Pages

Tampilkan postingan dengan label papua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label papua. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Januari 2016

Menjaga “Surga” di Bibir Pasifik


Angin selatan di bulan Agustus menghempas kapal kami hingga terseret di bibir Pulau Mioskon, Raja Ampat, Papua Barat. Penyelaman di site Mioskon Ref pun urung. Memang bukan bulan baik untuk diving, hingga nyaris tak ada aktivitas para penyelam di kawasan selatan Waigeo ini. Kami memilih beristirahat dan menikmati keindahan alam di pulau berbentuk hati yang menjadi tempat transit para penyelam di spot penyelaman Mioskon Reef dan Blue Magic. 

Sembari melepas lelah, kami melihat sejumlah orang tengah sibuk membangun rumah-rumah kecil. Nampak seorang laki-laki muda menghampiri dan menyapa ramah. Namanya, Steve Wawiyai, suku asli Raja Ampat, pemilik tanah adat Pulau Mioskon yang mendiami Kampung Friwen, tak jauh dari Mioskon. “Kami sedang membangun homestay,” Steve menjelaskan rasa penasaran kami dengan logat khas Papua.
Steve lantas menceritakan rencana pengelolaan dan pengembangan usaha pariwisata yang muncul seiring dengan menjamurnya resort dan homestay di pulau-pulau di kawasan Raja Ampat yang lebih banyak dikelola warga asing.  
Pembangunan homestay di Mioskon / nonie
Menurutnya, usaha yang akan dikelola masyarakat adat itu tidak akan mengedepankan sisi industri. Tapi lebih pada pembelajaran bagi wisatawan yang datang ke Raja Ampat.  Dengan konsep Etnobotani dan sentral budaya, ia ingin menonjolkan nilai edukasi. Jadi, setiap tamu yang datang dapat menikmati alam, mengenal laut, serta belajar tentang budaya dan kehidupan masyarakat Raja Ampat. 

“Mereka punya kearifan, mereka jaga mereka punya laut, makanya saya ingin transfer pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk keanekaragaman hayati.  Turis datang ada beli kerajinan tapi tidak tahu proses pembuatan seperti apa. Wisatawan tidak hanya datang, nginap, pulang tapi juga berinteraksi dengan masyarakat. Mama punya ketrampilan khusus anyaman, mereka sama-sama dengan masyarakat diajak belajar menganyam hingga mengenal tanaman endemik. Itu yang saya mau kembangkan.”

Gagasan Steve sangat menjanjikan. Apalagi pulau yang pernah menjadi sengketa dan di tawar warga Eropa hingga Rp 67 miliar itu  merupakan salah satu pulau strategis dan  terindah di Raja Ampat yang dikelilingi gugusan terumbu karang dan pasir putih. “Dulu kosong tidak berpenghuni dan masuk wilayah adat kami. Pulau ini strategis, dekat dengan kabupaten, transit dari resort-resort  di Mansuar, dari Waiwo dan dekat dengan bandara kedepannya,” ungkap lelaki yang pernah bekerja di TNC ini.

Ya, industri pariwisata di Raja Ampat ibarat jamur dimusim hujan. Itu peluang besar dan masyarakat tidak ingin hanya menjadi penonton.

Jika Mioskon baru mengawali. Kampung Arborek yang terletak di Meos Mansar sudah menjadi kampung wisata dan menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika menyusuri Raja Ampat. 
Papua Explorers Resort di Pantai Pinsilim, Yenwaupnor, Kec. Meos Mansar, Raja Ampat / nonie


Raja Ampat Dive Lodge di Pulau Mansuar / nonie
Menari Bersama Manta
Dari 30 lebih spot penyelaman di Raja Ampat, pulau yang berada di antara Pulau Mansuar dan Pulau Gam ini adalah tempat transit para penyelam yang ingin bertemu dan menari dengan Manta Ray (Pari manta) di Manta Sandy atau Manta point yang berjarak satu kilometer dari kampung.

Di sini, penyelam dapat menyaksikan Manta Ray menari meliuk-liukkan tubuhnya sepanjang 7 meter dan berbobot hingga 2 ton. Mamalia raksasa pemakan plankton dan ubur-ubur ini terbiasa memamerkan aksi akrobatiknya di depan para penyelam. Bahkan jika beruntung, salah satu spesies ikan pari terbesar di dunia ini juga bisa disaksikan di sekitar jetty (dermaga) Kampung Arborek.
Chasing Manta Ray @ Manta Point / Mayang Putranto
Kampung yang dihuni 30 KK memang menjamin kelangsungan dan keberadaan populasi dan kehidupan Manta birostris hingga tempat ini menjadi habitat nyaman Manta Ray dan biota endemik lainnya. “Di sini andalannya pantai, kebersihan kampung, yang spesial  Manta yang ada di bawah jetty,” kata Nommenson Mambraw, warga Arborek yang menyambut kedatangan kami.
Kampung Wisata Arborek / nonie
 
Perempuan Arborek membuat kerajinan tangan /nonie
Kondisi ini jauh berbeda ketika Arborek belum dikenal wisatawan. Dulu mereka sangat menggantungkan hidup dari laut. “Kita di sini bilang buang lanjar cari ikan garam, kerapu terus drop ke sorong. Mata pencaharian nelayan,” imbuhnya.

Tak hanya itu, pasar sirip ikan hiu yang sangat menggiurkan membuat masyarakat berpaling dari Kerapu dan berburu hiu. Perburuan hiu marak hingga menyebabkan populasi hiu Raja Ampat turun drastis. “Kalau dulu di tempat ini tempat hiu juga, di depan-depan sini saja orang-orang bisa dapat. Ikan hiu banyak dipantai dan besar-besar. Yang nangkap masyarakat tapi mereka cari pakai alat tradisional. Dulu harganya Rp.  50 ribu/kg. Kalau sekarang sampai 1 juta ke atas. Harganya beda tergantung jenisnya. Paling mahal Hiu Lontar sampai Rp. 3 juta/ kg. Dijual ke Sorong dan nanti ada yang ambil sendiri,” Pak Mambraw menceritakan kondisi laut kala itu.

Ditambah lagi aktivitas mencari ikan dengan bom dan potasium yang berkeliaran di perairan Raja Ampat karena tidak ada aturan yang membatasi penangkapan ikan. Hingga akhirnya Pemda Raja Ampatpun menerbitkan Perda nomor 9 tahun 2012 tentang larangan penangkapan seperti Hiu, Pari Manta, Dugong, Penyu dan sejumlah ikan-ikan endemik Raja Ampat tak boleh ditangkap. Pelanggar dikenakan sanksi kurungan enam bulan penjara atau denda Rp50 juta.

“Dulu banyak yang cari ikan dengan bom dan potassium. Lama-lama laut dan terumbu karang hancur. Mulai dari situ masyarakat makin mengerti cara menjaga laut sehingga jangan ada kerusakan terumbu karang dan habitat ikan. Pemerintah kasih aturan ke masyarakat supaya ikan jangan di tangkap. Kita punya daerah bisa berubah. Masyarakat bisa jaga lingkungan daerah ini jadi tidak ada perahu bom, potas,” jelasnya bersemangat. 

Sejak tahun 2003, pemda setempat juga  mulai menginisiasi kampung wisata. Ada lima kampung yang dibina pemerintah kabupaten menjadi desa wisata untuk mengangkat potensi dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Kelima Kampung Wisata adalah Arborek, Sawinggrai, Yenbuba, Yenwoubnor, dan Sawandarek. Mereka mengawali dengan membangun home stay dan membentuk kelompok sadar wisata.
“Pemerintah mulai memperhatikan kampung, Ada penyuluhan antara masyarakat dan pemerintah sedikit demi sedikit mulai mengerti, bertahap, tidak sekaligus. Kami mencari ikan sekadar untuk makan, cuman cari ikan hidup seperti kerapu. Dijual juga. Masyarakat kerja sambil monitoring laut dan masyarakat berhenti cari hiu,” Pak Mambraw menjelaskan awal mula kampungnya menjadi rintisan kampung wisata.
Perempuan Arborek membuat kerajinan topi sari daun pandan / nonie

Bibir pantai Kampung Arborek /nonie
Dan mereka tak lagi menangkap ikan sembarangan. Bahkan di beberapa tempat di sekitar laut lepas yang dangkal terpasang papan larangan menangkap jenis-jenis hasil laut di kawasan tertentu untuk mendukung konservasi laut berbasis masyarakat.  Kini, tak melulu melaut, mereka mendapatkan penghasilan dari pawisata seperti menjadi guide, mengelola homestay dan kerajinan tangan. 

Jadi tak hanya transit, wisatawan bisa membeli kerajinan tangan yang terpajang di galeri dekat pintu masuk kampung atau menyaksikan aktivitas penduduk lokal membuat kerajinan tangan. “Abis dari manta point pasti lari ke jetty. Bisa membeli topi, tas, anyaman, noken dari daun pandan sambil lihat ibu-ibu bikin kerajinan dan membeli ikan segar hasil tangkapan.”

Pak Mambraw menambahkan, warga makin sadar wisata. Mereka terbuka menggalakkan dan mengembangkan Kampung Arborek dengan membangun homestay sendiri. “Lebih baik bikin sendiri. Biasanya nginap semalam tarip Rp 500 ribu. Kalau dikelola sendiri lebih menguntungkan. Daripada bekerja di homestay milik orang,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa homestay. 

“Sejak banyak wisatawan datang bikin kerajinan. Sehari bisa bikin tikar panjang 1,5 meter. Ada wisatawan datang bisa langsung beli tikar sagu, topi, noken, tas,” ungkap Emi Dimara, perempuan pembuat kerajinan topi.

Tak Memancing di Jetty
Hal serupa juga bisa di saksikan di Kampung Wisata Yenbuba yang berada di dekat Pulau mansuar yang dihuni 70an KK. Pak Marcell, warga kampung menyambut kedatangan kami di jetty bercerita tentang perubahan yang terjadi di kampungnya. 

“Kita merasa ada perubahan. Tidak seperti dulu cari uang susah harus tangkap ikan. Sekarang uang cari kita di kampung. Orang datang kesini, ada perlu ini itu. Tidak seperti dulu lagi. jangankan 10 ribu, kita mau cari 5 ribu saja susah. Tidak seperti sekarang uang gampang.” 
Pintu masuk Kampung Yenbuba
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Dermaga Kampung Yenbuba /nonie
Pak Marcell mengaku bahwa semua warga kampung punya kesadaran dan sangat paham menjaga alam dan lautnya. Pun dengan anak-anak yang belajar dari orangtua dalam memperlakukan kekayaan laut mereka.
“Tidak boleh ada aktifitas memancing sembarangan. Kami sudah deklarasikan itu jadi semua orang tahu dan paham cari harus beberapa mill baru bisa mancing. Ada tempat khusus untuk mancing. Anak kecil mengerti kalau orangtua kasih tahu tidak boleh jadi sampai sekarang tidak ada anak-anak yang mancing. Di atas jembatan sepi. Sebelum ada larangan anak-anak setiap hari ramai mancing di jembatan.”

“Kita tak boleh tangkap ikan di sini, harus ke tengah laut,” kata salah satu anak yang tengah asyik bermain di sepanjang jetty.

Kini, setiap pengunjung yang datang ke Raja Ampat tak hanya menemukan “surga” di bawah laut tapi juga “surga” di daratan. Dan setiap saat mereka selalu siap menunggu pengunjung dari seluruh dunia untuk menikmati keindahan Pulau Surga di bibir Pasifik ini. (Noni Arnee)

Rabu, 03 Oktober 2012

Mumi dari Kampung Kurulu



Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer dari Kota Wamena, kendaraan dobel gardan jenis Hillux yang saya tumpangi bersama rombongan akhirnya berhenti di tempat parkir beraspal.
Beberapa meter dari pintu gerbang perkampungan di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, Wamena.

Ini kampung wisata di Wamena. Satu dari beberapa perkampungan yang dihuni Suku Dani tradisional yang mendiami Lembah Baliem, Pegunungan Papua Tengah.
“Keaslian“ mereka ini terlihat dari pakaian adat lengkap yang dikenakan. Para lelaki memakai koteka lengkap dengan pernakpernik kalung batu-batuan, kerang, dan aksesoris dari bulu unggas, tulang dan taring babi hutan yang menghiasi tubuhnya. Sedangkan perempuan mengenakan Sali (kulit kayu) yang menutupi bagian pinggang ke bawah. Bagian atas tubuhnya dibiarkan terbuka. Tak lupa noken (tas dari akar) yang terlilit dikepala.

honai

Penduduk asli
Mas Dewanto mengucapkan salam kepada beberapa orang dan langsung memasuki pintu gerbang kampung.
“Kami nego dulu dan jangan mengeluarkan kamera,“ jelas pemandu kami itu.
Maksudnya, kami harus menunggu deal negosiasinya dengan kepala suku untuk menentukan tarif sehingga kami bisa masuk, melihat dan memotret aktivitas para native.

Selain memamerkan kesederhanaan dan keunikan budaya suku pedalaman, Kampung Kurulu juga mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan manca yang datang ke Wamena, yakni mumi (mayat yang diawetkan) leluhur yang konon usianya ratusan tahun. Semula saya berpikir harus ke negeri di ujung utara benua Afrika untuk menyaksikan mumi. Ternyata, di Wamena juga ada.
Itulah mengapa kampung wisata ini juga disebut dengan kampung mumi.

Memang, di sini mempunyai aturan yang harus dipatuhi para wisatawan. Apa itu? Di kampung mumi dilarang memotret sembarangan karena objeknya “mahal“ dan semua dikenakan“charge“. Karena itu ketika datang ke Kurulu, wisatawan harus siap dengan kantong tebal untuk membayar momentum langka mengabadikan suku pedalaman dan aktivitasnya ini.
Biasanya ketika datang berombongan, pemandu akan menegosiasi tarif paket dengan menghitung jumlah orang.

Pembicaraan “ongkos memotret“ kadang juga berjalan alot dan menegangkan jika ketua suku mematok tarif tinggi karena mengeluarkan mumi dari kotaknya untuk dipertontonkan. Sebenarnya, tidak ada tarif resmi di lokasi mumi Kampung Kurulu. Maksudnya tidak ada harga pasti untuk melihat mumi dan foto bersama atau per orang. Semua harga tergantung pada lobi.
Jadi, tidak bisa membayangkan berapa uang yang “melayang“ kalau kami memotret sembarangan.“Membayar Rp 350 ribu untuk mengeluarkan mumi dari Honai. Foto kelompok berisi 10 orang tarifnya Rp 20 ribu. Kalau ingin berfoto sendiri bersama mumi atau dengan penghuninya bayar Rp 10 ribu sekali jepret.“

Setelah harga disepakati, kami dipersilahkan memasuki pagar besar terbuat dari bambu dan kayu mengelilingi perkampungan yang konon hanya dibuka saat ada tamu datang. Pintu ini menjadi pemisah antara kehidupan di luar dan alami suku Dani. Kesan primitif sangat terasa,meski ada beberapa penghuninya yang berbaju dan bercelana.

Perkampungan ini dihuni 20 kepala keluarga, dengan delapan buah honai berjejer rapi berbentuk “U“. Beberapa lelaki di tengah ruang terbuka terlihat sedang membuat dan membakar koteka, serta membakar ubi dengan bakar batu.
“Wah..wah..wah.“ ucapan beberapa dari mereka memberi salam dan berjabat tangan menandakan mereka senang dengan kehadiran kami.
Mumi yang diletakkan di dalam sebuah kotak kayu dan disimpan dalam pilamo, rumah adat khusus laki-laki dikeluarkan agar kami bisa menyaksikan langsung.
 
Menurut cerita warga setempat, mumi yang bernama Wim Motok Mabel ini adalah generasi ketujuh. Dulunya ia seorang kepala suku di Lembah Baliem yang ahli strategi. Wim Motok meninggal dalam usia tua dan memberi wasiat kepada keluarganya agar jasadnya tidak dibakar, tapi diawetkan agar bisa dilihat generasi berikutnya.

Kondisinya masih terawat. Karena itu, mumi Wim Motok Mabel, di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, paling sering dikunjungi wisatawan dibanding mumi yang ada di Distrik Asologaima, dan Distrik Kurima Kabupaten Yahokimo. Meski diperkirakan berumur 360 tahun lebih dan dalam posisi jongkok, kepala, badan, dan kaki masih terlihat jelas. Aksesorisnya juga masih lengkap termasuk koteka yang dipakainya.

Wim Motok Mabel
Umurnya ini bisa dihitung dari kalung yang melingkar di lehernya yang diberikan setiap lima tahun sekali melalui upacara pemotongan babi yang lemaknya kemudian dioleskan ke seluruh tubuh mumi. Tapi tak semua jasad diperbolehkan dijadikan mumi. Hanya yang berjasa besar terhadap suku seperti kepala suku atau panglima perang yang secara adat diizinkan dijadikan mumi, seperti mumi Wim Motok Mabel. Itu juga yang menjadi alasan kenapa mumi selalu dihadirkan dalam setiap pesta. Kehadirannya dipercaya dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesuburan.


old version

*** 
Tidak hanya menyaksikan dan berfoto dengan mumi, wisatawan juga bisa memborong suvenir asli hasil kerajinan tangan mereka yang dipajang di pojok halaman.
Seperti koteka berbagai jenis, noken, kalung, gelang, dan beragam kerajinan tangan lain. Kerajinan tangan ini harganya bervariasi. Mulai dari Rp 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Harganya lebih mahal dibanding toko cenderamata yang ada di sebelah hotel Baliem Palimo tempat kami menginap.

Penghuni kampung Kurulu ini mengenal uang dengan baik. Bahkan mereka tidak menerima uang “kecil“. Itu sebabnya suvenirnya dihargai tinggi. “Uang receh tidak laku di sini,“ kata pemandu kami.
Tawar menawar harus dilakukan untuk mendapatkan suvenir yang diincar. Setelah sebuah noken seharga Rp 50 ribu terbayar, terdengar suara pemandu kami.
“Sudah habis waktunya, jangan memotret lagi,“ sambil memberi kode agar segera beranjak dari tempat ini. Rupanya kami tak bisa berlama di sana karena “sewanya“ telah habis.

belanja belanji..koteka, noken, gelang, bunga..apalagi yaaa..


Sekitar 15 menit perjalanan meninggalkan kampung mumi, di kiri jalan tampak sebuah bukit kecil dengan hamparan pasir putih nan eksotik menghiasi salah satu sisi jalan.
Pasir putih jauh lebih putih dan halus dari pasir yang ada di pantai dan berkilau bila tertimpa sinar matahari ini berada di gunung Pikhe Distrik Kurulu. Hamparan pasir putih ini biasa disebut Pasir Putih Tulem.
Cukup menarik dan unik mengingat pasirnya ini tidak berada di pantai tapi memenuhi pegunungan batu dan kaki gunung ditengah hijaunya dataran Papua.
Tidak ada yang tahu pasti dari mana munculnya pasir putih ini, meski ada spekulasi yang menyatakan bahwa kota Wamena dulunya adalah lautan yang mengering.


Pasir putih
Dari atas bukit itu, hamparan padang savana dapat terlihat jelas. Pasir putih ini tidak hanya mengingatkan Saya pada pada film Denias “Senandung di atas Awan“ yang mengambil tempat ini sebagai lokasi syuting. Tapi juga tragedi jatuhnya pesawat Avia Star dua tahun lalu yang menewaskan seluruh penumpangnya.
Bekas jejak hitam pesawat jatuh itu masih terlihat di atas bukit ini. 


Non

narsis