga kini masih bisa dilihat dan dinikmati di salah satu kota tua tersohor di China. Kota Fenghuang namanya. Letaknya berada di sebelah barat Propinsi Hunan dan berbatasan dengan propinsi GuiZhou. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari Great Wall, atau 430 km dari Changsa, ibukota Provinsi Hunan.
sumber:willomegumi.blogspot.com
Kota kuno berpenduduk 300 ribu jiwa yang didirikan era pemerintahan Kaisar Kangxi, Dinasti Qing, dinasti terakhir dalam sejarah Tiongkok ini memang tak lepas dari kisah legenda pengembaraan sepasang burung phoenix ketika “feng” (phoenix jantan) dan “huang” (phoenix betina) singgah dan mengakhiri pengembaraannya di lembah yang indah ini. Simbol penyatuan keduanya nampak dari gunung Nanhua di sebelah barat daya kota yang berbentuk seperti seekor phoenix sedang terbang. Sejak itu, Kota Phoenix yang berusia 1.300 tahun dan dikelilingi pegunungan lebih familiar di sebut Kota Fenghuang.

“Keabadian” Kota Fenghuang seolah menjadi mesin waktu melihat peradaban masyarakat Tiongkok kuno. Patung perunggu burung Phoenix (Hong) berukuran besar menyambut pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan kota. Tak perlu menekan tombol waktu, pengunjung cukup membayar tiket masuk ke kota ini sebesar  148 Yuan (Rp 295 ribu) sebelum melintasi North and East City Gate Tower. Jembatan dari tonggak-tonggak batu di bawah gerbang utara kota lama yang membelah Sungai Tuojiang yang dangkal dan jernih. Sungai ini pula menjadi pemisah antara kota baru dan kota lama dan yang dibangun di tepi Sungai Tuojiang. Dan selepas melintasi Jambatan Hong, imej Kota Fenghuang sebagai kampung air di selatan terhampar di depan mata.

Jelajah Kota Kuno
Kota Fenghuang merupakan satu diantara  24 kota sejarah dan budaya terkenal di China. Sejumlah site wajib dikunjungi ketika berada di kota ini. Selain Fenghuang Ancient City, North and East City Gate Tower, banyak tapak peninggalan sejarah yang masih terpelihara dengan baik, antaranya kuil sastra yang dijaga keasliannya dengan mengawetkan bangunan pada zaman Dinasti Ming dan Dinasti Qing, Gua Qiliang bernama "Istana Seni bawah Tanah", kota purba Huangsiqiao pada zaman Dinasti Tang, dan dermaga "Tembok Besar di selatan".

Kota Fenghuang dapat dijelajahi hanya dalam waktu 30 menit. Meski tampak tua dimakan usia, 200 rumah kayu kuno dengan tembok batu merah masih nampak utuh menampilkan tata ruang kota tradisional tiongkok abad ke-13. keunikan terlihat dari rumah kayu beratapkan genting hitam, berbentuk segitiga/nok dengan ujungnya berbentuk kepala burung Hong atau Naga.  Bangunannya bertingkat dan  bersusun-susun sepanjang tepian sungai berdinding kayu warna cokelat berjajar-jajar rapi. Sedangkan kedua sisi rumah-rumah tua itu terdapat 20 jalan kecil dari lempeng batu warna merah tua yang belum berubah sejak zaman Dinasti Ming. Bukan cuma itu, berbagai peninggalan sejarah Dinasti Qing yang ada sejak abad ke-17 juga masih terjaga dengan rapi di sana.
Selain itu nampak kemegahan benteng kota sepanjang dua kilometer dengan dinding setinggi 5,7 meter dan tebal 3,7 meter yang dibangun dinasti Ming sekitar tahun 1800-an untuk melindungi kota dari serangan suku Hmong (etnis Miao) yang kini menjadi penduduk mayoritas selain etnis Tujia. Keindahan lain adalah menara lonceng, dermaga, kelenteng dan kuil kuno yang dibangun di dekat gunung, town gate, serta rainbow bridge. Serta sebuah jalan membujur dari barat ke timur bak sebuah serambi panjang yang hijau.

Tata kota ini sangat teratur. Rumah yang berada di pinggir jalan sebagian besar dimanfaatkan sebagai toko atau kedai arak yang pemiliknya berdandan dengan pakaian tradisional.
Sedangkan di tepi sungai dipenuhi rumah panggung antik tampak seperti burung jenjang yang mendongak berbaris berjajar-jajar.
Rumah panggung beratap melengkung ke atas dengan genteng berlapis-lapis bak sisik ikan ini menjadi ciri khas bangunan yang sebagian besar terbuat dari kayu yang “menggantung” di atas sungai dengan penyangga pasak-pasak yang menancap di dasar sungai. Struktur bangunan masih lengkap dengan khas gaya Ming dan Qing yang mewakili dua etnis yang menempati kota ini.

Meski dalam setengah abad terakhir kota ini terhindar dari gilasan ekonomi besar besaran di China, kota ini sempat mengalami kerusakan di jaman Miao tahun 1795 sampai pemberontakan Getun 1937. namun Fenghuang mampu menjaga harmoni manusia, pegunungan, air dan kota, kebudayaan dan adat istiadat setempat, hingga dijuluki The Chinese Most Beautiful Town.
sumber:topikwisata3
Cahaya Phoenix di Waktu Malam
Kabut melintasi gunung dan kota bak barisan peri putih menambah keindahan cantiknya suasana Fenghuang di pagi hari. Dan ketika matahari menampakkan diri, warna gunung gelap mengeluarkan semburat cahaya.
Sebagai salah satu kota wisata, di kota ini juga bermunculan hotel kecil dengan balkon dan kafe yang menghadap langsung ke Sungai TuoJiang dan melihat pemandangan alam serta kehidupan alami penduduk setempat.
Sungai yang membelah kota kuno ini memang menjadi urat nadi kehidupan kota. Ritme kehidupan warga Fenghuang terlihat di bibir sungai sejak pagi. Mereka mencuci pakaian, sayuran, menjaring ikan, termasuk pemandangan wisatawan saat menikmati keindahan kota ini dengan tur perahu Flou ala Gondola di Venice Italia di sepanjang sungai sembari mendengarkan kisah burung phoenix.
Dan ketika beranjak rembang petang, Kota Fenghuang seolah menjelma bak wujud burung phoenix yang tengah memamerkan keindahan warna merah keemasan bulu yang sangat indah dengan sayap berwarna warni serta kaki ungu dan mata biru laut. Semburat cahaya indah dari lampu warna warni di dinding-dinding seluruh kota dan rumah penduduk di tepi sungai yang memantul bak cermin di tepi sungai  Tuojiang seperti keindahan warna phoenix.
Fenghuang malih rupa dengan gemerlap lampu yang menghiasi tempat ini menjadi sebuah tempat baru yang jauh berbeda menyemarakkan iringan musik dan tarian dari para wisatawan yang bersantai menikmati keindahan kota atau makan malam sambil menyimak kisah Sheng Cong-wen dari penduduk lokal.

Menjenguk Shencongwen
Kota Fenghuang dikenal dunia lewat imajinasi Sheng Congwen yang dituangkan dalam novel berjudul Frontier City. Ia begitu mahir melukiskan keindahan kota kuno yang unik dan indah yang menjadi kampung halamannya. Selain sebagai penyair,  Sheng Congwen juga seorang arkeolog dan sejarawan terkenal zaman modern Tiongkok.
Dan bekas rumah Shen Congwen terletak di sebuah gang Jalan Zhongying di bagian selatan dari kota tua Fenghuang menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi. Hingga kini rumah berstruktur batu dan kayu, bergenting biru dan tembok putih, serta jendela kayu yang terukir terawang dengan dua pekarangan yang berkonfigurasi mirip Siheyuan Beijing (rumah tradisional yang pekarangan di tengah) masih terawat keasliannya. Halaman luas bergaya tektonik dari dinasti Ming dan Qing terdapat teras kecil dan 10 kamar yang kecil tapi dihiasi oleh jendela kayu berukir indah. Halaman ini dibangun kakek Shen  pada tahun 1866.
Shencongwen lahir dan menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, saat berusia 15 tahun, Shen berkelana meninggalkan keluarga dan bergabung dengan tentara, petani, pekerja dan melihat kegetiran hidup rakyat kecil hingga kemudian memutuskan singgah ke Beijing dan menghabiskan hidupnya untuk menulis hingga meninggalkan banyak warisan karya sastra.
Buah Tangan dari Fenghuang 
Seiring dengan meningkatnya wisatawan yang datang ke kota ini. Kiri kanan rumah kuno berjejer yang membelah jalan kini banyak berubah menjadi toko yang menjual aneka cindera mata dari kulit, perhiasan/pernak-pernik dari silver, barang-barang tenunan dan anyaman, guntingan kertas, batik dan batik ikat.
Selain cinderamata, buah tangan khas yang banyak dijumpai di antara toko-toko di kota Fenghuang adalah toko pembuat permen jahe. Salah satu yang terkenal renyah dan harum permen jahe "Zhang" milik Zhang Lanqing yang diwariskan turun temurun sejak tahun 1896 pada zaman Dinasti Qing. Permen yang berkhasiat menghangatkan lambung, memperlancar sirkulasi darah, dan menyembuhkan batuk terbuat dari gula merah, bijan, jahe dan air sumber. Fenghuang juga dikenal sebagai daerah penghasil jahe dan kiwi terbanyak di seluruh China. Karena itu, setiap toko juga menyediakan manisan kiwi kering.

Kota Fenghuang memang ditakdirkan untuk hidup dengan keasliannya seperti burung phoenix yang ditakdirkan hidup kembali. Setidaknya begitulah kisah burung phoenix yang ditulis Publius Ovidius Naso, seorang penyair Romawi “… Lalu ia berbaring di wewangian yang memabukkan itu dan mati dan bangsa assyria berkata dari tubuh itu bangkit kembali phoenix kecil yang ditakdirkan untuk hidup lima abad lagi.”

Kamis, 24 September 2009

Pesona di Bawah Garis Katulistiwa



Suara Merdeka / Wisata
31 Agustus 2009 | 21:08 wib

Panas dan asap menyambut saya dan rekan-rekan saat pertama menjejakkan kaki di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Terik di sana sudah kami perkirakan sebelumnya mengingat kota tersebut dilintasi garis khatulistiwa.

Namun, asap yang diakibatkan hutan terbakar adalah hal lain. Apalagi asap itu bertahan hingga malam, sehingga hampir semua orang yang keluar harus mengenakan masker penutup hidung.

Tapi, persoalan di kota yang konon semula berupa kerajaan (kesultanan) itu tak berhenti di situ. Sesampai di hotel tempat kami menginap, permasalahan yang mendera bertambah dengan sering matinya aliran listrik. Hampir setiap tiga jam sekali, aliran listrik terputus selama beberapa menit.

Meski sedikit terganggu dengan kondisi itu, saya tetap berusaha menikmati Pontianak. Salah satu yang menarik di kota tersebut adalah budidaya tanaman lidah buaya (Aloe Vera). Di sana berdiri Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional atau yang sering disebut sebagai Aloe Vera Center Pontianak.

Letaknya di Siantan Hulu, Pontianak Utara. Dari pusat kota, perjalanan ke tempat tersebut menempuh waktu sekitar 30 menit.

Setiba di sana, pandangan mata saya dan rombongan langsung tertuju pada tanaman lidah buaya yang ditanam di halaman muka hingga belakang. Di depan, ada belasan pot yang ditanami tanaman yang disebut berasal dari Kepulauan Canary (barat Afrika) itu dengan ukuran cukup besar. Tapi, masih ada lidah buaya yang lebih besar ditanam di bagian belakang. Jumlahnya juga puluhan bahkan mungkin lebih dari ratusan.

Petugas yang menyambut kami mengatakan, tanaman lidah buaya baru masuk di Pontianak sekitar tahun 1980, tepatnya di Siantan Hulu. Saat itu, sebagian tanaman masih ditanam dalam pot sebagai tanaman hias dan sebagian lagi ditanam di kebun bercampur dengan tanaman pepaya dan sayuran. Pada tahun itu, lidah buaya juga belum dibudidayakan secara khusus.

Satu dekade kemudian, barulah tanaman yang oleh etnis Tionghoa disebut tanaman ajaib (suci) itu sedikit demi sedikit mulai dibudidayakan. Aloe Vera mulai ditanam di lahan khusus, tidak lagi bercampur dengan pepaya atau sayuran.

”Pada tahun 1992, Aloe Vera mulai dikenalkan pada masyarakat luas di sini. Saat itulah masyarakat mulai mencarinya,” ujar petugas tersebut dengan ramah.

Di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional, selain lahan budidaya, kita juga bisa melihat langsung produk-produk yang dihasilkan tanaman tersebut. Di sebelah kanan pintu masuk, tersedia tempat untuk menjual produk-produk itu, seperti minuman, selai, teh, dan juga dodol dan kerupuk. Tapi ternyata itu semua bukan produk Aloe Vera Center.

”Kami tidak memproduksi barang-barang seperti itu. Produk tersebut adalah hasil kelompok masyarakat binaan yang kemudian kamu tampung di sini.”

Sebenarnya, berbagai produk itu juga tersedia di beberapa toko oleh-oleh di Pontianak. Jadi, jika Anda kehabisan barang di sana, tak usahlah khawatir. Meski tentu saja, Anda mungkin harus merogoh kocek lebih banyak.

Di sebelah showroom tersebut, terdapat ruang pamer pengolahan lidah buaya. Di situ, pengunjung bisa melihat contoh proses pembuatan lidah buaya mulai dari tanamannya hingga hasil olahan yang bisa berupa minuman maupun obat.

***

BERKUNJUNG ke Kota Pontianak kurang lengkap rasanya jika belum menyusuri Sungai Kapuas. Paket wisata menyusuri Sungai Kapuas banyak ditawarkan biro perjalanan kepada wisatawan. Yakni, berupa perjalanan dengan perahu besar berkapasitas 50 orang atau perahu bermotor. Tapi kami coba memilih menggunakan perahu dayung, ketimbang paket yang ditawarkan biro perjalanan. Kami menganggap bahwa menyusuri sungai dengan perahu dayung lebih seru.

Selama menyusuri sungai, kami menyaksikan pemandangan khas rumah-rumah lanting yang berayun-ayun terkena gelombang. Ini adalah perkampungan air. Menarik melihat aktivitas penghuninya. Ada yang mandi, mencuci tanpa memedulikan kecokelatan air sungai. Panorama lainnya yang ”eksotis” selain hilir mudik perahu dayung, juga jejeran gubuk terapung untuk buang hajat. Dari atas perahu, kami juga melewati kawasan perdagangan Kapuas Besar yang merupakan pusat perekonomian tertua di Pontianak dan tepian Alun Kapuas sebagai pusat perdagangan modern.
Perlu diketahui, Sungai Kapuas dengan dua anak sungainya yaitu Sungai Kapuas Kecil dan Landak merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Panjangnya 1.143 Km dan lebarnya 400-700 Meter. ”Alirannya dapat dilayari sepanjang 800 Km atau hingga ke Kabupaten Kapuas Hulu,” kata pemandu kami.

Sungai yang membelah Kota Pontianak menjadi 3 bagian, yakni Pontianak Barat dan Selatan, Pontianak Timur, dan Pontianak Utara itu sangat penting bagi kota tersebut sebagai pusat jalur perdagangan dan transportasi kota bahkan provinsi. Ya, boleh dibilang sungai tersebut jantung perekonomian bagi Pontianak.

Puas menyusuri sungai, akhirnya perahu kami bersandar. Kira-kira 100 meter dari tempat kami bersandar, berdiri bangunan bersejarah yang menjadi bagian dari wajah lama kota ini. Atap dari sirap warna kuning dan krem, bertuliskan ”Istana Kadriah” dalam bahasa Arab.
Keraton Kadriah atau juga dikenal Istanah Kadriah di bangun tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie pada masa kekuasaan Van Der Varra (1761-1775), Gubernur Jenderal VOC ke-29. Lokasinya berada di kawasan Kampung Dalam Bugis (kini Tanjung Pura), Kecamatan Pontianak Timur.

Gapura melengkung ala benteng Eropa dengan atap limas berbahan sirap dan dua meriam kuno berusia ratusan tahun menjadi pintu masuk keraton. Adapun di halaman keraton terdapat sebuah tiang bendera dari ulin yang dilengkapi pengerek. Konon dulu, di dekat tiang, bertengger Perahu Lancang Kuning, perahu asli khas Kalimantan Barat. Perahu ini konon digunakan sultan berlayar. Tapi sayang, kami tak bisa melihatnya karena sekarang sudah tidak ada lagi.

Bangunan Keraton seluas 9.800 meter persegi, ber arsitektur unik dari kayu belian atau ulin itu terdiri atas pendapa, balai, dan 8 ruang utama. Meski sudah uzur, bangunan masih tampak kokoh dan terpelihara. Benda bersejarah peninggalan kesultanan seperti pakaian kesultanan, takhta, tongkat penobatan, meriam, dan ranjang tidur antik masih tersimpan rapi. Yang paling menarik tentunya singgasana sultan yang berwana kuning keemasan dan cermin seribu wajah berukuran besar. Semua pengunjung termasuk kami diperbolehkan melihat dari dekat singgasana sang sultan. Perpaduan arsitektur Melayu, Arab dan Eropa yang megah.

Tak jauh dari keraton terdapat Masjid Keraton. Masyarakat setempat menyebutnya Masjid Jami Pontianak. Masjid yang berdiri di pinggir Sungai Kapuas Kecil itu sangat unik karena seluruh bangunannya terbuat dari kayu dengan dikelilingi pagar besi bercat kuning dan hijau.
Pemandu kami mengatakan, masjid tersebut menjadi objek wisata bersejarah yang saling berkaitan dengan Keraton Kadriah. ”Dua peninggalan kesultanan yang pernah berkuasa di Pontianak ini menjadi cikal bakal berdirinya Kota Pontianak.” tambahnya.

Sebenarnya banyak hal menarik yang bisa kami singgahi, di jantung kota Pontianak.Tapi terbatasnya waktu membuat kami harus segera bergegas meninggalkan kota penuh pesona yang dilalui garis khatulistiwa ini. Dan tugu khatulistiwa pun terlupa. Sayang sekali.... (73)

Siapkan Tas untuk Oleh-oleh

TENTU saja, setiap perjalanan lebih berkesan bila disertai buah tangan, setidaknya sebagai penegas kenangan. Di Pontianak, kita tak perlu risau jika menginginkan oleh-oleh khas dengan berbagai pilihan. Mungkin, kita malah perlu menyediakan satu tas khusus untuk diisi oleh-oleh itu.

Pertokoan di salah satu sudut kota, tepatnya di Jalan Pattimura, akan memanjakan wisatawan yang ingin berbelanja. Deretan toko dengan lebar masing-masing yang sebetulnya tak luas itu menyediakan berbagai macam barang yang cocok untuk oleh-oleh. Mulai dari kaus dengan desain khas Pontianak hingga mandau (senjata kaum Dayak) dalam berbagai ukuran tersedia di sana.

Bahkan, ada pedagang yang menyediakan mandau yang dia katakan benar-benar telah mencabut nyawa seseorang. Konon, cirinya adalah dari lingkaran di tepi bagian yang tajam. Pedagang yang sempat saya tanyai mengatakan, biasanya setiap membunuh orang, sebuah mandau akan dilubangi untuk kemudian ditutup kembali dengan bahan yang sama. Meski demikian, bekas lubang itu masih tetap membekas menyisakan tanda.
”Jadi, mau beli tidak?” tanya pedagang itu.

Saya menggeleng, ”Tidak.” Saya tidak suka kekerasan. Pun benda-benda yang mengingatkan padanya. Untuk mengurangi kekecewaan pedagang yang telah bercerita panjang lebar soal sejarah mandau itu, saya alihkan pandangan ke kain-kain.

Ya, Pontianak juga memiliki kain tenun dengan corak khas Dayak. Suku Dayak, Melayu, serta Tionghoa memang menjadi penghuni terbesar kota tersebut. Maka, tak heran jika motif benda-benda yang menjadi oleh-oleh khas sana berbau suku tersebut. Akhirnya, jadilah saya beli sebuah sarung tenun.

Seperti yang berlaku di pusat oleh-oleh di mana saja, kita harus pandai menaksir harga. Bahkan, menawar harga yang dibuka oleh pedagang menjadi keharusan agar uang kita bisa berguna untuk beli yang lain. Apalagi, begitu banyak barang di sana yang harus kita masukkan dalam tas khusus oleh-oleh tadi.

Ya, ada batu mulia untuk mata cincin, hiasan dinding beraneka bentuk, dan juga pernak-pernik yang sayang untuk dilewatkan. Maka pastikan agenda ke sentra oleh-oleh itu tak dibatasi waktu.

Tak terlalu jauh dari pertokoan tersebut, ada supermarket yang cukup terkenal. Di sana, bisa didapat aneka makanan ringan yang disebut berasal dari Malaysia. Harganya pun relatif terjangkau sehingga tepat kiranya jika ikut dimasukkan dalam tas khusus oleh-oleh.

Terakhir, jika kita ke Pontianak tepat di musim durian tumbuh, maka pastikan pula mencicipinya. Berhubung banyak hotel tak membolehkan membawa durian ke kamar dan tak mungkin pula untuk memasukkannya dalam tas oleh-oleh tadi, maka Anda hanya bisa menikmatinya di jalanan.

Di malam hari, banyak penjaja durian di dekat Jalan Pattimura itu. Bahkan, istilah dugem yang semula singkatan dari dunia gemerlap alias berfoya-foya di klub malam, di Pontianak dipelesetkan menjadi durian gemerlap. Bagaimana tidak, dengan harga yang tak lebih dari Rp 10 ribu, kita sudah bisa mendapatkan satu durian dengan rasa yang tak terlupakan. Hmm, tentu saja, jangan lupakan kadar kolesterol yang ada. (73)
(Noni Arnee/)