Pages

Tampilkan postingan dengan label profil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label profil. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Agustus 2020

Bertemu Di Udara, Cara Siswa Sekolah Dasar Tegalontar Belajar di Tengah Pandemi


“Bagaimana kabar anak-anakku tersayang siswa siswi kelas 6 di SDN 01 Tegalontar. Mudah-mudahan kalian tetap sehat dan semangat ya. Kalian pasti sudah menunggu kehadiran bu guru yang siap menemani kalian belajar. Akbar, Risqi, Aqeela, Manda, Kaila. Hari ini ibu guru akan menyampaikan pelajaran kesukaanmu.”

Sri Windarni, membuka kelas mata pelajaran matematika. Intonasi dan irama suaranya pelan agar mudah dipahami siswa. Dia menyapa dan menyebut satu persatu beberapa nama siswa di kelas 6 yang diampunya. Sebelum pelajaran dimulai, tak lupa juga mengingatkan para siswa untuk menyimak materi yang akan disampaikan di kelas pagi itu.

Minggu pertama tahun ajaran baru 2020/2021, para guru tetap aktif mengajar di kelas, meski sekolah masih ditutup. Pandemi Covid-19 berdampak pada larangan belajar di sekolah dan keharusan menerapkan pembelajaran jarak jauh sesuai instruksi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tentu saja guru kelas 6 ini tidak berhadapan langsung dengan anak-anak yang disapanya. Dengan berpakaian dinas batik Korpri, dia duduk menghadap mikrofon. Kedua telinganya tertutup headset. Dan tangannya memegang beberapa lembar kertas berisi materi pelajaran hari itu.

Di waktu yang bersamaan, siswa yang disapa seperti Risqi dan kelima siswa lainnya yang tergabung dalam kelompok 3, duduk melingkar lesehan di atas tikar. Mereka saling berjarak satu sama lainnya. Semua bermasker. Di hadapan mereka alat tulis lengkap dan sebuah radio analog kecil berwarna hitam. Dari perangkat radio itulah suara gurunya, Sri Windarni berasal. Kadang terdengar jelas, kadang menghilang.

Seminggu sebelum tahun ajaran dimulai, Sri Windarni sudah berinteraksi dengan siswanya melalui udara dalam program Kelas Mengajar di Radio Komunitas. Bak penyiar profesional menyapa para pendengarnya. Begitu juga dengan ketiga guru lainnya yakni Ucih Ursih, Kisnaeni dan Sri Haryati. Mereka guru kelas 5 dan kelas 6 Sekolah Dasar Negeri 01 Tegalontar, Sragi, Kabupaten Pekalongan yang bertugas sebagai “penyiar”.

Sebelum siaran, mereka harus berkoordinasi dengan anak didiknya. Termasuk mengingatkan untuk menyimak radio sehingga mereka tidak ketinggalan pelajaran.

“Sebelum siaran kami ngoprak-oprak, memberitahu dan mengingatkan anak-anak. Sudah jam ini, siap-siap. Di kelas ada grup masing-masing, yang punya Whatsapp memberitahu, getok tular sehingga anak yang lain juga bisa tahu,” kata Sri Windarni.

Tak mudah bagi para guru berada di ruang siaran milik Radio Komunitas PPK FM Sragi, Pekalongan, demi menjangkau anak didiknya.

“Sama sekali buta tentang radio, bagaimana menjadi seorang penyiar. Apalagi dengan alat-alat itu. Awalnya kurang fokus, mikrofon kurang mendekat atau posisi ke di bawah mulut jadi hasilnya suara kurang jelas.” Sri Windarni menceritakan pengalaman siaran kepada Noni Arnee, jurnalis lepas untuk BBC Indonesia yang menemuinya usai mengajar.

Guru kelas 6 mengaku, awalnya tak percaya diri ketika berada di ruang siaran. Ada kekhawatiran siswanya tak mampu memahami materi pembelajaran yang disampaikan karena tak punya keahlian.

“Suara saya lucu, medok (logat) Jawa nampak sekali. Ciri khas Sragi. Katanya tidak apa-apa, itu menunjukan kelokalan kita sebagai orang Pekalongan. Kalau siaran menyampaikan materi pelan, maksudnya agar anak bisa mengikuti semua instruksi,” lanjutnya.

Kisnaeni guru matematikan kelas 5A juga merasakan perbedaan mencolok. Dia harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini. Mengganti pola sebelumnya karena dari jumlah 25 siswanya, tak lebih dari 10 anak yang berkomunikasi melalui Whatsapp Group sebagai sarana belajar jarak jauh.

“Pertama kaget, lah kita disuruh siaran radio, kita bukan penyiar, kita nggak bisa. Dengan dikasih semangat akhirnya bisa. Dari beberapa minggu yang lalu kita coba siaran lewat radio. Anak respons mendengarkan bahkan ada yang menanti,”jelasnya.

Materi siaran disesuaikan kurikulum 2013 yang disajikan dengan pendekatan tematik-integratif. Guru siaran setiap hari, termasuk materi tambahan di luar tematik yakni Matematika pada Hari Jumat dan Hari Sabtu khusus Agama dan Budi Pekerti serta muatan lokal.

“Kita tiap hari satu pembelajaran. Biasanya 2-3 muatan pelajaran (mupel), tapi dengan siaran radio tidak target harus selesai semua. Semampu kita siaran, misal dalam menyampaikan hanya 1 mupel, ya tidak apa-apa,” lanjutnya.

Sri Haryati, guru kelas 6 lainnya menambahkan, tidak hanya siaran, guru juga mengunjungi rumah atau lokasi rombel untuk memantau proses pembelajaran siswa. Mulai dari mengabsen satu persatu siswa hingga mendampingi siswa bersama orangtua selama proses belajar di radio berlangsung, sehingga pembelajaran dapat berjalan baik dan efektif.

 “Kita kerja tim, bagi tugas. Ada banyak guru, 19 guru. 12 rombel. Kita di sini siaran untuk kelas 5 dan 6 dulu. Guru kelas 1-4 membantu di lapangan. Cek apakah anak-anak mendengarkan radio,”tambahnya.

Kelas Mengajar di Radio Komunitas (KejarRakom) adalah sebuah metode pembelajaran menggunakan media alternatif radio siaran. Guru dilatih memberikan materi pelajaran melalui siaran di radio. Metode ini diinisiasi sebagai respons dan solusi mengatasi keterbatasan akses dan infrastrutur para siswa dan orangtua.

Pasalnya, dari 289 siswa SD Negeri 01 Tegalontar, hanya 145 siswa yang mampu mengakses fasilitas daring. Selebihnya tidak mempunyai perangkat yang memadai maupun akses internet.

Kejar Rakom juga ditujukan sebagai bentuk pemenuhan hak pendidikan anak, khususnya di masa pandemi yang selama ini harus belajar jarak jauh dan terbentur dengan berbagai keterbatasan.

 “Lah yang sisanya mau diapain, pertanyaannya kan gitu. Saya bingung ketika saya tanya beberapa orangtua kenapa tidak bisa mengikuti, punya hp tapi bukan hp android, hp android punya tapi tidak ada aplikasi, pulsa habis. Beberapa wilayah sinyal tidak bagus. Caranya bagaimana? Ketika dari rumah ke sekolah ada anak-anak menyapa, “Halo pak guru berangkat sekolah ini ?” jadi trenyuh, nyesek,” ungkap Yoso, Kepala sekolah SD Negeri 01 Tegalontar.

Akhirnya, datang tawaran belajar melalui radio siaran yang difasilitasi Radio Komunitas PPK FM Sragi. Pihak sekolah menyiapkan guru dan materi, sedangkan rakom menyiapkan peralatan teknisnya.

Butuh waktu sekitar satu bulan untuk menyusun materi, orangtua siswa dan mempersiapkan para guru mengajar melalui radio. Kejar Rakom ini hanya berdurasi dua jam setiap hari yang dimulai pada pukul 10 WIB. Materi pembelajaran disiarkan ulang pada pukul 16 WIB.

“Guru mengajar sudah biasa tapi ini tidak ada murid di depannya dan harus bisa ngomong. Kita coba dan ternyata bisa. Satu minggu sebelum masuk, kita sudah memberitahu orangtua meski masih libur. Ketika mulai sekolah sudah siap. Kita jalan lebih awal, curi start. Saya datangi ketua kelas, meminta memberitahukan ke anak-anak bahwa Hari Senin ada siaran radio khusus kelas 5 dan 6. Kondisi seperti ini kita tidak diam saja, kita tidak tidur. Kita harus melakukan sesuatu agar bisa belajar betul-betul di rumah. Itu yang saya banggakan.”

