Pages

Tampilkan postingan dengan label regulasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label regulasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Agustus 2020

Covid-19 Dari Kluster Pernikahan di Semarang

“Awalnya rapid test reaktif. Kemudian dilakukan swab test pertama di Rumah Sakit Tlogorejo. Hasilnya positif,” kenang Khotib yang ketika dinyatakan reaktif berinisiatif melakukan isolasi mandiri di rumahnya. Istrinya menyediakan kamar khusus. Di kamar tersebut dipasang tenda untuk tidur. “Di kamar saya kasih tenda. Saya tidur di dalam tenda agar lebih aman,” jelasnya.

Banyak diantara positif Covid-19 adalah Orang tanpa Gejala (OTG). Salah satunya Ahmad Khotib. Warga RT 06 RW 01 Tambakrejo, Gayamsari, Semarang ini OTG yang teridentifikasi positif Covid-19 setelah menjalani serangkaian test.

Khotib juga berturut-turut melakukan swab test lanjutan kedua dan ketiga. Selama isolasi mandiri, Khotib mengkonsumsi dua jenis obat. Pehavra, suplemen vitamin dan Azithromycin, antibiotik golongan macrolide yang diberikan secara oral untuk infeksi saluran napas atas (tonsilitis, faringitis), infeksi saluran napas bawah (bronkitis, pneumonia). Selama masa isolasi, warga di kampungnya juga bergantian mengirim makanan. “Dikirim lauk pauk di taruh di depan nanti saya ambil. Di tiap rumah juga disediakan air dan sabun cuci tangan.”

Dia dapat bernafas lega. Berdasarkan surat keterangan hasil pemeriksaan dari laboratorium sampel Covid-19 yang diterima dari Laboratorium Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret tertanggal 22 Juni 2020 menunjukkan dia negatif Covid-19.

“Ini tinggal 3 hari lagi obat habis,” jelas Khotib kepada Noni Arnee, wartawan di Semarang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, ketika ditemui di rumahnya Selasa (22/6/20).

Khotib, OTG yang teridentifikasi positif Covid-19 pasca menghadiri acara akad nikah tetangganya pada 11 Juni lalu. Yang hadir pada saat acara sakral tersebut diantaranya perangkat RT, tetangga dan keluarga kedua mempelai.

Menurutnya, akad nikah ini sudah direncanakan jauh hari. Kamis 11 Juni sebagai tanggal akad nikah dan 14 Juni untuk gelaran resepsi. Namun rencana resepsi ditiadakan karena kondisi kesehatan kedua orangtua mempelai perempuan pada saat itu tidak memungkinkan. Ibu mempelai perempuan didiagnosa penyakit dalam dan setahun ini rutin terapi. Sedangkan sang ayah mempunyai riwayat medis penyakit jantung.

 “Yang penting akad nikah dan sah dulu. Acara dilangsungkan di rumah mempelai perempuan,’ jelasnya.

Hamid, keluarga mempelai perempuan menambahkan, acara akad nikah berlangsung di rumah mempelai perempuan yang jaraknya sekitar 150 meter dari Masjid Besar Terboyo.

“Bulan Juni, KUA memberi kelonggaran mengelar akad nikah dengan menerapkan protokol kesehatan. Boleh memilih di KUA, masjid atau di rumah. Pilihan waktu itu di rumah karena Masjid Besar Terboyo belum mengizinkan karena masih pandemi,” jelas Hamid.

Menurutnya, jumlah tamu undangan yang hadir dalam akad nikah tak lebih dari 30 orang. “Undangan 15, mempelai pria bawa 3 mobil, isinya tidak penuh. Ya dengan anak-anak jumlahnya tidak lebih dari 30,” ungkap Hamid.

Namun, selang dua hari, adik mempelai perempuan mengaku lemas, batuk dan sesak sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Sultan Agung. Kedua orangtua mempelai juga menyusul masuk rumah sakit.

“Hari Sabtu 3 keluarga mempelai perempuan masuk rumah sakit. Adik dan kedua orangtua. Minggu sore adiknya meninggal, katanya karena radang paru-paru. Disusul Senin petang Ibunya meninggal. Sedangkan ayahnya masih di rawat hingga kini dan kondisinya sudah membaik,” ungkap Khotib.

Dinas Kesehatan pun kemudian mengambil langkah dengan tracking dan tracing pada orang-orang yang terlibat dalam acara akad nikah tersebut. Tracking dilakukan sejak tanggal 2 Juni yang menemukan adik mempelai perempuan sudah mempunyai keluhan demand an hasil lab swasta menunjukkan sang adik menderita typus.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr. Abdul Hakam, mengatakan, dari serangkaian test, hasilnya ditemukan 10 orang positif Covid-19. Semua dalam keadaan OTG.

“Di awal 10 orang rapid test, ada satu yang reaktif. Karena banyak lansia dan anak-anak yang hadir di acara itu maka hari berikutnya saya lakukan swab kepada 20 orang. Hasilnya ada 3 orang positif. Nah mereka ini ternyata punya anak dan di tracking ketemu  lagi 2 positif. Dari pihak keluarga inti mempelai total ada 5 positif,” ungkap Hakam.

Selain rapid test dan swab test, pihaknya juga berupaya memutus rantai penyebaran dan penularan Covid-19 dengan meminta para OTG yang teridentifikasi positif itu untuk diisolasi mandiri dan terapi dengan mengkonsumsi obat. Di kawasan tersebut juga dilakukan steririsasi dengan penyemprotan disinfektan. “Per Hari Rabu 25 Juni masih ada 2 positif.”

Untuk lebih memastikan kondisi kesehatan, sejumlah keluarga mempelai juga isolasi mandiri dan melakukan swab test mandiri. “8 orang dari pihak keluarga melakukan swab test mandiri dengan membayar Rp 2.3 juta / orang dan hasilnya negatif semua.” imbuh Hamid.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr. Abdul Hakam  menegaskan, peristiwa akad nikah di Tambakrejo ini menjadi pembelajaran penting bagi warga Semarang ketika ingin menggelar acara yang mendatangkan orang banyak. Meski diperbolehkan harus menerapkan dan mentaati protokol kesehatan yang ketat.

Acara akad nikah tersebut digelar ketika Kota Semarang masih menerapkan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) Tahap III yang berlaku 8 Juni hingga 21 Juni 2020 seperti yang tertuang dalam Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan PKM dalam percepatan penanganan Covid-19 Kota Semarang.

Dalam PKM tahap III tersebut diantaranya menyebutkan kegiatan sosial seperti pemakaman dan pernikahan tetap boleh dilakukan dengan pembatasan jumlah 30 orang dan harus menerapkan protap kesehatan.

“Itu jumlah maksimal. Tapi juga harus melihat kondisi ruangan. Luas atau sempit dan aturan jarak 1-2 meter harus terpenuhi,” imbuh Hakam.

Kasus Covid-19 Naik Terus

Jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Semarang dalam satu minggu terakhir ini melonjak drastis. Data Dinas Kesehatan Kota Semarang menunjukkan jumlah positif Covid-19 per tanggal 18 Juni sebanyak 291 orang, naik menjadi 591 orang (per tanggal 25 Juni) yang tersebar di 16 kecamatan.

 

Terkait dengan jumlah positif Covid-19 di Kota Semarang, M Abdul Hakam mengakui terjadi lonjakan terus menerus menyusul makin masifnya upaya rapid test dan swab test oleh Dinas Kesehatan maupun test mandiri yang dilakukan warga di rumah sakit pemerintah yang menjadi rujukan, rumah sakit swasta maupun di klinik dan lab utama yang melayani test.

“Belum turun, ini masih naik terus. Jadi tidak ada kata lain warga harus benar-benar menerapkan protokol kesehatan yang disiplin dan sustainable. Orang selama 3 bulan mungkin sudah bosan di rumah dan begitu keluar seperti euphoria. Makanya harus selalau diingatkan.” Hakam mengingatkan.

Di Kota Semarang terdapat 3 rumah sakit melayani swab test yakni Rumah Sakit Wongsonegoro, Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND), dan Rumah Sakit Kariadi. “Kalau lab di rumah sakit penuh, kolaborasi dengan lab se-Jateng. Dua Minggu ini kita kirim sampel test ke Solo, Yogyakarta. Ya nyebar supaya semua terkendali dan cepat dapat hasilnya.

Hakam mengakui keterbatasan laboratorium rujukan dalam menerima sampel test juga menghambat kecepatan proses identifikasi. Ditambah lagi prosedur panjang mulai dari perencanaan tempat atau lokasi rapid test dan swab test, pencatatan, hingga pembaharuan data.

“Yang jadi persoalan ketika harus antre sampel swab test karena kuota di lab terbatas. Kita harus cari lab yang tidak banyak antrean. Pandai-pandai kita melihat lab mana yang kosong dan bisa dimasuki agar hasilnya cepat. Per tanggal 25 Juni, kita juga masih punya 311 PDP yang menunggu hasil. Kasihan kalau mereka terlalu lama berada di karantina.”

Sementara itu dari 16 kecamatan di Kota Semarang, 3 Kecamatan menjadi perhatian dan diwaspadai karena angka positif Covid-19 yang tinggi, yakni Kecamatan Pedurungan, kecamatan banyumanik dan Kecamatan Tembalang.

“Pokoknya jangan kaget. Kalau dalam 1-2 minggu ini kita mendapatkan hasil (Covid-19) yang luar biasa tinggi. Iya karena test makin intensif dan kami lakukan dengan multiple swab, ambil sampel dari hidung dan tenggorokan,” tandasnya.

Sementara data siagacorona.semarangkota.go.id pada 25 Juni 2020 menujukkan, jumlah Covid-19 meninggal sebanyak 127 orang, PDP 1637 orang, Dalam Perawatan dan Perbaikan Klinis sebanyak 592 orang dan ODP sejumlah 4.236 orang. Sedangkan yang sembuh 566 orang.

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53176439

#Corona #Covid19 #Semarang #Kluster #Pernikahan

Selasa, 16 Mei 2017

Berharap pada Regulasi Tembakau

Kesulitan Kusumaatmadja Agung (69) pemilik Mukti Kafe dan pengusaha tembakau, Taru Mertani dan perusahaan kretek serupa diduga dampak dari pelbagai regulasi, baik nasional maupun internasional. Di tingkat internasional muncul pengetatan bisnis tembakau dan segala produk olahannyaFramework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diadopsi WHO pada 21 Mei 2003.
Perjanjian ini mengikat pengaturan produksi, penjualan, distribusi, periklanan, dan perpajakan tembakau.  Di sisi lain persoalan tembakau dan industri rokok di Indonesia muncul perdebatan antara pro dan kontra tembakau atau rokok akhir-akhir ini, khususnya mengenai bahaya rokok.
Perusahaan rokok yang berkembang menjadi perhatian khusus pemerintah. Regulasinya mengalami perubahan terus-menerus terutama sejak masa Reformasi. Saat pemerintahan BJ Habibie, kali pertama pemerintah mengeluarkan regulasi pengendalian tembakau melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang mengatur iklan tentang rokok serta kewajiban pencantuman peringatan bahaya merokok pada kemasannya. Lebih khusus lagi, peraturan tersebut menetapkan kadar nikotin dan tar dalam sebatang rokok.
Peraturan tersebut diamandemen seturut pergantian presiden. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid keluar PP Nomor 38 Tahun 2000. Rokok diperbolehkan mengiklankan produknya di televisi pada malam hari. Selain itu dalam UU Kesehatan Tahun 2009 menyebutkan rokok mengandung zat adiktif.  UU itu diperkuat PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
“Paling ngeri karena menganggap tembakau mentah sebagai zat adiktif seperti narkoba. Roadmap perlindungan kesehatan tembakau itu juga hanya dua pasal,” papar Pradnanda Berbudy, Tim Pembela Kretek dari Komite Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) dalam Workshop “Membaca Kretek” di Yogyakarta pertengahan Maret 2017.
PP terakhir itu dianggap sebagai hasil kompromi antara pro dan antirokok dan sekarang dalam wacana bakal direvisi, poin-poin dalam PP tersebut tak menguntungkan semua pihak yang memiliki usaha di bidang tembakau. Meskipun Indonesia belum meratifikasi WHO FCTC, dalam praktiknya poin-poin dalam konvensi pengendalian tembakau WHO itu sudah dijalankan di Indonesia.
Banyaknya ketentuan daerah bebas rokok yang mengadopsi aturan WHO mengenai pelarangan merokok di tempat umum. Begitu juga, kenaikan cukai rokok yang bertujuan membatasi konsumsi rokok. Itu menjadi “acuan” pemerintah dalam penetapan cukai yang naik tiap tahun. Soal cukai inilah yang kemudian banyak mematikan perusahaan rokok menengah dan kecil.
“Kalau yang punya modal besar bisa menyesuaikan aturan pajak. Yang sedang atau bahkan yang kecil, bisa kembang kempis hanya untuk membeli pita cukai,” ujar Suwarno M Serad, pengamat industri rokok dan sering disebut sebagai pakar kretek.
Serangan Produsen dan Produk Asing
Berbagai regulasi membatasi gerak usaha tembakau. Begitu juga kampanye kontrol tembakau yang gencar di lingkup nasional maupun internasional. Mereka yang menggantungkan hidup pada tembakau pun semakin tersingkir dengan ekspansi pemilik modal asing yang menguasai pabrik-pabrik rokok legendaris di Indonesia.
Tak hanya menguasai pabrik rokok, mereka juga menguasai dan memonopoli pembelian tembakau di daerah penghasil tembakau. Agung, pengusaha kretek di Semarang mengatakan petani tembakau di beberapa daerah terikat kontrak karena mendapat mendapat modal dari perusahaan. Mereka berkewajiban menjual kembali tanamannya ke perusahaan.
Kondisi tersebut membuat pebisnis tembakau kecil tak bisa membeli tembakau dari para petani yang sekian lama menjadi mitra bisnisnya.  Akhirnya ia harus  membayar lebih mahal dari harga pasar jika ingin mendapatkan tembakau.
Sebagai contoh, dia pernah membeli satu dos tembakau Jember untuk wiper atau daun tembakau pembungkus cerutu dengan harga hampir 10 kali lipat harga normal. Untuk satu dos seberat antara 26-30 kilo dihargai Rp20 juta, atau Rp600 ribu lebih per kilo. Padahal, harga normal hanya berkisar Rp50 ribu hingga Rp60 ribu per kilonya. Harga semahal itu lantaran pembelian dikurs dengan mata uang euro.
“Untuk cerutu dengan tembakau Jember, saya harus nempil (membeli dalam jumlah kecil lewat perantara). Kalau tidak kenal orang-orang lama di sana, tidak bakal dapat tembakau,” kata Agung, “Di Lombok, kalau tidak kenal ‘orang dalam’ pasti tidak bisa beli.”
Suwarno M Serad menilai penguasaan tembakau dan pabrik rokok nasional oleh perusahaan asing orang asing itu salah satu upaya dekretekisasi. Upaya mencegah rokok kretek khas Indonesia menguasai pasar dunia. Sebabnya kretek telah populer sebagai rokok yang khas dan banyak disukai orang asing yang ingin menikmati rokok berkualitas tinggi.
Ia mengatakn rokok kretek diakui memiliki keunikan yang tak dijumpai pada rokok-rokok buatan Amerika atau Eropa karena racikannya mengandung rempah cengkeh. Di Amerika Serikat, rokok kretek sudah masuk ke pasar pada 1970-an dan banyak digemari. Ia menduga ada produsen rokok Amerika rokok khawatir kretek akan menguasai pasar di sana dan menggerus pasar rokok putih dalam negeri Amerika. “Lalu muncul isu soal rokok yang berbahaya dan mematikan pengisapnya,” ujarnya.
Dampak paling nyata adalah kematian perusahaan rokok lokal berskala kecil. Pada 2014 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah mencatat 40 perusahaan rokok di provinsi tersebut gulung tikar. Para petani dan pedagang tembakau yang selama ini berhubungan bisnis dengan perusahaan rokok kecil terkena imbasnya.
Perusahaan rokok yang masih bertahan sekarang ini pun bukannya tanpa ancaman. Beberapa produk rokok asing dari Vietnam dan Denmark dengan jenis mirip rokok khas Indonesia seperti jenis tingwe (lintingan) sudah mulai masuk ke pasar Indonesia. Meskipun jumlahnya belum besar dan harganya lebih mahal dari produk lokal, penetrasi produk asing akan menjadi menjadi pesaing produk rokok lokal.

Adil dan Proporsional
Tidak mudah mencegah masuknya pemilik modal asing dan produk rokok luar negeri ke Indonesia. Mereka yang menggantungkan hidupnya dari tembakau dan produk olahannya berharap pada regulasi yang berpihak. Revisi UU mengenai tembakau menjadi harapan besar.
Agung, salah seorang yang masih tetap bertahan dalam bisnis tembakau berharap “monopoli” lahan tembakau petani oleh perusahaan rokok besar diatur. Agar para pedagang tembakau kecil dan perusahaan rokok kecil bisa kembali membeli tembakau berkualitas dari para petani seperti Madura, Lombok, Paiton, Temanggung, dan Muntilan. “Keinginan saya, tembakau petani yang telah dikuasai perusahaan rokok besar dibuka. Maksudnya, orang seperti saya bisa ikut membeli,” katanya.
Bagi Suwarno, regulasi yang mengatur tembakau dan produk olahannya harus adil dan proporsional. Selain itu, pengenaan pajak cukai yang berbeda dari industri lain berujung pada bangkrut atau tutupnya perusahaan rokok sedang dan kecil juga mendapat perhatian.
Suwarso tak yakin revisi UU tentang tembakau yang sedang diproses bakal menghasilkan peraturan yang adil dan proporsional terhadap industri tembakau. Dia melihat ambivalensi keberpihakan pemerintah dalam urusan tembakau. Pemerintah seolah-olah berdiri di dua kaki, antara yang pro industri rokok dan yang antirokok.
“Revisi UU tentang tembakau itu inisiatif DPR. Presiden tidak bisa menolak dan harus membuat surat agar revisi UU tersebut dibahas. Lebih-lebih lagi, di dalam kabinetnya, tak banyak yang pro industri rokok,” ujarnya
Suwarno hanya berharap bila tak memungkinkan melakukan proteksi terhadap industri rokok, setidaknya regulasi memperlakukan industri rokok secara proporsional, seperti industri lainnya. Bersambung.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/389/berharap-pada-regulasi-tembakau/

Bertahan dari Himpitan Regulasi Kretek

Regulasi ketat pembatasan konsumsi tembakau dan produk olahannya memengaruhi  bisnis pertembakauan berskala menengah dan kecil. Sebagian besar dari mereka gulung tikar. Sebagian bertahan karena pintar berinovasi dan menyiapkan regenerasi.  Independen menurunkan laporan bersambung tentang dinamika perusahaan kretek lokal dari berbagai sisi.

-----------
Kusumaadmadja Agung (69) masih ingat kejayaan usaha tembakau orang tuanya. Saat itu, di lantai dua gudang  toko tembakau ayahnya di Jl Wahid Hasyim 2A, Kota Semarang, bronjong-bronjong tembakau bertumpukan. Daun tanaman bernama Latin Nicotiana tobacco  itu dibeli ayahnya dari para petani di berbagai daerah di Jawa.
Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, Agung diandalkan meneruskan bisnis tembakau keluarga yang dirintis Yap Sing Tjay, sang kakek yang berasal dari Xiamen, Tiongkok. Sejak usia belia, aroma tembakau sudah akrab tercium hidungnya. Lebih-lebih Bram Mukti Agung, sang ayah, kerap mengajaknya berkeliling daerah untuk membeli tembakau dari para petani.
Ketika ayahnya memproduksi rokok, Agung kecil pun membantunya. “Kakek hanya jualan tembakau. Lalu Ayah mulai memproduksi rokok kretek cap Lelo-lelo Ledung. Bikinnya di gudang Weleri, Semarang, Pekalongan, dan Tegal. Saya masih kecil tapi sudah ikut bikin dan jualan berkeliling naik sepeda di Semarang,” katanya ketika ditemui koresponden Independen saat di Kafe Mukti, miliknya, akhir Maret 2017.
Bisnis tembakau pada masa-masa itu begitu menjanjikan. Hari-hari Agung banyak dihabiskan di daerah-daerah tembakau. Relasinya dari kalangan petani tembakau sangat banyak. Tak mengherankan saat musim panen banyak pabrik rokok memintanya membelikan tembakau dengan komisi 5 persen dari harga pembelian.
Ketika tak banyak memiliki stok tembakau dan kondisi semakin sulit, kini, ruangan di lantai dua toko disulap menjadi kafe. Selain menyediakan pelbagai minuman dan penganan ringan, pengunjung bisa membeli tembakau iris  dan menikmati tembakau lintingan berbagai jenis. Ada juga cerutu produksi Agung, ciri khas dagangnya.
Dia tetap melanjutkan usaha yang sudah dirintis kakeknya. Sebuah pilihan yang tak terelakkan ketika tak lagi kerap berkeliling ke daerah tembakau, karena tak banyak tembakau yang bisa dibeli. Di gudangnya di kawasan Weleri, tembakau tersisa sekitar 80 ton. “Ya, saya rasa banyak yang meninggalkan bisnis ini. Alih usaha. Ada yang stres, sakit. Ngeri ceritanya,” katanya.
Hal itu terjadi karena kondisi saat ini berbeda dibandingkan masa jaya jual beli tembakau periode 1997-2000. Mencari jalan bertahan dengan produksi sendiri harus terus dilakukan jika tak ingin gulung tikar. Seperti yang ia lakukan dengan memproduksi cerutu tahun ini. “Urusan merek dan perizinannya sudah beres. Paling tidak bisa untuk produksi dua atau tiga tahun,” cerita Agung.
Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/385/bertahan-dari-himpitan-regulasi-kretek/