Pages

Kamis, 24 September 2009

Pesona di Bawah Garis Katulistiwa



Suara Merdeka / Wisata
31 Agustus 2009 | 21:08 wib

Panas dan asap menyambut saya dan rekan-rekan saat pertama menjejakkan kaki di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Terik di sana sudah kami perkirakan sebelumnya mengingat kota tersebut dilintasi garis khatulistiwa.

Namun, asap yang diakibatkan hutan terbakar adalah hal lain. Apalagi asap itu bertahan hingga malam, sehingga hampir semua orang yang keluar harus mengenakan masker penutup hidung.

Tapi, persoalan di kota yang konon semula berupa kerajaan (kesultanan) itu tak berhenti di situ. Sesampai di hotel tempat kami menginap, permasalahan yang mendera bertambah dengan sering matinya aliran listrik. Hampir setiap tiga jam sekali, aliran listrik terputus selama beberapa menit.

Meski sedikit terganggu dengan kondisi itu, saya tetap berusaha menikmati Pontianak. Salah satu yang menarik di kota tersebut adalah budidaya tanaman lidah buaya (Aloe Vera). Di sana berdiri Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional atau yang sering disebut sebagai Aloe Vera Center Pontianak.

Letaknya di Siantan Hulu, Pontianak Utara. Dari pusat kota, perjalanan ke tempat tersebut menempuh waktu sekitar 30 menit.

Setiba di sana, pandangan mata saya dan rombongan langsung tertuju pada tanaman lidah buaya yang ditanam di halaman muka hingga belakang. Di depan, ada belasan pot yang ditanami tanaman yang disebut berasal dari Kepulauan Canary (barat Afrika) itu dengan ukuran cukup besar. Tapi, masih ada lidah buaya yang lebih besar ditanam di bagian belakang. Jumlahnya juga puluhan bahkan mungkin lebih dari ratusan.

Petugas yang menyambut kami mengatakan, tanaman lidah buaya baru masuk di Pontianak sekitar tahun 1980, tepatnya di Siantan Hulu. Saat itu, sebagian tanaman masih ditanam dalam pot sebagai tanaman hias dan sebagian lagi ditanam di kebun bercampur dengan tanaman pepaya dan sayuran. Pada tahun itu, lidah buaya juga belum dibudidayakan secara khusus.

Satu dekade kemudian, barulah tanaman yang oleh etnis Tionghoa disebut tanaman ajaib (suci) itu sedikit demi sedikit mulai dibudidayakan. Aloe Vera mulai ditanam di lahan khusus, tidak lagi bercampur dengan pepaya atau sayuran.

”Pada tahun 1992, Aloe Vera mulai dikenalkan pada masyarakat luas di sini. Saat itulah masyarakat mulai mencarinya,” ujar petugas tersebut dengan ramah.

Di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional, selain lahan budidaya, kita juga bisa melihat langsung produk-produk yang dihasilkan tanaman tersebut. Di sebelah kanan pintu masuk, tersedia tempat untuk menjual produk-produk itu, seperti minuman, selai, teh, dan juga dodol dan kerupuk. Tapi ternyata itu semua bukan produk Aloe Vera Center.

”Kami tidak memproduksi barang-barang seperti itu. Produk tersebut adalah hasil kelompok masyarakat binaan yang kemudian kamu tampung di sini.”

Sebenarnya, berbagai produk itu juga tersedia di beberapa toko oleh-oleh di Pontianak. Jadi, jika Anda kehabisan barang di sana, tak usahlah khawatir. Meski tentu saja, Anda mungkin harus merogoh kocek lebih banyak.

Di sebelah showroom tersebut, terdapat ruang pamer pengolahan lidah buaya. Di situ, pengunjung bisa melihat contoh proses pembuatan lidah buaya mulai dari tanamannya hingga hasil olahan yang bisa berupa minuman maupun obat.

***

BERKUNJUNG ke Kota Pontianak kurang lengkap rasanya jika belum menyusuri Sungai Kapuas. Paket wisata menyusuri Sungai Kapuas banyak ditawarkan biro perjalanan kepada wisatawan. Yakni, berupa perjalanan dengan perahu besar berkapasitas 50 orang atau perahu bermotor. Tapi kami coba memilih menggunakan perahu dayung, ketimbang paket yang ditawarkan biro perjalanan. Kami menganggap bahwa menyusuri sungai dengan perahu dayung lebih seru.

Selama menyusuri sungai, kami menyaksikan pemandangan khas rumah-rumah lanting yang berayun-ayun terkena gelombang. Ini adalah perkampungan air. Menarik melihat aktivitas penghuninya. Ada yang mandi, mencuci tanpa memedulikan kecokelatan air sungai. Panorama lainnya yang ”eksotis” selain hilir mudik perahu dayung, juga jejeran gubuk terapung untuk buang hajat. Dari atas perahu, kami juga melewati kawasan perdagangan Kapuas Besar yang merupakan pusat perekonomian tertua di Pontianak dan tepian Alun Kapuas sebagai pusat perdagangan modern.
Perlu diketahui, Sungai Kapuas dengan dua anak sungainya yaitu Sungai Kapuas Kecil dan Landak merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Panjangnya 1.143 Km dan lebarnya 400-700 Meter. ”Alirannya dapat dilayari sepanjang 800 Km atau hingga ke Kabupaten Kapuas Hulu,” kata pemandu kami.

Sungai yang membelah Kota Pontianak menjadi 3 bagian, yakni Pontianak Barat dan Selatan, Pontianak Timur, dan Pontianak Utara itu sangat penting bagi kota tersebut sebagai pusat jalur perdagangan dan transportasi kota bahkan provinsi. Ya, boleh dibilang sungai tersebut jantung perekonomian bagi Pontianak.

Puas menyusuri sungai, akhirnya perahu kami bersandar. Kira-kira 100 meter dari tempat kami bersandar, berdiri bangunan bersejarah yang menjadi bagian dari wajah lama kota ini. Atap dari sirap warna kuning dan krem, bertuliskan ”Istana Kadriah” dalam bahasa Arab.
Keraton Kadriah atau juga dikenal Istanah Kadriah di bangun tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie pada masa kekuasaan Van Der Varra (1761-1775), Gubernur Jenderal VOC ke-29. Lokasinya berada di kawasan Kampung Dalam Bugis (kini Tanjung Pura), Kecamatan Pontianak Timur.

Gapura melengkung ala benteng Eropa dengan atap limas berbahan sirap dan dua meriam kuno berusia ratusan tahun menjadi pintu masuk keraton. Adapun di halaman keraton terdapat sebuah tiang bendera dari ulin yang dilengkapi pengerek. Konon dulu, di dekat tiang, bertengger Perahu Lancang Kuning, perahu asli khas Kalimantan Barat. Perahu ini konon digunakan sultan berlayar. Tapi sayang, kami tak bisa melihatnya karena sekarang sudah tidak ada lagi.

Bangunan Keraton seluas 9.800 meter persegi, ber arsitektur unik dari kayu belian atau ulin itu terdiri atas pendapa, balai, dan 8 ruang utama. Meski sudah uzur, bangunan masih tampak kokoh dan terpelihara. Benda bersejarah peninggalan kesultanan seperti pakaian kesultanan, takhta, tongkat penobatan, meriam, dan ranjang tidur antik masih tersimpan rapi. Yang paling menarik tentunya singgasana sultan yang berwana kuning keemasan dan cermin seribu wajah berukuran besar. Semua pengunjung termasuk kami diperbolehkan melihat dari dekat singgasana sang sultan. Perpaduan arsitektur Melayu, Arab dan Eropa yang megah.

Tak jauh dari keraton terdapat Masjid Keraton. Masyarakat setempat menyebutnya Masjid Jami Pontianak. Masjid yang berdiri di pinggir Sungai Kapuas Kecil itu sangat unik karena seluruh bangunannya terbuat dari kayu dengan dikelilingi pagar besi bercat kuning dan hijau.
Pemandu kami mengatakan, masjid tersebut menjadi objek wisata bersejarah yang saling berkaitan dengan Keraton Kadriah. ”Dua peninggalan kesultanan yang pernah berkuasa di Pontianak ini menjadi cikal bakal berdirinya Kota Pontianak.” tambahnya.