Selain kelas 5 dan kelas 6 dianggap mempunyai daya nalar lebih tinggi, pertimbangan prioritas lebih pada mempersiapkan mereka untuk menghadapi jenjang lebih tinggi di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).  Sedangkan kelas 1-4 masih menggunakan metode home schooling.

“Kita nggak ngerti masa depan seperti apa. Apa yang terjadi kalau materi yang kita sampaikan tidak maksimal. Yang salah siapa? Saya berikir kita siapkan mereka. Saya tidak mentargetkan untuk tuntas, yang terpenting hak anak untuk belajar tetap terpenuhi. Guru tetap mengajar. Tidak sekadar memberikan materi, ada hubungan emosi. Apalagi dari orangtua dampingi,” papar Yoso.

Yoso berharap inisiasi ini akan diikuti 32 SD/MI lain di wilayah Sragi yang memiliki keterbatasan fasilitas daring sehingga siswa dapat belajar dan terhubung dengan guru. Jika pandemi Covid-19 berakhir, Kelas Mengajar di Radio Komunitas ini tetap dilanjutkan sebagai bagian dari program Pendidikan Luar Sekolah (PLS).

Kelas di Udara

Kelas Mengajar di Radio Komunitas (KejarRakom) tak lepas dari peran Sunarto, pengelola Radio Komunitas PPK Sragi 107,7 MHz untuk membantu menjembatani proses belajar siswa dengan para guru yang terdampak pandemi Covid-19. Dia menawarkan sekolah untuk mengajar melalui radio komunitas yang sudah mengudara sejak tahun 2007 ini.

“Belum menemukan jalan keluar terhadap sistem belajar mengajar, ngobrol kecil. Saya cari solusi dan menawarkan para guru pindah belajar ke sini mengajar di studio. Murid-murid belajar di rumah dengan mendengarkan radio. Akhirnya kita coba dulu. Kegiatan sangat beda, di radio guru sedikit berimajinasi seolah-olah siswa ada di depannya, bahan yang diajarkan seperti biasa.”

Dia membantu mematangkan kesiapan guru dan menyiapkan teknis siarannya. Dalam sehari, guru siaran bergantian berdasarkan kelas dan mapel yang diampu. Siaran dimulai dari kelas 5, kemudian bergantian untuk materi kelas 6.

Kelas Mengajar di Radio Komunitas dirasakan manfaatnya oleh orangtua siswa. Seperti Netty Indarwati, orangtua siswa kelas 6, yang merasa terbantu dengan penggunaan media alternatif radio.

“Senang, sebagai ibu rumah tangga anak tidak hanya Aqeela. Sebelumnya saya harus mengajari sendiri, cuman dikasih tugas ngerjain sendiri. Itu tidak efektif banget. Berharap metode belajar radio tetap dilanjutkan dengan diselingi home visit sehingga anak-anak bisa menanyakan pembelajaran kembali,” ujar Netty.

Begitu juga dengan Kusnaeni. Sebelumnya, Risqi, sang anak kerap mengaku jenuh karena belajar dengan menggunakan teknologi melalui aplikasi Whatsapp dirasa tidak efektif.

“Dikasih tugas terus dikumpulkan ternyata anak bosan, jenuh, ingin ke sekolah, ketemu guru. Kadang bosan, lebih baik sekolah kalau belajar di rumah sulit. Kadang saya sebagai orangtua bingung, kalau tanya jawabnya saya ga bisa itu agak susah. Kadang dikerjakan bersama, dikerjakan kelompok yang dekat-dekat. Iya dipantau ditungguin, nemenin belajar. Mau gimana lagi.”

Hubungan emosional dengan guru juga terbangun melalui pembelajaran lewat radio.

“Pake WA kadang kendala beli kuota. Ya senang ketimbang dulu pakai WA dikasih tugas halaman sekian dikerjain sekian-sekian. Si anak lebih mendengarkan gurunya. Ya mending enakan sekarang, berarti si anak bisa dengeri suara gurunya, dikasih materi, ada penjelasan. Kadang dikasih yel-yel sama bu guru untuk menambah semangat,”imbuh Kusnaeni.

Efektifvitas metode Kelas Mengajar di Radio Komunitas pun dilirik anggota Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) di wilayah lain dan akan diujicobakan di Lampung, Jawa Barat, Sulawesi dan Wamena.

