Pages

Sabtu, 23 Januari 2016

Srintil, Harmoni dari Lereng Sumbing


Tembakau Srinthil dari Desa Tilir
Di timur lereng Sumbing, lahan berundak di sisi-sisi jalan beraspal Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah itu tak lagi hijau. Hanya tanah pasir berkerikil. Akhir Oktober itu, masa petik daun tembakau memang sudah lewat. 

Di permukiman penduduk, di halaman-halaman rumah, Srintil dipapar di atas anjang-ajang bambu. Srintil itu nama tembakau primadona. Sangat istimewa. Aroma khasnya menguar di situ. Lebih-lebih lagi, "Srintil tidak muncul setiap tahun." Itu kata Sutopo, petani tembakau di Legoksari.

Kenapa Srintil istimewa? Tembakau ini ada secara alamiah dan tak bisa dibudidayakan. Tanda kemunculannya baru saat proses fermentasi atau pengeraman daun tembakau petikan terakhir yang ditumbuhi jamur kuning. Setelah dirajang dan dijemur, bentuknya semakin terlihat. Rajangan daun "printhil-printhil" dipercaya masyarakat setempat sebagai anugerah Dewi Kemakmuran: Dewi Sri yang "nginthil" (ikut) menjadi berkah. Berkah itu berupa harga Srintil yang selangit. "Pada 2011 harganya mencapai Rp 900 ribu per kg. Itu puncak harga tertinggi tembakau srinthil," imbuhnya.

Bagi saya, bertemu Srinthil adalah keberuntungan. Bagi warga Legoksari, tak sekadar keuntungan. Ia adalah proses, perjuangan, keberhasilan, kebanggaan. Juga kearifan lokal bagaimana menjaga harmoni. Srintil adalah juga konsep hidup para petani tembakau di situ. 
"Saat panen tembakau, tatalah hati kita, jangan saling bertengkar. Kalau ada maslaah, ayo dirembuk. Sabar. Jangan sampai memendam kemarahan, sebab nanti daun tembakau yang baik bisa jadi buruk. Ya, agar harganya mahal. Rezeki kita lancar."

Kata Sutopo, itu pesan turun-temurun. Para petani tahu betul memaknai pesan itu dengan pola tanam tebakau yang "pranata mangsa". Semua ada waktunya sendiri-sendiri. Ada proses menyiapkan pupuk kandang, mengolah lahan, membuat lubang tanam, menanam, merawat, hingga memanen. Semua berdasarkan waktunya yang tepat. Dan semua proses itu dibangun berdasarkan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. 
"Ya, kami bergotong royong dari penanaman, petik sampai pengepakan. Yang punya lahan dua hektare atau hanya setengah hektare, sama. Tidak iri-irian. Dengan sukarela dan senang hati membantu petik daun meski jaraknya jauh. Tidak pernah mengeluh."

Kesederhanaan, keikhlasan juga menjadi irama hidup para petani. "Kalau tembakau bagus, jangan dipuji. Yang jelek, jangan disia-siakan. Daun jelek belum tentu jadi jelek. Bergantung atas perawatannya. Kalau ikhlas, itu enak. Semua lancar." 

Kearifan lokal yang turun-temurun itu tak hanya berbuah panen yang bagus, tapi juga sebuah kisah tentang harmoni, kisah keselarasan dari Lereng Sumbing.

Tidak ada komentar: