Pages

Tampilkan postingan dengan label manusia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manusia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Agustus 2020

Covid-19 Dari Kluster Pernikahan di Semarang

“Awalnya rapid test reaktif. Kemudian dilakukan swab test pertama di Rumah Sakit Tlogorejo. Hasilnya positif,” kenang Khotib yang ketika dinyatakan reaktif berinisiatif melakukan isolasi mandiri di rumahnya. Istrinya menyediakan kamar khusus. Di kamar tersebut dipasang tenda untuk tidur. “Di kamar saya kasih tenda. Saya tidur di dalam tenda agar lebih aman,” jelasnya.

Banyak diantara positif Covid-19 adalah Orang tanpa Gejala (OTG). Salah satunya Ahmad Khotib. Warga RT 06 RW 01 Tambakrejo, Gayamsari, Semarang ini OTG yang teridentifikasi positif Covid-19 setelah menjalani serangkaian test.

Khotib juga berturut-turut melakukan swab test lanjutan kedua dan ketiga. Selama isolasi mandiri, Khotib mengkonsumsi dua jenis obat. Pehavra, suplemen vitamin dan Azithromycin, antibiotik golongan macrolide yang diberikan secara oral untuk infeksi saluran napas atas (tonsilitis, faringitis), infeksi saluran napas bawah (bronkitis, pneumonia). Selama masa isolasi, warga di kampungnya juga bergantian mengirim makanan. “Dikirim lauk pauk di taruh di depan nanti saya ambil. Di tiap rumah juga disediakan air dan sabun cuci tangan.”

Dia dapat bernafas lega. Berdasarkan surat keterangan hasil pemeriksaan dari laboratorium sampel Covid-19 yang diterima dari Laboratorium Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret tertanggal 22 Juni 2020 menunjukkan dia negatif Covid-19.

“Ini tinggal 3 hari lagi obat habis,” jelas Khotib kepada Noni Arnee, wartawan di Semarang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, ketika ditemui di rumahnya Selasa (22/6/20).

Khotib, OTG yang teridentifikasi positif Covid-19 pasca menghadiri acara akad nikah tetangganya pada 11 Juni lalu. Yang hadir pada saat acara sakral tersebut diantaranya perangkat RT, tetangga dan keluarga kedua mempelai.

Menurutnya, akad nikah ini sudah direncanakan jauh hari. Kamis 11 Juni sebagai tanggal akad nikah dan 14 Juni untuk gelaran resepsi. Namun rencana resepsi ditiadakan karena kondisi kesehatan kedua orangtua mempelai perempuan pada saat itu tidak memungkinkan. Ibu mempelai perempuan didiagnosa penyakit dalam dan setahun ini rutin terapi. Sedangkan sang ayah mempunyai riwayat medis penyakit jantung.

 “Yang penting akad nikah dan sah dulu. Acara dilangsungkan di rumah mempelai perempuan,’ jelasnya.

Hamid, keluarga mempelai perempuan menambahkan, acara akad nikah berlangsung di rumah mempelai perempuan yang jaraknya sekitar 150 meter dari Masjid Besar Terboyo.

“Bulan Juni, KUA memberi kelonggaran mengelar akad nikah dengan menerapkan protokol kesehatan. Boleh memilih di KUA, masjid atau di rumah. Pilihan waktu itu di rumah karena Masjid Besar Terboyo belum mengizinkan karena masih pandemi,” jelas Hamid.

Menurutnya, jumlah tamu undangan yang hadir dalam akad nikah tak lebih dari 30 orang. “Undangan 15, mempelai pria bawa 3 mobil, isinya tidak penuh. Ya dengan anak-anak jumlahnya tidak lebih dari 30,” ungkap Hamid.

Namun, selang dua hari, adik mempelai perempuan mengaku lemas, batuk dan sesak sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Sultan Agung. Kedua orangtua mempelai juga menyusul masuk rumah sakit.

“Hari Sabtu 3 keluarga mempelai perempuan masuk rumah sakit. Adik dan kedua orangtua. Minggu sore adiknya meninggal, katanya karena radang paru-paru. Disusul Senin petang Ibunya meninggal. Sedangkan ayahnya masih di rawat hingga kini dan kondisinya sudah membaik,” ungkap Khotib.

Dinas Kesehatan pun kemudian mengambil langkah dengan tracking dan tracing pada orang-orang yang terlibat dalam acara akad nikah tersebut. Tracking dilakukan sejak tanggal 2 Juni yang menemukan adik mempelai perempuan sudah mempunyai keluhan demand an hasil lab swasta menunjukkan sang adik menderita typus.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr. Abdul Hakam, mengatakan, dari serangkaian test, hasilnya ditemukan 10 orang positif Covid-19. Semua dalam keadaan OTG.

“Di awal 10 orang rapid test, ada satu yang reaktif. Karena banyak lansia dan anak-anak yang hadir di acara itu maka hari berikutnya saya lakukan swab kepada 20 orang. Hasilnya ada 3 orang positif. Nah mereka ini ternyata punya anak dan di tracking ketemu  lagi 2 positif. Dari pihak keluarga inti mempelai total ada 5 positif,” ungkap Hakam.

Selain rapid test dan swab test, pihaknya juga berupaya memutus rantai penyebaran dan penularan Covid-19 dengan meminta para OTG yang teridentifikasi positif itu untuk diisolasi mandiri dan terapi dengan mengkonsumsi obat. Di kawasan tersebut juga dilakukan steririsasi dengan penyemprotan disinfektan. “Per Hari Rabu 25 Juni masih ada 2 positif.”

Untuk lebih memastikan kondisi kesehatan, sejumlah keluarga mempelai juga isolasi mandiri dan melakukan swab test mandiri. “8 orang dari pihak keluarga melakukan swab test mandiri dengan membayar Rp 2.3 juta / orang dan hasilnya negatif semua.” imbuh Hamid.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, dr. Abdul Hakam  menegaskan, peristiwa akad nikah di Tambakrejo ini menjadi pembelajaran penting bagi warga Semarang ketika ingin menggelar acara yang mendatangkan orang banyak. Meski diperbolehkan harus menerapkan dan mentaati protokol kesehatan yang ketat.

Acara akad nikah tersebut digelar ketika Kota Semarang masih menerapkan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) Tahap III yang berlaku 8 Juni hingga 21 Juni 2020 seperti yang tertuang dalam Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan PKM dalam percepatan penanganan Covid-19 Kota Semarang.

Dalam PKM tahap III tersebut diantaranya menyebutkan kegiatan sosial seperti pemakaman dan pernikahan tetap boleh dilakukan dengan pembatasan jumlah 30 orang dan harus menerapkan protap kesehatan.

“Itu jumlah maksimal. Tapi juga harus melihat kondisi ruangan. Luas atau sempit dan aturan jarak 1-2 meter harus terpenuhi,” imbuh Hakam.

Kasus Covid-19 Naik Terus

Jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Semarang dalam satu minggu terakhir ini melonjak drastis. Data Dinas Kesehatan Kota Semarang menunjukkan jumlah positif Covid-19 per tanggal 18 Juni sebanyak 291 orang, naik menjadi 591 orang (per tanggal 25 Juni) yang tersebar di 16 kecamatan.

 

Terkait dengan jumlah positif Covid-19 di Kota Semarang, M Abdul Hakam mengakui terjadi lonjakan terus menerus menyusul makin masifnya upaya rapid test dan swab test oleh Dinas Kesehatan maupun test mandiri yang dilakukan warga di rumah sakit pemerintah yang menjadi rujukan, rumah sakit swasta maupun di klinik dan lab utama yang melayani test.

“Belum turun, ini masih naik terus. Jadi tidak ada kata lain warga harus benar-benar menerapkan protokol kesehatan yang disiplin dan sustainable. Orang selama 3 bulan mungkin sudah bosan di rumah dan begitu keluar seperti euphoria. Makanya harus selalau diingatkan.” Hakam mengingatkan.

Di Kota Semarang terdapat 3 rumah sakit melayani swab test yakni Rumah Sakit Wongsonegoro, Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND), dan Rumah Sakit Kariadi. “Kalau lab di rumah sakit penuh, kolaborasi dengan lab se-Jateng. Dua Minggu ini kita kirim sampel test ke Solo, Yogyakarta. Ya nyebar supaya semua terkendali dan cepat dapat hasilnya.

Hakam mengakui keterbatasan laboratorium rujukan dalam menerima sampel test juga menghambat kecepatan proses identifikasi. Ditambah lagi prosedur panjang mulai dari perencanaan tempat atau lokasi rapid test dan swab test, pencatatan, hingga pembaharuan data.

“Yang jadi persoalan ketika harus antre sampel swab test karena kuota di lab terbatas. Kita harus cari lab yang tidak banyak antrean. Pandai-pandai kita melihat lab mana yang kosong dan bisa dimasuki agar hasilnya cepat. Per tanggal 25 Juni, kita juga masih punya 311 PDP yang menunggu hasil. Kasihan kalau mereka terlalu lama berada di karantina.”

Sementara itu dari 16 kecamatan di Kota Semarang, 3 Kecamatan menjadi perhatian dan diwaspadai karena angka positif Covid-19 yang tinggi, yakni Kecamatan Pedurungan, kecamatan banyumanik dan Kecamatan Tembalang.

“Pokoknya jangan kaget. Kalau dalam 1-2 minggu ini kita mendapatkan hasil (Covid-19) yang luar biasa tinggi. Iya karena test makin intensif dan kami lakukan dengan multiple swab, ambil sampel dari hidung dan tenggorokan,” tandasnya.

Sementara data siagacorona.semarangkota.go.id pada 25 Juni 2020 menujukkan, jumlah Covid-19 meninggal sebanyak 127 orang, PDP 1637 orang, Dalam Perawatan dan Perbaikan Klinis sebanyak 592 orang dan ODP sejumlah 4.236 orang. Sedangkan yang sembuh 566 orang.

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53176439

#Corona #Covid19 #Semarang #Kluster #Pernikahan

Jumat, 27 Desember 2019

Penantian Para Penyintas Jugun Ianfu


Usianya sudah menginjak 87 tahun. Tapi gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya yang tirus. Malah senyum selalu mengembang di bibirnya kala menceritakan kesehariannya di sebuah rumah sederhana berlantai tanah.

Di ruang tengah rumahnya, hanya ada tikar lusuh. Dan Paini –begitu dia dipanggil, bertukar cerita dengan saya sembari memutar kembali ingatannya ke masa pendudukan Jepang.

Kata dia, di kurun waktu 1942-1945, serdadu Jepang datang ke kampungnya di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah. Mereka kemudian merekrut para perempuan dan lelaki muda untuk kerja paksa atau romusha. Dan Paini, adalah satu di antaranya yang baru berusia 13 tahun.
“Waktunya istirahat nggak boleh istrahat, harus kerja. Dikasih pekerjaan apapun saya harus mau, kalau nggak mau pasti saya dipukuli. Bukan hanya kerja angkatin batu, tapi juga angkatin tanah," kata Paini lirih.

"Sudah selesai di dapur, saya di disuruh minta makan di kampung lain. Disuruh ngemis-ngemis minta makanan. Saya jalanin itu supaya selamat, jangan sampai dipukuli. Makan pun kalau saya nggak cari sendiri saya nggak bisa makan.”

Di tangsi militer Kamp Garuda –milik Jepang itu, Paini kecil dipaksa bekerja tanpa imbalan uang dan makanan.

Dia sendiri bahkan tak berdaya ketika dilarang pulang ke rumahnya hanya untuk menengok keluarga atau suami yang baru setahun dinikahi. Dan yang kian membuatnya murka, tatkala dirinya dipaksa melayani hasrat seksual seorang pria berbaju kimono.
“Saya tidak tahu kalau ada orang di belakang saya. Saya lalu disikep (peluk dari belakang-red). Dibekap mulutnya. Dipaksa, saya dipaksa suruh melayani (tentara Jepang). Saya duduk sendirian sambil menangis.”

Paini, adalah saksi hidup sekaligus korban perbudakan seks tentara Jepang pada Perang Dunia ke-2. Korban kejahatan tentara Negeri Matahari Terbit itu membentang dari Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Timor Leste, hingga Indonesia. Dan diperkirakan korbannya lebih dari 200 ribu perempuan.
Penderitaan Paini, berlangsung kira-kira satu setengah bulan. Hingga kemudian, dua serdadu Jepang bernama Haruka San dan Handika Motto, menyelamatkannya.
“Saya menjerit, lalu ada yang mendengar dan menolong saya. Saya ingat nama yang menolong yaitu Haruka San dan Handika Motto.”

Tapi kepulangannya dari Kamp Garuda, tak disambut gembira keluarganya. Paini justru disangka selingkuh dengan tentara Jepang hingga akhirnya diceraikan sang suami.

Paini lantas menikah untuk kali kedua, tapi usia perkawinan itu tak bertahan lama.
“Waktu ada pelecehan itu, saya terus diceraikan oleh suami. Baru lima bulan orangtua saya menerima lamaran lagi. Baru tujuh bulan, saya diceraikan lagi sama suami yang kedua."

***

Kegetiran Paini, juga dialami Sri Sukanti. Tatkala umurnya sembilan tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Rakyat –kini Sekolah Dasar, ia dibawa paksa tentara Jepang untuk melayani hasrat seksual Ogawa –seorang komandan regu.

Di kediaman sekaligus kantor Ogawa, Sri Sukanti dikurung. Di dalam Gedung Papak, Grobogan –yang merupakan bekas bangunan Belanda itulah, Sri kecil tak berdaya melawan tubuh besar lelaki bermata sipit tersebut.
“Ayah saya semaput (pingsan-red) lihat saya dibawa. Dikira mau dibunuh. Waktu diambil Jepang saya diajak tidur, bokong dielus-elus,” ucap Sri Sukanti dengan bibir bergetar.

Atas perintah Ogawa pula, penjagaan ketat dilakukan. Sehingga tak ada yang bisa menolongnya.
“Yang jaga dua, di depan pintu. Saya dikunci di kamar, dijaga kalau ada yang nengok-nengok dibentak sama yang jaga. Jepang itu memang kejam.”

Enam bulan, Sri kecil menjadi budak seks tentara Jepang Ogawa. Ia pun masih ingat dirinya disuntikkan obat anti-hamil berkali-kali di pinggul kiri sebelum akhirnya dipulangkan ke orangtuanya.
“Iya biar nggak punya anak. Suntikannya nih..nih.. Waktu disuntik satu minggu nggak bisa bangun.”
Suntikan itu rupanya berdampak panjang. Ia tak bisa memiliki anak meski telah menikah dua kali. Pertama dengan pria asal Semarang, namun berpisah. Dan kini, dengan Sidik Tonys yang setia mendampinginya.

Catatan Komnas HAM menyebut, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu.
Dan hingga kini, belum ada permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Negeri itu belakangan hanya bersedia meminta maaf pada ianfu yang berasal dari Korea Selatan, Tiongkok.

***
Kembali ke Paini. Perih akibat perlakuan tentara Jepang, takkan mungkin dilupakan.
“Saya dilecehkan dengan penjajah itu. Malu saya.. memalukan. Biarpun saya dilecehkan, biarpun saya tidak berguna, jiwa saya itu nggak suci lagi saya terima. Tapi saya itu kalau ingat, menyesal sekali, sakit hati. Kalau malam nggak bisa tidur, ingat jiwa saya itu sudah tidak suci lagi, sudah tidak berguna..”

Dan kini, janda empat anak ini tinggal bersama anak perempuan sulungnya di rumah sederhana berlantai tanah itu.

Permintaan Maaf dan Kompensasi
Di rumahnya sederhana –berlantai tanah di Sidomukti, Kopeng, Jawa Tengah, Paini tinggal bersama anak perempuan sulungnya.
Suaminya, meninggal 20 tahun lalu. Maka dia harus menghidupi dirinya sendiri dan sang anak, dengan menjadi buruh lepas; mengisi pot sayuran. Dari situ, dia bisa mengantongi 50 ribu dari lima ribu pot.

Tapi jika tak ada pesanan, Paini hanya mengandalkan pemberian anak-anaknya yang juga serba pas-pasan.
“Satu pot kalau sama ngeranjangi itu cuma seribu, satu pot. Kan masih untung, buat beli beras sekilo, sayurnya cari sendiri di tempat keponakan. Masih terimakasih nenek masih sehat,” imbuh Paini.
Di usianya yang sudah 87 tahun, dia juga masih bisa menyusuri jalan kampung mencari kayu bakar dan rumput.

Perempuan sepuh lain, Sri Sukanti –yang hidup sebatang kara, kini bergantung pada uluran tangan orang sekitarnya. Sementara suaminya yang dulu bekerja sebagai kuli bangunan, tak bisa lagi diandalkan.
“Aku nggak malu, aku minta-minta pada orang kampung buat beli nasi. (Sejak kapan terima raskin?) Sudah lama, kalau nggak begini nggak makan,” kata Sri Sukanti.

Di Salatiga, Sri Sukanti bersama suami, tinggal di rumah yang sangat sederhana. Dinding kusam rumah itu dipenuhi foto dia dan keluarganya. Isi perabotan seolah dibiarkan berantakan tak terurus.
Hanya ada satu kamar tidur yang bersebelahan dengan dapur. Di situ, rak kayu yang sudah lapuk, dipenuhi piring dan panci. Di lantai, sebuah tungku teronggok.
Sementara di ruang depan, penuh sesak. Di sisi kanan rak papan televisi berukuran 14 inchi, perabot rumahtangga bertumpuk. Dan bau pesing, begitu menyengat.

***
Catatan Komnas HAM, di Indonesia ada sekitar dua ribu perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang atau disebut jugun ianfu. Dua di antaranya adalah Paini dan Sri Sukanti.
Karena itulah, sejumlah pihak; Komnas HAM, LBH Yogyakarta, dan lembaga lain yang mengatasnamakan Ianfu Indonesia gencar memperjuangkan hak penyintas. Salah satunya, mengajukan gugatan kompensasi atas kerugian materil dan imateril yang dialami para penyintas.

Hingga pada 1997, Asian Women’s Fund (AWF) –sebuah organisasi swasta Jepang mengucurkan dana santunan bagi para penyintas melalui Departemen Sosial RI. Nilainya sebesar 380 juta yen atau setara Rp1,1 Triliun. Tapi uang itu, tak pernah sampai ke tangan Paini pun Sri Sukanti.

“Katanya ada imbalan segini..segini.. Sampai sekarang kok nggak datang. Imbalannya itu saya masih ingat kalau nggak salah 100 juta. Sampai sekarang imbalan dari Jepang itu belum pernah seperserpun saya terima. Saya ikhlas,” jelas Paini.

Uang triliunan itu rupanya dialokasikan Departemen Sosial untuk membangun Panti Wreda khusus penyintas Jugun Ianfu di sejumlah kota di Indonesia.

Karena dana itu digunakan dengan tak semestinya, para penyintas melayangkan surat gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat.
“Dibawa kemana-mana. Ke Yogya kalau nggak salah, sembilan kali diwawancarai. Yang paling banyak di Solo. Terakhirnya saya dibawa ke Jakarta. Saya pun sampai diangkat di podium untuk bicara. Tapi sampai sekarang nol nggak ada apa-apanya,” sambung Paini.

Heruwaty Wahyu, Kepala Panti Wredha Wening Wardoyo Ungaran, Jawa Tengah membenarkan, pernah ada proyek dari pemerintah pusat untuk membangun wisma untuk penyintas Jugun Ianfu di areal pantinya.
“Jugun Ianfu suatu proyek sendiri, bantuan dari Jepang kalaupun saya pimpro saya nggak dipegangin. Bantuan yang jugun ianfu itu hanya fisiknya pandu itu saja. Jadi kita hanya menyediakan lahan. Khusus untuk ianfu sekarang difungsikan untuk yang lain, untuk lansia yang terlantar-terlantar tapi bukan jugun ianfu,” jelas Heruwaty Wahyu.

Wisma yang diberi nama Pandu Dewanata dibangun pada 1997 dengan fasilitas lima kamar tidur dan televisi. Di tahun yang sama juga, pemerintah membangun empat panti yang tersebar di sejumlah kota.

Namun, Paini menolak tinggal di panti dengan berbagai alasan.
“Nggak mau saya. Saya mau di rumah saja, kerja, kumpul sama cucu anak. Terus terang daripada saya dibawa ke panti jompo, dikasih uang 10 ribu dibuat jajan saya ikhlas. Tapi kalau dibawa ke panti jompo, saya nggak mau. Biarpun kayak gini kotor tempatnya. Nggak apa-apa. Kalau saya dibawa ke panti jompo nanti anak saya cucu saya yang repot.”

Para penyintas seperti Paini dan Sri Sukanti, hidupnya sengsara. Hak yang seharusnya mereka peroleh, justru tak diberi. Pemerintah Indonesia sendiri malah menganggap kejahatan yang dilakukan tentara Jepang, sudah selesai. Tapi, tidak bagi Paini.

“Saya ditanyakan apakah sanggup ngasih maaf sama orang Jepang? Kalau saya berhadapan sendirian ya saya mau bisa ngasih maaf. Tapi kalau saya nggak bisa berhadapan sendiri apa bisa saya ngasih maaf? Kan nggak bisa. Yang penting saya dikasih kesehatan, dilindungi, dikasih kekuatan sama Allah saya sudah terimakasih. Saya ikhlas.”

Noted :
Perjalanan menemui Sri Sukanti dan Paini dilakukan pada tahun 2016
Elizabeth Sri Sukanti atau Mbah Sri, penyintas jugun ianfu paling muda meninggal dunia di Kota Salatiga pada 20 Desember 2017 di usia ke-84.

Selasa, 09 September 2014

Menantang Maut di Sangihe



Perjalanan 90 menit ke pulau Marore tak asing bagi Recksan dan Karce. Sejak kecil mereka hidup di Matutuang, pulau kecil di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yang berada di ujung utara Sulawesi dan berbatasan dengan Provinsi Davao del Sur, Filipina.  Kali ini keduanya pergi memenuhi undangan rapat di pulau yang menjadi ibu kota kecamatan.

Seperti biasa, pumpboat, perahu kecil bermesin tempel yang ditumpangi harus melewati Pulau Mamanuk. Perairan yang rawan dengan ombak besar laut Pasifik yang sulit diprediksi.

“Tiba-tiba perahu terhempas dan terbalik. Karce tak bisa berenang. Dia menangis dan banyak minum air hingga stres dan seperti orang gila. Kami sudah putus asa,” kenang Recksan.

Recksan dan Karce berhasil terapung di puing perahu. Mereka terombang ambing ombak di tengah laut tanpa makanan dan minuman selama lima hari dan terseret arus keTarakan. Tapi, mereka berhasil diselamatkan kapal patroli TNI yang kebetulan melintas di sana. Selamat, meski perjalanan itu menyisakan trauma bagi Karce. Dan Recksan butuh dua pekan di rumah sakit untuk memulihkan kulitnya yang mengelupas akibat sengatan matahari.

Tragedi empat tahun lalu yang membuat nyawa nyaris melayang masih membekas. Namun, peristiwa itu tak memupus  Recksan untuk mengabdi sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Pulau Matutuang, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Recksan Salur (28) dan Karce Salensehe adalah orang pilihan warga di Kecamatan Kepulauan Marore menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa PNPM. “Hasil rapat di kampung dipilih kader laki-laki dan Karce terpilih sebagai kader perempuan. Awalnya saya tak tahu PNPM yang masuk ke kampung tahun 2009.”

Selain harus memahami ruh PNPM, penggerak program di daerah perbatasan, seperti di Sangihe, butuh keberanian. Medan yang harus ditempuh dan dihadapinya terbilang sulit. Mereka bahkan rela menantang maut hanya untuk bertemu warga, memimpin pertemuan di desa dan mensosialisasikan program nasional pemberantasan kemiskinan. Keterbatasan transportasi menjadi kendala terbesar.

Pumpboat menjadi moda transportasi andalan warga Matutuang, Marore, dan pulau lain di Kabupaten Sangihe. Dua cadik perahu kecil bermesin biasa digunakan melawan ganasnya ombak. Untuk sampai ke Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe, harus berperahu hingga enam jam.

Sementara transportasi kapal perintis ke ibu kota kabupaten, hanya beroperasi tiap dua pekan. Di pulau Matutuang juga tak terjangkau sinyal telepon. Urusan antar dokumen ke kecamatan harus menitipkan pada nelayan. “Bahkan tak jarang menguras kantong pribadinya untuk biaya transportasi antar pulau. Ikut berkoordinasi ke Kecamatan Marore memfasilitasi masyarakat yang belum paham program PNPM,” tuturnya.

Selain tak subur, pulau-pulau di Sangihe banyak tak dihuni hingga infrastruktur minim dan kehidupan di wilayah terpencil ini sangat bergantung pada cuaca dan biaya tinggi. Pasokan energi pun menjadi persoalan. “Warga Pulau Matutuang dan Kawio mengusulkan ada generator listrik untuk  menerangi sekitar 100 rumah selama lima jam mulai pukul 18.00 WITA,” tutur lelaki yang hanya mendapat honor fasilitator Rp 200 ribu per bulan.

Selama medio 2009-2012, PNPM Mandiri Perdesaan mengakomodir kebutuhan warga dengan membangun talud pantai di Pulau Matutuang sepanjang 980 meter. pengadaan mesin diesel dan instalasi listrik berkapasitas 22,5 KVA, membangun 18 unit MCK, sumur bor tiga unit, tiga  kamar mandi, dan drainase sepanjang 417 meter.

Kehidupan sosial warga Kabupaten Sangihe yang terpengaruh dengan negara tetangga menjadi tantangan karena Kabupaten dihuni 150 ribu jiwa dan tersebar di 26 dari 105 pulau ini terbiasa hidup bersama.

“Sebagian warga tidak berbahasa Indonesia karena dulu tinggal di Filipina, pendidikan masih rendah. Adaptasi bahasa sering merepotkan. Ya, Kehidupan di sini sulit  tapi harus dijalankan karena ini pengabdian,” kata Recksan.

Lokasi Ekstrem

Dedikasi Jeremia P. Antara (30) selama tujuh tahun terakhir ini sebagai pendamping Lokal PNPM, Kecamatan Tabukan Tengah tak diragukan. Awalnya, dia diangkat menjadi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) di Desa Bowongkali, Kecamatan Tabukan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dalam sebuah musyawarah desa.

Di daerah berbukit dikelilingi banyak pulau dan dikategorikan lokasi ekstrem dan terpencil ini, tugasnya membantu fasilitator kecamatan melaksanakan kegiatan PNPM. Perencanaan, pelaksanaan, hingga pelestarian program kerja membuatnya berkeliling menapaki perbukitan dan berpindah dari satu desa ke desa lain.

“Saya harus memimpin rapat desa, sosialisasi, menjaring usulan dan ide dari masyarakat. Jarak antardesa sangat jauh.  Terkadang harus naik pumpboat untuk menjangkaunya,” ujar lulusan SMKN 3 Tahuna yang biasa menempuh perjalanan 9 kilometer dari rumahnya di Bowongkali ke sekretariat PNPM Kecamatan Tahuna.

Sejak tahun 2007, kegiatan PNPM di Kecamatan Tabukan Tengah menyerap dana hampir Rp 9 miliar rupiah, yang digunakan untuk pembangunan akses jalan menuju Sekolah Dasar di Desa Bowongkali sepanjang 700 meter, talud pantai, talud sungai, jembatan, jalan desa, sarana air bersih, drainase, tambatan perahu dan bangunan pengolahan sagu yang mesin pencacahnya dirakit sendiri dari mesin perahu.

“Kami punya 12 pengolahan sagu di empat desa Kecamatan Tabukan Tengah. Ini daerah pertama di Sangihe yang punya pengolahaan sagu modern dan bisa mencacah sagu dalam hitungan menit. Warga membayar iuran untuk biaya pemeliharaan aset desa ini,”imbuh Jeremia.

Kegiatan non-fisik program simpan-pinjam perempuan juga digalakkan untuk menambah modal usaha dengan mengalokasikan 15 persen dana PNPM untuk 50 kelompok yang mengajukan pinjaman tanpa agunan dengan bunga 1,5 persen. Tingkat pengembaliannya dalam waktu setahun mencapai  95 persen.  

“Dari perencanaan, pembangunan, hingga pengelolaan dana yang transparan membuat warga antusias. Apalagi warga juga swadaya,” jelas pendamping lokal terbaik nasional untuk wilayah ekstrem dan terpencil dalam PNPM Mandiri Perdesaan 2013 ini.

Ketekunan Jeremia “terbayar” dengan perubahan. Tak hanya jalan mulus menuju sekolah,  ekonomi di wilayahnya juga berkembang. “Sekarang warga punya modal dagang ikan dan punya perahu. Bahkan ada yang punya toko.”