Di Jawa tengah sendiri terdapat 35 radio komunitas yang tergabung dalam JRKI, dari total 457 radio komunitas seluruh Indonesia yang tersebar di 20 propinsi.

Keterbatasan Fasilitas

Hasil evaluasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan menyebut, dari 518 Sekolah Dasar di Kabupaten Pekalongan, hanya 50 % yang menerapkan pembelajaran daring.

“Tidak semua mempunyai fasilitas. 50 persen belum ada yang melakukan dengan daring, makanya kami minta sekolah aktif menginstruksikan guru home visit meski tidak setiap hari,“ jelas Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan, Sumarwati.

Selain itu, pihaknya berinisiatif bekerjasama dengan tiga radio siaran. Radio Kota Santri milik Pemkab Pekalongan dan dua radio komersial yakni Radio KSM dan Radio Soneta untuk membantu siswa pelajar di jenjang kelas 1 hingga kelas 9. Baru diujicobakan sebulan karena terkendala alokasi anggaran.

“Sesuai kelas, sesuai mapel ari kelas 1-6, kelas 7-9, pembelajaran dengan menghadirkan guru-guru. Respon bagus. Tidak hanya sekadar mendengaran tapi ada tugasnya. Radio komersil supaya terakses di semua daerah. Lebih terjangkau di beberapa wilayah. Butuh anggaran, kemarin di perubahan kita usulkan untuk mendahului anggaran.Ini rencana kita mengusulkan dalam perubahan anggaran,”ungkapnya.

Karena itu pihaknya menyambut baik jika ada radio komunitas yang bersedia membantu pembelajaran jarak jauh karena metode ini cukup efektif.

Media Alternatif Pembelajaran

Secara teknis, tingkatan pendidikan SMP hingga perguruan Tinggi memang relatif lebih siap dan tidak kesulitan dalam pembelajaran daring di bandingkan Sekolah Dasar.

Farid Ahmadi, Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, mengatakan, di masa pandemi guru dan sekolah justru lebih kreatif dan inovatif mencari dan mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi sekolah. Contohya, Kelas Mengajar di Radio Komunitas di SD Negeri 01 Tegalontar yang menggandeng komunitas lokal untuk mengatasi keterbatasan fasilitas akses dan infrastruktur.

Sebenarnya, banyak alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dengan memanfaatkan teknologi pembelajaran sederhana hingga canggih seperti Sekolah Dasar negeri dan swasta di perkotaan yang mulai membangun management e-learning system dengan mengintergrasikan pembelajaran dan materi dalam satu platform.

“Platform-platfom semakin banyak dan makin bisa jadi alternatif guru untuk mengembangkan metode pembelajaran. Mulai ajaran baru ini melakukan kombinasi e-learning, video conference, konten pembelajaran, kuis, video pembelajaran di unggah di YouTube, penugasan siswa hingga assesment pembelajaran melalui satu platform e-learning. Relatif efektif asal didukung fasilitas. Guru mengajar dengan berbagai multimedia melakukan pembelajaran secara online,” lanjutnya.

Kondisi sangat berbeda dengan SD di pedesaan yang minim fasilitas. Namun bukan berarti mereka tidak dapat memanfaatkan berbagai alternatif media pembelajaran untuk pembelajaran jarak jauh.

“Sekolah Dasar sebagaian besar berada di desa. Kendala koneksi internet, punya 2 anak yang masih SD, tidak memiliki handphone. Kalau dipaksakan pembelajaran daring banyak mengalami kesulitan.” jelas Farid.

Upaya lain menurut Farid, bisa dilakukan dengan konsep home schooling. Guru berkunjung ke rumah (home visit). Ada juga model daring sederhana melalui Whatsapp Grup.

“Semua instruksi guru pembelajaran anak disampaikan melalui WAG orangtua. Satu kelas di bagi 5 kelompok sehingga jumlah siswanya tidak terlalu banyak berada di satu rumah atau satu lokasi dan guru-guru ditugaskan keliling dengan protokoler kesehatan melakukan pembelajaran. Awalnya guru di sekolah daerah tertinggal yang tidak memiliki fasilitas internet menginisiasi dengan melakukan hal seperti itu,” imbuhnya.

Farid menambahkan, upaya-upaya ini dapat berjalan dengan baik jika didukung kebijakan yang sesuai kebutuhan tiap daerah.

“Format pembelajaran daring tidak bisa diatur pusat karena kondisi tiap daerah beda. Seperti SD saya rasa kebijakan ada di level daerah saja karena yang tahu kondisi sekolah. SD belum optimal tapi sekarang mulai bergerak mempersiapkan menuju kesana,”tambahnya.

Hanya saja, pembelajaran daring dengan berbagai kelebihan justru mengesampingkan pendidikan karakter yang masih mutlak diajarkan di semua tingkatan pendidikan.

“Kelemahan daring tidak bisa melakukan pendampingan pendidikan karakter. Dalam kondisi seperti ini ya mau tidak mau. Kedepannya tetap harus ada kombinasi pembelajaran daring dan luring sehingga ada penguasaan teknologi dan tetap ada muatan pendidikan karakter,”tandasnya.

Published with editing on BBC News Indonesia, link https://www.bbc.com/indonesia/majalah-53562848

#Covid19 #pendidikan #belajar #Radiokomunitas #viruscorona

Selasa, 31 Desember 2019

Rasa Trisno untuk Tanon

Akses masuk menuju Festival Lereng Telomoyo #2. Foto:Arnee
Suara kendang dan tetabuhan gamelan berirama rancak terdengar sayup-sayup seolah memanggil pengunjung gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 untuk bergegas memasuki Dusun Tanon. Sekitar 200 meter dari gerbang dusun, nampak lapangan yang disulap menjadi panggung utama dipenuhi segerombolan bocah beratribut pakaian tradisional.
Aksi bocah-bocah Dusun Tanon memainkan Tari Geculan Bocah. Foto:Arnee
Tubuhnya dibalut rompi merah. Kain jarik bermotif warna coklat menutup celana hitam. Ikat kepala menjadi pelengkap. Mimik wajah mereka jenaka berias mirip badut. Tubuh, tangan dan kaki mereka terus bergerak. Lincah mengikuti irama gamelan.

Ya, ini keceriaan anak-anak Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Getasan, Kabupaten Semarang memainkan Tari Geculan Bocah.

Tarian yang menceritakan tentang keseruan dan kelucuan bocah bermain ini pun membuat seratusan penonton yang mengelilingi panggung sesekali tersenyum. Bahkan tertawa menyaksikan polah tingkah mereka.

Tak hanya itu, pengunjung yang datang juga disuguhi kepiawaian ibu-ibu Dusun Tanon memainkan kesenian Lesung Jumengglung. Mereka memadukan suara alu dan lesung (alat pemecah padi). Bertalu-talu, bersahutan diiringi lantunan nyanyian kegembiraan.
Ibu-ibu Dusun Tanon menunjukkan kepiawaian memainkan Lesung Jumlenggung. Foto:Arnee
Pertunjukan itu menjadi rangkaian gelaran Festival Lereng Telomoyo #2 yang berlangsung selama dua hari, pada 12-13 Oktober 2019 lalu. Festival yang dikemas menyuguhkan experience tourism kepada pengunjung untuk mengenalkan Desa Menari Tanon kepada masyarakat luas.

Gelaran ini juga dimeriahkan dengan aneka pertunjukan seni lainnya. Seperti Tari Topeng Ayu, Sebuah tarian transformasi dari Tari Topeng Ireng yang terinspirasi dari gerakan penyamaran zaman perjuangan.
Remaja putri berbalut kostum Tari Topeng Ayu. Foto:Arnee
Ada juga aneka dolanan tradisional yang nyaris sulit ditemui bisa bebas dimainkan pengunjung. Sebut saja permainan Suda Manda, dakon, cublak-cuplak suweng dan egrang bambu.
Pasar rakyat yang menjajakan berbagai makanan tradisional untuk dinikmati dan hasil bumi Dusun Tanon juga menyemarakkan gelaran kali ini.
Wisatawan memainkan permainan Suda Manda. Foto:Arnee
Pengunjung menjajal egrang bambu di gelaran Festival Lereng Telomoyo. Foto:Arnee
Sebenarnya, Festival Lereng Telomoyo ini hanya satu dari sekian banyak gelaran di Dusun Tanon. Pertunjukan lain juga kerap diselenggarakan pada perayaan hari besar seperti hari besar keagamaan, Festival Budaya Desa, Bersih dusun hingga kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI.

Daerah Tertinggal

Dusun Tanon berjarak sekitar 58 kilometer dari Ibu Kota Semarang. Terletak di Lereng Gunung Telomoyo. Mayoritas penduduk petani dan peternak sapi perah.

Jalur berliku memasuki dusun yang terletak di Lereng Gunung Telomoyo, sekitar 1,5 kilometer dari kawasan wisata Kopeng membuat Dusun Tanon dianggap daerah sepi.  Terbelakang dan kumuh. Bahkan menjadi salah satu daerah Tertinggal di Kabupaten Semarang.
Peta lokasi Desa Menari. Foto:Arnee
Tapi itu dulu.

Dusun ini perlahan berubah. Sejak Trisno, pemuda asal dusun ini ingin mengajak warga menghidupkan kampungnya menjadi produktif tanpa meninggalkan kearifan lokal.

“Kepikiran sejak masih jadi mahasiswa. Setelah saya amati, salah satu aspek memutus kebuntuan di kampung adalah pendidikan. Maka saya berusaha menyelesaikan kuliah dan pulang,” kenang Trisno.

Namun, Tapi tak semudah itu. Kepulangan Trisno justru tak disambut gembira kedua orangtuanya. Keinginan demi kemajuan desa ditentang kedua orangtua. Trisno “ditolak” kembali ke desa.
Sebagai seorang sarjana pertama Dusun Tanon, itu sebuah prestasi dan kebanggaan kedua orangtua yang ingin anaknya mempunyai pekerjaan lebih baik. “Tantangan awal justru dari keluarga. Saya balik kampung, kembali ke kandang. Orangtua berpikir kenapa sekolah tinggi kalau hanya mau jadi petani lagi. Awalnya ini membuat orangtua malu,”akunya.
Trisno, sang penggagas Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno mengatakan, tantangan terberat adalah menaklukkan fase pergulatan batin dan meyakinkan keluarga untuk membuktikan ucapannya. Trisno butuh waktu 5 tahun. Rasa trisno (baca : cinta-red) pada Tanon tak menggoyahkan tekad membangun tanah kelahirannya. “Padahal saya mencontohkan bahwa saya bertani / beternak bukan dengan cara mereka yang konvensional itu,” katanya.

Tahun 2006, selepas menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Surakarta, lelaki yang akrab disapa Kang Tris ini mulai merealisasikan gagasan-gagasannya. “Saya tekankan bahwa pendidikan itu penting dan saya berkomitmen mewakafkan diri. Artinya kegiatan saya ya kegiatan pelayanan untuk masyarakat Tanon. Saya tidak boleh keluar dan patah arang karena mereka akan mentertawaka saya.”

Menghidupkan Kampung

Trisno mencari cara agar gagasannya dapat diterima warga yang meremehkan dan menolak tawaran untuk mengubah wajah Tanon. Menurutnya, pola pikir dan tingkat pendidikan warga lah yang membuat ide-idenya tidak direspons dengan baik.
“Kebanyakan tidak lulus SD, di generasi saya paling banter SMP dan jarang berinteraksi dengan dunia luar,” lanjut Trisno.

Karena itu, ia mengawali dengan mendekati warga. Ia fokus pada program pendidikan non formal melalui pembelajaran berorganisasi dan aktif membuat forum diskusi warga. Trisno juga mengundang pihak lain seperti mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata untuk mendukung kegiatan desa dan berbagi pengalaman.

Metode ini dianggap ampuh untuk memantik partisipasi warga menggali dan mengembangkan potensi desa. Interaksi dengan pihak luar membawa dampak positif terhadap pola pikir dan pengetahuan warga.

Trisno mulai menggerakkan warga dengan modal Rp 200 ribu untuk membuat lincak (meja bambu) sebagai sarana warga berkumpul. Semangat kemandirian dihembuskan kepada warga. Menurutnya, partisipasi warga jadi kunci terpenting dalam perubahan. “Semangat gotong royong. Ibaratnya siapa yang punya bambu menyumbang bambu, yang punya tenaga menyumbang tenaga. Tidak bergantung pada bantuan.”

Hingga kemudian Trisno berhasil mencetuskan ide laboratorium sosial untuk pengembangan dan pemberdayaan warga Tanon. Artinya, kampung mereka yang kaya potensi dan kearifan lokal akan menjadi laboratorium hidup melalui konservasi desa.
“Kita mengkonservasi apa yang sudah ada. Konservasi masyarakat petani dan peternak, dolanan tradisional, dan kesenian lokal,” jelas ayah 3 anak ini.

“Bertani tidak harus mencangkul dan masuk kandang tetapi membantu mendapat akses. Penari Topeng Ireng tidak perlu ngamen di jalan karena bisa disaksikan pertunjukannya di dusun ini. Hal semacam itu menjadi potensi yang bisa dikembangkan di sini,” paparnya.

Setelah tiga tahun berjalan, Trisno kemudian mengenalkan konservasi desa dan membuka akses warga ke luar melalui pendekatan wisata berbasis konservasi. Wisata yang mengedepankan pada pelestarian atau perlindungan kekayaan lokal yang dimiliki Dusun Tanon.

Trisno menegaskan, Tanon tidak “menjual” objek wisata misalnya keindahan lereng Gunung Telomoyo, melainkan daya tarik aktivitas kehidupan keseharian warga Tanon.
“Wisata sebagai pintu masuk untuk membuka akses masyarakat agar terbuka berinteraksi dengan pihak luar, menambah pengetahuan dan berkembang, tanpa melupakan aktivitas lokal. Paket-paket wisata di sini adalah aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertani, beternak, menari, bermain dolanan tradisional, dan pasar rakyat.”
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan tradisional dan hasil bumi Dusun tanon. Foto:Arnee
Untuk menjaga konsep ini tetap berjalan, semua elemen warga diajak berperan dengan menjadi bagian dari semua aktivitas yang “dijual”. Menjadi penari, pemain musik, pemandu wisata, berjualan di pasar rakyat, membuka homestay.

“Ada orang-orang kunci bertanggung jawab misal koordinator pasar rakyat, kesenian tradisional, homestay, pemandu wisata dan outbound. Jadi tiap kegiatan bisa berjalan. Lambat laun saya sebagai figur akan lepas.”

Desa Menari

Agar mudah dikenal, Trisno bersama masyarakat kemudian membranding Tanon menjadi “Desa Menari”. Menari karena warga Tanon mempunyai warisan kesenian tradisional yang dilestarikan. Hingga kini tercatat 18 kelompok seni tari di Desa Ngrawan. 6 kelompok tari diantaranya berada di Dusun Tanon.
Panggung utama Festival Lereng Telomoyo di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Selain itu, “menari” yang menjadi slogan Dusun Tanon merupakan akronim dari “Menebar Harmoni Merajut Inspirasi Menuai Memori”.
“Menari mampu menyatukan warga dan pengunjung yang datang ke Tanon bisa merasakan harmoni atau keselarasan, melalui interaksi dengan warga dan alam di sekitarnya. Merasakan semangat dan aktivitas pedesaan akan menjadi pengalaman yang menginspirasi,” lanjut Trisno.

Upaya pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat dengan mengelola potensi sumber daya alam dan kearifan lokal untuk mengembangkan ekonomi warga Tanon diapreasiasi Pemerintah Kabupaten Semarang. Tahun 2015, Dusun Tanon dinobatkan sebagai desa wisata dengan SK Bupati Nomor 01 Tahun 2015.

Data Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah menyebutkan, Dusun Tanon menjadi satu dari 229 desa wisata tersebar di 35 kabupaten kota Jawa Tengah. Dusun Tanon juga membawa Desa Ngrawan meraih predikat Sejahtera Mandiri di tahun 2016 dari Kementerian Sosial RI.
Prasasti pengukuhan Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Trisno menambahkan, sebagai desa wisata, Desa wisata Menari mampu menjadi magnet wisatawan hingga mampu meningkatkan ekonomi warga untuk mendapatkan penghasilan alternatif selain dari pencaharian utama di bidang pertanian dan peternakan.

"Pengunjung antara 1500 – 3000 setiap tahunnya. Warga punya penghasilan tambahan 10-15 persen di luar pekerjaan utama. Pendapatan ini untuk warga dan pengembangan desa,” tambah Trisno.
Namun, Trisno menegaskan bahwa Jumlah bukan target dan tolok ukur keberhasilan Desa Menari. Nilai-nilai dari filosofi “menari” lah yang menjadi fokus untuk disebarkan kepada orang lain.

Kampung Pun Berseri

Atas kerja kerasnya menghidupkan Dusun Tanon, Trisno terpilih menjadi salah satu penerima apresiasi SATU (Semangat Astra Terpadu) Indonesia Award tahun 2015, kategori lingkungan dari PT Astra International Tbk.
Setahun kemudian, Trisno dipercaya menjadi penerima SATU Indonesia Award untuk mengelola Kampung Berseri Astra (KBA). Berkat Trisno, Desa Menari Tanon menjadi Kampung Berseri Astra pertama di Jawa Tengah.

Kampung Berseri Astra (KBA) merupakan program Kontribusi Sosial Berkelanjutan Astra yang diimplementasikan kepada masyarakat dengan konsep pengembangan yang mengintegrasikan empat pilar program yaitu Pendidikan, Kewirausahaan, Lingkungan dan Kesehatan.

Melalui program Kampung Berseri Astra, masyarakat dan perusahaan dapat berkolaborasi bersama mewujudkan wilayah yang bersih, sehat, cerdas dan produktif sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Kehadiran Astra di Desa wisata Menari Tanon dengan empat pilar tersebut disinergikan sehingga mempercepat perkembangan konservasi desa yang dikelola warga.
Desa Menari Tanon menjadi desa binaan ASTRA sebagai KBA pertama di Jateng. Foto;Arnee
Trisno menjelaskan, di bidang pendidikan, diimplementasikan melalui program Beasiswa Astra Lestari kepada 36 anak Dusun Tanon untuk menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Selain itu, warga juga mendapat pendidikan informal melalui ketrampilan berbicara dengan baik.

Sedangkan penerapan pilar program kewirausahaan digulirkan dalam bentuk berbagai pilihan paket wisata dan pasar rakyat. “Wisatawan bisa memilih paket wisata yang diinginkan untuk merasakan pengalaman aktivitas keseharian sebagai petani menanam padi, memerah susu sapi, belajar menari hingga outbond. Kami juga menyediakan homestay yang ingin live-in,” jelasnya.
Pasar rakyat yang menyajikan aneka makanan dan hasil bumi Dusun Tanon. Foto:Arnee
Di bidang kesehatan, Astra memfasilitasi pemeriksaan kesehatan gratis warga Dusun Tanon. Tidak hanya mendirikan posko pelayanan kesehatan Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) dan fisioterapi tapi juga menyiapkan kader kesehatan untuk 'jemput bola' sehingga warga lebih mudah cek kesehatan.
Posko pelayanan kesehatan gratis di Dusun Tanon. Foto: Arnee



Petugas kesehatan di posko pelayanan kesehatan sedang melayani warga yang ingin memeriksa kesehatan anaknya. Foto:Arnee
Astra juga membantu di pilar lingkungan dengan penataan zonasi dan pembenahan lokasi outbound, konservasi mata air serta memfasilitasi perbaikan sarana prasarana rumah warga yang disiapkan menjadi homestay dan  disewakan dengan tarif Rp 50 ribu/malam.

Penanda homestay di Desa Menari Tanon. Foto:Arnee
Sebagai desa wisata, konsep Desa Menari Tanon menghadirkan kehidupan desa dengan membangun narasi yang baik, sehingga harmoni Desa Menari dapat menjadi inspirasi dan menerbar kebaikan yang akan menjadi memori bagi warga dan pengunjung Dusun Tanon.

Keberhasilan Trisno mengangkat potensi wisata di kampungnya tak lepas dari totalitas, dedikasi, serta kecintaannya sebagai putra Dusun Tanon. Begitu juga rasa memiliki yang tertanam dalam jiwa seluruh warga Tanon yang menjadi bagian dari proses program yang dijalankan.

Trisno puas dengan pencapaian warga Dusun Tanon. Dan ia punya harapan besar.

“Saya cukup bahagia dengan perkembangan Tanon, meskipun saya ingin membuat terobosan baru. Semoga semangat ini tidak hanya milik warga Tanon tapi juga menular ke desa lain dan seluruh masyarakat di negeri ini,”harapnya.

Sebagai desa wisata, Desa Menari Tanon menjadi Ikon Kebanggaan warga dan masyarakat Jawa tengah. Itu artinya juga menjadi ikon kebanggan Indonesia.

Ya, karena #KitaSATUIndonesia dan #IndonesiaBicaraBaik akan menghasilkan peradaban yang baik pula. Seperti yang dilakukan Trisno bersama warga Dusun Tanon.