Sebenarnya banyak hal menarik yang bisa kami singgahi, di jantung kota Pontianak.Tapi terbatasnya waktu membuat kami harus segera bergegas meninggalkan kota penuh pesona yang dilalui garis khatulistiwa ini. Dan tugu khatulistiwa pun terlupa. Sayang sekali.... (73)

Siapkan Tas untuk Oleh-oleh

TENTU saja, setiap perjalanan lebih berkesan bila disertai buah tangan, setidaknya sebagai penegas kenangan. Di Pontianak, kita tak perlu risau jika menginginkan oleh-oleh khas dengan berbagai pilihan. Mungkin, kita malah perlu menyediakan satu tas khusus untuk diisi oleh-oleh itu.

Pertokoan di salah satu sudut kota, tepatnya di Jalan Pattimura, akan memanjakan wisatawan yang ingin berbelanja. Deretan toko dengan lebar masing-masing yang sebetulnya tak luas itu menyediakan berbagai macam barang yang cocok untuk oleh-oleh. Mulai dari kaus dengan desain khas Pontianak hingga mandau (senjata kaum Dayak) dalam berbagai ukuran tersedia di sana.

Bahkan, ada pedagang yang menyediakan mandau yang dia katakan benar-benar telah mencabut nyawa seseorang. Konon, cirinya adalah dari lingkaran di tepi bagian yang tajam. Pedagang yang sempat saya tanyai mengatakan, biasanya setiap membunuh orang, sebuah mandau akan dilubangi untuk kemudian ditutup kembali dengan bahan yang sama. Meski demikian, bekas lubang itu masih tetap membekas menyisakan tanda.
”Jadi, mau beli tidak?” tanya pedagang itu.

Saya menggeleng, ”Tidak.” Saya tidak suka kekerasan. Pun benda-benda yang mengingatkan padanya. Untuk mengurangi kekecewaan pedagang yang telah bercerita panjang lebar soal sejarah mandau itu, saya alihkan pandangan ke kain-kain.

Ya, Pontianak juga memiliki kain tenun dengan corak khas Dayak. Suku Dayak, Melayu, serta Tionghoa memang menjadi penghuni terbesar kota tersebut. Maka, tak heran jika motif benda-benda yang menjadi oleh-oleh khas sana berbau suku tersebut. Akhirnya, jadilah saya beli sebuah sarung tenun.

Seperti yang berlaku di pusat oleh-oleh di mana saja, kita harus pandai menaksir harga. Bahkan, menawar harga yang dibuka oleh pedagang menjadi keharusan agar uang kita bisa berguna untuk beli yang lain. Apalagi, begitu banyak barang di sana yang harus kita masukkan dalam tas khusus oleh-oleh tadi.

Ya, ada batu mulia untuk mata cincin, hiasan dinding beraneka bentuk, dan juga pernak-pernik yang sayang untuk dilewatkan. Maka pastikan agenda ke sentra oleh-oleh itu tak dibatasi waktu.

Tak terlalu jauh dari pertokoan tersebut, ada supermarket yang cukup terkenal. Di sana, bisa didapat aneka makanan ringan yang disebut berasal dari Malaysia. Harganya pun relatif terjangkau sehingga tepat kiranya jika ikut dimasukkan dalam tas khusus oleh-oleh.

Terakhir, jika kita ke Pontianak tepat di musim durian tumbuh, maka pastikan pula mencicipinya. Berhubung banyak hotel tak membolehkan membawa durian ke kamar dan tak mungkin pula untuk memasukkannya dalam tas oleh-oleh tadi, maka Anda hanya bisa menikmatinya di jalanan.

Di malam hari, banyak penjaja durian di dekat Jalan Pattimura itu. Bahkan, istilah dugem yang semula singkatan dari dunia gemerlap alias berfoya-foya di klub malam, di Pontianak dipelesetkan menjadi durian gemerlap. Bagaimana tidak, dengan harga yang tak lebih dari Rp 10 ribu, kita sudah bisa mendapatkan satu durian dengan rasa yang tak terlupakan. Hmm, tentu saja, jangan lupakan kadar kolesterol yang ada. (73)
(Noni Arnee/)

Tidak ada komentar: