Pages

Tampilkan postingan dengan label wamena. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wamena. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Oktober 2012

Jangan Lupa “Selingkuh” Dulu…



Setelah check-in di hotel kita langsung ke Restoran S Mas Budi. Kita “selingkuh“dulu.“ Pernyataan Mas Dewanto yang menjadi pemandu kami selama di Wamena sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, baru saja kendaraan yang kami tumpangi keluar dari Bandar Udara Wamena, dia sudah menawarkan sesuatu yang membuat Saya dan rombongan menyerngitkan dahi.

Dia terbahak melihat raut wajah saya yang penuh tanda tanya dan curiga. “Jangan khawatir, maksudnya kami mengajak makan siang di restoran Mas Budi. Ada makanan khas Lembah Baliem yang wajib dinikmati kalau datang ke sini.“

Makanan khas? Ternyata yang dimaksud adalah menu makanan bernama “udang selingkuh“ (cherax albertisii).
Makanan ini sangat terkenal. Di sejumlah restoran, hidangan udang selingkuh menjadi hidangan utama yang paling diburu para wisatawan yang datang ke Wamena.

Disebut demikian karena menu khas santapan di Wamena ini mempunyai bentuk badan seperti udang, tapi bercapit layaknya seekor kepiting. Kulitnya juga lebih keras dibanding udang biasa. Masyarakat di Wamena menyebut udang jenis lobster air tawar ini dengan nama udang selingkuh karena dianggap sebagai hasil “perselingkuhan“ antara udang dan kepiting.

Tidak hanya dilihat dari bentuk dan ukurannya yang lebih besar. Udang jenis ini begitu spesial karena hanya hidup di air tawar di Sungai Baliem dan disalah satu bagian di Australia.

** 
Dan hidangan udang selingkuh goreng saus mentegapun siap di meja untuk disantap. “Rasanya lezat.
Dagingnya lebih kenyal dan manis,“ kata salah seorang rombongan kami.
Tidak hanya di masak saus mentega, udang selingkuh juga lezat dengan berbagai pilihan dan selera seperti saus asam manis, rica-rica, atau disajikan dengan woku (masakan Menado). Dinikmati dengan nasi putih yang hangat bersama sayuran seperti cap cay, ca cangkung dan ca bunga pepaya yang berasal dari perkebunan organik di Wamena.. Hidangan inipun lebih lengkap lagi dengan sajian minuman jus terong Belanda yang segar.



Di restoran Mas Budi, seporsi udang selingkuh dipatok dengan harga Rp 90 ribu, cukup untuk dua orang dewasa.
Jumlah isi dalam setiap porsi tergantung dari ukuran udangnya. Jika udangnya besar, satu porsi hanya berisi dua ekor saja. Tapi belum tentu juga hidangan ini bisa ditemui sewaktu-waktu.

Udang selingkuh sulit didapat karena bergantung pada musim. Maklum udang selingkuh hingga kini memang tidak dibudidaya secara khusus di Wamena. Sejumlah restoran besar yang ada di kota ini masih dan hanya mengandalkan dari hasil tangkapan penduduk lokal yang berburu secara tradisional di Sungai Baliem. Mereka biasanya menjual langsung ke restoran dengan harga berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta per kantong plastik. Berapa kilogram beratnya memang tidak bisa dipastikan, karena penduduk lokal ini memakai ukuran kantong plastik untuk menjual udang selingkuh tangkapannya. Harga udang mentah memang bisa membumbung tinggi jika pasokan udang terbatas.

Selain Restoran Mas Budi, menu udang selingkuh dapat dicari disejumlah restoran seperti di Restoran Baliem Pilamo, Kafe Pilamo atau Blambangan.

Yang jelas jangan datang pada saat musim penghujan (banjir) karena udang selingkuh akan hilang dari peredaran di restoran alias stok kosong. Dan kami cukup beruntung bisa menikmatinya meski ukurannya lebih kecil dari biasanya.

Ya, rasa lelah setelah menunggu pesawat delay hingga beberapa jam sebelum menempuh perjalanan dari Jayapura ke Wamena seakan terbayar dengan kenikmatan udang selingkuh yang istimewa ini.
(non)


Rabu, 03 Oktober 2012

Mumi dari Kampung Kurulu



Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 kilometer dari Kota Wamena, kendaraan dobel gardan jenis Hillux yang saya tumpangi bersama rombongan akhirnya berhenti di tempat parkir beraspal.
Beberapa meter dari pintu gerbang perkampungan di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, Wamena.

Ini kampung wisata di Wamena. Satu dari beberapa perkampungan yang dihuni Suku Dani tradisional yang mendiami Lembah Baliem, Pegunungan Papua Tengah.
“Keaslian“ mereka ini terlihat dari pakaian adat lengkap yang dikenakan. Para lelaki memakai koteka lengkap dengan pernakpernik kalung batu-batuan, kerang, dan aksesoris dari bulu unggas, tulang dan taring babi hutan yang menghiasi tubuhnya. Sedangkan perempuan mengenakan Sali (kulit kayu) yang menutupi bagian pinggang ke bawah. Bagian atas tubuhnya dibiarkan terbuka. Tak lupa noken (tas dari akar) yang terlilit dikepala.

honai

Penduduk asli
Mas Dewanto mengucapkan salam kepada beberapa orang dan langsung memasuki pintu gerbang kampung.
“Kami nego dulu dan jangan mengeluarkan kamera,“ jelas pemandu kami itu.
Maksudnya, kami harus menunggu deal negosiasinya dengan kepala suku untuk menentukan tarif sehingga kami bisa masuk, melihat dan memotret aktivitas para native.

Selain memamerkan kesederhanaan dan keunikan budaya suku pedalaman, Kampung Kurulu juga mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan manca yang datang ke Wamena, yakni mumi (mayat yang diawetkan) leluhur yang konon usianya ratusan tahun. Semula saya berpikir harus ke negeri di ujung utara benua Afrika untuk menyaksikan mumi. Ternyata, di Wamena juga ada.
Itulah mengapa kampung wisata ini juga disebut dengan kampung mumi.

Memang, di sini mempunyai aturan yang harus dipatuhi para wisatawan. Apa itu? Di kampung mumi dilarang memotret sembarangan karena objeknya “mahal“ dan semua dikenakan“charge“. Karena itu ketika datang ke Kurulu, wisatawan harus siap dengan kantong tebal untuk membayar momentum langka mengabadikan suku pedalaman dan aktivitasnya ini.
Biasanya ketika datang berombongan, pemandu akan menegosiasi tarif paket dengan menghitung jumlah orang.

Pembicaraan “ongkos memotret“ kadang juga berjalan alot dan menegangkan jika ketua suku mematok tarif tinggi karena mengeluarkan mumi dari kotaknya untuk dipertontonkan. Sebenarnya, tidak ada tarif resmi di lokasi mumi Kampung Kurulu. Maksudnya tidak ada harga pasti untuk melihat mumi dan foto bersama atau per orang. Semua harga tergantung pada lobi.
Jadi, tidak bisa membayangkan berapa uang yang “melayang“ kalau kami memotret sembarangan.“Membayar Rp 350 ribu untuk mengeluarkan mumi dari Honai. Foto kelompok berisi 10 orang tarifnya Rp 20 ribu. Kalau ingin berfoto sendiri bersama mumi atau dengan penghuninya bayar Rp 10 ribu sekali jepret.“

Setelah harga disepakati, kami dipersilahkan memasuki pagar besar terbuat dari bambu dan kayu mengelilingi perkampungan yang konon hanya dibuka saat ada tamu datang. Pintu ini menjadi pemisah antara kehidupan di luar dan alami suku Dani. Kesan primitif sangat terasa,meski ada beberapa penghuninya yang berbaju dan bercelana.

Perkampungan ini dihuni 20 kepala keluarga, dengan delapan buah honai berjejer rapi berbentuk “U“. Beberapa lelaki di tengah ruang terbuka terlihat sedang membuat dan membakar koteka, serta membakar ubi dengan bakar batu.
“Wah..wah..wah.“ ucapan beberapa dari mereka memberi salam dan berjabat tangan menandakan mereka senang dengan kehadiran kami.
Mumi yang diletakkan di dalam sebuah kotak kayu dan disimpan dalam pilamo, rumah adat khusus laki-laki dikeluarkan agar kami bisa menyaksikan langsung.
 
Menurut cerita warga setempat, mumi yang bernama Wim Motok Mabel ini adalah generasi ketujuh. Dulunya ia seorang kepala suku di Lembah Baliem yang ahli strategi. Wim Motok meninggal dalam usia tua dan memberi wasiat kepada keluarganya agar jasadnya tidak dibakar, tapi diawetkan agar bisa dilihat generasi berikutnya.

Kondisinya masih terawat. Karena itu, mumi Wim Motok Mabel, di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, paling sering dikunjungi wisatawan dibanding mumi yang ada di Distrik Asologaima, dan Distrik Kurima Kabupaten Yahokimo. Meski diperkirakan berumur 360 tahun lebih dan dalam posisi jongkok, kepala, badan, dan kaki masih terlihat jelas. Aksesorisnya juga masih lengkap termasuk koteka yang dipakainya.

Wim Motok Mabel
Umurnya ini bisa dihitung dari kalung yang melingkar di lehernya yang diberikan setiap lima tahun sekali melalui upacara pemotongan babi yang lemaknya kemudian dioleskan ke seluruh tubuh mumi. Tapi tak semua jasad diperbolehkan dijadikan mumi. Hanya yang berjasa besar terhadap suku seperti kepala suku atau panglima perang yang secara adat diizinkan dijadikan mumi, seperti mumi Wim Motok Mabel. Itu juga yang menjadi alasan kenapa mumi selalu dihadirkan dalam setiap pesta. Kehadirannya dipercaya dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesuburan.


old version

*** 
Tidak hanya menyaksikan dan berfoto dengan mumi, wisatawan juga bisa memborong suvenir asli hasil kerajinan tangan mereka yang dipajang di pojok halaman.
Seperti koteka berbagai jenis, noken, kalung, gelang, dan beragam kerajinan tangan lain. Kerajinan tangan ini harganya bervariasi. Mulai dari Rp 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Harganya lebih mahal dibanding toko cenderamata yang ada di sebelah hotel Baliem Palimo tempat kami menginap.

Penghuni kampung Kurulu ini mengenal uang dengan baik. Bahkan mereka tidak menerima uang “kecil“. Itu sebabnya suvenirnya dihargai tinggi. “Uang receh tidak laku di sini,“ kata pemandu kami.
Tawar menawar harus dilakukan untuk mendapatkan suvenir yang diincar. Setelah sebuah noken seharga Rp 50 ribu terbayar, terdengar suara pemandu kami.
“Sudah habis waktunya, jangan memotret lagi,“ sambil memberi kode agar segera beranjak dari tempat ini. Rupanya kami tak bisa berlama di sana karena “sewanya“ telah habis.

belanja belanji..koteka, noken, gelang, bunga..apalagi yaaa..


Sekitar 15 menit perjalanan meninggalkan kampung mumi, di kiri jalan tampak sebuah bukit kecil dengan hamparan pasir putih nan eksotik menghiasi salah satu sisi jalan.
Pasir putih jauh lebih putih dan halus dari pasir yang ada di pantai dan berkilau bila tertimpa sinar matahari ini berada di gunung Pikhe Distrik Kurulu. Hamparan pasir putih ini biasa disebut Pasir Putih Tulem.
Cukup menarik dan unik mengingat pasirnya ini tidak berada di pantai tapi memenuhi pegunungan batu dan kaki gunung ditengah hijaunya dataran Papua.
Tidak ada yang tahu pasti dari mana munculnya pasir putih ini, meski ada spekulasi yang menyatakan bahwa kota Wamena dulunya adalah lautan yang mengering.


Pasir putih
Dari atas bukit itu, hamparan padang savana dapat terlihat jelas. Pasir putih ini tidak hanya mengingatkan Saya pada pada film Denias “Senandung di atas Awan“ yang mengambil tempat ini sebagai lokasi syuting. Tapi juga tragedi jatuhnya pesawat Avia Star dua tahun lalu yang menewaskan seluruh penumpangnya.
Bekas jejak hitam pesawat jatuh itu masih terlihat di atas bukit ini. 


Non

narsis