Pages

Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Desember 2019

Rasa Trisno untuk Tanon

Akses masuk menuju Festival Lereng Telomoyo #2. Foto:Arnee
Suara kendang dan tetabuhan gamelan berirama rancak terdengar sayup-sayup seolah memanggil pengunjung gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 untuk bergegas memasuki Dusun Tanon. Sekitar 200 meter dari gerbang dusun, nampak lapangan yang disulap menjadi panggung utama dipenuhi segerombolan bocah beratribut pakaian tradisional.
Aksi bocah-bocah Dusun Tanon memainkan Tari Geculan Bocah. Foto:Arnee
Tubuhnya dibalut rompi merah. Kain jarik bermotif warna coklat menutup celana hitam. Ikat kepala menjadi pelengkap. Mimik wajah mereka jenaka berias mirip badut. Tubuh, tangan dan kaki mereka terus bergerak. Lincah mengikuti irama gamelan.

Ya, ini keceriaan anak-anak Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Getasan, Kabupaten Semarang memainkan Tari Geculan Bocah.

Tarian yang menceritakan tentang keseruan dan kelucuan bocah bermain ini pun membuat seratusan penonton yang mengelilingi panggung sesekali tersenyum. Bahkan tertawa menyaksikan polah tingkah mereka.

Tak hanya itu, pengunjung yang datang juga disuguhi kepiawaian ibu-ibu Dusun Tanon memainkan kesenian Lesung Jumengglung. Mereka memadukan suara alu dan lesung (alat pemecah padi). Bertalu-talu, bersahutan diiringi lantunan nyanyian kegembiraan.
Ibu-ibu Dusun Tanon menunjukkan kepiawaian memainkan Lesung Jumlenggung. Foto:Arnee
Pertunjukan itu menjadi rangkaian gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 yang berlangsung selama dua hari, pada 12-13 Oktober 2019 lalu. Festival yang dikemas menyuguhkan experience tourism kepada pengunjung untuk mengenalkan Desa Menari Tanon kepada masyarakat luas.

Gelaran ini juga dimeriahkan dengan aneka pertunjukan seni lainnya. Seperti Tari Topeng Ayu, Sebuah tarian transformasi dari Tari Topeng Ireng yang terinspirasi dari gerakan penyamaran zaman perjuangan.
Remaja putri berbalut kostum Tari Topeng Ayu. Foto:Arnee
Ada juga aneka dolanan tradisional yang nyaris sulit ditemui bisa bebas dimainkan pengunjung. Sebut saja permainan Suda Manda, dakon, cublak-cuplak suweng dan egrang bambu.
Pasar rakyat yang menjajakan berbagai makanan tradisional untuk dinikmati dan hasil bumi Dusun Tanon juga menyemarakkan gelaran kali ini.
Wisatawan memainkan permainan Suda Manda. Foto:Arnee
Pengunjung menjajal egrang bambu di gelaran Festival Lereng Telomoyo. Foto:Arnee
Sebenarnya, Festival Lereng Telomoyo ini hanya satu dari sekian banyak gelaran di Dusun Tanon. Pertunjukan lain juga kerap diselenggarakan pada perayaan hari besar seperti hari besar keagamaan, Festival Budaya Desa, Bersih dusun hingga kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI.

Daerah Tertinggal

Dusun Tanon berjarak sekitar 58 kilometer dari Ibu Kota Semarang. Terletak di Lereng Gunung Telomoyo. Mayoritas penduduk petani dan peternak sapi perah.

Jalur berliku memasuki dusun yang terletak di Lereng Gunung Telomoyo, sekitar 1,5 kilometer dari kawasan wisata Kopeng membuat Dusun Tanon dianggap daerah sepi.  Terbelakang dan kumuh. Bahkan menjadi salah satu daerah Tertinggal di Kabupaten Semarang.
Peta lokasi Desa Menari. Foto:Arnee
Tapi itu dulu.

Dusun ini perlahan berubah. Sejak Trisno, pemuda asal dusun ini ingin mengajak warga menghidupkan kampungnya menjadi produktif tanpa meninggalkan kearifan lokal.

“Kepikiran sejak masih jadi mahasiswa. Setelah saya amati, salah satu aspek memutus kebuntuan di kampung adalah pendidikan. Maka saya berusaha menyelesaikan kuliah dan pulang,” kenang Trisno.

Namun, Tapi tak semudah itu. Kepulangan Trisno justru tak disambut gembira kedua orangtuanya. Keinginan demi kemajuan desa ditentang kedua orangtua. Trisno “ditolak” kembali ke desa.
Sebagai seorang sarjana pertama Dusun Tanon, itu sebuah prestasi dan kebanggaan kedua orangtua yang ingin anaknya mempunyai pekerjaan lebih baik. “Tantangan awal justru dari keluarga. Saya balik kampung, kembali ke kandang. Orangtua berpikir kenapa sekolah tinggi kalau hanya mau jadi petani lagi. Awalnya ini membuat orangtua malu,”akunya.
Trisno, sang penggagas Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno mengatakan, tantangan terberat adalah menaklukkan fase pergulatan batin dan meyakinkan keluarga untuk membuktikan ucapannya. Trisno butuh waktu 5 tahun. Rasa trisno (baca : cinta-red) pada Tanon tak menggoyahkan tekad membangun tanah kelahirannya. “Padahal saya mencontohkan bahwa saya bertani / beternak bukan dengan cara mereka yang konvensional itu,” katanya.

Tahun 2006, selepas menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Surakarta, lelaki yang akrab disapa Kang Tris ini mulai merealisasikan gagasan-gagasannya. “Saya tekankan bahwa pendidikan itu penting dan saya berkomitmen mewakafkan diri. Artinya kegiatan saya ya kegiatan pelayanan untuk masyarakat Tanon. Saya tidak boleh keluar dan patah arang karena mereka akan mentertawaka saya.”

Menghidupkan Kampung

Trisno mencari cara agar gagasannya dapat diterima warga yang meremehkan dan menolak tawaran untuk mengubah wajah Tanon. Menurutnya, pola pikir dan tingkat pendidikan warga lah yang membuat ide-idenya tidak direspons dengan baik.
“Kebanyakan tidak lulus SD, di generasi saya paling banter SMP dan jarang berinteraksi dengan dunia luar,” lanjut Trisno.

Karena itu, ia mengawali dengan mendekati warga. Ia fokus pada program pendidikan non formal melalui pembelajaran berorganisasi dan aktif membuat forum diskusi warga. Trisno juga mengundang pihak lain seperti mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata untuk mendukung kegiatan desa dan berbagi pengalaman.

Metode ini dianggap ampuh untuk memantik partisipasi warga menggali dan mengembangkan potensi desa. Interaksi dengan pihak luar membawa dampak positif terhadap pola pikir dan pengetahuan warga.

Trisno mulai menggerakkan warga dengan modal Rp 200 ribu untuk membuat lincak (meja bambu) sebagai sarana warga berkumpul. Semangat kemandirian dihembuskan kepada warga. Menurutnya, partisipasi warga jadi kunci terpenting dalam perubahan. “Semangat gotong royong. Ibaratnya siapa yang punya bambu menyumbang bambu, yang punya tenaga menyumbang tenaga. Tidak bergantung pada bantuan.”

Hingga kemudian Trisno berhasil mencetuskan ide laboratorium sosial untuk pengembangan dan pemberdayaan warga Tanon. Artinya, kampung mereka yang kaya potensi dan kearifan lokal akan menjadi laboratorium hidup melalui konservasi desa.
“Kita mengkonservasi apa yang sudah ada. Konservasi masyarakat petani dan peternak, dolanan tradisional, dan kesenian lokal,” jelas ayah 3 anak ini.

“Bertani tidak harus mencangkul dan masuk kandang tetapi membantu mendapat akses. Penari Topeng Ireng tidak perlu ngamen di jalan karena bisa disaksikan pertunjukannya di dusun ini. Hal semacam itu menjadi potensi yang bisa dikembangkan di sini,” paparnya.

Setelah tiga tahun berjalan, Trisno kemudian mengenalkan konservasi desa dan membuka akses warga ke luar melalui pendekatan wisata berbasis konservasi. Wisata yang mengedepankan pada pelestarian atau perlindungan kekayaan lokal yang dimiliki Dusun Tanon.

Trisno menegaskan, Tanon tidak “menjual” objek wisata misalnya keindahan lereng Gunung Telomoyo, melainkan daya tarik aktivitas kehidupan keseharian warga Tanon.
“Wisata sebagai pintu masuk untuk membuka akses masyarakat agar terbuka berinteraksi dengan pihak luar, menambah pengetahuan dan berkembang, tanpa melupakan aktivitas lokal. Paket-paket wisata di sini adalah aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertani, beternak, menari, bermain dolanan tradisional, dan pasar rakyat.”
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan tradisional dan hasil bumi Dusun tanon. Foto:Arnee
Untuk menjaga konsep ini tetap berjalan, semua elemen warga diajak berperan dengan menjadi bagian dari semua aktivitas yang “dijual”. Menjadi penari, pemain musik, pemandu wisata, berjualan di pasar rakyat, membuka homestay.

“Ada orang-orang kunci bertanggung jawab misal koordinator pasar rakyat, kesenian tradisional, homestay, pemandu wisata dan outbound. Jadi tiap kegiatan bisa berjalan. Lambat laun saya sebagai figur akan lepas.”

Desa Menari

Agar mudah dikenal, Trisno bersama masyarakat kemudian membranding Tanon menjadi “Desa Menari”. Menari karena warga Tanon mempunyai warisan kesenian tradisional yang dilestarikan. Hingga kini tercatat 18 kelompok seni tari di Desa Ngrawan. 6 kelompok tari diantaranya berada di Dusun Tanon.
Panggung utama Festival Lereng Telomoyo di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Selain itu, “menari” yang menjadi slogan Dusun Tanon merupakan akronim dari “Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori”.
“Menari mampu menyatukan warga dan pengunjung yang datang ke Tanon bisa merasakan harmoni atau keselarasan, melalui interaksi dengan warga dan alam di sekitarnya. Merasakan semangat dan aktivitas pedesaan akan menjadi pengalaman yang menginspirasi,” lanjut Trisno.

Upaya pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat dengan mengelola potensi sumber daya alam dan kearifan lokal untuk mengembangkan ekonomi warga Tanon diapreasiasi Pemerintah Kabupaten Semarang. Tahun 2015, Dusun Tanon dinobatkan sebagai desa wisata dengan SK Bupati Nomor 01 Tahun 2015.

Data Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah menyebutkan, Dusun Tanon menjadi satu dari 229 desa wisata tersebar di 35 kabupaten kota Jawa Tengah. Dusun Tanon juga membawa Desa Ngrawan meraih predikat Sejahtera Mandiri di tahun 2016 dari Kementerian Sosial RI.
Prasasti pengukuhan Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno menambahkan, sebagai desa wisata, Desa wisata Menari mampu menjadi magnet wisatawan hingga mampu meningkatkan ekonomi warga untuk mendapatkan penghasilan alternatif selain dari pencaharian utama di bidang pertanian dan peternakan.

"Pengunjung antara 1500 – 3000 setiap tahunnya. Warga punya penghasilan tambahan 10-15 persen di luar pekerjaan utama. Pendapatan ini untuk warga dan pengembangan desa,” tambah Trisno.
Namun, Trisno menegaskan bahwa Jumlah bukan target dan tolok ukur keberhasilan Desa Menari. Nilai-nilai dari filosofi “menari” lah yang menjadi fokus untuk disebarkan kepada orang lain.

Kampung Pun Berseri

Atas kerja kerasnya menghidupkan Dusun Tanon, Trisno terpilih menjadi salah satu penerima apresiasi SATU (Semangat Astra Terpadu) Indonesia Award tahun 2015, kategori lingkungan dari PT Astra International Tbk.
Setahun kemudian, Trisno dipercaya menjadi penerima SATU Indonesia Award untuk mengelola Kampung Berseri Astra (KBA). Berkat Trisno, Desa Menari Tanon menjadi Kampung Berseri Astra pertama di Jawa Tengah.

Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program yaitu Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan.

Melalui program Kampung Berseri Astra, masyarakat dan perusahaan dapat berkolaborasi bersama mewujudkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas dan produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Kehadiran Astra di Desa wisata Menari Tanon dengan empat pilar tersebut disinergikan sehingga mempercepat perkembangan konservasi desa yang dikelola warga.
Desa Menari Tanon menjadi desa binaan ASTRA sebagai KBA pertama di Jateng. Foto;Arnee
Trisno menjelaskan, di bidang pendidikan, diimplementasikan melalui program Beasiswa Astra Lestari kepada 36 anak Dusun Tanon untuk menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Selain itu, warga juga mendapat pendidikan informal melalui ketrampilan berbicara dengan baik.

Sedangkan penerapan pilar program kewirausahaan digulirkan dalam bentuk berbagai pilihan paket wisata dan pasar rakyat. “Wisatawan bisa memilih paket wisata yang diinginkan untuk merasakan pengalaman aktivitas keseharian sebagai petani menanam padi, memerah susu sapi, belajar menari hingga outbond. Kami juga menyediakan homestay yang ingin live-in,” jelasnya.
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan dan hasil bumi Dusun Tanon. Foto:Arnee
Di bidang kesehatan, Astra memfasilitasi pemeriksaan kesehatan gratis warga Dusun Tanon. Tidak hanya mendirikan posko pelayanan kesehatan Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) dan fisioterapi tapi juga menyiapkan kader kesehatan untuk 'jemput bola' sehingga warga lebih mudah cek kesehatan.
Posko pelayanan kesehatan gratis di Dusun Tanon. Foto: Arnee



Petugas kesehatan di posko pelayanan kesehatan sedang melayani warga yang ingin memeriksa kesehatan anaknya. Foto:Arnee
Astra juga membantu di pilar lingkungan dengan penataan zonasi dan pembenahan lokasi outbound, konservasi mata air serta memfasilitasi perbaikan sarana prasarana rumah warga yang disiapkan menjadi homestay dan  disewakan dengan tarif Rp 50 ribu/malam.

Penanda homestay di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Sebagai desa wisata, konsep Desa Menari Tanon menghadirkan kehidupan desa dengan membangun narasi yang baik, sehingga harmoni Desa Menari dapat menjadi inspirasi dan menerbar kebaikan yang akan menjadi memori bagi warga dan pengunjung Dusun Tanon.

Keberhasilan Trisno mengangkat potensi wisata di kampungnya tak lepas dari totalitas, dedikasi, serta kecintaannya sebagai putra Dusun Tanon. Begitu juga rasa memiliki yang tertanam dalam jiwa seluruh warga Tanon yang menjadi bagian dari proses program yang dijalankan.

Trisno puas dengan pencapaian warga Dusun Tanon. Dan ia punya harapan besar.

“Saya cukup bahagia dengan perkembangan Tanon, meskipun saya ingin membuat terobosan baru. Semoga semangat ini tidak hanya milik warga Tanon tapi juga menular ke desa lain dan seluruh masyarakat di negeri ini,”harapnya.

Sebagai desa wisata, Desa Menari Tanon menjadi Ikon Kebanggaan warga dan masyarakat Jawa tengah. Itu artinya juga menjadi ikon kebanggan Indonesia.

Ya, karena #KitaSATUIndonesia dan #IndonesiaBicaraBaik akan menghasilkan peradaban yang baik pula. Seperti yang dilakukan Trisno bersama warga Dusun Tanon.


Selasa, 16 Mei 2017

Jurus Sakti Bernama Inovasi

Jajaran toples-toples bening berisi tembakau berbagai ukuran di atas meja pajang dua susun di sisi kiri pintu masuk seolah menyambut pengunjung yang memasuki Kafe Mukti di Jalan Wahid Hasyim No 2A Kota Semarang. Di badan masing-masing toples tertempel kertas bertulis tangan yang menyebutkan jenis tembakau rajangan di dalamnya.
Sedikitnya 50 jenis tembakau dipamerkan dan ditawarkan kafe itu. Dari tembakau lokal seperti Srinthil Temanggung, Besuki Jember, Paiton, Bojonegoro, Madura, Maesan, Lombok, Soppeng hingga tembakau mancanegara seperti Virginia danHavana dengan berbagai varian. Juga koleksi tembakau tertua yang tersimpan selama 35 tahun.
Sementara di sisi kanan, kotak kaca menempel di dinding berisi beragam cerutu dari beberapa negara. Dipajang sebagai koleksi bersanding dengan koleksi cerutu produksi Kusumaatmadja Agung (69), si pemilik kafe.
Khusus cerutu buatan Agung, jangan bayangkan sebuah gulungan daun tembakau kering yang dilinting padat dan halus dengan daun Besuki itu menebar aroma khas tembakau yang “anthep” atau “berat” dan pahit  saat dibakar dan diisap. “Agung Cigar” kualitas premium dengan varian lightoriginal dan dark ini beraroma lain, seperti kopi, cokelat, vanila, dan berbagai aroma buah.
“Cerutu umumnya berasa berat dan pahit. Pengisapnya kebanyakan orang dewasa atau orang tua. Saya bikin yang ringan dengan memberi rasa yang umumnya mereka sukai,” ujar Agung sembari memperlihatkan beberapa cerutu produknya kepadaIndepeden.
Rasa yang jadi varian cerutunya juga bisa dicecap lidah si pengisap. Begitu juga dengan produk varian dari tembakau linting (rolling tobacco) dan tembakau linting (roll your own tobacco) yang dapat dinikmati dengan rasa green tea, mocca, cherry, mint hingga bubble gum. Atau rokok kretek (clove cigarette) merek Kentana dan Macona yang diracik dari beberapa jenis tembakau dan cengkeh asal Menado.
Agung memang harus bekerja keras menciptakan inovasi dalam peracikan produk olahan tembakaunya untuk merebut pasar. Terutama “pasar baru” cerutu yang menyasar anak-anak muda. Sebagai produsen cerutu, dia terbilang baru. Tapi kemampuan meracik melahirkan inovasi kreatif di tahun 2010 tekanan yang dihadapi “pemain tembakau” ini.
Sebelumnya, seperti yang dilakukan kakek dan ayahnya setengah abad lalu, Agung  hanya berjual-beli tembakau dan memasok pabrik-pabrik rokok kelas menengah dan kecil. Usahanya berkembang hingga mempunyai jaringan petani tembakau yang setiap panen siap menjual tembakau kepada dirinya.
“Terus terang hampir frustrasi. Bisnis tembakau sama sekali tidak jalan. Teman-teman juga mengeluh sama. Kalau tidak salah itu mulai tahun 2005. Baru lima tahun kemudian saya utak-atik memproduksi tembakau yang saya punya,” katanya.
Meski “pemain tembakau” kawakan, Agung mengaku nekat menjajaki pasar cerutu sebagai usaha kerasnya berinovasi menyasar pelanggan muda. Ia menwarkan tembakau bercita rasa “ngepop” dengan variasi rasa.
Meskipun lebih banyak berjual-beli tembakau, Agung punya kemampuan meracik rokok yang didapat dari leluhurnya. Kalau ayah dan kakeknya lebih banyak memakai bumbu dan rempah sebagai saus rokok, Agung memodifikasinya dengan aneka varian buah. Seperti tembakau berasa buah yang terbilang unik ini.  “Saya ambil stroberi yang paling bagus dari Lembang, Bandung karena stroberi sana berasa manis. Saya ekstrak dengan cara tradisional, dipotong, dikukus, diperas, dan diambil air sari buahnya.”
Agung juga berinovasi dalam kemasan bungkusan yang cenderung berwarna pastel, warna yang menurutnya disukai anak muda. Tak hanya itu, dia juga membuat cerutu kecil yang disebutnya mini-cigar dalam kemasan satu bungkus berisi lima dan dua.
Bagaimanapun juga, kreativitas tersebut menyelamatkan Agung dari rasa frustrasi untuk alih profesi. Inovasi yang dikembangkan dalam produk cerutu, tingwe, dan tembakau cangklongnya telah menuai hasil. Lebih-lebih, proyeksi pasarnya terpenuhi. Kafenya hampir setiap malam, anak-anak muda berkumpul menikmati tembakau khas dari Agung.

Taru Martani Bangkit dari Keterpurukan
Apa yang dialami Agung boleh disebut tak seberat yang dialami Taru Martani, pabrik cerutu legendaris di masanya yang berlokasi di Baciro, Yogyakarta. Perusahaan cerutu milik Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta ini bahkan hampir gulung tikar.
Taru Matani yang berdiri sejak 1918 itu dihantam badai krisis keuangan. Bahkan performa perusahaan dinilai meragukan sehingga tidak layak mendapat pinjaman untuk membayar cukai. Tanpa cukai, Tara Martani tidak bisa menjual produknya.
“Kami nekat menelepon distributor dan memberi diskon dengan harga cukai lama. Meski menjanjikan produk yang belum diproduksi akhirnya dapat dana segar dari distributor dan dipakai untuk bayar cukai agar bisa berproduksi,” kata Slamet, Kepala Bagian Keuangan TM PT Taru Martani.
Kesulitan keuangan itu terjadi selepas Yogyakarta mengalami gempa tahun 2004. Banyak piutang tak bisa ditarik dan utang perusahaan tak terbayar. Bahkan, pada tahun 2013, Pemda Yogyakarta membantu beban utang yang ditanggung perusahaan.
Dalam terpaan krisis, muncul gagasan inovatif di tahun 2010 dengan menciptakan tembakau iris baru pengganti dua jenis tembakau impor yang tak mampu dibeli. Yakni Mundi Victor pengganti Van Nelle dan Violin pengganti Drum. Tembakau iris ini melengkapi varian cerutu lokal milik Taru Martani seperti merek Mundi Victor,Senator, Adipati Corona, Ramayana Corona dan varian produk ekspor Long Filler.
Untuk bangkit dari keterpurukan, Taru Martani melakukan segmentasi pasar dengan pembedaan cita rasa. Tembakau iris Mundi Victor untuk segmen kelas, sedangkanCountry Man untuk kelas menengah, dan Violin untuk target pasar anak muda.
Tembakau iris ini mempunyai pasar terbesar di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. Taru Martani juga membuat sendiri cerutu flavour untuk mengetatkan biaya produksi. “Buat sendiri ternyata jauh lebih murah,” kata Slamet dengan tersenyum.
Dari Laporan Keuangan Taru Martani menyebutkan, penjualan produk cerutu sebelumnya berada di titik terendah antara tahun 2006-2009. Kejayaan Taru Martani yang dikenal dengan ekpor cerutu ke mancanegara hingga 70 persen dari total poduksi harus beralih pada pasar lokal. Sebabnya penjualan cerutu ekspor dalam 10 tahun terakhir kurang menggembirakan.
Di tahun 2006 penjualan cerutu ekspor mencapai Rp1,19 miliar dan mengalami titik terendah di tahun 2012 yang hanya menghasilkan Rp649 juta. Angka penjualan tertinggi ada di tahun 2009 sebesar Rp4,73 miliar dan tahun 2013 sebesar Rp3,59 miliar. Tahun 2016 hanya mampu menghasilkan Rp601 juta. Penjualan cerutu lokal stagnan dengan kisaran Rp 2 miliar- Rp2,68 miliar.
Produk tembakau iris Mundi Victor mampu mengangkat penjualan hingga Rp3,28 miliar, dan tahun 2016 mencapai Rp7,61 miliar. Sedangkan penjualan Country mancenderung stagnan. Tapi di tahun 2016 nilai penjualan tercatat naik menjadi Rp5,19 miliar dari tahun sebelumnya senilai Rp3,834 miliar. Sedangkan Violin dari tahun 2010 sebesar Rp139 juta menjadi Rp 953 juta di tahun 2016.
Ya, beberapa strategi Taru Martani memang berhasil membuat perusahaan cerutu itu tetap berproduksi. Laba perusahaan meningkat meski tidak cukup signifikan. Setidaknya perusahaan ini bisa bangkit dari titik terendah pada 2012. Laba perusahaan hanya hanya Rp16 juta dengan kontribusi pendapatan asli daerah Rp9 juta. Laba terus meningkat hingga di tahun 2016 menjadi Rp2,03 miliar dan mampu menyumbang pada kas daerah sebesar Rp1,01 miliar.
Slamet mengatakan ketika ramai kampanye antirokok dan Taru Martani terpuruk. DPRD pun mengusulkan menutup perusahaan karena tidak untung. Tapi perusahaan ini bertahan dan bangkit. “Setidaknya bisa nguripi (menghidupi) pekerja dan menghindari PHK. Berat karena harus memikirkan setoran ke pemda dan biaya cukai yang setiap tahun naik,” katanya.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/386/jurus-sakti-bernama-inovasi/














Bertahan dari Himpitan Regulasi Kretek

Regulasi ketat pembatasan konsumsi tembakau dan produk olahannya memengaruhi  bisnis pertembakauan berskala menengah dan kecil. Sebagian besar dari mereka gulung tikar. Sebagian bertahan karena pintar berinovasi dan menyiapkan regenerasi.  Independen menurunkan laporan bersambung tentang dinamika perusahaan kretek lokal dari berbagai sisi.

-----------
Kusumaadmadja Agung (69) masih ingat kejayaan usaha tembakau orang tuanya. Saat itu, di lantai dua gudang  toko tembakau ayahnya di Jl Wahid Hasyim 2A, Kota Semarang, bronjong-bronjong tembakau bertumpukan. Daun tanaman bernama Latin Nicotiana tobacco  itu dibeli ayahnya dari para petani di berbagai daerah di Jawa.
Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, Agung diandalkan meneruskan bisnis tembakau keluarga yang dirintis Yap Sing Tjay, sang kakek yang berasal dari Xiamen, Tiongkok. Sejak usia belia, aroma tembakau sudah akrab tercium hidungnya. Lebih-lebih Bram Mukti Agung, sang ayah, kerap mengajaknya berkeliling daerah untuk membeli tembakau dari para petani.
Ketika ayahnya memproduksi rokok, Agung kecil pun membantunya. “Kakek hanya jualan tembakau. Lalu Ayah mulai memproduksi rokok kretek cap Lelo-lelo Ledung. Bikinnya di gudang Weleri, Semarang, Pekalongan, dan Tegal. Saya masih kecil tapi sudah ikut bikin dan jualan berkeliling naik sepeda di Semarang,” katanya ketika ditemui koresponden Independen saat di Kafe Mukti, miliknya, akhir Maret 2017.
Bisnis tembakau pada masa-masa itu begitu menjanjikan. Hari-hari Agung banyak dihabiskan di daerah-daerah tembakau. Relasinya dari kalangan petani tembakau sangat banyak. Tak mengherankan saat musim panen banyak pabrik rokok memintanya membelikan tembakau dengan komisi 5 persen dari harga pembelian.
Ketika tak banyak memiliki stok tembakau dan kondisi semakin sulit, kini, ruangan di lantai dua toko disulap menjadi kafe. Selain menyediakan pelbagai minuman dan penganan ringan, pengunjung bisa membeli tembakau iris  dan menikmati tembakau lintingan berbagai jenis. Ada juga cerutu produksi Agung, ciri khas dagangnya.
Dia tetap melanjutkan usaha yang sudah dirintis kakeknya. Sebuah pilihan yang tak terelakkan ketika tak lagi kerap berkeliling ke daerah tembakau, karena tak banyak tembakau yang bisa dibeli. Di gudangnya di kawasan Weleri, tembakau tersisa sekitar 80 ton. “Ya, saya rasa banyak yang meninggalkan bisnis ini. Alih usaha. Ada yang stres, sakit. Ngeri ceritanya,” katanya.
Hal itu terjadi karena kondisi saat ini berbeda dibandingkan masa jaya jual beli tembakau periode 1997-2000. Mencari jalan bertahan dengan produksi sendiri harus terus dilakukan jika tak ingin gulung tikar. Seperti yang ia lakukan dengan memproduksi cerutu tahun ini. “Urusan merek dan perizinannya sudah beres. Paling tidak bisa untuk produksi dua atau tiga tahun,” cerita Agung.
Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/385/bertahan-dari-himpitan-regulasi-kretek/

Sabtu, 23 Januari 2016

Srintil, Harmoni dari Lereng Sumbing


Tembakau Srinthil dari Desa Tilir
Di timur lereng Sumbing, lahan berundak di sisi-sisi jalan beraspal Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah itu tak lagi hijau. Hanya tanah pasir berkerikil. Akhir Oktober itu, masa petik daun tembakau memang sudah lewat. 

Di permukiman penduduk, di halaman-halaman rumah, Srintil dipapar di atas anjang-ajang bambu. Srintil itu nama tembakau primadona. Sangat istimewa. Aroma khasnya menguar di situ. Lebih-lebih lagi, "Srintil tidak muncul setiap tahun." Itu kata Sutopo, petani tembakau di Legoksari.

Kenapa Srintil istimewa? Tembakau ini ada secara alamiah dan tak bisa dibudidayakan. Tanda kemunculannya baru saat proses fermentasi atau pengeraman daun tembakau petikan terakhir yang ditumbuhi jamur kuning. Setelah dirajang dan dijemur, bentuknya semakin terlihat. Rajangan daun "printhil-printhil" dipercaya masyarakat setempat sebagai anugerah Dewi Kemakmuran: Dewi Sri yang "nginthil" (ikut) menjadi berkah. Berkah itu berupa harga Srintil yang selangit. "Pada 2011 harganya mencapai Rp 900 ribu per kg. Itu puncak harga tertinggi tembakau srinthil," imbuhnya.

Bagi saya, bertemu Srinthil adalah keberuntungan. Bagi warga Legoksari, tak sekadar keuntungan. Ia adalah proses, perjuangan, keberhasilan, kebanggaan. Juga kearifan lokal bagaimana menjaga harmoni. Srintil adalah juga konsep hidup para petani tembakau di situ. 
"Saat panen tembakau, tatalah hati kita, jangan saling bertengkar. Kalau ada maslaah, ayo dirembuk. Sabar. Jangan sampai memendam kemarahan, sebab nanti daun tembakau yang baik bisa jadi buruk. Ya, agar harganya mahal. Rezeki kita lancar."

Kata Sutopo, itu pesan turun-temurun. Para petani tahu betul memaknai pesan itu dengan pola tanam tebakau yang "pranata mangsa". Semua ada waktunya sendiri-sendiri. Ada proses menyiapkan pupuk kandang, mengolah lahan, membuat lubang tanam, menanam, merawat, hingga memanen. Semua berdasarkan waktunya yang tepat. Dan semua proses itu dibangun berdasarkan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. 
"Ya, kami bergotong royong dari penanaman, petik sampai pengepakan. Yang punya lahan dua hektare atau hanya setengah hektare, sama. Tidak iri-irian. Dengan sukarela dan senang hati membantu petik daun meski jaraknya jauh. Tidak pernah mengeluh."

Kesederhanaan, keikhlasan juga menjadi irama hidup para petani. "Kalau tembakau bagus, jangan dipuji. Yang jelek, jangan disia-siakan. Daun jelek belum tentu jadi jelek. Bergantung atas perawatannya. Kalau ikhlas, itu enak. Semua lancar." 

Kearifan lokal yang turun-temurun itu tak hanya berbuah panen yang bagus, tapi juga sebuah kisah tentang harmoni, kisah keselarasan dari Lereng Sumbing.

Jumat, 22 Januari 2016

Menjaga “Surga” di Bibir Pasifik


Angin selatan di bulan Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic. 

Sembari melepas lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen, tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih banyak dikelola warga asing.  
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie
Menurutnya, usaha yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat.  Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya, ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja Ampat. 

“Mereka punya kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati.  Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”

Gagasan Steve sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu  merupakan salah satu pulau strategis dan  terindah di Raja Ampat yang dikelilingi gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari resort-resort  di Mansuar, dari Waiwo dan dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.

Ya, industri pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat tidak ingin hanya menjadi penonton.

Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat. 
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie


Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Di sini, penyelam dapat menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty (dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto
Kampung yang dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya. “Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial  Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie
 
Perempuan Arborek membuat kerajinan tangan /nonie
Kondisi ini jauh berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai alat tradisional. Dulu harganya Rp.  50 ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala itu.

Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.

“Dulu banyak yang cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya bersemangat. 

Sejak tahun 2003, pemda setempat juga  mulai menginisiasi kampung wisata. Ada lima kampung yang dibina pemerintah kabupaten menjadi desa wisata untuk mengangkat potensi dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kelima Kampung Wisata adalah Arborek, Sawinggrai, Yenbuba, Yenwoubnor, dan Sawandarek. Mereka mengawali dengan membangun home stay dan membentuk kelompok sadar wisata.
“Pemerintah mulai memperhatikan kampung, Ada penyuluhan antara masyarakat dan pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengerti, bertahap, tidak sekaligus. Kami mencari ikan sekadar untuk makan, cuman cari ikan hidup seperti kerapu. Dijual juga. Masyarakat kerja sambil monitoring laut dan masyarakat berhenti cari hiu,” Pak Mambraw menjelaskan awal mula kampungnya menjadi rintisan kampung wisata.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie

Bibir pantai Kampung Arborek /nonie
Dan mereka tak lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat.  Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan tangan. 

Jadi tak hanya transit, wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas, anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli ikan segar hasil tangkapan.”

Pak Mambraw menambahkan, warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan. Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa homestay. 

“Sejak banyak wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.

Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita tentang perubahan yang terjadi di kampungnya. 

“Kita merasa ada perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang uang gampang.” 
Pintu masuk Kampung Yenbuba
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Pak Marcell mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”

“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang jetty.

Kini, setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)