Tembakau Srinthil dari Desa Tilir |
Di timur lereng Sumbing, lahan
berundak di sisi-sisi jalan beraspal Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung,
Jawa Tengah itu tak lagi hijau. Hanya tanah pasir berkerikil. Akhir Oktober
itu, masa petik daun tembakau memang sudah lewat.
Di permukiman penduduk, di
halaman-halaman rumah, Srintil dipapar di atas anjang-ajang bambu. Srintil itu
nama tembakau primadona. Sangat istimewa. Aroma khasnya menguar di situ.
Lebih-lebih lagi, "Srintil tidak muncul setiap tahun." Itu kata
Sutopo, petani tembakau di Legoksari.
Kenapa Srintil istimewa? Tembakau
ini ada secara alamiah dan tak bisa dibudidayakan. Tanda kemunculannya baru
saat proses fermentasi atau pengeraman daun tembakau petikan terakhir yang
ditumbuhi jamur kuning. Setelah dirajang dan dijemur, bentuknya semakin
terlihat. Rajangan daun "printhil-printhil" dipercaya masyarakat
setempat sebagai anugerah Dewi Kemakmuran: Dewi Sri yang "nginthil"
(ikut) menjadi berkah. Berkah itu berupa harga Srintil yang
selangit. "Pada 2011 harganya mencapai Rp 900 ribu per kg. Itu puncak
harga tertinggi tembakau srinthil," imbuhnya.
Bagi saya, bertemu Srinthil adalah
keberuntungan. Bagi warga Legoksari, tak sekadar keuntungan. Ia adalah proses,
perjuangan, keberhasilan, kebanggaan. Juga kearifan lokal bagaimana menjaga
harmoni. Srintil adalah juga konsep hidup para petani tembakau di situ.
"Saat panen tembakau, tatalah
hati kita, jangan saling bertengkar. Kalau ada maslaah, ayo dirembuk. Sabar.
Jangan sampai memendam kemarahan, sebab nanti daun tembakau yang baik bisa jadi
buruk. Ya, agar harganya mahal. Rezeki kita lancar."
Kata Sutopo, itu pesan
turun-temurun. Para petani tahu betul memaknai pesan itu dengan pola tanam
tebakau yang "pranata mangsa". Semua ada waktunya sendiri-sendiri. Ada
proses menyiapkan pupuk kandang, mengolah lahan, membuat lubang tanam, menanam,
merawat, hingga memanen. Semua berdasarkan waktunya yang tepat. Dan semua
proses itu dibangun berdasarkan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
"Ya, kami bergotong royong dari
penanaman, petik sampai pengepakan. Yang punya lahan dua hektare atau hanya
setengah hektare, sama. Tidak iri-irian. Dengan sukarela dan senang hati
membantu petik daun meski jaraknya jauh. Tidak pernah mengeluh."
Kesederhanaan, keikhlasan juga menjadi
irama hidup para petani. "Kalau tembakau bagus, jangan dipuji. Yang jelek,
jangan disia-siakan. Daun jelek belum tentu jadi jelek. Bergantung atas
perawatannya. Kalau ikhlas, itu enak. Semua lancar."
Kearifan lokal yang turun-temurun
itu tak hanya berbuah panen yang bagus, tapi juga sebuah kisah tentang harmoni,
kisah keselarasan dari Lereng Sumbing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar